Prang! Melinda dan Cakra terlonjak seketika saat mendengar suara benda pecah dari arah ruang tamu. Seketika atmosfer berubah tegang. Ada rasa cemas dan gelisah di hati mereka. Walau bagaimana pun entah itu Cakra atau Melinda keduanya sama-sama belum siap bila Danita tahu terlalu dini. Apalagi kata-kata yang keluar dari mulut Cakra barusan bisa dibilang sangat kejam. Melinda yang hanya mendengar saja bisa merasakan sakitnya. "Mas ...." Dengan wajah panik Melinda menarik tangan Cakra. "Tenang, Mel. Aku bisa memastikan kalau Danita masih ada di atas. Dia nggak mungkin ada di sini, soalnya Arka lagi rewel." Sebisa mungkin Cakra berusaha terlihat biasa untuk menenangkan Melinda walaupun dalam hati Cakra ketakutan itu ada. Mengingat Danita sedang dalam keadaan hamil saat ini. Meskipun dia memiliki keinginan kuat untuk menceraikan istrinya, tapi rasa empati yang tinggi masih tertinggal di jauh di dasar hatinya. "Tunggu di sini, biar aku periksa," pintanya kemudian. Melinda mengangguk an
"Apa? Danita pendarahan!"Melinda langsung bangkit dari posisi berbaring saat Cakra menjawab telepon dengan suara keras dan nada panik yang tak bisa disembunyikan. Dini yang sedang mengaduk bubur pun menghentikan kegiatannya sejenak."Oke, saya ke sana sekarang juga." Sesaat setelah mematikan sambungan telepon, Cakra kembali ke harapan Melinda. "Mbak Danita kenapa, Mas?" tanyanya setelah lelaki itu kembali."Dia pendarahan, katanya baru mau dijemput ambulans. Kamu ke dokter bareng Dini aja, ya. Nanti aku nyusul." Dengan panik Cakra kembali memakai jaketnya. Setelah itu berlari dia berlalu dari unit Melinda.***David mengerjapkan mata beberapa kali saat melihat siapa yang ada di hadapannya saat ini. "Lah, ternyata kakak iparnya Meli. Berarti ini.... ""Ya, dia istri saya. Nanti aja tanya-tanyanya. Tolong jaga anak saya sebentar," potong Cakra cepat sembari membantu petugas menaikkan Danita ke dalam mobil ambulans. David mengernyit dahi sejenak, lalu beralih pada Arka yang sejak ta
"Perdarahan saat hamil tua disebabkan kondisi plasenta previa, yaitu keadaan di mana plasenta (ari-ari) menutupi seluruh atau sebagian mulut rahim. Biasanya perdarahan terjadi akibat regangan dan pecahnya pembuluh darah plasenta, sebagai akibat penipisan dan pembukaan mulut rahim menjelang masa persalinan. Ada beberapa faktor yang menyebab pendarahan. Salah satunya dipicu oleh stres yang menimpa ibu hamil. Dalam kasus istri bapak saya lihat juga kondisi kandungannya lemah dan kurang asupan gizi. Mohon kerja samanya, ya, Pak. Di situasi seperti ini yang paling penting adalah dorongan semangat dari orang terdekat, khususnya suami. Agar tak perlu ada tindakan operasi yang menyebabkan bayi terpaksa lahir secara prematur."Di samping brankar Danita, Cakra termangu dengan kepala tertunduk. Merenungi ucapan dokter tentang kondisi Danita dan bayinya saat ini. Hatinya seperti tergerak, rasa sesak dan bimbang timbul bersamaan. Dia benar-benar tak mengerti, kenapa jadi sepeti ini? Seharusnya d
Sirine ambulans terdengar di pelataran rumah sakit. Para petugas terlihat menurunkan seorang perempuan berwajah pucat lalu mendorong brankarnya menuju ruang IGD. Terlihat pula David dan Dini yang mengantar sampai depan ruangan gawat darurat tersebut. "Kok bisa begini, sih, Ndut? Gue kira dari tadi Meli udah dibawa ke rumah sakit," sentak David sesaat setelah mereka duduk di ruang tunggu. "Gue juga nggak tahu, Bang. Habis dari tadi dia ngeyel nggak perlu ke dokter. Katanya cuma demam biasa. Padahal mukanya pucet banget, mana muntah-muntah mulu.""Udah kasih tahu Abang iparnya?"Dini menggeleng. "Dia udah wanti-wanti, kalau ada apa-apa jangan hubungin Bang Cakra katanya, biar dia bisa fokus sama Mbak Dani dulu."David tertegun. "Bener juga, sih. Lagian tuh laki kayaknya masih dilema sama perasaannya sendiri.""Gimana?" Dini menatapnya dengan dahi berkerut. David lekas menggeleng. Beberapa saat kemudian dokter keluar dari ruangan Melinda. Dia melirik David dan Dini sejenak, lalu b
Cukup lama keheningan panjang memenuhi ruangan. Keterkejutan luar biasa yang ditunjukkan wajah lelaki tampan dengan almamater kedokteran itu tak urung merenda, kala David sengaja menyulut emosinya makin berkobar. "Saat ini Danita sedang dirawat akibat pendarahan pada kehamilan keduanya. Liat, Bang. Perempuan itu aja berhasil move on. Masa lo gini-gini aja. Penyesalan nggak akan mengubah apa pun. Kalau lo terus sembunyi kayak pengecut, selamanya dia bakal mengingat lo sebagai lelaki nggak bertanggung jawab dan paling br*ngsek di duni--" "Diam, David!" Candra mulai habis kesabaran. Dibentak seperti itu David bukannya mundur dia malah semakin tertantang. "Belum lagi kalau Bang Cakra tahu yang sebenarnya. Hubungan kalian yang udah buruk pasti bakal makin buru--""Keluar! Keluar lo sialan!"David akhirnya menyerah. Dia tersenyum kecil sebelum berlalu dari pandangan Candra. Suara pintu yang dibanding keras terdengar. Candra merobohkan diri di atas kursi kebesarannya. Rasa ingin teriak
Suara derap langkah terdengar pelan memasuki ruangan rawat dengan nama dalam brankar yang bertulis 'Ny. Melisa Anandia'Lelaki jangkung dengan jas kedokteran dan stetoskop yang melingkar di lehernya itu berhenti tepat di samping perempuan yang terbaring dalam keadaan terlelap. Lekat dia amati wajah jelita yang terlihat sedikit pucat di hadapannya. Satu-satunya perempuan yang membuat dia tertarik setelah tiga tahun menghabiskan waktu dalam penjara penyesalan. Tak menyangka takdir bisa mempermainkan hidup mereka sampai seperti ini. Ternyata perempuan yang selama ini dia anggap memiliki banyak kesamaan dengan dirinya ini adalah adik kandung dari seseorang yang tiga tahun lalu dia campakkan. Seperti dejavu, kejadian itu kembali terulang. Dia ada dalam situasi yang sama, tapi kondisi yang berbeda. Bisa dibilang, perempuan ini datang di waktu yang tepat, tapi dalam keadaan yang salah. Tangan besar itu terulur menyibak selimut yang menutupi setengah tubuh pasiennya. Kemudian meletakkan
"Dia anakku, kan?"Gerakan David yang baru saja hendak memutar hendel pintu terhenti. "Iya."Deg!"Kalau begitu, mari kita menikah!"Tangan besar itu mengepal seketika. Tubuhnya mundur selangkah dengan rahang yang sudah mengeras dan wajah merah padam. Emosi yang baru saja teredam kembali muncul ke permukaan. Panas yang menjalari kepala sampai ke ubun-ubunnya bukan hanya karena perempuan yang dia suka baru saja dilamar kakak tirinya, tapi juga fakta bahwa anak yang dikandung Melinda adalah benih Candra."Bang! Ada apa?" Dini yang baru saja datang dibuat keheranan karena melihat David hanya berdiri mematung di depan ruangan. "Udah samperin Melinya?"Lelaki itu hanya menoleh sekilas, lalu pergi begitu saja tanpa menjawab. "Kenapa, sih tuh orang?" Dini menggerutu. Kemudian mengedikkan bahu. Memilih mengabaika David, dia mengulurkan tangan hendak membuka pintu, tapi seseorang sudah mendahului dari dalam.Bola mata perempuan itu melebar saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya seka
"Ceritain semua tentang Melinda, selain nama aslinya yang adalah Melisa."Dini mengernyitkan dahinya saat Melihat David datang tiba-tiba menemuinya yang baru saja keluar dari ruangan Melinda dan langsung menyeretnya menuju taman. "Anjir mulut lu bau naga, Bang. Habis mabok, ya? Gue yakin bukan semprit yang sekarang mah." Dini menutup hidungnya saat Cakra berbicara tepat di depan wajahnya. "Iya. Gue baru pulang dari club langsung ke sini," jawab David santai, sembari menuntun Dini untuk duduk di kursi taman bersamanya. "Edan emang lu, ye," sungut Dini kesal. "Emang iye. Dari kemarin gue dah kayak orang gila, Ndut. Sakit banget nih kepala. Gue butuh pencerahan sebelum hajar tuh orang," aku David sembari menggaruk rambutnya yang sudah semrawut. Mata Dini langsung melebar mendengarnya. "Minta pencerahan kok mau hajar orang? Sinting juga ada levelnya kali, Bang. Lu mah udah over dosis," ledek Dini sambil melet. "Dahlah. Nggak usah banyak cing-cong, Ndut. Langsung ceritain aja sama g
Acara Baby Shower perayaan tujuh bulanan Melisa dilaksanakan di sebuah vila milik keluarga yang ada di pusat kota. Semua anggota keluarga dan kerabat dekat hadir tanpa terkecuali, bahkan para pasien dekat Meli. Konsep acara out door. Di luar ruangan dengan nuansa biru dan merah muda khas perayaan menyambut anggota keluarga baru. Pak Indra dan Bu Nara bahkan ikut menghadiri. Kebetulan hubungan mereka dan Bu Nina sudah membaik sejak tragedi empat tahun lalu. Kini semuanya berkumpul dan mempererat hubungan sebagai teman dan kerabat dekat, tanpa mengungkit masa lalu yang sudah berlalu. Tiga bersaudara, Candra, Cakra, dan David duduk sejajar di kursi paling depan. Menatap Melisa yang baru saja keluar dituntun oma dan Danita.Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun gradasi warna soft pink, biru, juga tosca. Bandana bunga yang menghiasi kepala menambah manis penampilannya. “Semenjak hamil aura si Meli makin aur-auran, ya? Pantas aja lu makin lengket, Bang!” David menyikut leng
Dalamnya laut masih bisa diukur, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Sama halnya dengan luas samudera yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya hati seseorang yang dengan mudah memaafkan, meskipun sudah disakiti teramat dalam.Empat tahun telah berlalu sejak hari itu. Sejak Candra dan Danita pergi dengan membawa serta kenangan masa lalu mereka. Keduanya sama-sama belajar dari kesalahan, dan bangkit menjadi seseorang dengan pribadi dan identitas yang baru. 2021, tahun di mana kakak beradik yang sempat terlibat konflik kembali bersatu. Merajut tali kasih yang nyaris rapuh, menata kembali hubungan yang nyaris tak terselamatkan.Waktu selalu punya cara untuk menentukan akhir yang tak terduga. Jodoh pasti bertemu, dan jodoh pasti bersatu. Tak akan ada yang bisa mengusik itu. ***Perempuan dalam balutan gaun putih selutut itu duduk di tepi ranjang. Membaca ulang lembar demi lembar surat yang Danita tinggalkan sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar negeri empat tahun si
Cakra tertegun menatap Melisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan gaun sepekat malam. Rambut cokelat keemasannya terurai panjang menyentuh punggung, wajah cantik itu dibubuhi make up tipis nan manis, hingga tak menutup kecantikan alami yang terpancar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bibir ranjang. Cakra berdiri. Menyambut sang permaisuri yang akan menemaninya terjaga malam ini. Cahaya yang temaram dan lilin aroma terapi menambah syahdu suasana di dalam ruang kamar itu. Melisa mengangkat kepala. Menatap lelaki yang sudah lebih dari tiga tahun dia nanti. Kekasih hati yang mengantarkan sampai di titik ini. Cakra mengulurkan tangan, kemudian menangkup kedua sisi wajah Melisa. Dikecupnya lama kening perempuan itu, lalu turun ke pucuk hidung, dan berakhir memangut bibirnya. Malam semakin larut, keduanya pun kian terhanyut. Perbuatan terlarang yang kala itu hampir mereka lakukan, sekarang sudah sah untuk ditunaikan.Dal
Beberapa kali Melisa mengucek matanya saat menatap nisan di hadapan. Namun, nama itu tak berubah meski beberapa kali dia berusaha memastikan. Dua nisan yang sebelumnya tertera Danita dan Cakra kini berubah menjadi Faizah dan Danu!Sejak kapan nama di nisan ini berubah? Melisa bangkit dengan kebingungan luar biasa. Dia berlarian di sekitar pemakaman demi menemukan jawaban akan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Akhirnya dia menemukan seorang penjaga makam. Lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pos penjaga."Pak, maaf mau tanya. Makam pasangan suami istri korban Elang Air kurang lebih dua bulan lalu kapan diganti, ya?"Lelaki tua berseragam itu mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah seminggu lalu. Katanya pihak medis salah mengidentifikasi." Deg! "Bapak yakin?""Yakin, Mbak. Orang saya juga ikut menguburkan. Kalau ndak salah namanya Bu Faizah dan Pak Danu, kan?"Melisa benar-benar hampir kehilangan kata. Kepalanya mendadak pusing dan berdenyut nyeri. "Kok, bisa, ya?""Saya jug
Terjebak masa lalu mungkin adalah hal yang paling ditakuti beberapa individu. Terpaku pada satu kejadian yang membuat seseorang tak mampu melangkah maju, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Tak peduli berapa tahun telah terlewati, dunianya hanya berputar di satu waktu. Itulah yang sedang Melisa alami. Genggaman tangan Cakra yang dia lepaskan tiga tahun lalu, tak urung membuatnya jemu. Tiga tahun dia menderita dalam kubangan pilu, tersiksa rindu menggebu, dan mengharapkan sebuah temu di antara kukungan sang waktu. Sebenarnya Melisa benci menyaksikan Cakra mulai berdamai dengan keadaan dan melupakan masa lalu. Karena pada kenyataannya, dia masih terjaga di sini, mengharap suatu saat lelaki itu kembali.Namun, saat takdir merencanakan sebuah temu. Kehadiran yang tak diinginkan malah membuat hatinya terasa semakin ngilu. "Aku memang mengharapkanmu kembali, Mas, selalu, sepanjang waktu, sampai tak terasa tiga tahun berlalu. Tapi bukan begini caranya," lirih kalimat itu terlontar
"Karena tak kunjung ada kemajuan untuk melahirkan normal juga alasan penyakit ginjal yang diderita istri Bapak, kami sarankan untuk melakukan tindakan operasi sesar. Silakan tanda tangan di sini, Pak!"Candra dibuat kelimpungan saat mengetahui proses persalinan Danita tak berjalan lancar. Apalagi di tengah-tengah dia tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dalam resah dan gelisah lelaki itu hanya bisa termangu sendirian. Saat ini Candra bahkan tak bisa menghubungi ibunya atau Melisa mengingat kesalahan fatal yang sudah Danita buat dua bulan ke belakang. Rasa sesak dan pilu berkecamuk menjadi satu. Tak menyangka dia nasib perempuan yang dicinta sedemikian malangnya. Seandainya waktu bisa diputar. Sebagai manusia Candra hanya bisa berharap. Semoga pendosa seperti dia dan Danita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, lalu bahagia. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Candra memutuskan. "Lakukan, Dok. Dan tolong selamatkan istri dan anak yang sangat saya cintai."***Candra m
Dua bulan lalu ...."Aku nggak peduli. Aku benar-benar nggak peduli tentang masa lalumu. Apa pun yang sudah terjadi. Sama sekali nggak akan mengubah keputusanku untuk menikahimu." Candra merendahkan tubuhnya. Lalu mengecup lama kening Melisa. Sebelum mendekapnya. (ket : read bab 'Guncangan')Dari sudut mata Candra memang sudah menyadari kehadiran Cakra. Namun, dia sengaja mendekap tubuh Melisa lebih lama dan membuat saudara kembarnya semakin terbakar api cemburu yang membara sebelum pergi meninggalkan mereka.Setelah memastikan Melisa terlelap bersama rasa sakitnya, barulah Candra beranjak untuk mengejar Cakra yang dia rasa belum pergi terlalu jauh dari ruang rawat Melisa. Dan benar saja, dia menemukan saudaranya itu masih duduk termangu di ruang tunggu yang sepi dalam koridor lantai VIP. Bersama ransel besar yang dia letakkan di sampingnya. Perlahan Candra mendaratkan bokong di samping Cakra yang belum menyadari kehadiranya, karena wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak ta
Setelah sepuluh hari tim sar bersama gabungan angkatan udara dan laut dikerahkan untuk melakukan pencarian korban puing-puing pesawat Elang Air di perairan Seratus. Media memberitakan bahwa tak ada satu pun korban selamat dalam tragedi nahas tersebut. Sejauh ini sudah sembilan puluh delapan mayat berhasil diidentifikasi, salah duanya adalah Cakra dan Danita. Penantian penuh harap seorang ibu dalam sepuluh hari terakhir berbuntut duka, kala sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah Bu Nina. Membawa serta jasad anak dan menantunya yang sudah tak bernyawa. Tak ada yang menyangka, perpisahan mereka hari itu adalah yang terakhir kalinya. Bu Nina benar-benar menyesal, karena saat berpamitan dia bahkan tidak sudi menatap wajah putranya, karena menyayangkan keputusan Cakra yang lebih memilih pergi daripada menceraikan Danita. Dengan berat hati Bu Nina melepas Cakra dan Danita pergi, asal keduanya bersedia meninggalkan bayi yang baru dilahirkan Danita untuk dirawat Bu Nina bersama
Malam merangkak menenggelamkan petang yang perlahan mengilang. Di atas pembaringan berhias bunga mawar, Melisa duduk termangu. Menatap ponsel di genggaman tangan. Potret-potret sanak-saudara dan orang-orang tersayang ada di dalamnya. Tersenyum lebar mengiringi kebahagiaan kedua mempelai. Hanya Cakra dan Danita yang tak ada. Setelah mendengar kabar bahwa kakak tirinya itu sudah melahirkan, Melisa juga tak sempat menjenguknya karena sibuk dengan rencana pernikahan. Tadi pagi dia juga baru diberi kabar kalau hari ini mereka akan melakukan penerbangan menuju Eropa. Tanpa pamit atau ucapan selamat tinggal. Memang tak guna menangisi kepergian kedua orang yang sudah menorehkan noda hitam di hati bersihnya. Kepercayaan yang sudah kandas bersama kekecewaan yang terpaksa ditelan tetap saja meninggalkan kenangan menyakitkan yang tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Tugasnya sekarang hanya menjalani hidup yang tersisa. Membahagiakan lelaki yang sudah menyandang status sebagai suaminya. Dan men