Rasa sakit itu datang seketika. Dengan napas tumpang tindih, Suryawijaya mengeluarkan sepatah kata sambil menatap bias cahaya yang mulai sirna dari sorot matanya."Tania."•••Suhu udara turun. Rintik-rintik salju mulai turun menghiasi kota London. Nawangsih melepas sarung tangannya seraya mengulurkan tangan di depan kompor dan mengusap-usap telapak tangannya. Dia kedinginan sepulang dari kampus seorang diri tanpa kehadiran Andrew yang sempat menguasainya beberapa bulan sejak dia kembali ke London.Nawangsih termenung, dikenangannya sesuatu yang pernah dia tanamkan untuk Andrew, namun ternyata lelaki itu memilih untuk berpisah dan itu membuatnya tak berhenti berpikir keras.Kenapa berpisah... bukankah kamu mengharapkan aku?Awan-awan putih terlihat menggumpal dan elok di pandang. Andrew mengulurkan tangan saat menikmati penerbangan menuju London kala sore begitu cerah."Tania, boleh gue tanya sesuatu sama Lo?"Nawangsih menghargai uluran tangan Andrew, tapi hanya senyum yang dia berika
Matahari bersinar di langit berawan sewaktu Nawangsih tiba kembali ke tanah Jawa. Dia memakai kaca mata hitam untuk menyembunyikan mata bengkaknya sehabis menangis sepanjang perjalanan di pesawat.Suryawijaya masih menjadi racun yang tak memiliki penawaran kecuali dirinya sendiri.Dengan langkah yang begitu letih, dia terlihat memandang sekeliling mencari jemputan yang dijanjikan oleh Ibunya.Pandu melambai seraya tergopoh-gopoh menghampiri Nawangsih sebelum memeluknya. "Syukur Mas Drew langsung kasih kabar ke kamu." Nawangsih tersenyum kecil. Tumben Pandu peluk-peluk, biasanya tidak suka ada yang menyentuhnya kecuali pelukan orang tuanya."Barangmu sudah semua, Dik?" tanyanya sambil melihat-lihat kopor yang di bawa. "Kok sedikit, kamu cuma cuti?""Sebagian masih di flat, Mas Andrew nanti kirim."Pandu menghela napas, "Bagus, ayo cepat pulang. Semua sudah menanti kepulanganmu."Nawangsih mengiyakan. Mereka menyeret langkah-langkah yang tak bersemangat menuju pusat suka duka mereka. Ru
Nawangsih bergerak ke sisi kanan ranjang, dia bersedekap untuk melihat paras laki-laki yang dia puja selama hidupnya. "Aku tidak percaya lagi dengan seluruh ucapanmu mengenai enaknya mendaki gunung atau manisnya edelweis saat bermekaran jika risikonya seperti ini!"Nawangsih mendelik di depan wajah Suryawijaya yang memakai selang oksigen."Aku tidak akan pernah mengizinkanmu lagi mendaki gunung jika kamu sudah bangun dari mimpi indahmu itu. Aku keberatan tahu!"Nawangsih menyentuh wajah Suryawijaya tepat di lukanya yang mengering di tulang pipi. "Kamu pasti sudah melewatkan hari-hari penuh perjuangan, Mas. Tapi apa kamu tidak bisa berpegangan yang kencang? Seperti memegangku bertahun-tahun?"Nawangsih tersenyum getir. "Pasti tidak bisa, tebing itu bukan aku dan kamu juga membuatku jatuh sejatuh-jatuhnya. Kecelakaan itu nyaris melumatku dalam kesedihan dan rasa kehilangan."Nawangsih mengelus pipinya dengan punggung jari. "Biarkan aku merawatmu, Mas." Dia mengusap wajah Suryawijaya deng
Nawangsih satu-satunya perempuan yang hampir mengisi segalanya dalam hidup Suryawijaya. Begitupun sebaliknya. Tak ayal, kadangkala apa yang membuat mereka putus asa justru dikembalikan oleh kenyataan bahwa andil semesta adalah jawabannya.Nawangsih mengedipkan matanya, mengucek matanya untuk memastikan yang dilihatnya tidak salah. "Mas Surya bicara?" Nawangsih meraba-raba wajahnya. Demi apa pun rasanya seperti ada letupan semangat di dalam jiwanya."Kamu sudah bangun, Mas?"Reaksi yang bisa Suryawijaya beri hanya tersenyum samar. Nawangsih kontan berlonjak kegirangan sambil berteriak penuh rasa syukur.Suryawijaya melengkungkan senyum, dia menyukai nada suara itu. Bukan tawa geli atau tawa yang mengejeknya. Tawa Nawangsih terdengar menyenangkan, terdengar bahagia."Aku panggilkan dokter dan Ibunda dulu, Mas. Jangan tidur lagi pangeran tidur!" serunya sambil menepuk-nepuk pipi Suryawijaya.Suryawijaya hendak menyahut tapi suara yang keluar dari pita suaranya tidak ada, tenggorokannya s
Setelah malam berganti pagi, dan hari-hari mulai membaik. Suryawijaya dan sang Ayah kembali ke rumah, meredakan suasana gundah sanak saudara dan para pelayan yang khawatir dengan kondisi dua penguasa itu.Nawangsih melenggang keluar dari kamar dengan senyum damai yang merekah di wajahnya. Sekembalinya dar rumah sakit, aktivitasnya kembali seperti sedia kala. Kini dia benar-benar menjadi pelayan hati sang pangeran.Nawangsih menaruh alat melukis di lantai seraya tersenyum dan berkata, "Mas Surya harus punya kegiatan baru selain melamun. Lukis aku, ayo..."Suryawijaya yang mengalami cidera di tangan kirinya mendengus. "Kamu mengejekku?" tukasnya heran, "aku masih belum bisa bergerak dengan baik. Tanganku lihat..." Tangan kiri di gips, tangan kanan banyak bekas luka.Nawangsih menggeleng perlahan, tangannya sibuk menata cat dan alat lukis di meja, di beranda rumah utama. Tempat di mana Suryawijaya memilih menghabiskan waktu sambil terdiam. "Tidak, bukan begitu maksudku, Mas. Dokter meny
Nawangsih berseru. "Jangan bahas-bahas rasa sayang. Itu maha dahsyat, Mas!"Bimo dan Citra segera menengahi perdebatan mereka dengan mengangkat kedua tangan. Memandangi keduanya sambil geleng-geleng kepala."Harusnya kalian dipisahkan lagi saja. Daripada jatuh cinta lagi dan lagi." Bimo menasehati.Suryawijaya mengangguk, wajahnya seketika mengerut sakit. Sakit karena dipisahkan lagi tidak ada pada rencananya. Biar seperti ini saja sudah lega."Mas Suryawijaya sebaiknya istirahat." kata Bimo, mendekat seraya bersiap membantu Suryawijaya beranjak.Suryawijaya menatap Nawangsih dengan senyum malunya. Malu karena kesempurnaan sudah tidak bisa lagi dia berikan untuk Nawangsih."Kamu benar, Nia. Aku akan menurutimu saja." Akunya malas, "tolong bawakan lukisanku ke kamar."Nawangsih membuntuti kedua kakaknya ke kamar Suryawijaya. Lelaki itu masih tertatih saat berjalan. Dan Bimo dengan perhatian memapahnya perlahan."Jadi kamu nikahnya kapan, Cit?" tanya Nawangsih.Citra menggelengkan kepala
Seminggu sekali, Nawangsih dengan senang terus menemani Suryawijaya kontrol kesehatan di rumah sakit, mengajaknya keliling rumah sambil menceritakan apa saja yang pernah terjadi di sana atau mengunjungi galeri Dendra. Tentu hanya kenangan mereka saja yang Nawangsih ceritakan, yang lain tidak penting katanya. Suryawijaya tersenyum. Banyak yang menarik untuk di kenang di galeri Dendra, tapi di rumah dia merasa seluruh rumah itu memberikan ingatan yang lebih kuat."Yang lain tidak penting karena kamu tidak menerimanya." kata Suryawijaya, mereka berhenti di taman belakang rumah, memilih tempat yang cukup hangat untuk berjemur.Nawangsih mengernyit, "Maksudnya? Ah iya... Mbak Keneswari pasti khawatir kalau tahu Mas celaka." ucapnya lugas, "Itu kan yang Mas maksud? Memori lama yang bikin aku pergi?"Nawangsih menyipitkan mata dengan raut wajah penasaran. Suryawijaya gemas, raut wajah itu menghiburnya."Kamu benar, tapi Keneswari tidak akan menginjakkan kaki di sini lagi." Suryawijaya berkat
Suryawijaya mengetuk kamar Nawangsih sewaktu suasana rumah utama terasa sepi.Nawangsih mengerucut bibir. Sebagai sahabat dan adik, kelakuan Suryawijaya yang memanggil-manggil namanya dengan pelan tapi buru-buru membuatnya jengkel."Kenapa?" Nawangsih hanya membuka pintu kamarnya sedikit. "Aku lagi sibuk cari kampus baru, Mas. Lagi meeting juga sama Pak Doris.""Katanya sudah menjadi pengangguran." Suryawijaya mengembuskan napas. "Meeting apa dengan Pak Doris? Kesehatan Andrew terganggu?""Ngawur." Nawangsih mempersempit jarak pandang keduanya dengan mendorong daun pintu. "Aku keluar sejam lagi, itu kalo Mas masih perlu sama aku! Bye..."Nawangsih menutup pintu dan menguncinya, mencegah Suryawijaya masuk dengan cepat.Suryawijaya menerima penolakan itu dengan pasrah, padahal niatnya baik. Dia pergi ke ruang keluarga, di sana hanya ada kehampaan karena Ibu dan Ayahnya pergi ke rumah sakit bersama Kakak dan Adiknya."Harus mulai dari mana aku?" Dia menatap sekujur tubuhnya yang menjadi s
Tetapi, sedikit tenang itu tidak ada dalam kamus besar Suryawijaya. Setelah urusan mual dan mengidam di trimester pertama berangsur-angsur surut dan Pandu memanggil Nawangsih dengan panggilan Adik. Nawangsih kembali bekerja sebagai anggota legislatif dan melupakannya sebab kesibukan menelannya saban hari setelah cuti panjang yang di lakukan."Aku harus lembur lagi hari ini, Mas. Di rumah Pak Abdul, kerjaanku kemarin yang handle dia jadi harus ke rumahnya untuk kroscek dan ngobrol." pamit Nawangsih lewat telepon.Suryawijaya tahu Abdul adalah rekan kerja paling nyaman bagi Nawangsih selama hamil karena wanginya mirip wangi Ayahanda. Tetapi bagi Suryawijaya tentu itu hanya omong kosong. Dia tidak percaya wangi ayahnya yang khas timbul dari tubuh seorang Abdul, pria berusia empat lima tahun."Hidung kamu itu pasti tidak beres, tidak ada wangi yang mengalahkan wangi Ayahanda." katanya dengan intonasi tidak kalem."Aku jemput terus aku antar ke tempat Abdul, kamu nggak usah bonceng dia. Di
Suryawijaya menunggu dengan sabar prosesi pelantikan yang sedang berlangsung. Hampir dua jam waktu melaju, akhirnya harapannya menemui Pandu terwujudkan. Suryawijaya memberi hormat seraya tersenyum penuh arti."Berikan aku kemudahan untuk menemani kehamilan Tania. Dia begitu memintamu memanggilnya adik, adik kecil seperti dulu." kata Suryawijaya dengan natural."Sebulan sebelum ayahanda mangkat, ayahanda berpesan agar saya belajar untuk tegas, Mas. Jadi sekali tidak tetap tidak." Pandu tersenyum, "Aku sedang belajar dari yang mudah-mudah, Mas. Contohnya permintaan Mbakyu."Suryawijaya menarik napas. "Tidak ada yang mudah dalam menuruti keinginan istri yang hamil muda, adik!!!"Suryawijaya menghela napas panjang dan jika keadaan Nawangsih semakin parah, dia benar-benar akan menjadi tulang lunak. Berharap tanpa malu dan tanpa jeda."Lagian tegas menurut Ayahanda bukan begitu, adikku. Ayahanda tegas untuk tetap menjaga semuanya agar tetap tertata dengan baik, bahkan juga untuk memperbaiki
Resmi menjadi sepasang suami istri yang telah membuat segala urusan panggil memanggil menjadi ruwet, Suryawijaya tak henti-hentinya meminta Pandu untuk memanggil istrinya dengan panggilan adik saja seperti waktu dulu.Pandu menggelengkan kepala dengan sikap tegas."Tidak bisa begitu, Mas. Bagaimana pun adikku menikah dengan kakakku. Aku tidak mentolerir panggilan adik untuknya sekalipun dia ngidam. Tolong bersikap tegas dan realistis."Dada Suryawijaya bergemuruh. Adiknya yang waktu kecil sering membuat ulah, dan bertindak di luar kepatutan anak bangsawan sekarang berubah drastis. Pandu Mahendra berusaha bijak seperti Ayahanda mereka dan sering mengeluh sakit punggung karena harus duduk dengan waktu yang cukup lama meski akhirnya Suryawijaya hanya bisa mengalah dan pergi."Gayanya bikin aku tidak tahan ingin mengajak Pandu main badminton terus nyemes dia, susah sekali merayunya." Suryawijaya menghela napas sambil geleng-geleng kepala seraya meneruskan langkah ke kamarnya. Tempat Nawang
Malam pertama? Terang saja Suryawijaya menyukai tali silaturahmi yang lebih kental dari pada hanya sebatas kakak dan adik. Dan iapun bisa membuat hubungan mereka lebih kental dari darah."Sejak dulu aku sulit membedakan kamu menjadi adikku atau kekasih hati. Tapi sekarang, ya..., Kamu tetap bisa aku panggil adik dengan rasa yang berbeda.""Biasa saja!" sela Pandu dengan nada bijak bahkan gayanya seperti simbah-simbah yang menautkan kedua tangan dibelakang punggung ketika hendak memberi petuah bijak pada anak muda. "Kalian itu bisa menikah karena perjuanganku juga, jadi kalian itu hutang sama aku. Mana bayar hutangnya."Suryawijaya dan Nawangsih tersenyum lebar, tergoda untuk menjura dalam-dalam kepadanya."Terima kasih pewaris tahta kerajaan bisnis Ayahanda. Kami memujamu." kata Suryawijaya sembari mencium punggung tangannya. Pandu menghela napas, merasa bukan itu yang dia mau."Kalian mau honeymoon?" tanyanya sembari berjalan menuju ruang keluarga karena akhir dari pesta pernikahan
Manisnya sabar dalam setiap penantian dan pengharapan kini Suryawijaya dan Nawangsih petik dalam bentuk pernikahan. Proses pengikatan janji suci antara seorang laki-laki dan seorang perempuan itu akan berlangsung dengan adat Jawa klasik dengan prosesi dan ritual yang lengkap dan khidmat.Pernikahan mereka akan terjadi besok lusa, tapi kesibukan demi kesibukan sudah terjadi sejak kemarin. Dapur umum di luar ruangan mulai mengepulkan asap dari tungku api untuk memasak hidangan dan bancakan yang tidak sedikit karena pernikahan Suryawijaya diadakan berbarengan dengan pernikahan Bimo dan Citra, Pandu dan Dewi Laya Bajramaya. Pendopo dan pelataran rumah mulai di tata rapi dengan kursi-kursi dan bunga-bunga yang bermekaran indah berseri.Rinjani tersenyum lega sambil memandang kesibukan yang ada. Dia lega, apa yang terjadi hari ini melebihi harapannya bersama suaminya dulu. Beliau bersyukur, putra-putrinya belajar untuk menjadi orang-orang yang lebih sabar terus-menerus tanpa pantang menyerah
Suryawijaya dan Nawangsih tidak menyangka kesibukan mereka sampai membuat mereka lupa menjenguk kondisi Ayah mereka, walau mereka yakin kondisinya akan membaik setelah pengobatan yang terus dilakukan ayahnya tanpa henti. Tapi hari itu ketika Ibunya menuju kamar ayahnya untuk mengambil dokumen. Mereka menemukan lelaki yang teramat mereka cintai mengalami batuk berkepanjangan yang tidak berhenti-henti hingga mengeluarkan darah dan tidak tertolong.Nawangsih menutup mulutnya dengan bibir ternganga. Dengan teramat pelan seakan kehilangan tenaga, dia mendekati Ibunya yang meraung tidak percaya. Air matanya bahkan mengalir deras dan begitu menyayat hati."Ibu." Nawangsih memeluk ibunya yang menjatuhkan diri ke pelukannya."Ayahanda, wafat. Ayahanda pergi ninggalin kita semua." Ibunya sesenggukan. "Maafkan kesalahan Ayahanda, maafkan kesalahannya, Nduk."Nawangsih menggeleng cepat dengan air mata yang ikut tumpah. "Ibunda tidak perlu minta maaf, Ayahanda tidak perlu meminta maaf sama aku, aku
Hari-hari kembali melaju meninggalkan jejak, menjadi momen yang terus menguatkan beragam kegundahan Nawangsih dan Suryawijaya selama berpisah. Meski begitu segalanya terasa seperti angin lalu. Rasa rindu itu tidak lagi menjadi beban, rasa khawatir itu tetap ada walau terkesan biasa saja. Suryawijaya tenang Nawangsih di rumah bersama keluarganya, sementara dia tinggal bersama keluarga kakeknya seolah keadilan tetap di tegakkan oleh orang tua mereka. Keduanya memiliki pengawasan hingga tak perlu risau berjauhan.Suryawijaya yang memiliki jiwa seni dan petualang tinggi mulai mendedikasikan diri pada dua hal-hal itu dalam prespektif yang positif.Lelaki itu mulai membuka workshop dan enterpreneur di Australia sekaligus mengembangkan bakat melukisnya dengan pelukis-pelukis handal maupun jalanan. Sementara pekerjaan tetapnya masih memantau sapi-sapi yang menghasilkan susu berkualitas tinggi entah sampai kapan hukuman itu berlanjut, dia hanya perlu pasrah dan menunggu karena ituNawangsih pun
Nawangsih menghela napas setelah keluar dari kamar ayahnya, meninggalkan Suryawijaya dan Ayahnya yang kembali membahas pekerjaan.Di dapur, tak ada siapapun kecuali dia dan cicak di atas plafon."Ya Tuhan, di saat aku ingin menjauh dan melupakan semuanya. Restu itu hadir tanpa aku duga. Tapi aku merasa tidak mengerti harus memilih jalan mana. Menikah atau tetap menjadi sahabat selamanya."Gadis itu termenung, membiarkan benaknya bicara dan berdebat. Begitupun Suryawijaya, ruang kerja ayahnya adalah tempatnya menepi setelah pembicaraan dengan ayahnya selesai."Tak ada yang lebih menentramkan hati ketimbang utuhnya sebuah keluarga. Terlebih setelah Ayahanda sakit, keluargaku masih terus di sorot media. Sekarang mungkin benar apa yang di katakan Keneswari dulu, jika apa yang terjadi antara aku dan Nawangsih adalah sesuatu yang justru akan menodai harkat dan martabat keluarga ini."Suryawijaya menghembuskan napas sambil meraba kebenaran dalam setiap kata Keneswari. Dia mengangguk samar dan
"Aku tidak mengganggu, Nawangsih. Ibu. Aku bersumpah. Kita hanya bercanda-canda." Suryawijaya mengaku di hadapan Ibunya yang meminta penjelasan. Tetapi penjelasanya tidak mempengaruhi rasa curiga Ibunya."Kamu memangnya bisa bercanda?""Bisa saja... Aku ini juga punya darah pelawak kok." Suryawijaya menghela napas. Baiklah, tiada gunanya bercanda dengan Ibunya, wanita itu terlalu peka akan batin anaknya.Suryawijaya menatap Ibunya. "Kami bersahabat sekarang, dan kami ingin memulai perubahan itu dengan berteman baik.""Berteman baik?"Suryawijaya mengamati Ibunya melihat sekeliling. "Ada apa, Ibu? Mau membicarakan sesuatu yang rahasia dan penting?"Ibunya mengangguk. "Kamu ikut ke kantor sekarang, Ayahanda sudah ada yang jaga."Suryawijaya mengikuti Ibunya dengan tidak tenang. Persoalan cinta dengan adik angkat pun tidak ada habisnya bahkan ketika dia sudah menyerah bagaimana nasibnya sendiri kelak. Mungkin dialah yang akan menjadi jomblo abadi.Suryawijaya menghidupkan steker lampu kar