Bab 72) Harga Pakaian"Yang perlu aku lakukan sekarang adalah membenahi hidupku dulu, baru nanti aku pikirkan bagaimana caranya kembali kepada Fahri. Aku rasa dengan cara menjebak lelaki itu hanya akan sia-sia saja. Aku memerlukan cara lain," gumam Yasmin mengingat kembali peristiwa memalukan yang pernah terjadi antara ia dan Fahri yang berujung dengan kegagalan pernikahannya malam itu. Ah, seandainya waktu itu ia berhasil menikah dengan Fahri, tentu saja putrinya akan bisa menyandang nama Fahri di belakang namanya. Yasmin tersenyum miris menatap bayi yang tengah menggeliat serta membuka matanya. Bayi mungil itu mulai menangis, membuat Yasmin cepat-cepat mengangkat tubuh mungil itu, membawanya ke dalam pangkuan. Yasmin membuka kancing bajunya mengeluarkan aset pribadinya dan mulai menyusui bayinya.Dia begitu lahap menghisap asupan nutrisi favoritnya. Sesekali Yasmin meringis saat mulut kecil bayi berumur dua hari itu begitu kuat menghisap ujung payudaranya sehingga ia merasa geli.
bab 73) Hidup Ini Pilihan"Apa yang Mama katakan?" Fahri membentak. Sepenuhnya ia sadar, jangankan Hanum, dia yang putranya saja tidak sanggup jika selalu di berondong oleh kata-kata menyakitkan dari ibunya setiap hari.Fahri menghembuskan nafas kuat-kuat. Tangannya mengacung ke atas dengan jemari menuding ke arah ibunya."Mau sampai kapan Mama membandingkan Hanum dengan Yasmin? Bahkan Yasmin kini sudah mempunyai kehidupan sendiri. Dia sudah punya suami dan mungkin sekarang sudah punya anak. Yasmin tidak ada sangkut pautnya denganku ataupun Hanum. Kami sudah punya cerita masing-masing. Kenapa Mama masih saja mengungkit-ungkit hal itu?" Lelaki itu sedikit terengah. Emosinya nyaris tak bisa di bendung.Menghina Hanum sama artinya dengan menghina pilihannya. "Itu karena Mama tidak puas dengan pilihanmu. Kamu sudah salah memilih istri. Hanum itu tidak sebaik...."Tangan Ismah seketika terangkat saat putranya membuka mulut."Selamanya aku tidak rela kamu beristri wanita itu. Jodohmu itu h
Bab 74) Di Rumah Sakit "Ya Allah! Sayang...." Mata Fahri melotot. Lelaki itu seketika melompat dari tempat tidur dan berlari menghampiri istrinya yang tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Astagfirullah.... Pendarahan lagi!" pekik lelaki itu. Kondisi Hanum terlihat mengenaskan. Pakaian bagian bawahnya penuh darah. Bahkan lantai kamar mandi juga basah dengan cairan berwarna merah itu. Fahri melepas pakaian istrinya dengan hati-hati, kemudian menyambar handuk, menyelimuti tubuh istrinya lalu membopongnya ke ranjang. Fahri mengambil popok dewasa yang memang sengaja disediakan oleh istrinya demi berjaga-jaga. Dia mengambilnya satu dan bergegas memakaikannya kepada istrinya. Hanum masih juga belum siuman padahal Fahri sudah selesai memakaikan pakaian untuknya. Fahri menepuk pipi istrinya beberapa kali, tetapi tidak ada reaksi apapun. Akhirnya ia beranjak dan keluar dari kamarnya menuju kamar mertuanya. Fahri memencet bel yang terletak di depan pintu kamar itu. "Fahri?!" tegur Riza
Bab 75) Wujud Cinta"Kak." Nafas Firda terengah-engah saat langkahnya terhenti di hadapan kakaknya. "Bagaimana dengan Hanum, Kak?" timpal Alvin yang masih setia menggenggam erat lengan istrinya, Naima. Wanita dewasa yang berdiri di sisi Alvin itu nampak menguap. Naima pun sebenarnya baru saja tidur sehabis mengoreksi hasil tugas mahasiswanya. Naima bekerja sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di kota ini."Masih ditangani oleh tim dokter di ruangan," tunjuk Rizal pada daun pintu, lalu menatap Alvin dan Firda bergantian."Syukurlah. Semoga kondisinya baik-baik saja," ucap Firda."Terima kasih kalian sudah datang. Sebaiknya kita secepatnya memulai proses donor darah. Waktu kita sudah sangat sempit," ajak Rizal sembari berdiri."Iya, Kak," angguk Firda.Rizal membawa Alvin dan Firda meninggalkan tempat itu menuju ke suatu ruangan untuk donor darah. Sementara itu, Filza, Fahri dan Naima kembali duduk berdampingan di bangku panjang.Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Bab 76) Memberitahu ZainabSudah berulang kali Fahri dan Hanum mencobanya, tetapi belum juga berhasil. Tak setetes cairanpun keluar dari payudara milik Hanum, meskipun aset pribadi milik Hanum itu ukurannya terlihat lebih besar dari sebelumnya. Suara tangis bayinya kian melengking, memecah keheningan jelang waktu subuh."Kenapa, Sayang?" tegur Filza. Wanita setengah baya itu kembali membuka mata saat mendengar suara tangis cucunya."Tampaknya dia kehausan, Ma. ASI aku belum keluar," sahut Hanum. Meskipun gerakannya pelan, tetapi terlalu banyak menggerakkan tubuh membuatnya meringis. Filza bangkit dari pembaringan dan menghampiri putrinya. Dia memijat ujung payudara putrinya, lalu menggelengkan kepala."Sepertinya memang belum keluar, Sayang. Nanti bisa dicoba lagi ya. Untuk sementara, biar Mama belikan susu formula dulu." Filza berbalik mengambil tasnya."Kalian tunggu di sini ya. Mama tidak akan lama," ujar Filza sembari melenggang keluar dari ruangan perawatan putrinya.Tak sampai
Bab 77) Kebohongan Ismah"Ya, Mil. Ada apa?" tanya Fahri setelah menempelkan benda pipih itu ke telinganya."Kakak pulang ya. Mama sakit!" Suara Mila jelas terdengar seperti orang panik."Mama sakit?" pekik Fahri."Sakit apa, Mil?" tanyanya lagi."Mama jatuh dari kamar mandi, Kak.""Jatuh dari kamar mandi?" Fahri mengerutkan kening. Setahunya ibunya memang memiliki riwayat darah tinggi. Apa mungkin itu yang membuat ibunya jatuh sakit?"Bagaimana kondisi Mama sekarang?""Pokoknya Kakak pulang saja. Nanti juga Kakak akan tahu sendiri," ujar Mila ketus.Sambungan telepon ditutup sepihak. Fahri menghela nafas lalu mengembalikan ponsel ke dalam saku bajunya."Ada apa dengan Mama, Kak?" tanya Hanum."Kata Mila, Mama sakit." Lelaki itu mengangkat bahunya lalu kembali mendorong kursi roda menuju mobil."Kalau memang Mama sakit, ya sudah. Kakak pulang saja. Lagi pula aku sudah tidak apa-apa kok. Di rumah juga ada Papa dan Mama juga Bibi Arni. Nanti aku suruh dia bermalam di rumah buat menemani
Bab 78) Beneran Kejadian"Silahkan saja kamu pilih, ibumu atau anak istrimu," kata wanita tua itu.Fahri menghela nafas. "Aku tidak bisa memilih, Ma. Mama, anak dan istriku semuanya penting. Jangan pernah memaksaku untuk memilih. Jikalau aku lebih mementingkan Mama, maka akan ada pihak lain yang terzalimi. Mereka itu anak dan istriku, tanggung jawabku." Fahri menjawab dengan panjang lebar, setelah itu memilih pergi meninggalkan kamar ibunyaFahri melangkah menuju dapur dan mendekati Zainab yang tengah asyik memakan cemilan."Kenapa kalian semua membohongiku. Apa salahku?!" cecar lelaki itu."Karena kamu terlalu mementingkan istri dan anakmu, Fahri. Kamu terlalu menurut dengan keluarga istrimu," jawab Zainab."Justru istriku lah yang selalu mengalah. Dia yang membiarkanku pulang, padahal dia sendiri butuh perawatan setelah melahirkan. Kalian memang manusia-manusia tidak punya hati," sergah Fahri. Matanya melotot."Tidak punya hati gimana? Toh di sana Hanum ada kedua orang tuanya. Mereka
Bab 79) Dunia Tidak Boleh Terbalik"Bagaimana menurut Mama?" usik Zainab."Terserah kamu saja," sahut Ismah acuh tak acuh."Baiklah, Ma." Zainab segera beranjak dari tempat tidur, meninggalkan kamar ibunya, keluar dari rumah berjalan menuju rumah Faiz. Ismah menatap nanar kepergian anak sulungnya. Sepasang tangannya mengepal. Kemarahan begitu jelas terpancar dari sorot matanya."Semakin aku menggenggam anak itu, kenapa dia semakin menjauh? Dia semakin melawan dan sering membantah," keluh Ismah mengingat apa yang disampaikan oleh Zainab barusan. Dia benar-benar kecewa."Apa yang harus kulakukan sekarang? Fahri tidak mungkin balik kemari. Dia pasti akan menghabiskan waktu yang lama bersama dengan istri dan anaknya disana....""Cuih! Dasar perempuan sialan. Dia hanya pembawa sial. Coba saja dulu Fahri menurut menikah dengan Yasmin. Wanita kaya dan nurut pula sama aku," omelnya sendiri.Ismah lagi-lagi meringis saat menggerakkan kaki kanannya. Wanita tua itu berusaha untuk kembali berba
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny