Hanif pulang kerja lebih cepat dari biasanya. Ia berjalan menuju dapur dan menenggak habis es jeruk yang ada di atas meja. Di kantor tadi, ia mendapat peringatan dari atasan karena sudah beberapa hari tak masuk kerja. "Kenapa lesu gitu?" tanya Vania, sambil mengambil jeruk yang ada di kulkas, lanjut membuat es jeruk kembali. "Dapat peringatan, Van. Aku terlalu sering nggak masuk kerja, katanya," ucap Hanif. "Ya, kan? Ini yang aku khawatirkan, Mas. Bagaimana kalau kamu dipecat? Sudah lah, menyerah saja. Sampai kapanpun, aku tak mau dimadu," ucap Vania. "Kok jadi ke masalah itu, sih?" "Lah, nyambung, Mas. Kamu pikir saja, kalau misal kamu dipecat. Mana punya istri dua, mau dikasih makan apa kami?" tanya Vania ketus. "Kalau kamu takut, ya lebih baik kamu aja yang mengalah, Mbak Vania. Aku siap menemani Mas Hanif. Senang ataupun susah," ucap Lia, yang datang tiba-tiba sambil duduk di sebelah Hanif. Vania segera melengos dan mengambil es batu. Udara siang ini memang panas, sehingga
"Sudah-sudah, enggak usah ribut! Aku bisa masak sendiri, Anna sekarang masuk kamar saja." Vania akhirnya buka suara, ia malas mendengar perdebatan. Tentu saja yang akan menang adalah Lia, terlebih kini ibu mertuanya kini berpihak pada jalang itu. "Maa!" protes Anna. Ibu dua anak itu mengerlingkan mata, memberi kode pada putrinya untuk diam saja. Anna tak habis pikir dengan ibunya yang luar biasa sabar menghadapi pengkhianatan di depan mata. Anna meninggalkan ruang makan, senyum penuh kemenangan tercetak jelas di wajah Lia. Ia berhasil membuat takluk Wiyani dan Hanif, sebentar lagi rumah ini akan dikuasai olehnya. Satu langkah lagi, pikirnya. Vania kembali melanjutkan masaknya, berusaha tak mempedulikan ketiga orang di ruang makan yang asik bercengkrama. __Anna dan Aldi memilih menghabiskan makan malam di kamar, mereka begitu muak melihat wajah Lia dan Kikan. Terlebih anak dari gundik ayahnya itu berhasil merebut semua perhatian Hanif."Lihat saja nanti, aku pasti bisa nyingkiri
"Menikah?" tanya Wiyani. "Iya, Bu. Memangnya apalagi yang ditunggu? Ibu sudah merestui kami, kan? Sepertinya Ibu juga sudah terbuka matanya, jadi bisa membedakan mana yang bagus dan mana yang jelek. Pokoknya Ibu nggak usah ngerasa khawatir, Lia akan mengurus Mas Hanif dengan lebih baik dari Vania pokoknya," ucap Lia. Ia masih terus berusaha mendekati Wiyani, karena jauh dalam hatinya, ia merasa aneh dengan perubahan sikap Wiyani padanya. Dari yang suka menginjak, kini sudH teras seperti bestie."Itu, kita bahas nanti. Oh iya, Hanif itu suka sekali sama perempuan yang bau tubuhnya pake minyak gosok, loh," ucap Wiyani. "Ah, masa, Bu? Laki-laki di mana pun pasti sukanya perempuan yang wangi. Masa iya, minyak gosok?" tanya Lia ragu."Lah? Kamu emang gak nyadar, kalau Vani sering bau minyak gosok? Kata Hanif, baunya itu bikin candu. Kamu percaya aja deh pokoknya, biar Hanif klepek-klepek sama kamu," ucap Wiyani. Mendengar kata-kata terakhir dari calon mertuanya tersebut, membuat Lia s
Revisi BAB 19[Ikuti saja permainanku, Van.]Kening Vania mengkerut membaca pesan dari ibu mertuanya. Jadi, dua hari ini Wiyani sedang berpura-pura baik pada Lia. Entah apa yang sedang direncanakan ibu mertuany itu. Vania melanjutkan kembali pekerjaannya. Meskipun ia kini tahu sikap ibu mertuanya hanyalah sandiwara, tetap saja hatinya terluka karena bentakan beliau."Kamu sudah pulang, Nak? Sudah makan?" tanya Vania, saat melihat Anna masuk ke dalam rumah. Ada yang berbeda dari raut wajah Anna, mata sembab dan hidung merah pertanda gadis itu baru saja menangis. Vania menyusul putrinya ke kamar, ia yakin gadisnya itu sedang tidak baik-baik saja. "Sayang, kamu kenapa?" tanyanya. Anna menenggelamkan wajahnya di bantal, membuat suara tangis gadis itu teredam. Vania mengusap punggung putrinya, entah apa yang membuat Anna pulang dengan keadaan sedih seperti ini. Tak berselang lama, Hanif datang dengan tergopoh-gopoh disusul dengan Kikan. "A-anna!" ucap Hanif terbata, lelaki itu terdi
Vania memeluk anaknya yang menangis sesenggukan, ia biarkan putrinya menumpahkan air matanya. Sekarang ia tak bisa tinggal diam, suaminya sudah benar-benar keterlaluan. "Anna malu, Ma." Tangis Anna membuat hati sang ibunda semakin terluka."Maafkan Papamu, Nak. Doakan semoga beliau segera sadar dari segala khilaf yang membutakan mata dan hati Papa," gumam Vania seraya mengusap rambut putrinya. Hari sudah semakin siang, Anna terlelap dalam pelukannya karena terlalu lama menangis. Setelah memastikan putrinya tertidur dengan nyenyak, Vania keluar kamar. Sejak tadi suasana rumah begitu sepi. Vania membersihkan rumah yang kotor, hampir tiga kali dalam sehari ia mengepel lantai sejak kedatangan Lia. Wanita itu begitu jorok, seringkali bekas makanan atau minuman berceceran di lantai. Ia membuka pintu kamar Lia yang tak terkunci, bau apek menyeruak menusuk indera penciuman. Banyak baju kotor bertumpuk di sudut ruangan, bekas makanan dan barang-barang yang berceceran. Jorok. Ya, gundik
"Ada apa ini ribut-ribut?!" Wajah Kikan berubah sumringah saat melihat Hanif datang. "Tante Vania pelit, Pa. Masa aku dikatain maling karena ngambil jajanan yang dia beli, kan, jajanan ini dibeli pakai uang Papa." Vania mencebik, melihat tingkah manja Kikan. Sementara Aldi pergi begitu saja, ia muak melihat kedekatan Hanif dan Kikan. "Van, kamu jangan kayak gitu dong!" tegur Hanif. "Terserahmu, lah, Mas. O iya, itu Anna lagi sakit, jangan ngurusin Kikan mulu!" ucap Vania seraya beranjak ke kamar. Hanif melepaskan tangan Kikan yang bergelayut di lengannya. "Papa mau datangin Anna dulu," "Papa aku, kan, masih kangen!" rengeknya. Jurus andalan Kikan ketika Hanif tak menuruti permintaannya adalah memasang wajah sedih. "Papa tega sama aku, dari kecil Anna kan sudah puas disayang Papa!" isaknya seraya menutup wajah dengan bantal sofa, membuat Hanif tak tega. Kikan tersenyum penuh kemenangan dibalik bantal."Sudah jangan menangis, Papa temani kamu di sini." Wiyani yang melihat it
"Apa kamu menyerah, Van?" tanya Wiyani. "Ya gimana, Bu? Mas Hanif benar-benar sudah buta. Vania tak tega melihat anak-anak yang semakin sakit melihat tingkah papanya dan Kikan. Bahkan, sekarang teman sekolahnya sudah tahu kalau ada Kikan." Wiyani menoleh ke arah menantunya. Apa maksudnya? Apa gosip itu sudah menyebar? "Mereka mengira kalau Kikan adalah wanita simpan Mas Hanif, Bu." "Apa? Kok bisa?" Lalu, Vania menceritakan kejadian beberapa hari yang lalu, saat Anna pulang sambil menangis dan tentang isi pesan di grup kelas anaknya. "Benar-benar si Kikan. Anak dan Ibu nggak ada bedanya. Kamu nggak usah khawatir, Van, biar Ibu nanti gembleng si Hanif," ucap Wiyani. "Nggak usah, Bu. Nanti yang ada, malah Mas Hanif marah sama Vania. Lagi pula, Vania udah capek, Bu. Mental anak-anak sudah kena, begitupun dengan Vania. Kayak berjuang untuk hal yang tak pasti. Padahal di sini, Vania-lah istri sah Mas Hanif. Tapi seakan nggak punya kuasa untuk mengusir perempuan itu. Wanita licik itu,
"Bu?""Ini yang kamu mau kan, Vania?" tanya Wiyani pada Vania.Vania sedikit terkejut melihat perubahan mertuanya. Namun, secepat kilat ia bisa menata hati dan posisinya."Ibu bilangin lah, sama Lia, kalau mau jadi ibu sambungnya Anna, minimal harus bener pakaianny. Jangan kayak lacur gitu. Anaknya juga tuh, sama aja."Setelahnya Vania pergi ke kamarnya. Meski akting, rasanya sakit aja melihat mertuanya itu membela Lia.Lia tersenyum jumawa, lalu membenahi duduknya. Namun tidak dengan Kikan, gadis itu masih setia dengan mengangkat kakinya. Setelah dipukul oleh Lia, baru ia menurunkan."Lia dan Kikan ke kamar dulu, Bu."Wiyani mengangguk, setelahnya Lia menyeret Kikan menuju kamar."Ma, sakit, ih!""Selangkah lagi, Mama bisa menguasai papamu dan juga rumah ini. Tolong kerja samanya, Kan! Kamu mau, semuanya hancur si
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe