“Apakah aku salah?” “Itu cincin pernikahan, Davina.” Kat-kata itu keluar begitu saja dari mulut Dirga dan terdengar seperti sebuah rajukan baginya. SIalan. Bagaimana mungkn Davina menganggap itu hanya sebuah cincin. Davina terdiam. “Cincin pernikahan?” ulangnya dengan suara yang lebih lirih. “Cincin pernikahan yang kau rebut dari Ega. Semua ini hanya permainan yang berhasil kau menangkan darinya dan David, Dirga. Sekaligus dendammu yang masih berlum terpuaskan. Tapi aku akan berusaha menemukannya untukmu. Atau menggantinya.” Kata-kata Davina berhasil menampar Dirga dengan keras. Pria itu terpaku, tapi pegangannya pada tangan gadis itu melonggar. Membiarkan Davina berjalan keluar kamar mandi setelah berkata akan menyiapkan pakaian ganti untuk Dirga. Dirga masih tertegun lama di kamar mandi. Dengan kata-kata Davina yang tak berhenti berputar di kepalanya. Dan sumpah serapah dalam batinnya. Kenapa ia begitu gusar Davina menganggap pernikahan ini sebuah permainan. Bukankah memang itu
Dirga segera membawa tubuh Davina ke dalam gendongannnya dan membawanya ke tempat. Memastikan tidak ada pecahan pot yang mengenai kaki Davina sebelum mengalihkan perhatian pada gadis itu. “Apa kau tahu jam berapa ini?” bentaknya dengan kesal. Mengangkat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 12.36 pagi. Davina hanya menggeleng. Ia hanya tahu malam sudah larut hanya tak memastikan jam berapa. Malam seolah terasa panjang dalam dua hari terakhir karena kesulitan tidur. Membuatnya sering tidur pagi dan terlambat bergabung di meja makan. Lengkap dengan kantung hitang di bawah matanya. “Kau sengaja membahayakan dirimu, hah? Kau pikir apa yang akan terjadi pada kalian jika aku tidak datang tepat waktu?” Ya, tadi ia baru saja dari kamar Reyna untuk membawakan segelas air putih dan hendak menuju ruang kerjanya ketika melihat lampu kamarnya yang masih menyala dari celah bawah pintu. Ia masuk dan melihat tempat tidur yang kosong, pintu kamar mandi terbuka tapi tak ada siapa pun. Dan saat
Davina menggeleng. “T-tidak.” “Tidak apa?” Salah satu alis Dirga terangkat, ada tatapan geli yang mengejek di kedua mata pria itu. “Jangan lakukan itu, Dirga. Kumohon. Hanya biarkan saja dia.” “Apakah kau mencoba menjadi pahlawan untuk anak itu?” dengus Dirga. “Bahkan kau saja selalu membutuhkan bantuan dan merepotkanku. Sekarang dengan sok baik dan sok tulusnya kau mengatakan akan mempertahankannya meski dia hanya akan memberimu penderitaan, begitu?” “Lalu apa kau akan membunuhnya? Begitu saja seolah-olah dia tak berarti apa pun bagimu yang memang tak punya hati. Setelah semua yang kau lakukan untuk anak ini?” Dirga tampak terdiam, sejenak. “Mungkin ini pilihan terbaik untuk kita berdua? Ah, kita bertiga.” “Itu hanya keegoisanmu,” tandas Davina. Dirga menyeringai. “Lalu kenapa kalau itu memang keegoisanku?” Mulut Davina seketika terkatup rapat. Dirga mendengus tipis, melangkah ke arah pintu. “Kenapa kau begitu labil, Dirga?” Suara Davina nyaris menyerupai teriakan. Emosi be
“Dirga?” Sesil membelalak terkejut, tetapi kemudian pandangannya beralih pada gadis yang berdiri di samping pria itu, dan langsung tertuju pada perut sang gadis yang membuncit. “K-kau … sudah menikah?” Dirga melirik ke arah Davina. “Kau hamil?” Sesil tak menggubris, raut wajahnya seketika berubah semringah dan mendekati Davina. Mengulurkan tangan dan berucap dengan lembut. “Hai, perkenalkan, namaku Sesil. Temannya Dirga. Kau?” Davina tampak meragu setelah sempat terkejut dengan nama Sesil. Apakah ini kekasih Dirga yang bernama Sesil? “Siapa namamu?” Davina mengerjap dan membalas uluran tangan wanita itu. “D-davina.” Senyum Sesil semakin mengembang. “Nama yang cantik. Jadi, berapa usia kehamilanmu?” “Lima bulan.” “Selamat untuk kalian berdua.” “Dari mana kau tahu dia anak Dirga, Sesil?” sergah Saga sedikit kasar. “Dan belum tentu bocah ini istrinya?” Sesil menatap Dirga dan Davina. “Ck, kenapa kau selalu berpikiran buruk tentang Dirga, Saga. Dirga tak mungkin menghamili wani
Wajah Davina berubah dingin. Begitu pun suaranya. “Apa yang kau lakukan di sini?” Cla mendesah pendek sembari mengangkat kedua tangannya. “Aku sudah ada di sini sejak …” Ia mengangkat pergelangan tangannya. “Lima menit yang lalu.” Kening Davina berkerut sementara tangannya bergerak menyeka air mata yang masih membasahi pipi. “Akulah yang seharusnya bertanya padamu. Kenapa kau bisa ada di sini sendirian, Anak Bandel? Ke mana suamimu?” “Dia bukan suamiku,” sangkal Davina yang membuat Clay terkekeh geli. “Kau tak pernah menyangkal sebelumnya. Kenapa kalian berdua terlihat seperti pasangan suami istri yang sedang bertengkar?” Davina seketika terdiam. Kembali beralih pada sang paman. “Kenapa paman masih berhubungan dengannya? Dia pasti memiliki niat buruk pada paman.” “Seperti melakukan percobaan pembunuhan pada pamanmu?” celetuk Clay. Brian hanya tersenyum tipis akan kekhawatiran Davina. Menggenggam kedua tangan gadis itu dengan lembut. “Tenanglah. Tak ada yang perlu kau khawatir
Davina menatap pintu keluar rumah sakit untuk yang kesekian kalinya dan Dirga masih belum muncul juga. Entah apa yang dibicarakan oleh Dirga dengan pamannya dan Clay. Begitu keluar dari ruang perawatan sang paman, ada seorang pengawal yang mengarahkannya ke lantai bawah dan langsung menuju tempat parkir, kemudian menunggu di samping gedung. Dengan posisi yang akan langsung dilihat dari pintu keluar.Rasanya begitu lama menunggu. Hingga akhirnya pria itu muncul dan tak menunggu lama untuk duduk di samping Davina."Adakah yang ingin kau jelaskan dengan kelancanganmu tadi?" Dirga jelas tak butuh basa basi untuk pembelaan Davina. Ia masih kesal atas sikap gadis itu di ruang dokter, sekaligus tak berani bersikap lebih keras mengingat apa yang sedang mencoba mengintai mereka.“Semuanya baik-baik saja, kan. Jadi tidak ada alasan kau harus membunuhnya.”“Kau terdengar seperti peduli padaku.”“Sikapmu terlihat seperti peduli padaku.”Kata-kata Davina berhasil menampar Dirga dengan keras. Wajah
Satu jam kemudian, keduanya berbaring telanjang di tengah tempat tidur. Dengan berbantal lengan Dirga, Davina mulai mengantuk dalam dekapan pria itu. Ya, bagaimana tidak. Setelah percintaan panas mereka, tenaganya benar-benar dikuras habis. Dan jika ia tidak memperingatkan Dirga tentang kehamilannya, bisa dipastikan mereka pasti masih bergulat di tempat tidur. Senyum tersamar di ujung bibir Davina. Masih ada sedikit kepedulian Dirga yang masih tersisa untuk anak dalam kandungannya. Dirga sedikit menundukkan wajahnya, mengamati wajah lelah Davina yang mulai bernapas denga teratur dan tubuh yang mulai ileks dalam pelukannya. Satu tangannya terulur, menyingkirkan helaian rambut yang menghalangi pandangannya mencermati wajah mungil gadis itu. Meski mata Davina terpejam, tetap saja ia bisa melihat kebeningan kedua mata madu tersebut dalam pandangannya. Bulu mata yang panjang dan lentik, alis yang melengkung halus, hidungnya yang mancung, mungil dan lancip dan disempurnakan dengan bibir
Part 53 Jatuh Cintakah? Davina baru saja melepaskan kaosnya ketika pintu tiba-tiba dibuka dan ia memekik pelan melihat Dirga yang melangkah masuk. “Aku belum selesai, Dirga,” sergahnya. “Paman sialanmu.” Dirga mengulurkan ponselnya. Melihat kedua tangan Davina yang berusaha menutupi ketelanjangan dengan kaos yang sudah dilepas. Sekaligus kesulitan untuk mengulurkan tangan. Dirga pun maju, menangkap pinggang Davina dan memutar tubuh gadis itu hingga punggung menempel di dada. Sementara tangannya yang lain menempelkan ponsel di telinga kiri. “Bicaralah,” bisik Dirga di telinga kanan, mendaratkan kecupan di pundak. Davina terpaku, jantungnya berdegup kencang dengan kontak fisik tersebut. Wajahnya mulai memanas, tetapi segara menyadarkan diri ketika suara dari seberang memanggilnya. “Davina? Kau di sana?” “Y-ya, Paman.” Davina berhasil menghilangkan getaran dalam suaranya. “Kau baik-baik saja?” “Ya, tentu saja. Paman?” “Sama. David ingin bertemu denganmu.” Davina melirik ke samp
Davina membalas ciuman tersebut dengan tak kalah lembutnya. Menerima semua buncahan perasaan cinta dan kasih yang diungkapkan Dirga melalui ciuman tersebut. Hingga akhirnya pagutan tersebut berakhir, Dirga tetap membiarkan wajahnya dan Davina berjarak setipis mungkin, membiarkan napas mereka saling berhembus di wajah masing-masing, berbagi udara bersama. “Kau pernah bilang, kehadirannya datang di saat yang tidak tepat.” Davina kembali bersuara. “Namun, aku menyadari, keberadaannya di antara kita, ternyata datang di saat yang tepat. Untuk menghentikan pertikaian yang tak bisa kita kendalikan ini sebelum menghancurkan kita berdua hingga di titik yang tak bisa diselamatkan.” “Kedengarannya seperti aku.” “Hmm, memang.” Davina tertawa kecil. Dan tawa tersebut terdengar begitu indah di telinga Dirga. “Aku pernah menghadapimu yang lebih buruk dari sekedar ingatan yang hilang. Jadi … kupikir ini bukan masalah, kan?” “Oh ya?” Dirga menyangsikan pernyataan tersebut. Davina mengangkat tang
Extra 8 Ungkapan Cinta Sang Tuan “Jadi kau tak akan menjawabku?” Pertanyaan Dirga membuyarkan lamunan yang malah menatap pria itu dengan terbengong. “Pergilah kalau begitu. Kau tak akan membiarkan anakku tertular penyakitku, kan?” Davina mengerjap, kemudian mengangguk meski kedua kakinya enggan bergerak dari tempat ini. “A-apa kau akan tidur di kamar?” “Kau ingin aku tidur di mana?” Davina tak langsung menjawab, menatap lurus kedua mata Dirga yang pasti tahu apa keinginannya. Ujung bibir hanya menyeringai dengan tatapan tersebut. “Pergilah ke kamar.” Ada segurat kecewa yang muncul di kedua mata dengan pengusiran tersebut meski nada suara Dirga terdengar lembut. Davina memaksa kedua kakinya berputar dan beranjak menuju pintu. Ia baru mendapatkan dua langkah ketika tiba-tiba Dirga memanggil namanya. “Davina?” Tubuh Davina berputar dengan cepat, menghadap Dirga yang masih duduk di kursi di balik meja. Menatapnya dengan lembut meski ada sesuatu yang mengganggu dalam tatapan pria i
Kedua alis Brian menyatu, bertanya-tanya dengan kalimat Davina. Kemudian gadis itu sedikit berjinjit dan mendekatkan wajah ke arahnya, yang membuatnya harus menunduk. Memasang telinga baik-baik untuk mendengarkan apa yang akan diucapkan sang keponakan. Dan semakin ia mendengar, keterkejutan membuatnya membelalak. Menarik kepala dari Davina dan menatap penuh ketidak percayaan. Davina hanya tersenyum menanggapi reaksi Brian. “Kau yakin dia melakukan itu?” Davina mengangguk dengan mantap. “Tidak mungkin. Kau yakin kau tidak sedang bermimpi ketika mendengarnya?” Davina menggeleng. Sekali dengan penuh kemantapan yang segera meluruhkan keraguan Brian. “Dia bahkan tidak tahu kalau Davina mendengarnya.” “Mungkin bukan untukmu?” “Untuk Davina Dirgantara. Istriku, Davina jelas mendengar itu.” Brian masih tercenung. Sangat lama hingga Davina kembali memecah keheningan tersebut. “Perlahan ingatannya akan kembali, paman. Bahkan apa yang dirasakannya terhadap Davina tak pernah berubah mesk
Kening Brian berkerut dalam melihat kepuasan yang terasa janggal memenuhi wajah Dirga. Bahkan ia bisa menangkap senyum semringah di kedua mata pria itu. “Kenapa?” Brian segera menepis kecurigaan yang menggalayuti hatinya. Jika Dirga terlihat sesenang ini, pasti ada sesuatu yang sudah dilakukan pria itu pada Davina. Namun, saat Dirga melewatinya dan ia melangkah masuk ke dalam ruang perawatan Davina, ia sama sekali tak melihat sesuatu yang janggal di wajah sang keponakan. Davina bahkan tampak lebih tenang, wajah mungil gadis itu juga tak terlihat habis menangis. Sekali lagi Brian mengamati lebih teliti wajah sang keponakan. Mencoba mencari jejak air mata di sekitar kelopak mata. Tapi kecurigaannya tak kunjung menunjukkan bukti. “Kenapa paman melihat Davina seperti itu?” Brian menggeleng pelan. “Apa yang dilakukan Dirga padamu?” Alih-alih menjawab, wajah Davina malah memerah mendengar pertanyaan tersebut. Tentu saja apa yang baru saja ia lakukan dengan Dirga bukan hal yang tepat
Dirga mendengus. “Kau bertanya karena cemburu atau karena benar-benar peduli pada kebutuhan pria dewasaku yang tidak bisa kau penuhi?” Davina tak menjawab. Menurunkan pandangannya karena malu. “Atau … keduanya?” “M-maaf.” Dirga mendengus tipis. “Untuk apa kau meminta maaf. Aku memahami rasa bersalahmu. Istri mana yang akan tahan jika suaminya bermain gila di luar sana sementara dirinya sedang tak berdaya tak bisa melayani sang suami. Aku tak akan menyalahkanmu.” Wajah Davina perlahan terangkat, menatap Dirga dengan penuh haru. Dirga sendiri dibuat terpaku dengan emosi yang begitu kuat di wajah Davina, yang lagi-lagi berhasil menyentuh hatinya. yang entah bagaimana berhasil melumpuhkannya. Lalu matanya mengerjap, menyadarkan diri dari pengaruh Davina yang mulai menyergap kewarasannya. Semua tentang gadis ini selalu berada di luar kewarasannya. Bahkan kesetiaan yang seolah mengakar di dadanya. Yang tak dikenalinya ini. Ya, ia begitu frustrasi karena gairahnya tak terpuaskan karen
Extra 6 Milik Sang Tuan Canda tawa di ruangan tersebut segera segera terhenti dengan kemunculan Dirga. Mata Davina berkedip beberapa kali, terkejut sekaligus bertanya-tanya akan sikap Dirga yang muncul dengan cara mesra seperti ini. Seolah Dirganya yang dulu telah kembali, yang selalu menampilkan keintiman seperti ini untuk membuat siapa pun tahu bahwa dirinya hanya milik pria itu seorang. Dan seolah belum cukup kejutan yang diberikan pria itu terhadapnya. Wajah Davina merah padam ketika Dirga meletakkan kantong putih berukuran sedang di pangkuannya. “A-apa ini?” “Alat pumping asi.” Davina menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ia bertanya bukan karena tak tahu. Dan seharusnya ia pun tak mempertanyakan hal tersebut pada Dirga. “Anak kita butuh makan. Kau tak meninggalkan banyak stok asi di rumah. Jadi … sebelum baby Elea kelaparan kau harus …” “Aku mengerti, Dirga.” Davina sengaja memotong kalimat Dirga sebelum kalimat pria itu terdengar semakin vulgar di hadapan Ega. Tidak bisakah m
Clay mengangkat jam di pergelangan tangannya. “Menjelang pagi. Dan sekarang waktu yang tepat untuk memeriksamu karena aku ada di sini. Kebetulan dia sedang dapat tugas malam. Jadi kita bisa langsung ke ruangannya.” “Aku sedang tidak berminat …” “Kau tak tertarik ingin tahu kapan ingatanmu akan kembali?” Dirga seketika terdiam, kembali menoleh ke arah Clay. “Kau perlu menjalani beberapa tes, Dirga. Yang seharusnya kau lakukan tadi pagi,” tambah Clay lagi. “Lagipula ingatanmu sedang hilang, kan? Sekarang kau melihat Davina sebagai putri dari Jimi. Musuhmu, jadi tahan kekhawatiranmu terhadap istri yang tidak kau ingat sampai ingatanmu kembali. Sekarang kau terlihat seperti Dirga yang tidak kami kenal.” Wajah Dirga menegang, siap meluapkan emosinya pada kata-kata Clay yang lancang. Namun, saat itu juga ia menyadari kekhawatirannya yang memang berlebihan terhadap Davina. Davina Riley. Musuhnya. “Ya, meski kau memang selalu menjadi orang yang tidak kami kenal setelah bertemu dengannya
Extra 5 Kecemburuan Sang Tuan "S-sakit, Dirga," rintihan Davina semakin menjadi. Tak hanya dari beratnya tubuh Dirga yang menekan tubuhnya di dinding dan wajahnya yang dicengkeram oleh pria itu, tetapi juga tekanan di perut yang mendadak membuat kepalanya pusing. "K-kau menyakitiku." Suara Davina semakin lemah. Pandangannya mulai berputar dan matanya mulai mengantuk hingga kegelapan sepenuhnya menyelimutinya. Dirga mengerjap, tersadar dengan cepat ketika kepala Davina jatuh terlunglai ke samping. Ia menarik tubuhnya mundur dan tubuh mungil itu seketika jatuh ke pelukannya. Kedua lengannya segera menangkap tubuh sang istri, dan tepat pada saat itu kedua mata Dirga menangkap genangan arah yang di lantai di bawah kaki mereka. Napas Dirga tercekat dengan keras, membawa Davina ke dalam gendongannya dan berlari keluar kamar. Berteriak memanggil anak buahnya untuk menyiapkan mobil. *** Satu jam kemudian, dokter baru saja selesai memeriksa kondisi Davina. Demam tinggi, berkunang, dan t
‘Aku mencintaimu, Dirga.’ ‘Aku mencintaimu, Dirga.’ Pernyataan cinta tersebut terputar di kepalanya. Pernyataan cinta yang sama namun dengan suara yang berbeda. Ia mengenali itu adalah suara Rega dan Sesil, juga Davina. Mengikuti rasa kehilangan yang menelusup ke dalam dadanya. “Dirga?” Davina menyentuh pundak Dirga dengan lembut. Ketegangan di wajah pria itu sama ketika ia menyatakan perasaannya dulu. “Kau baik-baik saja?” Dirga mengerjapkan matanya, menatap raut Davina yang diselimuti keheranan. “Ya, tentu saja aku baik-baik saja. Kau pikir pernyataan cinta sentimentil ini akan mempengaruhiku, begitu?” Davina menggeleng pelan. “K-kau .. wajahmu memucat.” “Ya, aku baru terbangun dari komaku tadi pagi, kan?” Beruntung alasan itu muncul di saat yang tepat. Davina mengangguk. “Apa kau sudah minum obatmu?” Mata Dirga menyipit dengan kecemasan yang mendadak menyelimuti wajah polos Davina. “Kau mengkhawatirkanku?” Davina tak menjawab, bimbang jawabannya akan membuat Dirga tersin