Suryawijaya sedang dipenuhi kegelisahan semenjak dimulainya jam pasir yang akan menghitung waktu dan kehidupan yang kelak menentukan masa depan dan harapannya, waktu yang akan di isi dengan perjuangan. Meski satu tahun terasa lama, tapi tidak jika kembali dilihatnya masalah-masalah besar yang terjadi di Tirtodiningratan.Kegelisahan terbesar tentu berasal dari Nawangsih. Sejak berakhirnya piknik yang terasa pahit dan manis secara bersamaan, gadis itu terlihat menarik diri. Nawangsih lebih suka mengikuti ibunya ke luar rumah untuk bekerja dengan maksud ia bisa melihat dan merasakan langsung bagaimana ibunya bereaksi saat berbaur dengan masyarakat atau instansi pemerintah.Suryawijaya mencoret setiap tanggal yang dilewatinya tanpa hasil maksimal. Genap sebulan ia wira-wiri ke Tirtodiningratan untuk mengobrol, meriset dan bertemu dua gadis itu. Keneswari dan Dyah."Aku masih gengsi untuk meminta bantuan Ayahanda. Beliau pasti hanya menertawakan perjuanganku nanti." Suryawijaya membaringk
Suryawijaya bicara sendiri dan menyumpahi Nawangsih selama beberapa menit. Tapi selanjutnya, senyum lebar mengembang di wajahnya, Suryawijaya terlihat cukup senang mendengar penjelasan dari Nawangsih. Namun sayangnya gadis itu tidak bersedia memuaskan seluruh rasa kangennya di keheningan malam yang dingin. "Baiklah, masih ada besok pagi. Sekarang biarlah dia makan keju dan susu sepuasnya sementara aku, tidak jauh berbeda darinya. Makan..." Suryawijaya mencomot keju dari koper seraya memakannya dengan pelan-pelan.Tanpa Suryawijaya sadari, Nawangsih terkikik geli di belakang pintu. "Lihat, masih suka senewen sendiri. Lagian baru juga sebulan sudah gitu, coba kalau setahun. Ndomas pasti akan mengguncang rumah dengan kelakuannya yang terus marah-marah." Ia geleng-geleng kepala sembari mengurai senyumnya.••• Istana Adiguna Pangarep sedang dipenuhi kebahagiaan sepulangnya putri kesayangan Kaysan. Beberapa acara sempat di gelar untuk temu kangen dengan sanak saudara dan kerabat dekat. Sek
Matahari teduh menemani setiap langkah demi langkah kelima saudara itu selama menikmati panorama kota yang berubah menurut Dalilah. "Udah hampir tengah hari, ayo pulang!" ajak Pandu. "Nanti Ayahanda marah-marah kalau kita terlambat." Dalilah dan Nawangsih yang baru membayar jajanan pasar di selasar pasar legi menoleh kepadanya. "Enggak sowan sekalian? Pumpung dekat sama makam raja Mataram." ucap Dalilah sembari menghampiri tiga perjaka yang hanya berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dada."Besok aja Mbak sekalian puasa mutihan." jawab Pandu. "Ayo pulang!" Demi menjaga kepercayaan sang ayah yang galak itu, kelima bersaudara itu masuk ke dalam mobil. Suryawijaya menoleh ke arah Nawangsih. Lelaki itu memberi senyum meski masih harus dipisahkan oleh Pandu yang berada di tengah-tengah mereka.Setibanya di rumah, meskipun hanya sesederhana menikmati suasana kota sambil bercerita dan tertawa bersama. Kelima bersaudara itu tampak senang ketika keluar dari mobil. "Terima kasih a
Air mata merebak di pelupuk mata Kaysan. Dia merasakan situasi yang amat begitu hebat di dadanya. “Ini semua tidaklah mudah. Saya yakin mereka sanggup melewatinya.”Beliau menghirup oksigen banyak-banyak seraya berbalik untuk mengusap wajahnya yang basah oleh kenyataan. Naas, pemandangan yang luar biasa langka sekaligus memilukan itu di lihat oleh Nawangsih.Nawangsih memandanginya dengan takjub seraya tersenyum rikuh. Niat hati dia hanya ingin mengintip Suryawijaya dan Dalilah dari tempat yang biasa ia lewati. Ternyata tempat sepi itu dan jarang orang memilih jalan itu untuk pergi ke taman yang dikhususkan untuk anggota keluarga inti justru dia menemui sang ayah di sana. Di tempat yang seharusnya tidak dia kunjungi. "Ayahanda." Nawangsih menghampiri Kaysan dengan pikiran yang diselimuti banyak pertanyaan. "Ayahanda baik-baik saja?" tanyanya dengan ekspresi risau. Nawangsih bahkan bisa mengamati mata ayahnya masih sembap dan berkaca-kaca. "Ayahanda kenapa?"Kaysan mengusap wajahnya s
Suryawijaya memandangi kakaknya yang berkali-kali menghela napas dan mengembuskannya.“Kalau aku sudah mapan, semua bakal mudah terlaksanakan. Tidak terkatung-katung begini.”Dalilah mengerutkan kening. Sebuah pertanyaan menggema di kepala terus menerus sejak tadi sore. Gadis itu terlihat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang harus dia simpulkan dari semua masalah yang terjadi. Meski sejujurnya sudah ada rasa ragu untuk masuk ke dalam urusan internal trah itu.“Harusnya Tirtodiningratan dan Adiguna Pangarep dapat bekerja sama sebagai penggiat budaya. Itu paling mudah.”Suryawijaya tersenyum melihat kakaknya begitu serius membicarakan itu. "Pusing?" tanyanya seraya duduk dan menaruh kopi di meja. Dalilah membuang napas. "Jujur aja, Sur. Seperti yang sudah kita bahas tadi sore, persoalan ini seharusnya bukan untukmu, bukan tanggung jawabmu. Tapi Mbak gak nyangka Ayahanda justru mengizinkan dan keluarga Romo Adhiwiryo juga kooperatif."Wajah Suryawijaya berubah kelam, lalu setengah mer
Sementara Kaysan menemui Adhiwiryo di ruang kerja yang tertutup rapat. Suryawijaya dan Dalilah melancarkan aksinya dibawah pengawasan Dyah yang menemani mereka menemui berbagai kalangan penting yang akrab dengan hal-hal seputar usaha dan bisnis trah Tirtodiningratan.Beberapa direksi yang melihat niat baik Suryawijaya dan prospek yang bagus berniat untuk mewujudkan apa yang kedua anak muda itu bicarakan.Suryawijaya menatap Dalilah dengan raut wajah tak percaya. Urusan spik-spik dan public speaking yang dilakukan Dalilah tadi membuatnya sangat kagum dengan kecerdasan kakaknya dalam berbicara.Suryawijaya tersenyum hangat. "Terima kasih little sister. Akhirnya aku mengagumi kecerewetanmu."Dalilah mengedipkan sebelah mata. "Ayo pulang, Ayahanda sudah selesai."Suryawijaya berbalik. Kaysan memasang wajah serius, dan nampaknya pembicaraan dengan Adhiwiryo juga serius. Namun, kunjungan ke rumah Tirtodiningratan hari itu berbuah manis. Nampak hari-hari selanjutnya, Suryawijaya lebih mudah m
Suryawijaya menyambut kedatangan Dendra malam harinya di serambi rumah utama. Laki-laki yang memakai kaos polo dan celana bahan itu nampak menyambutnya dengan tangan terbuka.Dendra tersenyum-senyum sembari mengulurkan tangan. Ada rasa geli dibenaknya saat melihat wajah Suryawijaya terlihat bersahabat dari hari-hari biasanya."Selamat malam, Mas Surya. Saya senang sekali mendapat undangan istimewa ini untuk menemui Yang Mulia langsung hari ini." "Saya juga senang mendapatkan kunjungan Mas Dendra hari ini. Saya sudah menunggunya. Silakan duduk." pinta Suryawijaya sesantai yang dia bisa, pasalnya Dendra yang mengenakan kemeja hitam dan celana jins itu tetap tersenyum-senyum seolah mengejek tentang apa yang sedang dialaminya.Suryawijaya memanggil Iwan dan memintanya untuk membuat kopi. Selagi Iwan pergi ke dapur, Suryawijaya menatap Dendra sembari menghela napas."Seperti yang sudah Nawangsih ceritakan Mas, situasinya memang seperti itu. Saya butuh bantuan Mas Dendra untuk menjual luki
Suryawijaya menggabungkan uang hasil penjualan lukisan dengan uang hasil kerja paruh waktu dan uang jajan dari orangtuanya ke dalam satu wadah. Segepok uang itu nampak terlihat banyak walau kenyataannya, jumlah yang Suryawijaya butuhkan masih kurang untuk membangkitkan kembali geliat Tirtodiningratan.Ada banyak agenda yang ingin ia realisasikan sebagai wujud kinerjanya dalam pemberontakan atas perjodohan itu. Walau kenyataannya, Suryawijaya sukar mengelak dari kata hati. Raut wajahnya terlihat putus asa, apalagi sebagai seniman yang seharusnya merdeka bereksperimen dan merdeka mengungkapkan rasa. Seluruh kebebasan dan senyumnya seolah direnggut paksa oleh keadaan. "Gimana ini." Suryawijaya mengusap wajahnya seraya beranjak. Langkahnya terlihat gontai walau akhirnya dia tetap keluar kamar untuk mencari udara segar. Suasana lengang menyambut kedatangannya di bangku taman. Gemericik air mancur dan silir angin nyatanya tidak selalu menentramkan hati. Suryawijaya masih terlihat gusar, s
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar