Satu bulan sebelum kejadian ...."Hari ini Mbak jadi berangkat dinas ke luar kota bareng Pak Cakra?" Perempuan yang tengah mengemasi barang ke dalam koper sedang berwarna biru itu, menoleh saat melihat Melisa berdiri di ambang pintu kamar, dan berakhir duduk di bibir ranjang tepat di sampingnya."Iya. Nggak lama, kok cuma 3-4 hari," sahutnya."Jadi, sekretaris Pak Cakra enak, ya. Sering jalan-jalan keluar kota bahkan luar pulau. Dia, kan manager berasa direktur. Apalagi orangnya humble banget, pasti betah walaupun cape seharian kerja." Tersemat nada iri dari tiap kata yang keluar dari mulut Melisa. Bukan tanpa sebab, mengingat dia yang notabennya kekasih Cakra saja tak sering menghabiskan waktu berdua, dibanding Danita yang hampir sepuluh jam bersama di setiap harinya. Danita tertegun menatap perempuan berambut lurus panjang dengan setelan piama merah. Dia menyadari kecemburuan yang tak bisa disembunyikan Melisa darinya. Namun, dibanding Melisa, Danita justru merasa jauh lebih iri. D
Sekitar pukul tiga dini hari Cakra dan Danita tiba di Kota P. Mereka langsung check in di hotel yang sudah lebih dulu di-bocking dan istirahat beberapa jam sana sebelum bangun dan memulai aktivitas di pagi hari. Meeting, makan siang, kerja lapangan, dan kembali ke hotel menjelang malam. Pekerjaan mereka berjalan lancar sampai tiga hari berlalu. Rutinitas yang sama, sampai waktu tak terasa. Besoknya mereka sudah harus kembali ke ibukota. Setelah jalan-jalan sebentar dan membeli oleh-oleh untuk sanak-saudara. Di kamar hotelnya, Danita terlihat sedang mengemasi barangnya untuk persiapan pulang pagi harinya. Sejenak perempuan itu melirik jam yang terpajang di dinding. Jam tersebut menunjukkan pukul 20.31. Lalu berjalan menuju patry. Menuangkan minuman dengan kadar alkohol tinggi yang dicampur dengan minuman bersoda ke dalam dua botol. Sebuah pil dimasukkan dalam salah satu botol yang sudah dia beri tanda. Perempuan itu merenung sejenak. Merogoh ponselnya, lalu masuk ke fitur galeri. Di
"Dia anak kita. Kita melakukannya tiga tahun lalu. Di belakang mereka, saat perjalanan bisnis keluar kota. Mungkin kamu lupa, tapi aku masih sangat mengingatnya! Kamu pikir cinta jadi satu-satu alasan kenapa aku bersedia menikah denganmu, hah! Nggak, Mas. Semua ini aku lakukan juga demi Arka.""Apa?" Mata Cakra membelalak tak percaya. Dia mengguncang keras bahu istrinya. "Jadi, malam itu bukan mimpi? Kamu menjebakku, Danita!" teriak Cakra murka. "Ya, aku memang menjebakmu, tapi kamu juga menikmatinya!" balas Danita. "Tutup mulutmu!""Brengsek. Obrolan sialan macam apa ini?" Candra bangkit dari posisi tersungkur. Dia menyeka darah segar yang keluar dari sudut bibirnya. "Kalian benar-benar menjijikkan," cibirnya sarkastis. Emosi Cakra kembali tersulut karena cibiran saudara kembarnya. "Sebenarnya masalah ini sederhana. Cuma tentang cinta dan obsesi. Tapi, kamu membuatnya rumit Danita. Tak pernah aku menemukan wanita selicik ini. Benar-benar ular.""Nggak usah menghakimi, Candra. Lo j
"Tahu, nggak? Tadi di lantai enam katanya ada konflik rumah tangga.""Iya. Cowoknya kembar, terus katanya yang cewek juga adik-kakak. Gue denger dari OG yang baru naik tadi.""Parah, sih. Teriakannya kedengeran sampe lantai delapan. Mana salah satunya lagi hamil lagi. Kayaknya ada yang ketahuan selingkuh, deh. Entah yang mana. Padahal orang kembar apa bedanya, ya?""Beda rasa kali.""Haha. Bisa jadi."Di dalam lift, David dan Dini berpandangan. Hanya dengan saling melempar tatapan mereka sudah bisa menyimpulkan.Keduanya baru saja pulang dari pameran cosplay yang diadakan di salah satu mall. David yang menyarankan, untuk sekadar mencari kesenangan dan sedikit melupakan kenyataan, mengingat kebebasannya mulai terkikis perlahan. Sebelum Pak Indra memintanya untuk segera kembali bekerja pekan depan. Mereka tak menyangka bila keputusan untuk pergi ke pameran membuat keduanya ketinggalan momen penting seperti ini. "Ada yang telepon nggak, Bang?" seru Dini. David menggeleng. "Nggak ada. K
Langit meredup. Awan pekat menggumpal dengan kilatan petir yang menyambar. Menyembunyikan sinar sang surya di balik kekelamannya. Sore hari ini terlihat begitu suram, sesuram wajah-wajah orang yang termangu di ruang ICU. Vonis dokter sudah dijatuhkan. Dengan berat hati perempuan cantik berambut cokelat keemasan itu harus kehilangan calon jabang bayi yang bahkan belum genap berusia sepuluh pekan. Masih sangat muda. Sang Pemilik Kehidupan seolah sengaja mengambilnya lebih dini sebelum sempat meniupkan roh di dalamnya. Hingga pedihnya kehilangan tak terlalu kentara mereka rasakan. Tubuh Melisa meringkuk di atas brankar dengan posisi menyamping. Menatap lurus rintik hujan yang baru saja turun, di balik kaca ruangan VIP. Dia telah kehilangan kemampuan untuk mengeluarkan air mata bahkan hanya sekadar menangisi calon jabang bayinya. Sudah tiga jam sejak dinyatakan keguguran. Bibir Melisa terbungkam. Tak ada yang keluar meski hanya sekadar ratapan keputusasaan.Candra yang baru saja kemba
Langkah lebar itu berayun cepat di lantai delapan Destiny Regency. Derapnya berat mengiringi luapan emosi yang ditunjukkan wajah tegas itu menuju unit apartemennya.Setengah membanting pintu dia melewati perempuan yang termangu di atas sofa dengan ekspresi yang entah. Melihat sang suami baru tiba, setelah berjam-jam penantiannya. Perempuan itu lantas bangkit dan memburunya. "Kamu mau ke mana, Mas!" sentak Danita saat melihat Cakra menurunkan koper dan mengemasi barangnya. " .... " Tak ada jawaban. Dalam lamunan, tidak ada yang Cakra pikirkan selain segera angkat kaki dari tempat ini. "Mas Cakra!" jerit Danita habis kesabaran. Dia melempar semua pakaian yang sudah Cakra tata ke dalam koper hingga tercecer di lantai. "Mau ke mana kamu, hah?"Cakra tetap bungkam. Dia memunguti pakaiannya dan memasukkan kembali ke dalam koper. "Jawab aku!" Kali ini Danita mengguncang tubuh Cakra. "Jangan menguji kesabaranku, Danita. Kita butuh waktu memikirkan solusi dari semua ini," desah Cakra de
Penghujung bulan November, menandakan berakhirnya musim penghujan. Daun-daun mulai berguguran, angin bertiup lebih kencang, serta terik Matahari yang terasa lebih menyengat dari biasanya. Tak terasa dua bulan telah berlalu sejak hari itu. Begitu banyak yang terjadi di apartemen elite Destiny Regency. Setelah berbagai pertimbangan selama dua bulan, Melisa memutuskan untuk pergi dari kota ini dan memulai hidup barunya bersama Candra di kota lain. Meninggalkan segala kenangan yang pernah tercipta. Entah menyenangkan maupun menyakitkan. Candra berhasil meyakinkannya bahwa hidup itu berjalan. Apa yang sudah terjadi jadikanlah pelajaran di masa mendatang. Memang tak mudah membangun kepercayaan setelah carut-marutnya kehidupan sempat Melisa rasakan. Namun, dia cukup percaya pada dokter muda itu beserta komitmen yang dibangunnya.Perempuan bertubuh tinggi semampai itu berdiri di depan meja rias. Menatap album foto keluarga yang diambil sebelum kepergian ayah dan ibunya belasan tahun silam.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Candra sekali lagi saat melihat Melisa seolah enggan mengalihkan pandangannya dari gedung apartemen Destiny Regency. Padahal mereka sudah berada dalam mobil dan bersiap pergi.Ada yang mengganjal di hati Melisa. Seakan menahannya untuk pergi. Terlalu banyak kenangan yang sudah tercipta di sini. Pahit manisnya tetap bisa dia nikmati. "Tunggu sebentar, ya, Mas!" Melisa melepas kembali seatbelt-nya. Dia keluar dari dalam mobil dan berjalan cepat menuju lift. Melewati lantai satu sampai tujuh, dan berhenti di lantai delapan. Suara langkah kaki berhias pantofel dengan tumit tiga senti itu menuju unit bernomor delapan puluh. Sudah lama sejak terakhir kali dia menginjakkan kaki di sini. Bel berbunyi. Perlu waktu sekitar lima menit menunggu sampai pintu terbuka di hadapan Melisa. Sepasang mata bulat nan tajam menyambutnya. Tubuh kurus dengan perut yang kian membuncit itu terlihat lebih mengkhawatirkan dari terakhir kali. Rambut yang semrawut dan penampilan
Acara Baby Shower perayaan tujuh bulanan Melisa dilaksanakan di sebuah vila milik keluarga yang ada di pusat kota. Semua anggota keluarga dan kerabat dekat hadir tanpa terkecuali, bahkan para pasien dekat Meli. Konsep acara out door. Di luar ruangan dengan nuansa biru dan merah muda khas perayaan menyambut anggota keluarga baru. Pak Indra dan Bu Nara bahkan ikut menghadiri. Kebetulan hubungan mereka dan Bu Nina sudah membaik sejak tragedi empat tahun lalu. Kini semuanya berkumpul dan mempererat hubungan sebagai teman dan kerabat dekat, tanpa mengungkit masa lalu yang sudah berlalu. Tiga bersaudara, Candra, Cakra, dan David duduk sejajar di kursi paling depan. Menatap Melisa yang baru saja keluar dituntun oma dan Danita.Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan gaun gradasi warna soft pink, biru, juga tosca. Bandana bunga yang menghiasi kepala menambah manis penampilannya. “Semenjak hamil aura si Meli makin aur-auran, ya? Pantas aja lu makin lengket, Bang!” David menyikut leng
Dalamnya laut masih bisa diukur, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Sama halnya dengan luas samudera yang tak bisa dibandingkan dengan luasnya hati seseorang yang dengan mudah memaafkan, meskipun sudah disakiti teramat dalam.Empat tahun telah berlalu sejak hari itu. Sejak Candra dan Danita pergi dengan membawa serta kenangan masa lalu mereka. Keduanya sama-sama belajar dari kesalahan, dan bangkit menjadi seseorang dengan pribadi dan identitas yang baru. 2021, tahun di mana kakak beradik yang sempat terlibat konflik kembali bersatu. Merajut tali kasih yang nyaris rapuh, menata kembali hubungan yang nyaris tak terselamatkan.Waktu selalu punya cara untuk menentukan akhir yang tak terduga. Jodoh pasti bertemu, dan jodoh pasti bersatu. Tak akan ada yang bisa mengusik itu. ***Perempuan dalam balutan gaun putih selutut itu duduk di tepi ranjang. Membaca ulang lembar demi lembar surat yang Danita tinggalkan sebelum dia memutuskan untuk hijrah ke luar negeri empat tahun si
Cakra tertegun menatap Melisa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan gaun sepekat malam. Rambut cokelat keemasannya terurai panjang menyentuh punggung, wajah cantik itu dibubuhi make up tipis nan manis, hingga tak menutup kecantikan alami yang terpancar dari dalam. Kaki jenjangnya melangkah perlahan menghampiri suaminya yang sudah menunggu di bibir ranjang. Cakra berdiri. Menyambut sang permaisuri yang akan menemaninya terjaga malam ini. Cahaya yang temaram dan lilin aroma terapi menambah syahdu suasana di dalam ruang kamar itu. Melisa mengangkat kepala. Menatap lelaki yang sudah lebih dari tiga tahun dia nanti. Kekasih hati yang mengantarkan sampai di titik ini. Cakra mengulurkan tangan, kemudian menangkup kedua sisi wajah Melisa. Dikecupnya lama kening perempuan itu, lalu turun ke pucuk hidung, dan berakhir memangut bibirnya. Malam semakin larut, keduanya pun kian terhanyut. Perbuatan terlarang yang kala itu hampir mereka lakukan, sekarang sudah sah untuk ditunaikan.Dal
Beberapa kali Melisa mengucek matanya saat menatap nisan di hadapan. Namun, nama itu tak berubah meski beberapa kali dia berusaha memastikan. Dua nisan yang sebelumnya tertera Danita dan Cakra kini berubah menjadi Faizah dan Danu!Sejak kapan nama di nisan ini berubah? Melisa bangkit dengan kebingungan luar biasa. Dia berlarian di sekitar pemakaman demi menemukan jawaban akan pertanyaan yang berputar di kepalanya. Akhirnya dia menemukan seorang penjaga makam. Lelaki tua yang tengah duduk di sebuah pos penjaga."Pak, maaf mau tanya. Makam pasangan suami istri korban Elang Air kurang lebih dua bulan lalu kapan diganti, ya?"Lelaki tua berseragam itu mengernyitkan dahi. "Kalau tak salah seminggu lalu. Katanya pihak medis salah mengidentifikasi." Deg! "Bapak yakin?""Yakin, Mbak. Orang saya juga ikut menguburkan. Kalau ndak salah namanya Bu Faizah dan Pak Danu, kan?"Melisa benar-benar hampir kehilangan kata. Kepalanya mendadak pusing dan berdenyut nyeri. "Kok, bisa, ya?""Saya jug
Terjebak masa lalu mungkin adalah hal yang paling ditakuti beberapa individu. Terpaku pada satu kejadian yang membuat seseorang tak mampu melangkah maju, meskipun peristiwa itu sudah lama berlalu. Tak peduli berapa tahun telah terlewati, dunianya hanya berputar di satu waktu. Itulah yang sedang Melisa alami. Genggaman tangan Cakra yang dia lepaskan tiga tahun lalu, tak urung membuatnya jemu. Tiga tahun dia menderita dalam kubangan pilu, tersiksa rindu menggebu, dan mengharapkan sebuah temu di antara kukungan sang waktu. Sebenarnya Melisa benci menyaksikan Cakra mulai berdamai dengan keadaan dan melupakan masa lalu. Karena pada kenyataannya, dia masih terjaga di sini, mengharap suatu saat lelaki itu kembali.Namun, saat takdir merencanakan sebuah temu. Kehadiran yang tak diinginkan malah membuat hatinya terasa semakin ngilu. "Aku memang mengharapkanmu kembali, Mas, selalu, sepanjang waktu, sampai tak terasa tiga tahun berlalu. Tapi bukan begini caranya," lirih kalimat itu terlontar
"Karena tak kunjung ada kemajuan untuk melahirkan normal juga alasan penyakit ginjal yang diderita istri Bapak, kami sarankan untuk melakukan tindakan operasi sesar. Silakan tanda tangan di sini, Pak!"Candra dibuat kelimpungan saat mengetahui proses persalinan Danita tak berjalan lancar. Apalagi di tengah-tengah dia tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dalam resah dan gelisah lelaki itu hanya bisa termangu sendirian. Saat ini Candra bahkan tak bisa menghubungi ibunya atau Melisa mengingat kesalahan fatal yang sudah Danita buat dua bulan ke belakang. Rasa sesak dan pilu berkecamuk menjadi satu. Tak menyangka dia nasib perempuan yang dicinta sedemikian malangnya. Seandainya waktu bisa diputar. Sebagai manusia Candra hanya bisa berharap. Semoga pendosa seperti dia dan Danita masih diberi kesempatan untuk memperbaiki semuanya, lalu bahagia. Setelah menghela napas panjang, akhirnya Candra memutuskan. "Lakukan, Dok. Dan tolong selamatkan istri dan anak yang sangat saya cintai."***Candra m
Dua bulan lalu ...."Aku nggak peduli. Aku benar-benar nggak peduli tentang masa lalumu. Apa pun yang sudah terjadi. Sama sekali nggak akan mengubah keputusanku untuk menikahimu." Candra merendahkan tubuhnya. Lalu mengecup lama kening Melisa. Sebelum mendekapnya. (ket : read bab 'Guncangan')Dari sudut mata Candra memang sudah menyadari kehadiran Cakra. Namun, dia sengaja mendekap tubuh Melisa lebih lama dan membuat saudara kembarnya semakin terbakar api cemburu yang membara sebelum pergi meninggalkan mereka.Setelah memastikan Melisa terlelap bersama rasa sakitnya, barulah Candra beranjak untuk mengejar Cakra yang dia rasa belum pergi terlalu jauh dari ruang rawat Melisa. Dan benar saja, dia menemukan saudaranya itu masih duduk termangu di ruang tunggu yang sepi dalam koridor lantai VIP. Bersama ransel besar yang dia letakkan di sampingnya. Perlahan Candra mendaratkan bokong di samping Cakra yang belum menyadari kehadiranya, karena wajah yang dia benamkan di antara kedua telapak ta
Setelah sepuluh hari tim sar bersama gabungan angkatan udara dan laut dikerahkan untuk melakukan pencarian korban puing-puing pesawat Elang Air di perairan Seratus. Media memberitakan bahwa tak ada satu pun korban selamat dalam tragedi nahas tersebut. Sejauh ini sudah sembilan puluh delapan mayat berhasil diidentifikasi, salah duanya adalah Cakra dan Danita. Penantian penuh harap seorang ibu dalam sepuluh hari terakhir berbuntut duka, kala sirine ambulans terdengar memasuki pelataran rumah Bu Nina. Membawa serta jasad anak dan menantunya yang sudah tak bernyawa. Tak ada yang menyangka, perpisahan mereka hari itu adalah yang terakhir kalinya. Bu Nina benar-benar menyesal, karena saat berpamitan dia bahkan tidak sudi menatap wajah putranya, karena menyayangkan keputusan Cakra yang lebih memilih pergi daripada menceraikan Danita. Dengan berat hati Bu Nina melepas Cakra dan Danita pergi, asal keduanya bersedia meninggalkan bayi yang baru dilahirkan Danita untuk dirawat Bu Nina bersama
Malam merangkak menenggelamkan petang yang perlahan mengilang. Di atas pembaringan berhias bunga mawar, Melisa duduk termangu. Menatap ponsel di genggaman tangan. Potret-potret sanak-saudara dan orang-orang tersayang ada di dalamnya. Tersenyum lebar mengiringi kebahagiaan kedua mempelai. Hanya Cakra dan Danita yang tak ada. Setelah mendengar kabar bahwa kakak tirinya itu sudah melahirkan, Melisa juga tak sempat menjenguknya karena sibuk dengan rencana pernikahan. Tadi pagi dia juga baru diberi kabar kalau hari ini mereka akan melakukan penerbangan menuju Eropa. Tanpa pamit atau ucapan selamat tinggal. Memang tak guna menangisi kepergian kedua orang yang sudah menorehkan noda hitam di hati bersihnya. Kepercayaan yang sudah kandas bersama kekecewaan yang terpaksa ditelan tetap saja meninggalkan kenangan menyakitkan yang tak bisa sembuh dalam waktu singkat. Tugasnya sekarang hanya menjalani hidup yang tersisa. Membahagiakan lelaki yang sudah menyandang status sebagai suaminya. Dan men