Bab 200) Bulan Madu"Kenalkan, ini Andi, suamiku," ujar Yasmin. Mimik wajahnya sengaja dibuat seramah mungkin. Dia pun tak menyangka bisa bertemu Fahri dan Hanum disini, bahkan satu rombongan pula. Mimpi apa ia semalam?"Kamu sudah menikah?""Baru seminggu yang lalu, Hanum. Makanya sengaja pergi umroh, sekalian bulan madu." Yasmin menatap Hanum lekat-lekat. Kalau boleh jujur, sampai saat ini ia masih belum bisa terima jika Hanum lah yang menjadi jodoh Fahri. Namun apa mau dikata. Semua usahanya sia-sia. Sekeras apapun ia mendekati Fahri, tetap saja menemui kegagalan. Semesta memang tidak berpihak kepadanya. Bahkan justru Andi lah yang kini menikah dengannya setelah melewati banyak drama, termasuk menaklukkan kemarahan Zidan."Selamat ya, Yasmin. Semoga kamu selalu bahagia," ucap Hanum tulus.Yasmin melengos, membuang pandangannya ke arah kerumunan orang-orang yang berpakaian sama dengan mereka. Mereka memang akan segera bersiap-siap untuk berangkat. Ustadz Yusuf sudah memberi pengara
Bab 201) Suami Yang Diabaikan "Keren apaan? Adzkar belum genap dua tahun lo," dengus Hanum. Wanita itu langsung memasang wajah cemberut. Apa-apaan ini? Masa iya suaminya malah menagih anak kedua? Luka bekas operasi saat melahirkan kemarin saja belum sembuh benar! Fahri yang baru saja selesai melepas penutup kepala di wajah sang istri, mengacak helaian mahkota hitam itu dengan gemas. "Tak usah cemberut begitu, Sayang. Aku juga tahu kok. Aku kan hanya mengusulkan. Kalau kamu emang berkenan ngasih Adzkar adik lagi, please berhenti minum pil. Semua kendali ada di tanganmu. Tubuhmu, perutmu, semua tentang dirimu adalah hak kamu dan aku hanya menikmati keindahan yang sudah Allah halalkan untukku," ujar Fahri. Tak sabar ia mendekatkan wajah, mendaratkan bibirnya di benda serupa, lengkungan kenyal milik sang istri yang terlihat basah dan menggoda. "Mampang hari ini nggak ada jadwal kegiatan di travel, kita bikin kegiatan sendiri yuk," bisiknya. Suaranya terdengar mulai serak dibakar oleh g
Bab 202) Tidak AdilCupp!Sebuah kecupan mendarat di pipi Andi, meski hanya sekilas.Sesudah itu Yasmin lantas menjauh, melangkah begitu hati-hati menuju ranjang. Jangan sampai Andi terbangun. Dia tak mau resiko menanggung malu sudah mencuri cium lelaki itu saat sedang tidur.Wanita muda itu menghela nafas sembari menatap sosok lelaki itu dari ranjang tempat ia berbaring kini. "Kita akan terus bersama, meskipun tak tahu bentuk hubungan kita seperti apa. Aku tidak berani menjanjikan apapun. Selama aku belum bisa mencintaimu, aku tidak bisa melakukan hal yang paling kamu inginkan sebagai seorang lelaki normal. Aku tahu, seorang lelaki tak perlu jatuh cinta untuk bisa menyatukan tubuhnya dengan seorang wanita, tetapi bagiku tidak, kecuali malam itu, malam saat aku kehilangan semuanya." Yasmin mendesah. Dia menyelimuti dirinya sendiri, kemudian memeluk guling, mencoba memejamkan mata.***"Kenapa Mas lebih sering di rumah Mbak Herlita? Apakah Mas tidak betah di sini? Aku pengen Mas itu a
Bab 203) Tahu DiriLantaran merasa sangat penasaran, Ismah terus mengiringi sang putri yang melangkah menuju dapur. Lagi-lagi pemandangan miris ia temui. Ruangan yang disebut sebagai dapur itu tak lebih dari ruangan kecil dengan perabotan seadanya. Hanya ada perabotan standar, seperti kompor, panci, wajan, piring, gelas dan lainnya. Sama sekali tidak keliatan mewah seperti dapur orang-orang kaya yang biasa ia lihat di televisi. Bahkan dengan dapur di rumah Hanum pun kalah jauh."Apa yang terjadi, Nak?" Ismah tak sanggup lagi menahan rasa ingin tahunya"Maksud Mama?" Mila menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan memasukkan gula ke dalam gelas. "Tidak terjadi apa-apa kok, Ma. Aku sedang membuatkan minuman untuk kalian." "Bukan itu maksud Mama, Mila. Kenapa keadaanmu jadi seperti ini? Bukankah Sandi itu orang kaya? Dia punya usaha kontraktor...."Mila menghela nafas. Sebenarnya ia pun paham dengan maksud ibunya dari awal. Jika boleh jujur, dia pun malu dikunjungi ibu dan kakaknya dalam
Bab 204) Tahu Diri (2)"Aku bisa apa, Kak? Yang punya kuasa di sini adalah Mas Sandi dan istri pertamanya, bahkan aku nggak punya kekuatan apapun. Pernikahan kami hanya pernikahan siri. Nikah di bawah tangan, nggak ada legalitas hukum." Mila merunduk sedih."Jadi...?" Ismah tercekat menatap putri bungsunya. "Kamu ini dianggap apa sebenarnya? Bukankah kamu adalah istrinya yang juga punya hak atas semua harta Sandi?""Asal Mama tahu, Mas Sandi menikahiku karena Mbak Herlita sudah tidak mau lagi memberikan hak batinnya sebagai suami dan akulah yang mengambil bagian itu. Iya, mungkin istri pertama Mas Sandi berpikir bahwa aku bisa dijadikan alat untuk memuaskan hasrat suaminya, makanya dia mau dimadu. Anggap saja menyewa pelacur, tapi bedanya ini dinikahi. Jadi hubungan kami sah. Kurang lebih begitulah." Wanita muda itu mengangkat bahu. Analisanya ini mungkin saja benar, karena mengingat tidak ada seorangpun wanita yang mau sukarela dimadu, kecuali ada persoalan mendesak yang tidak bisa d
Bab 205) Seperti Inikah Rasanya Dimanfaatkan?Namun Ismah dan Zainab tidak menyerah. Keduanya terus mengiringi Mila sampai ke kamar, meskipun tidak bersuara apapun lantaran tak mau mengusik Alina yang mulai terlelap.Mila membaringkan Alina di tempat tidur, kemudian memutar tubuhnya menghadap dua orang tamu yang tak diundang itu. Dia melewati Ismah dan Zainab, lantas keluar dari kamar menuju ke ruang tamu."Itu tidak semudah yang kalian pikirkan. Kalian pikir setelah aku menjaminkan sertifikat rumah ini ke bank, lalu Mas Sandi dengan sukarela mau membayar cicilannya, begitu?! Apa sih yang ada di otak kalian? Kalian pikir suamiku tidak perhitungan, sehingga mau mengeluarkan uang lebih untuk membayar cicilan di bank?" ujar Mila setengah membentak."Tapi dia mau tidak mau harus membayar. Kalau tidak mau, rumah ini akan disita!" balas Zainab tak mau kalah."Kak, perkara rumah ini disita atau tidak, itu bukan urusan Mas Sandi lagi, karena aku adalah pemilik rumah ini. Mas Sandi memberikan
Bab 206) Mila berubah? "Anak itu tidak bisa diatur. Padahal Mama melakukan semua ini untuk kebaikannya juga. Kenapa ia tak juga mengerti? Apa susahnya sih membujuk Sandi?! Takut amat sama suami." Ismah terus mengomel meski mobil yang mereka tumpangi sudah meluncur di jalanan ramai. "Aku juga tidak mengerti jalan pikirannya, Ma. Aku merasa sejak menikah dengan Sandi, Mila mulai berubah," sahut Zainab menimpali. "Itulah yang sangat Mama sayangkan. Percuma saja menjadi istri muda orang kaya, tapi kehidupannya gitu-gitu aja. Masa iya minta uang 50 juta saja susah banget? Padahal seharusnya bagi orang seperti Sandi, uang 50 juta itu kecil, apalagi dia kan pengusaha...." "Mila sih tidak tegas. Padahal seandainya dia mau, aku rasa Sandi juga tidak akan menolak memberikan hal yang sama seperti yang sudah diberikannya kepada istri pertamanya. Mama masih ingat kan, gimana penampilan istri pertama Sandi saat pernikahan kemarin?" Zainab mengingatkan. Ismah menoleh ke arah putrinya, menatap w
Bab 207) Kita Pasti BisaDorongan keras dari Zainab membuat tubuh Husna oleng, bahkan nyaris terjungkal ke samping. Untung saja wanita itu berpegangan pada sandaran kursi yang ada di teras itu dan kebetulan berada di dekatnya.Pintu terbuka. Ismah dan Zainab bergegas masuk ke dalam dan menutup kasar pintu depan rumah mereka lalu menguncinya."Pokoknya Mama tidak mau tahu. Ketika Hanum dan Fahri pulang dari umroh, Mama harus bicara kepada Hanum. Kita harus sudah punya uang untuk membeli kembali sawah itu. Itu sudah merupakan rencana Mama saat menikahkan Mila dengan Sandi. Kamu tentu sudah tahu, bukan?" Wanita tua itu menghempaskan tubuhnya di sofa. Zainab menyusul duduk di sisinya."Tapi kita tidak bisa memaksa Mila, Ma." Lagi-lagi Zainab mendesah. "Kita pasti bisa. Kamu pikir saja. Mila itu jauh lebih muda dan cantik daripada istri pertama Sandi. Dia pasti akan lebih disayang. Kenapa Mila jadi setakut itu sama Sandi? Heran Mama. Tuh lihat, si Diana. Kamu tahu sendiri kan, gimana Aziz
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny