Bab 56) Lelah BerharapTak ingin di amuk oleh ibu mertuanya, Husna berlari menuju rumahnya. Tak lama kemudian, dia pun segera muncul kembali bersama dengan Faiz, suaminya."Hentikan, Ma. Ada apa ini?" tegas lelaki berumur 36 tahun itu. Lelaki yang tegak berdiri tepat di belakang Fahri yang masih terduduk di lantai teras."Dasar wanita pengadu!" Seperti kesurupan, Ismah menunjuk-nunjuk Husna yang gemetar berdiri di belakang suaminya."Mama mau minta jatah hasil penjualan gabah, Kak, tetapi aku tidak bisa memberikan, karena uang hasil penjualan itu rencananya akan aku belikan kayu bahan bangunan untuk membangun rumah," ucap Fahri.Faiz berdehem kemudian oembali menatap ibunya. "Lalu salahnya Fahri di mana, Ma?""Fahri tidak mau memberikan jatah untuk Mama. Terus kalau Fahri tidak mau memberikan jatah Mama, Mila belanja pakai apa? Memangnya kamu mau menanggung uang saku Mila?" ujar Ismah garang. Ditatapnya kedua putranya bergantian."Aku melihat selama ini Mila terlalu boros dan Mama ter
Bab 57) Menempati Rumah BaruSetelah ibu mertuanya beranjak pergi, Husna langsung berbalik ke dapur."Udah, Kak?" tanya Hanum menyambut kedatangan Husna"Udah beres,' ujar Husna mengacungkan jempol. "Sekarang kamu bawa piring-piring itu ke ruang tamu. Kita siap-siap saja dulu."Hanum mengangguk. Dia mulai mengangkat peralatan makan ke ruang tamu. Di kampung ini budaya gotong royong masih kuat. Jika ada warga yang membangun rumah, maka bisa di pastikan para tetangga akan datang tanpa di undang untuk membantu. Inilah kenapa mereka memasak dalam porsi banyak, tak lain untuk menjamu orang-orang yang ikut bekerja hari ini.Menu makan siang ini hanya terdiri dari nasi putih, ikan asin goreng, ikan pindang goreng, gangan humbut dan sambal terasi. Hanum tersenyum melihat orang-orang yang makan lahap sambil mengobrol. Diam-diam ia menyelinap keluar, melihat hasil pekerjaan hari ini. Ya, memang baru pondasi. Namun hatinya menghangat. Ada perasaan yang sulit ia lukiskan. Hanum mengusap perutny
bab 58) PendarahanHanum berusaha untuk tidak panik. Dia melepas seluruh pakaian dan membersihkan dirinya. Beruntung pendarahan itu hanya sebentar, setelah itu berhenti. Cukup banyak darah yang keluar dari area intinya. Hanum keluar dari kamar mandi dengan berbalutkan selembar handuk berukuran lebar.Hal pertama yang dicarinya adalah pembalut, setelah itu ia mengenakan pakaian dan segera shalat ashar. Ini jelas bukan darah haid, melainkan darah penyakit alias istihadah. Hanum melaksanakan shalat meskipun tubuhnya masih terasa gemetar. Selesai shalat, Hanum meraih ponsel berlogo apel di gigitnya dan segera mengetik pesan untuk bidan Fatma. Tepat saat ia selesai mengirim pesan, Fahri pun datang."Sayang, kok muka kamu terlihat agak pucat? Kenapa, Sayang?" Lelaki itu kaget melihat istrinya. Hanum berbaring dengan posisi tubuh miring ke kanan, menghadap sisi ranjang."Tadi aku mengalami pendarahan, Kak. Tapi semoga saja tidak terjadi apa-apa," akunya."Pendarahan?!" Lelaki itu memekik.
Bab 59) Kunjungan Ke Klinik Dokter AmeliaMobil yang dikemudikan oleh Farhan, sepupu Fahri itu meluncur dengan tenang. Memilih melewati jalur memutar melalui daerah Anjir dan tembus ke Handil Bakti, lalu menuju klinik praktek dokter Amelia. Lantaran sudah adzan magrib, Hanum memutuskan untuk masuk ke klinik dokter Amelia setelah mereka semua menunaikan shalat magrib.Hanum membiarkan sang asisten dokter spesialis kandungan itu mengoleskan sejenis gel ke perutnya, kemudian dokter Amelia menempelkan alat dan muncullah gambar di layar."Tidak apa-apa, Bu. Kondisinya sehat, jantungnya juga kuat, hanya memang letak plasentanya menutupi jalan lahir dan ini udah 80% loh, Bu. Jadi kemungkinan besar nanti melahirkannya lewat operasi caesar," beritahu dokter Amelia ramah. Wanita berumur sekitar 40 tahunan itu menunjuk ke layar, menjelaskan beberapa hal yang tidak begitu Hanum mengerti."Nggak apa-apa, Dok. Apapun itu, asalkan yang terbaik. Saya pasti siap menjalaninya," sahut wanita itu terlih
Bab 60) Hanum Kualat?Hanum merasa heran, baru kali ini ibu mertuanya memperhatikan perutnya. Sebelumnya masa bodoh. Wanita tua itu seperti tidak peduli bahwa ia akan segera memiliki cucu. Ah, iya. Ini memang bukan cucu pertama bagi ibu mertuanya. Tentu saja ia tidak akan merasa surprise seperti yang dirasakan oleh Rizal dan Filza, orang tuanya."Apakah kamu sudah melupakan apa yang kamu lakukan terhadap Mama dan Mila?" Wanita tua itu malah menunjuk wajah Hanum. Saking dekatnya, Hanum sampai merasakan jari tua itu seolah menempel di dahinya. "Kamu merebut uang anak Mama, bahkan sekarang tak ada lagi jatah untuk Mama. Semuanya habis untuk memenuhi keinginanmu membangun rumah. Padahal apa pentingnya? Apa untungnya? Rumah ini cukup besar dan kalau Mama sudah meninggal dunia kelak, itu bisa kalian tempati tanpa harus susah payah bikin rumah sendiri," tukasnya."Mengapa Mama masih mengungkit-ungkit soal rumah? Bukankah masalah ini sudah selesai?" keluh Fahri seraya memijat pelipisnya."Se
Bab 61) Tidak baik Bergosip "Benar sekali, Bu. Masa iya mertua ngurusin menantu? Yang ada menantu yang harus mengurusi mertua. Dunia udah terbalik sepertinya," ujar bu Ida seraya tertawa kecil. Dia melirik Hanum yang duduk berjarak sekitar sepuluh meter dari mereka berdua. Keningnya berkerut saat melihat reaksi Hanum yang biasa saja Wanita ini seperti lupa jika dia pun memiliki seorang anak perempuan dan kelak anak perempuannya pun bukan tak mungkin harus dipaksa mengabdi kepada keluarga suaminya pula. "Nah, itulah, Bu. Aku juga tidak paham. Lagi pula uang dari mana buat biaya operasi? Yang bener aja. Orang miskin kok belagu?! Orang yang melahirkan pakai operasi itu karena nggak mau merasakan sakit ketika melahirkan. Halah, ini sok-sokan nggak mau sakit saat melahirkan. Udah kayak artis saja!" tuduh wanita tua itu. Hanum hanya tersenyum. Dia memilih tidak peduli dan tetap fokus dengan talanan di hadapannya. Setelah selesai mengiris kol, ia pun mulai mengiris wortel. Yurni yang
Bab 62) Mereka Akan Menjemputmu?Hanum beranjak dari tempat duduk dan berjalan menuju kamar. Dia segera kembali dengan menggenggam ponsel berlogo apel digigit miliknya. Sejak memiliki rumah sendiri, wanita ini merasa bebas menggunakan ponsel mahal itu, tidak seperti dulu yang ia hanya bisa menggunakan benda itu di waktu-waktu tertentu saja, khawatir ada orang lain yang masuk ke dalam kamarnya tanpa izin. "Coba baca chat dari Mama." Hanum menyodorkan benda pipih itu kepada sang suami."Mereka akan menjemputmu?" ulang Fahri setelah membaca beberapa chat dari mertuanya"Itulah yang ingin aku hindari, Kak. Secepatnya kita harus pulang ke rumah Mama. Lagi pula, apa yang kita tunggu?" balas Hanum."Tapi bagaimana dengan kerjaan Kakak di sini? Tidak mungkin kan Kakak meninggalkan TPA? Kandunganmu baru tujuh bulan dan tidak mungkin Kakak meninggalkan TPA selama berbulan-bulan. Kasihan para santri kecil kita," tutur Fahri beralasan."Kakak cukup ngantar dan setelah itu bisa pulang," sahut Ha
Bab 63) Farhan Kebingungan"Kau...!" Bola mata Ismah seakan ingin keluar. "Kamu selalu berpikir hal yang buruk, Fahri. Belum tentu juga akan terjadi.""Memangnya Mama bisa menjamin hal buruk tidak akan terjadi?" sahut Fahri. Dia masih menggenggam erat tangan istrinya, berjaga-jaga dari kemungkinan ibunya akan menarik paksa Hanum lagi "Mama terlihat begitu yakin. Bagaimana kalau sampai terjadi? Bukankah kita harus bersiap atas kemungkinan yang terburuk?" imbuhnya.Fahri mengibaskan tangan ibunya yang bermaksud akan menarik tangan Hanum untuk kembali ke rumahnya. Dia membimbing Hanum menuju mobil. Ismah terus mengiringi di belakang. Perempuan tua itu terus mengoceh. Namun Fahri dan Hanum tidak peduli. Bagi Fahri, keselamatan anak dan istrinya lebih utama. Untuk apa menuruti ibunya, jikalau itu mengancam keselamatan anak dan istrinya? Hakikat ketaatan seorang anak kepada orang tua tidak seperti itu.Mobil meluncur dengan tenang. Farhan sengaja mengemudikan mobilnya dengan kecepatan re
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny