Pembalasan Anak Laki-lakiku
Part 1
"Jangan cari aku lagi, anggap saja aku tidak pernah hadir dalam hidup kalian," usir Mas Rahman. Wanita yang ada di sampingnya tersenyum sinis dan terus menggamit erat lengan suamiku.
"Apa yang harus aku jelaskan pada anak-anak kita, Mas?" tanyaku mengiba, aku berharap Mas Rahman luluh dan mau pulang bersamaku.
"Apa peduliku, mereka hanya jadi beban dalam hidupku. Jika aku terus hidup bersamamu, aku harus kerja banting tulang untuk makan kalian. Aku capek!" teriak Mas Rahman garang, kini semua orang yang berlalu lalang di terminal melihat ke arah kami. Sebenarnya aku sangat malu jika harus memohon dan mengiba agar Mas Rahman mau pulang. Tapi aku tidak punya pilihan lain lagi, aku butuh dia untuk anak-anakku.
"Tapi siapa lagi yang akan memberikan mereka nafkah jika bukan ayahnya," lirihku pelan. Hancur perasaanku saat mengetahui suamiku menikah lagi, tapi hatiku terlebih sakit saat mengetahui jika dia mengakui pada semua orang yang ada disini jika dia duda tanpa anak. Bagaimana perasaan anak-anak di rumah jika mereka mengetahui ayahnya sendiri tidak mengakui mereka sebagai anak.
"Kan sudah kukatakan dari tadi, anggap saja aku sudah mati. Aku juga tidak butuh kalian lagi, disini aku sudah memiliki anak dan istri." Dia berkata dengan pongah, ku akui dia laki-laki yang tampan. Yang dengan mudahnya menaklukkan hati wanita mana saja yang dia inginkan. Disini dia juga sudah memiliki istri dan satu orang anak laki-laki, anak si perempuan itu.
"Kamu nggak dengar kata suamiku Aini, dia sudah mengusirmu, kamu nggak malu?" tanya perempuan itu dengan sinis, dia tersenyum melihatku mengiba seperti ini. Hilang sudah harga diriku di depan mereka, ini semua aku lakukan semata demi anak-anakku. Mereka butuh sosok ayah, sebagai pelindung, sebagai pahlawan mereka.
"Yang mana suamimu, yang ini? Suami yang hasil rampasan," tanyaku menatap tajam matanya yang penuh dengan riasan makeup.
"Mas …." Dia merengek manja pada Mas Rahman meminta untuk dibela karena aku telah menyindirnya.
"Diam kamu Aini, dia sama sekali tidak merebutku darimu, aku yang dengan suka rela menikahinya, tarik balik kata-katamu tadi," bentak Mas Rahman dengan amarah yang sudah mencapai ubun-ubun.
Dia benar-benar telah dibutakan cinta wanita jalang itu, janda beranak satu, itupun anak dari hasil hubungan gelapnya dengan suami orang. Dan sekarang dia butuh sosok ayah untuk anaknya, hingga dia merebut ayah anak-anakku.
Aku tau semua cerita tentang wanita itu, karena wanita itu adalah gadis yang dulunya mengontrak di rumah mertua. Iya, Ibu dan Ayah Mas Rahman memang mempunyai rumah yang sedikit lebih luas. Jadi ada beberapa kamar kosong yang dijadikan sebagai kamar kontrakan bagi mahasiswa atau orang yang yang masih single. Wanita yang merebut suamiku bernama Maya, dia salah satu yang mengontrak di rumah mertuaku. Dia dulunya kuliah di Universitas di dekat rumah mertua, jadi untuk lebih mudah untuk berangkat ke tempat kuliah dia memilih untuk ngekost di daerah yang dekat dengan kampusnya.
Tapi sayangnya, dia tidak lulus kuliah karena telah di DO oleh pihak kampus. Itu karena dia ketahuan hamil diluar nikah, dan naasnya laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab atas janin yang ada dikandungnya. Beberapa kali kulihat istri dari laki-laki itu kerumah Ibu mertua untuk melabrak Maya. Aku sebagai wanita saat itu juga kasihan melihat Maya di aniaya oleh istri sah pacarnya, tapi aku bisa apa. Karena saat itu aku juga sedang mengandung buah cintaku yang pertama dengan Mas Rahman.
Tidak berapa lama setelah hari penganiayaan itu, akhirnya Maya dijemput oleh keluarganya. Terlihat Ayah dan Ibunya Maya berkali-kali meminta maaf kepada mertua karena kelakuan anaknya yang meresahkan. Hanya saja dulu Mas Rahman sama sekali tidak melirik ataupun tertarik pada Maya. Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu lagi dengannya setelah kejadian itu, entah dimana mereka bertemu kembali.
"Mas, aku mohon. Pulanglah demi anak-anak, aku tidak tau harus menjelaskan apa jika mereka bertanya tentang kamu," ujarku penuh iba, jika memang Mas Rahman tidak mau menerimaku lagi tidak mengapa, tapi jangan anak-anak. Mereka masih butuh kasih sayang seorang ayah, apalagi si bungsu, dia sangat lengket dengan Mas Rahman.
"Apa kamu bilang, pulang demi anak-anak? Kamu tau Aini, aku pergi meninggalkan kalian karena aku tidak sanggup lagi menghidupi anak-anak kamu yang seabrek," maki Mas Rahman lagi dengan tertawa simpul. Seabrek katanya, dulu ketika aku ingin menggunakan kontrasepsi Mas Rahman lah yang paling melarang, karena dia tidak puas katanya, sekarang dia malah menyalahkan aku. Wanita itu tertawa karena melihatku di hina oleh Mas Rahman, dia menang.
Lalu aku pulang dengan air mata berlinang dan tidak bisa berhenti menetes. Aku pulang menaiki bus yang menuju ke kotaku. Kota dimana aku merajut mimpi dan cinta, berjanji berdua akan setia selamanya sampai ke surgaNya. Tidak pernah aku bayangkan sebelumnya aku akan di tinggalkan oleh laki-laki yang telah memberikan aku enam orang anak. Anak-anakku masih kecil, empat orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan.
Sebelumnya keluarga kami termasuk keluarga yang harmonis, walaupun ekonomi kami pas-pasan tapi tidak pernah sekalipun kami mengeluh. Sampai akhirnya Mas Rahman yang bekerja sebagai teknisi dipecat, karena pengurangan karyawan di perusahaan. Saat itulah sikap Mas Rahman menjadi sedikit berubah, dia sangat pusing memikirkan bagaimana caranya agar kami tetap bertahan hidup. Jadi, suatu hari datang teman kantornya Mas Rahman kerumah. Dia bernasib sama dengan suamiku, di PHK oleh perusahaan. Dia mengajak Mas Rahman untuk pergi ke kota untuk mencari pekerjaan, lebih tepatnya membuka usaha sendiri.
Temannya Mas Rahman yang bernama Adi itu menjelaskan jika di kota, besar peluang untuk kita membuka usaha di bidang teknisi. Setelah berbincang-bincang lalu temannya Mas Rahman pamit pulang dan menunggu jawaban dari kami.
"Bagaimana menurutmu, Dek?" tanya Mas Rahman saat aku sedang memasak di dapur untuk makan malam kami sekeluarga.
"Bagaimana apanya, Mas?" Aku malah berbalik tanya, karena sejujurnya aku berat jika harus jauh dari Mas Rahman. Bukan hanya karena akan rindu, tapi juga tidak ada lagi yang membantuku mengurus anak-anak.
"Yang ditawarkan oleh Adi tadi."
"Menurut Mas gimana?" aku menjawab tanpa menoleh kearah Mas Rahman yang sedang menggendong si bungsu. Sedang kakak-kakaknya bermain di ruang keluarga.
"Sebenarnya Mas juga berat jika harus pisah jauh dari kalian, tapi kalau disini Mas nggak tau harus kerja apa. Kamu tau sendiri tabungan kita sudah nggak ada, belum lagi biaya sekolah anak-anak." Wajah Mas Rahman terlihat lesu, aku tahu jika dia sekarang sangat pusing memikirkan darimana harus mendapatkan uang. Sebaiknya memang aku yang harus mengalah.
"Pergilah, Mas. Tapi kamu kan tau jika pergi kesana untuk membuka usaha membutuhkan modal. Sedangkan tabungan kita sudah tidak ada, untuk makan besok saja aku bingung mau masak apa. Untung saja masih ada stok beras,"
"Bagaimana, jika aku menggadaikan sertifikat rumah ini." Usulan dari Mas Rahman mampu membuatku tercengang, bagaimana mungkin menggadaikan rumah ini. Sedangkan ini adalah rumah peninggalan orang tuaku yang sudah tiada, aku tidak rela melepaskan rumah ini jika sewaktu-waktu Mas Rahman tidak mampu membayar.
"Nggak, Mas. Aku nggak setuju, bagaimana jika kamu tidak sanggup untuk membayarnya. Bagaimana jika usaha kamu tidak maju," tanyaku bertubi-tubi.
"Dek, setiap usaha itu ya butuh modal. Dan setiap kita ingin membuka usaha, kita harus siap rugi. Tapi kamu tenang saja, aku akan berusaha semampuku untuk membuat kalian bahagia."
Lama aku terdiam dan tidak ingin melanjutkan pembicaraan ini. Aku melanjutkan aksi memasak agar segera cepat selesai.
"Salma, tolong siapkan piring dan gelas untuk kita makan malam ya," aku sedikit berteriak pada Salma-- anak perempuan tertuaku. Dia anak yang gesit juga pintar, kulitnya juga putih bersih seperti kulitku. Umurnya sekarang sudah dua belas tahun, dia anak kami yang ke empat.
Setelah piringnya di atur oleh Salma, aku segera menaruh nasi pada piring-piring. Kami makan malam bersama, jika biasanya orang-orang makan dalam keheningan, tidak dengan keluarga kami. Anak-anakku selalu ribut dan kadang-kadang yang tua menggoda adiknya.
Aku juga ikut makan dengan kondisi menggendong si kecil Anto, bisa dibayangkan bagaimana nyamannya aku makan. Tapi aku sama sekali tidak merasa sedih, malah aku bahagia bisa mengurus mereka semua dengan kasih sayang.
Setelah siap makan malam, anak-anak langsung aku suruh untuk tidur. Dan aku akan segera membereskan dapur dan piring kotor, sedang Mas Rahman menidurkan si kecil Anto. Dia tidak mau tidur jika bukan dengan ayahnya, sungguh mereka tidak bisa dipisahkan.
"Gimana, Dek?" Tiba-tiba Mas Rahman sudah ada di dapur. Aku yang sedang mencuci piring tidak menjawab dan terus saja kulanjutkan pekerjaan mencuciku.
"Kamu nggak kasian sama anak-anak, mereka butuh biaya untuk melanjutkan cita-cita. Kita butuh biaya untuk membahagiakan mereka, aku janji jika nanti aku sudah sukses disana. Kalian akan kubawa ke kota untuk tinggal bersama." Mas Rahman terus mengiba dengan dalih untuk membahagiakan anak-anak, dia tau aku, jika sudah menyangkut tentang kebahagiaan anak-anak aku akan luluh.
Ku hembuskan perlahan dan mengelap tanganku yang basah, lalu aku membalik-balik membuka manik mata yang mampu membuatku jatuh cinta.
"Baiklah, Mas. Aku setuju, besok pergilah mengurus semuanya," jawabku tersenyum dan membalas pelukan hangat dari suamiku.
"Terima kasih, sayang." Mas Rahman mengecup keningku mesra, dia memang mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali.
Setelah semuanya selesai, hari yang ditunggu pun datang. Hari ini Mas Rahman akan pergi ke kota bersama Adi temannya, aku melepaskan kepergiannya dengan air mata. Jangan tanya anak-anak, mereka histeris menangisi kepergian ayahnya. Maklum, kami tidak pernah jauhan sebelumnya. Aku pikiran pikiran dengan mensugesti diri sendiri jika Mas Rahman pergi menemui kebahagiaan, ternyata benar. Dia memang pergi menikmati kebahagiaannya sendiri, tapi tidak dengan kami.
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 2Setelah berbulan-bulan pergi, Mas Rahman masih mengirimkan uang untuk kami juga untuk membayar tunggakan rumah yang digadaikan. Tapi di bulan kelima, Mas Rahman sudah tidak ada lagi kabar. Aku pun sangat cemas, karena nomornya sudah tidak bisa lagi dihubungi. Aku mencoba menelpon ke temannya Adi, tersambung tapi tidak diangkat.Setelah sebulan berlalu tanpa kabar Mas Rahman, aku mulai kalut. Karena tunggakan rumah belum di bayar, dan uang simpananku sudah menipis. Berkali-kali aku menghubungi tapi tetap tidak bisa. Akhirnya aku memutuskan untuk ke rumahnya Adi, mungkin istrinya Adi tau kenapa mereka tidak bisa dihubungi.Aku menitipkan anak-anakku pada tetangga sebelah yang sudah aku anggap saudara, tapi si kecil Anto tetap aku bawa karena masih ASI.Aku pergi menggunakan ojek untuk sampai ke rumahnya Adi, ketika sampai disana kulihat rumahnya sepi, tapi pintu sampingnya terbuka, berarti ada orang, begitu pikirku.Akupun mengetuk pintu luar, dan bebe
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 3"Astaghfirullah….""Astaghfirullah…."Aku beristighfar berkali-kali dan melempar silet yang kupegang tadi di lantai. Apa yang sudah aku perbuat, tidak, aku tidak boleh lemah. Anak-anak membutuhkanku sekarang, mereka mungkin akan kehilangan kasih sayang ayahnya, tapi mereka tidak boleh kehilangan kasih sayang Ibunya. Aku terduduk dilantai menangisi semua hal yang terjadi padaku, merutuki kebodohanku yang mempercayai Mas Rahman untuk menggadaikan rumah ini. Aku mengusap wajahku dengan kasar, sekarang apa yang harus aku lakukan. Aku pasti tidak sanggup membayar tunggakan rumah ini, dan rumah ini akan disita oleh Bank. Kemana aku harus membawa anak-anakku, mereka masih sangat kecil untuk menderita.Tok Tok Tok"Bu, sudah siap belum. Kami udah lapar ni," teriak Mia-- anak perempuanku yang bungsu. Aku menghapus air mataku dan menetralkan pernafasan, agar dia tidak menyadari jika aku sedang menangis."Hampir siap sayang, tunggu ya. Ibu pakai baju dulu," jaw
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 4Pagi ini kumulai aktifitas seperti biasa, bangun subuh untuk menunaikan kewajiban dua rakaat. Lalu ke dapur untuk memasak dan membersihkan peralatan memasak dan piring kotor semalam. Sebenarnya aku sangat ngantuk dan lelah, beberapa minggu ini tidurku tidak lelap, aku terganggu dengan bayangan Mas Rahman dan wanita itu. Mereka sekarang pasti sedang berbahagia karena sedang menikmati masa pernikahan yang kedua. Maya pasti sedang berc*mbu kasih dengan Mas Rahman suamiku.Aku menangis tergugu sambil mencuci piring, tanganku sampai tidak sanggup lagi menopang piring yang ada di tangan. Hingga piring itu jatuh dan pecah, belingnya berserakan seperti layaknya hatiku kini. Aku bahkan tidak sanggup lagi bangun untuk membersihkan serpihan kaca beling, kuambil jilbab yang kupakai lalu menggumpalnya kedalam mulut, agar suara tangisku tidak terdengar anak-anakku. Mereka boleh kehilangan Ayahnya, tapi mereka tidak boleh melihatku semenderita ini."Ya Allah, Nduk.
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 5Pov AliSemakin erat kamu memeluk, maka semakin sakit yang kamu rasa. Mungkin kata-kata itu sekarang tepat untuk kami, terutama Ibu. Setelah mengetahui semuanya tentang Ayah yang meninggalkan kami demi istri barunya, aku bersumpah, demi Ibu. Aku tidak akan pernah memaafkan Ayah seumur hidupku, dia bagaikan layangan yang sudah putus bagi kami. Tidak ada lagi tempat berlindung dan mengadu, kami yang sudah menggantungkan harapan dan hidup kami padanya, tapi Ayah lebih memilih pergi meninggalkan kami dalam tangis. Aku tidak pernah mengungkapkan apa yang aku rasakan sekarang kecuali pada Salma, adikku. Hanya dia tempat berkeluh kesahku, dulu hingga saat ini.Saat membuka mata aku selalu berharap jika ini hanya mimpi belaka. Seperti pagi ini, aku bangun tidur dan segera ke kamar Ibu dan Ayah untuk mengecek jika semua ini memang mimpi. Tapi belum sampai langkah kaki ini ke kamar Ibu, aku malah mendengar tangisan di dapur. Aku berjalan perlahan, ingin meliha
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 6"Gimana, Aini? Udah ada kabar dari Salma atau Ali?" tanya Uwak saat aku sedang duduk di depan teras menunggu kepulangan kedua anakku. Dengan memangku Anto yang masih kecil, aku menunggu dengan cemas Salam dan Ali.Sudah hampir magrib, tapi mereka belum juga kembali. Ada begitu banyak hal yang mau kutanyakan pada mereka berdua."Belum, Wak. Apa sebaiknya aku nyusul aja ya kesekolah?" aku menanyakan pendapat Uwak, karena sebelumnya tidak pernah Ali maupun Salma pulang terlambat, apalagi jika sampai magrib begini."Boleh, sini biar Anto sama Uwak aja. Kamu cepetan nyusul kesekolah," ujar Uwak sambil mengambil alih Anto dari pangkuanku."Assalamualaikum…."Tiba-tiba saja Ali dan Salma sudah kembali menggunakan sepedanya, aku menghentikan aktivitasku yang sedang mengeluarkan motor."Waalaikumsalam," jawabku lirih."Kalian dari mana saja? Ibu khawatir," tanyaku pada mereka yang sedang memasukkan sepedanya kedalam garasi samping rumah."Tadi pagi kan kami u
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 7"Bu, ini uang yang lebih aku tarik kemarin sama Salma di ATM," ucap Ali sambil menyodorkan beberapa uang berlembaran merah. Aku refleks mengambil uang itu dan menebak jika itu uang yang dimaksud oleh Maya kemarin malam."Jelaskan ini uang apa?" tanyaku, padahal aku sudah tau jika ini adalah uang yang dikirimkan oleh Mas Rahman padaku. Namun aku sengaja menanyakan lagi sama Ali, aku mau ihat seberapa jujur dia."Itu uang yang dikirim sama Ayah ke ATM, Ibu. Sebesar lima juta, tapi waktu aku ke kota kemarin aku mengambilnya dua juta, dan itu uang lebihnya," jelasnya. Alhamdulillah, ternyata anakku jujur."Baiklah, Ali. Jangan ulangi lagi ya, Ibu gak mau kamu dan Salma kenapa-kenapa. Kamu tidak tau sifat asli tante Maya gimana," terangku lagi. Aku hanya khawatir dengan anak-anakku, tidak lebih. Karena aku yakin, Maya akan melakukan semua cara agar bisa membalas semuanya."Bu, dua bulan lagi aku lulus SMA. Jadi aku mau minta ijin, buat ke kota nyari kerja
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 8Pov Maya"Kamu gila atau bodoh sih, Mas? Kamu sadar gak udah ngambil duit aku sebesar lima ratus juta! Lima ratus juta!" teriakku pada Mas Rahman yang sedang menyetir mobil. Saat ini kami sedang dalam perjalanan pulang ke kota, aku pikir hari ini aku akan mendapatkan tontonan gratis. Ternyata aku yang malah jadi tontonan si Aini dan anaknya yang kurang ajar itu."Jadi mau gimana lagi, Sayang. Mereka ngancamnya pakai pisau," elak Mas Rahman dengan wajah lesu. Aku sungguh muak melihat wajahnya seperti ini, dulu sebelum aku bisa merebutnya dari Aini wajahnya yang sangat tampan dan berwibawa. Sekarang entah mengapa, setelah menjadi suamiku seutuhnya wajahnya malah seperti pengemis di jalanan."Kamu kan bisa melawan, setidaknya jangan gegabah. Emangnya kamu bisa ganti uangku lima ratus juta, hah!" makiku kesal. Mas Rahman menggelengkan kepalanya, dasar tidak berguna."Kamu tahu kan? Anakku Yudha lagi butuh uang buat kuliah bulan depan? Gila kamu Mas!" aku
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 9Aku pernah berada dititik terendah dalam hidup, aku menangis dan meraung meratapi nasib. Tapi setelah itu, Allah juga pernah memberikan aku kebahagiaan sehingga aku lupa bagaimana rasanya sedih. Semua orang memiliki masa lalu, tapi tidak semua orang bisa belajar dari itu. Banyak orang yang hilang kendali dalam mencintai, sehingga ketika hati dilukai, hilang sudah hidup yang berarti. Dan pada akhirnya, sakit hati tidak mengajarkan kita untuk berhenti berharap. Namun sakit hati akan mengajarkan kita untuk tidak terlalu menaruh harapan.Karena luka yang paling sakit adalah ketika kamu dilukai oleh seseorang yang kamu kira tidak akan pernah melukaimu.Seperti diriku saat ini yang melihat pantulan diriku di cermin. Wajah kusam ini dulu pernah mulus dan putih, tubuh kurus ini, dulu pernah menjadi dambaan setiap pria. Tidak, aku tidak pernah menyesal menikah dengan Mas Rahman. Bukan karena aku masih mencintainya, melainkan karena aku sudah memiliki mereka y
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 58POV Ali"Yudha, cukup. Yudha hentikan. Kamu bisa membunuhnya," teriak Tante Maya berusaha mencegah Yudha yang sedang memukul Ayah.Yudha sangat membenci Ayah dan Ibunya sendiri. Dia memukuli Ayah tanpa ampun, namun karena kondisi Ayah yang sedang sakit membuatnya tidak bisa membalas pukulan Yudha. Dia terlihat hanya pasrah dengan apapun yang dilakukan oleh Yudha padanya. Sungguh berbeda ketika dia memperlakukan kami dulu.Aku masih sangat ingat bagaimana Ibu bercerita tentang Ayah yang waktu itu mengambil Mia. Malam itu Ayah memukuli Lukman dengan sangat brutal. Seolah dia dan Lukman tidak terikat hubungan darah. Ayah membuat wajah Lukman babak belur dan lebam. Lukman juga tidak bisa bersekolah selama satu Minggu. Karena malu bekas pukulan ayah masih berbekas pada wajahnya.Ayah memang pantas mendapatkan semua ini. Mungkin
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 57POV Ali"Nggak gitu, Yud. Sebenarnya orang yang selama ini menjadi ayah tiri kamu itu Ayahku," ucapku yang membuat tawa Yudha terhenti. Dia menegang, sama seperti jantungku yang seakan berhenti berdetak."Bhahaha … Lo itu kalau ngomong suka ngaco ya. Udah nggak usah buat lelucon yang nggak lucu. Gue udah maafin, Lo kok. Lagian Alea memang pantasnya sama Lo. Bukan sama gue, yang masih pecicilan," balas Yudha yang tertawa terpingkal. Aku sama sekali tidak membalas tawanya itu. Karena aku memang serius, tidak ada kebohongan di dalamnya."Udah deh, Al. Mending Lo pulang aja. Gue emang patah hati, tapi nggak sudi lah Gue dihibur sama orang yang sama. Dah sana pulang," sambung Yudha lagi sambil mengibaskan tangannya. Dia berusaha tersenyum, namun seiring waktu senyumnya memudar. Dai menatapku serius, karena sepertinya dia menyada
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 56Entah sudah berapa lama aku di sini, di depan rumah Yudha. Ketika aku tadi mengejar Yudha dari rumah Alea, ternyata dia sudah naik mobil dan pulang ke rumahnya. Aku mengikutinya dari belakang. Karena aku takut dia malah pergi ke tempat maksiat seperti malam itu. Bagaimana pun aku sudah menganggapnya keluarga. Terlepas siapa Ibunya, tapi aku dan dia sama-sama menjadi korban keegoisan orang tua."Yud, buka pintunya Yud. Aku pengen ngomong," teriakku sambil menggedor-gedor pintu rumah Yudha. Tapi sudah beberapa kali aku mengetuk pintu, tidak ada tanda-tanda dia akan keluar.DddrrttPonselku dari tadi bergetar, namun belum sekalipun aku mengangkat panggilan itu. Namun kali ini aku mencoba melihat siapa yang menghubungiku dari tadi. Ah, ternyata Salma. Dia pasti ingin menanyakan kenapa sampai jam segini aku belum juga datang untuk makan malam bersam
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 55"Sejak kapan, Al?" Pertanyaan itu dilontarkan oleh Yudha ketika beberapa saat hening di antara kami.Tadi ketika aku ingin mengajak Alea untuk langsung berangkat ke rumah untuk makan malam. Tiba-tiba saja Yudha datang ke rumah Alea dengan membawa satu buket bunga. Namun ketika melihatku yang juga berada di dalam rumah Alea. Yudha mendadak diam dan menyembunyikan bunga tersebut di belakang tubuhnya.Aku mengajaknya untuk duduk di taman depan rumah Alea. Bukan tanpa sebab, aku hanya ingin menjelaskan semuanya pada Yudha agar dia tidak salah paham. Aku tidak ingin gara-gara masalah perasaan, hubunganku dengannya akan terputus. Apalagi mengingat hanya dia sahabat yang bisa mengerti keadaanku selama ini."Yud, aku nggak tau harus menjelaskan dari mana. Tapi ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan," ucapku yang membuat Yudha berdecak. Dia te
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 54"Kurang ajar kalian semua. Ingat ya, aku akan membalas semuanya," teriak Maya ketika sudah sampai di depan parkiran mobil. Dia masih saja berteriak seperti orang kesetanan sambil menunjuk-nunjuk ke arah Aini dan anak-anaknya.Beberapa pengunjung yang berada di sana melihat dengan heran ke arah Maya yang penampilannya sekarang seperti orang gila. Bajunya yang hanya berlengan pendek basah semua sehingga menampilkan bahan dalaman yang dia kenakan. Rambutnya sudah awutan dan mengeras karena telur yang dipecahkan oleh Salma. Tidak hanya itu, wajahnya penuh dengan tepung yang dilempari oleh Salma juga."Orang itu kenapa, Mbak? Kok keluar dari sini kayak gitu sih?" tanya salah satu pelanggan yang ada di sana. Mungkin dia merasa heran kenapa Maya keluar dari toko tapi penampilannya seperti orang gila."Ada sedikit masalah tadi, Bu. Mohon maaf jika memb
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 53"Tega sekali kamu mengatakan jika aku hanya supir," gumam Rahman dengan nada kecewa terhadap Maya. Saat ini kamar sudah selesai dibersihkan dan juga sprei sudah diganti oleh staf kebersihan rumah sakit.Rahman pikir Maya sudah berubah dan mau menjenguk serta merawatnya dengan baik. Ternyata Maya bahkan malu jika harus mengakui dirinya sebagai suami. Miris."Aku nggak nyangka ini balasan kamu setelah aku mengorbankan semuanya," ucao Rahman lagi yang membuat Maya terpaksa menoleh ke arahnya. Dari tadi Maya hanya diam dan sibuk berselancar dengan ponsel pintarnya. Tidak memperdulikan bagaimana perasaan Rahman yang kecewa dengan ucapannya tadi. Maya sedikitpun tidak takut jika Rahman akan marah, toh nanti mereka akan baikan lagi."Mas, udah deh. Kamu jangan mempermasalahkan hal yang kecil kayak gini. Kamu itu lagi sakit, mending istirahat," j
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 53"Yud, buka pintunya," teriak Maya sambil menggedor-gedor pintu kamar Yudha. Ini masih jam enam pagi, tapi Maya sudah bangun dan memanggil Yudha yang masih tertidur dengan pulas. Maklum, Yudha baru sampai ke rumah jam 2.30 dini hari."Yudha … kamu dengar nggak sih. Bangun dulu, nanti kamu tidur lagi juga nggak papa," teriak Maya lagi sambil terus menggedor pintu kamar. Namun sepertinya tidak ada jawaban atau harapan jika Yudha akan membukanya. Maya putus asa dan langsung kembali turun ke lantai bawah. Percuma membangunkan Yudha, jika dia sudah tidur maka tidak ada yang bisa membangunkan dia. Bahkan gempa bumi sekalipun."Tidur persis Ayahnya, bahkan kalau ada bom meledak sekalipun dia tidak akan bangun," gerutu Maya seraya turun menuruni tangga. Hampir saja dia terpeleset saat kakinya menginjak tangga yang sedikit basah."Rahman lag
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 52"Kamu beneran mau pulang, Yud? Nggak mau temani Ayah semalam saja?" tanya Rahman dengan suara parau pada Yudha. Saat ini keadaan Rahman sudah agak membaik setelah dokter sudah menyuntikkan obat anti nyeri. Setelah dokter dan dua perawat tadi keluar, Yudha dan Ali juga berencana akan segera pulang. Apalagi mengingat besok mereka ada acara penting lainnya."Heh, nggak usah sok akrab deh Lo. Ayah Ayah! Gue bukan anak Lo, nggak sudi tau nggak!" sungut Yudha kesal. Dia menatap Rahman dengan tatapan sinis dan mengejek. Yudha sangat marah ketika Rahman menyebut dirinya sendiri sebagai Ayah. Karena menurut Yudha, Rahman sama sekali tidak pantas disebut sebagai laki-laki yang bergelar Ayah. Tidak pantas."Tapi, Yud. Setidaknya sampai Mamamu datang," ucap Rahman lagi mengiba. Dia sangat takut sendirian, dan Ali mengetahui itu. Karena setiap kali Rahman mengalami sakit di bag
Pembalasan Anak Laki-lakikuPart 51POV Ali"Al, Lo di sini bentar ya. Gue mau nelpon nyokap gue dulu. Kesel gue lama-lama," ucap Yudha sambil mengeluarkan ponselnya dari saku celana.Aku mengangguk mengiyakan, setelah itu Yudha langsung keluar dari ruangan empat kali tiga meter ini. Ayah sudah ada di ruangan pasien, dia yang meminta sendiri untuk dimasukkan ke dalam ruangan VIP. Karena katanya dia tidak sanggup berdempetan dengan pasien lainnya. Aku dan Yudha hanya mengangguk mengiyakan, karena Yudha mengatakan jika ada mamanya yang akan membayar.Ternyata sakit ini tidak membuat Ayah sadar. Dia masih saja banyak permintaan dan keluhan, padahal dia melihat sendiri bagaimana wanita itu membiarkan dia tergeletak lemas di lantai. Aku memilih duduk di sofa yang berada di dekat pintu. Padahal ini sudah tengah malam, seharusnya aku sudah berada di tempat tidur dan istirahat.&n