Rowen menyeringai dingin mendengar pertanyaan Cordelia. Pria itu melangkah semakin dekat dengannya, dan sontak membuat Cordelia mundur menjauh dari Rowen. Tampak jelas raut wajah Cordelia tak suka berada di dekat Rowen. “Jika kau membutuhkan bantuan, aku siap membantumu,” bisik Rowen dengan tatapan penuh arti pada Cordelia. “Tidak perlu. Aku tidak membutuhkan bantuan apa pun. Sekarang lebih baik kau pergi. Jangan ikut campur urusanku,” tegas Cordelia penuh penekanan. Dia sama sekali tidak menyangka Rowen mengikutinya, hanya karena ingin menawarkan bantuan. Benar-benar sangat tidak masuk akal. Rowen melipat tangan di depan dada. “Kau tahu? Sekalipun kau dan Tristan akan menikah, Leony tidak akan pernah tergantikan di hati Tristan. Kau hanya membuang-buang waktumu untuk pria yang tidak pernah menginginkanmu. Ck! Come on, jangan bodoh, Cordelia.” Raut wajah Cordelia berubah mendengar apa yang dikatakan oleh Rowen. Wanita cantik itu sama sekali tidak mengira akan apa yang dikatakan ol
Lampu-lampu kristal di ballroom sudah dinyalakan, tamu-tamu mulai berdatangan, dan musik klasik lembut terdengar mengiringi kemewahan pesta pertunangan itu. Namun di dalam ruang rias, suasana terasa begitu berbeda—tegang dan sarat dengan pertanyaan yang tak bisa lagi ditahan.Cordelia duduk di depan cermin rias, matanya menerawang, jemarinya menyentuh gaun satin putih gading yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Make-up dan tatanan rambutnya begitu elegan, memancarkan kecantikan yang sulit diabaikan. Akan tetapi, tak peduli betapa sempurnanya penampilannya, pikirannya terus dihantui ucapan Rowen.Cordelia menghela napas panjang, berusaha mengusir keraguan yang terus menghantam seperti ombak di dalam dirinya. Rasa penasaran itu sudah merayap terlalu dalam, tak bisa diabaikan begitu saja.Pintu ruang rias tiba-tiba terbuka. Tristan masuk dengan jas hitam yang sempurna, dasinya rapi, dan wajahnya seperti biasa—penuh karisma, namun misterius. Pria tampan itu berhenti sejenak, matanya me
Cordelia duduk melamun di sofa, dengan sorot mata lurus ke depan sulit terbaca. Pikirannya kosong memikirkan banyak hal di dalam pikirannya. Masalah datang bertubi-tubi membuat Cordelia benar-benar merasa lelah. Tiba-tiba dering ponsel Cordelia berbunyi. Detik itu juga yang dilakukannya adalah mengambil ponsel, dan menatap ke layar tertera nomor asing mengirimkan pesan padanya. Rasa ragu muncul, tetapi rasa penasaran mendominasi. Dia langsung membuka pesan masuk itu. {Aku melampirkan bukti-bukti bahwa yang dicintai Tristan hanya Leony. Perlu kau ingat, kau itu tidak akan bisa menggantikan Leony di hati Tristan. Tristan mau menikah denganmu, semua karena kau mirip dengan sosok Leony—Rowen.}Raut wajah Cordelia berubah membaca pesan dari Rowen. Pun pesan itu bukan hanya sekadar pesan biasa saja. Melainkan ada penggalan foto dan video Tristan dan Leony. Entah kenapa dada Cordelia begitu sesak melihat jelas video Tristan pada Leony—yang di mana pria itu mengungkapkan cinta amat besar pa
Cordelia duduk di sofa, jari-jarinya menggenggam gelas berisikan air putih yang belum dia minum. Udara dingin dari jendela yang terbuka menusuk kulitnya, tapi tidak cukup untuk menenangkan pikirannya yang berputar-putar. Matanya menatap kosong ke arah jendela besar apartemennya, di mana lampu-lampu kota New York bersinar terang, seperti harapan yang terasa jauh dari genggamannya.Cordelia merasa bodoh. Sangat bodoh. Dulu, dia pernah merasa bahagia saat Brittany dan Veronica mendekatinya dengan senyum palsu, seolah mereka benar-benar keluarga. Sekarang, ibu tiri dan saudara tirinya itu terbukti membunuh ayahnya. Detik itu juga, raut wajah penuh dendam terlihat jelas. Tangannya mengepal erat hingga kuku-kukunya memutih.“Bagaimana bisa aku sebodoh dan selemah ini.” Cordelia bergumam lirih, menahan rasa bersalah yang kian menghimpit dadanya. “Aku bahkan pernah menganggap mereka bagian dari hidupku, tapi ternyata mereka adalah penjahat.” Tiba-tiba kenangan masa lalu berkelebat—saat Britt
Cordelia memandang pintu apartemennya dengan nanar. Kakinya sangat lemas, tubuhnya hampir tak mampu menopang. Wanita itu merasakan kepalanya berputar, dada terasa sesak, dan paru-parunya seperti tak sanggup lagi menarik udara.Dalam kondisi putus asa, Cordelia berhalusinasi. Dia seperti melihat sosok Carter berada di sampingnya. Ayahnya itu seolah berusaha memeluknya dengan erat. Melindunginya. Detik itu juga, Cordelia menangis, dan bertanya-tanya apa kematiannya sudah dekat? Apa dia akan mati dengan cara seperti ini?Namun Cordelia dengan cepat menggelengkan kepala. Dia meneguhkan dirinya untuk tidak boleh mati. Jika dia mati, maka artinya dia kalah. Kini Bayangan Carter pun menghilang. Dia kembali sendirian. Dia segera memukul pipinya beberapa kali dengan keras.“Sadarlah, Cordelia! Sadar!” ucap Cordelia lemah. “Aku harus keluar,” bisiknya, hampir tak terdengar. Tangannya mencoba meraih gagang pintu, tapi tubuhnya kehilangan keseimbangan. Dia jatuh terduduk di lantai, napasnya terse
Ruangan ICU sunyi, hanya terdengar suara mesin monitor yang memantau detak jantung Cordelia. Perlahan, kelopak mata wanita itu bergerak—matanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemah. Ketika akhirnya berhasil membuka mata, pandangannya sedikit kabur, tapi sosok Tristan yang duduk di samping tempat tidurnya mulai terlihat jelas.“Cordelia? Kau sudah sadar?” Tristan memanggil, suaranya rendah tapi sarat dengan kecemasan. Pria tampan itu segera mendekat, menggenggam tangan Cordelia dengan lembut tapi erat, seolah takut wanita itu menghilang lagi. Cordelia mencoba bicara, tapi tenggorokannya terasa kering dan perih. Detik itu juga, Tristan segera mengambil gelas berisi air dan menempelkan sedotan ke bibirnya. “Minumlah, pelan-pelan,” katanya.Cordelia menyesap sedikit air, lalu menarik napas panjang meski terasa sedikit berat. Dia melihat jelas wajah Tristan terlihat penuh kekhawatiran, garis rahang pria itu menegang, dan mata seperti menyimpan beban yang berat.“Apa ada yang sakit?” Tr
Setelah beberapa hari berlalu, akhirnya pagi itu dokter menyatakan Cordelia sudah stabil dan boleh pulang. Namun, tubuh Cordelia masih terasa lemah dan pikirannya berat. Tristan menjemput Cordelia dari rumah sakit, wajah pria itu penuh kecemasan meski mencoba bersikap tenang. “Mulai sekarang, Cordelia akan tinggal di sini sebagai calon istriku. Layani dia dengan baik dan pastikan semua kebutuhannya terpenuhi,” kata Tristan tegas, sorot matanya tajam, memastikan setiap pelayan mendengarkan. Pria tampan itu telah tiba di mansion bersama dengan Cordelia. Para pelayan menunduk dengan hormat, tapi di antara mereka ada yang menatap Cordelia dengan sinis. Beberapa bisikan samar terdengar di sudut ruangan, tapi mereka segera bungkam ketika Tristan melirik tajam. Cordelia merasakan tatapan itu—seperti panah beracun yang menghunjam dari arah tersembunyi. Dia sadar ada ketidaksukaan yang tersembunyi di antara para pelayan itu, tapi dia terlalu lemah untuk peduli. Saat ini, dia hanya ingin men
Cordelia bangkit berdiri dengan susah payah dan mengejar pelayan yang tadi menghina dirinya. Emosi di dalam dirinya tak terkendali. Dia tak ingin terus menerus menjadi sosok yang lemah. Tangannya kini mencengkeram pergelangan pelayan itu, memaksanya berbalik.“Kau dipecat. Keluar dari rumah ini!” desis Cordelia tajam. Pelayan itu mendengkus, meronta untuk melepaskan tangannya. “Apa hakmu memecatku? Kau cuma pelayan juga!”Para pelayan lainnya mulai berkerumun, bisik-bisik memenuhi ruangan, menyaksikan drama yang sedang berlangsung.Cordelia menatap dingin dan tajam pelayan yang menghinanya. “Kau kurang ajar dan tidak sopan. Tidak ada tempat untuk orang sepertimu di sini.”Pelayan itu tertawa mengejek. “Tentu saja kau merasa berkuasa, tapi kau pikir siapa kau ini? Kau tidak akan pernah menikah dengan Tuan Tristan. Nyonya Leony akan kembali. Sementara kau hanya pelayan seperti kami.” Suasana semakin memanas ketika Truffy, kepala pelayan, muncul dan melihat kekacauan di pantry. Truffy
Kehadiran Theo dan Candena bagaikan kebahagiaan yang tak terkira di keluarga Tristan dan Cordelia. Rosalia, Bernard, dan Alstair selalu sering mengajak Theo dan Candena bermain. Tidak jarang Rosalia, Bernard, dan Alstair mengajak si kembar untuk menginap. Pun bahkan Tony yang tinggal di London kerap mengunjungi kembar. Biasanya setiap kali Tony datang pasti si kembar akan bersama dengan Tony untuk waktu yang cukup lama. Well, Tristan dan Cordelia sudah terbiasa di kala anak-anak mereka diculik oleh keluarga mereka sendiri. Tidak hanya keluarga saja, tapi Rowen dan Alan juga sangat dekat dengan si kembar. Ah, Jovian juga masuk hitungan. Bisa dikatakan si kembar sangat ramah pada orang-orang di sekeliling Tristan dan Cordelia. Menikah sering menjadi hal yang ditakutkan oleh banyak orang. Namun, Cordelia berhasil mematahkan semua itu. Ketakutan dalam pernikahan adalah ketika orang tersebut tak menemukan sosok yang sesungguhnya. Sementara Cordelia telah berhasil menemukan sosok yang men
Sore itu, Cordelia menyambut Tristan dan si kembar yang pulang lebih cepat dari biasanya. Begitu melihat suami dan anak-anaknya melangkah masuk, Cordelia tersenyum lebar, sudah memprediksi bahwa hari mereka di kantor tidak akan bertahan lama.“Jadi, bagaimana rasanya mengasuh dua anak di kantor?” Cordelia bertanya sambil menyembunyikan tawa.Tristan hanya menggeleng kecil, wajahnya sedikit letih tapi penuh kasih. Pria tampan itu menarik Cordelia ke dalam pelukannya dan berbisik serak, “Aku butuh asupan energi merawat dua anak kita yang sangat aktif.” Cordelia tertawa mendengar keluhan kecil itu dan melingkarkan tangannya di punggung Tristan. “Nah, Daddy bilang senang karena ada Theo dan Cadena, jadi kalian boleh ikut ke kantor Daddy kapan pun kalian mau!” katanya seraya melirik si kembar dengan penuh cinta.Theo dan Cadena bersorak girang mendengar pernyataan itu, tangan kecil mereka langsung terangkat tinggi-tinggi sambil melompat-lompat di sebelah Cordelia. Sementara Tristan menata
Tiga tahun kemudian … Pagi itu, aroma sarapan yang menggoda memenuhi ruang makan, berpadu dengan suara riuh tawa dan celoteh Theo dan Cadena yang sedang menggambar di lantai bersama pengasuh mereka. Dulu, ruangan ini selalu terjaga kaku dan elegan, tapi kini berubah penuh warna ceria dengan gambar-gambar tempel dan mainan anak-anak di setiap sudut. Di tengah suasana yang hangat ini, Jovian masuk dan segera disambut teriakan penuh semangat.“Paman Jovian, ayo Main kuda-kudaan lagi!” teriak Theo sambil berlari menghampirinya, diikuti Cadena yang tak kalah antusias.Jovian yang sudah hafal dengan ritual pagi ini, hanya bisa tersenyum kecil, menghela napas sejenak sebelum merendahkan tubuhnya. “Baiklah, tapi jangan pukul Paman Jovian seperti kemarin, ya?” ujarnya sambil bercanda, berusaha menahan geli.Theo memekik kegirangan, “Iya! Iya! Ayo, Paman Jovian, jalan cepat!” Cadena, yang lebih manis, memeluk Jovian dengan erat dan ikut berteriak, “Ayo, Paman Jovian, cepat! Kami di punggung k
Cordelia duduk di kursi ruang tamu, jarum rajutannya bergerak perlahan, membentuk sepasang sepatu bayi mungil. Senyum hangat tersungging di bibirnya, membayangkan bayi kembarnya yang sebentar lagi akan lahir. “Sayang,” panggil Tristan tiba-tiba. Cordelia terlonjak terkejut dan refleks menarik kakinya, hingga tak sengaja membuat tubuhnya tergelincir ke belakang. Dia jatuh duduk di lantai, dan seketika itu juga, perasaan aneh menghantam dirinya. Air ketubannya pecah, mengalir ke lantai di bawahnya.“Ah,” rintih Cordelia. Tristan langsung panik, kedua matanya membesar melihat cairan di lantai. “Cordelia! Kau kenapa? Ada apa ini?” Tangannya gemetar saat dia membantu Cordelia berdiri.Cordelia yang masih berusaha menahan rasa sakit, berusaha tersenyum. “A-aku tidak ap-apa. Sekarang lebih baik kita segera ke rumah sakit.” Tanpa pikir panjang, Tristan langsung menggendong Cordelia ke mobil dan melaju secepat mungkin ke rumah sakit. Tepat sesampainya di sana, beberapa dokter dan perawat l
Cordelia tersenyum hangat saat mobil berhenti di depan hotel. Namun, senyuman itu seketika berubah gugup ketika dia menyadari semua orang sudah menunggu mereka di dalam, terlihat dari beberapa wajah akrab yang melirik keluar jendela. Mereka memang terlambat—lebih terlambat dari yang dikira.Saat Cordelia dan Tristan melangkah masuk, tatapan mata dari orang-orang terdekat langsung menyapa mereka. Bernard tersenyum bijaksana, sedangkan Tony dan Alstair menyeringai penuh arti. Alstair yang sejak sibuk mengelola Pharton Inc. nyaris tak pernah muncul, langsung mengejek mereka.“Aku rasa kalian sedang berusaha keras memberiku keponakan, ya? Setiap pertemuan pagi, pasti kalian yang paling akhir,” sindir Alstair dengan nada menggoda. Cordelia memerah, merasa malu dengan sindiran itu, sedangkan Tristan tak mengindakan ucapan adiknya itu. Hal yang dilakukan Tristan adalah menggenggam erat tangan Cordelia seolah tidak peduli dengan olokan itu.Semua orang tertawa lepas mendengar ledekan yang te
Pagi yang tenang menyelimuti kamar Cordelia dan Tristan. Matahari baru saja muncul, menyorotkan cahaya lembut ke wajah mereka. Cordelia terbangun melihat Tristan yang masih tertidur di sampingnya. Dia tersenyum, hatinya terasa penuh. Beberapa bulan pernikahan berjalan dengan begitu indah. Tristan benar-benar menepati janji padanya. Suaminya itu pergi ke psikiater dan perlahan sindrom tidur berjalannya mulai terkendali. Cordelia memperhatikan wajah suaminya yang damai, menyadari betapa beruntungnya dia memiliki seseorang yang berusaha untuk terus menjadi lebih baik. Tristan adalah sosok yang mencintainya dengan luar biasa. Pun dia selalu merasa beruntung, karena diperilakukan dengan begitu istimewa oleh suaminya itu. “Kau benar-benar tampan,” bisik Cordelia lembut seraya membelai pipi Tristan. “Dan kau benar-benar cantik.” Tristan yang tadi memejamkan mata, tiba-tiba membuka mata, dan menarik tubuh Cordelia masuk ke dalam pelukannya. Cordelia terkejut mendapatkan pelukan dari Trist
Mansion megah Tristan terasa sangat sunyi saat Cordelia menatap Tristan dari ujung ruangan. Keduanya bertemu di aula besar, dan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya, mereka hanya berdiri diam. Tristan akhirnya bicara, suaranya rendah dan pelan tapi terdengar tegas.“Aku ingin bicara denganmu, Cordelia,” ujar Tristan sambil memberi isyarat agar dia mengikutinya ke taman belakang mansion. Cordelia mengangguk menuruti permintaan Tristan, dan melangkah bersama pria itu melihat sekeliling taman yang sunyi—di mana angin membawa aroma mawar dan daun berguguran.Saat Cordelia dan Tristan berhenti di bawah pohon tua, Tristan menatap Cordelia dengan tatapan penuh tekad. “Aku tahu kau mungkin masih meragukanku,” kata Tristan perlahan, dan tenang. “Tapi aku sudah menutup bab masa laluku. Aku tidak ingin kau terluka lebih jauh karena bayang-bayang Leony atau hal lain yang kulakukan selama ini.”Cordelia menatap Tristan memastikan kebenaran di balik ucapannya. “Jadi, kau yakin semua
Cordelia berdiri di lorong, memperhatikan persiapan konferensi pers yang akan segera dilakukan Tristan. Wanita itu tidak terlibat kali ini karena tahu ini adalah masalah Tristan dan Leony, dan mungkin, momen bagi Tristan untuk benar-benar menyelesaikan masa lalunya. Namun tak menampik di dalam hatinya, perasaan yang selama ini dia simpan justru datang menyerbu. Cordelia tidak yakin apa itu benar-benar cinta atau sekadar perasaan nyaman bercampur kasihan saat melihat Tristan terjebak dalam kesulitan. Kadang jantungnya berdebar saat di dekat Tristan, tapi kadang juga hatinya berkata bahwa mereka berdua mungkin memang tidak bisa bersama, dan mungkin itu memang jalan yang tepat.Saat Cordelia tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba Rowen muncul di sisinya tanpa suara, seperti biasa.“Kau bimbang, ya?” Rowen bertanya dengan nada lembut tapi menusuk, tatapannya seolah bisa menembus jauh ke dalam perasaannya.Cordelia menoleh, terkejut tapi tidak menjawab. “Jangan bimbang, Cordelia.” Rowen m
Cordelia terbangun dengan terkejut di kala mendengar keributan dari lantai bawah. Suara langkah kaki dan teriakan samar memecah kesunyian malam. Dengan napas tertahan, dia segera turun dari kamar, mengikuti sumber suara yang datang dari ruang tamu utama di lantai satu.Saat Cordelia muncul di tangga, mata Leony langsung menyala-nyala penuh amarah. Tanpa peringatan tiba-tiba, Leony berlari menghampirinya.“Dasar jalang murahan!” Leony berteriak, menarik rambut Cordelia dengan kasar, membuat tubuh Cordelia terhuyung. “Kau pikir bisa merebut suami orang?!”Semua pelayan yang berada di ruangan itu terkejut. Bahkan Tristan terperangah, tak menyangka Leony akan bertindak segila ini. Cordelia mencoba melepaskan diri, tapi cengkeraman Leony terlalu kuat.Leony menambah kekuatan tarikannya. “Kau bukan siapa-siapa di sini! Aku sempat menyerah, tapi kali ini tidak! Tristan hanya milikku!” Cordelia meringis kesakitan, dan saat itu Tristan bergerak cepat. Dalam satu gerakan brutal, Tristan memuku