BAB 102 Rima bergegas menelepon Vania, beruntungnya langsung diangkat. "Halo, Rim, kenapa?" tanya Vania. "Kak, maaf kalau aku menganggu." "Kali ini ada apa lagi, Rim?" Mendengar respon mantan kakak iparnya, membuat Rima bergeming. Ia seakan tersadar karena selama ini telah banyak merepotkannya. "Nggak papa, Kak." "Loh, kenapa?" "Nggak jadi. Ya sudah, assalamu'alaikum."Rima buru-buru berganti baju dan ke rumah Pak RT untuk menyewa mobilnya. Biasanya, mobil Pak RT memang disewakan. Tak lupa, Mira pun dibawanya. "Assalamu'alaikum, Pak RT!" "Wa'alaikum salam. Kenapa, Bu Rima?" "Pak, boleh saya sewa mobilnya? Saya mau jemput Bang Hanif, katanya ia ditemukan warga di kecamatan sebelah, Pak." "Eh? Ya Allah! Boleh, Bu Rima. Ayo, kalau gitu biar saya antar. Bu! Ayo ikut," ucap Pak RT sambil memanggil istrinya. Mereka pun gegas menuju ke kecamatan sebelah. Setelah perjalanan satu jam, mereka akhirnya sampai. Rima melihat Hanif yang sedang diobati. "Ya Allah, Bang, kok bis begini?
BAB 103__Aldi menyentak napas kasar, ia sadar apa yang telah diucapkannya sudah melukai hati lelaki di sampingnya. Ia ingin sekali memaafkan papanya, tapi luka di hatinya seolah kembali berdarah jika melihat wajah Hanif. Ia ikut ke rumah Omanya ini pun, sebenarnya terpaksa. Karena ingin melindungi dua wanita yang sangat ia sayangi. "Kamu masih marah sama Papa, Bang?" lirih Hanif. Anak lelaki itu menatap sang ayah datar, Hanif seolah berkaca ketika menatap putranya. Anak lelaki yang dulu masih ia timang dalam buaian, kini bertumbuh menjadi lelaki dewasa. Ia sudah melewati banyak hal tanpa anaknya. "Abang enggak marah, Pa. Hanya kecewa, Papa ngerti, kan?" ucap Aldi seraya beranjak pergi. Hanif menatap punggung putranya yang semakin menjauh, ia benar-benar menyesal karena telah menelantarkan anak-anaknya. Ia tak hanya kehilangan istrinya, tapi juga dua malaikatnya.Hidupnya terasa tak lagi bermakna. "Seharusnya aku saja yang mati bukan Ibu," gumamnya. Membayangkan masa tuanya a
BAB 104Ibra kembali datang ke rumah Vania untuk menentukan tanggal pernikahannya bersama dengan Vania. "Ayah ada?" tanya Ibra."Ada, abis salat Isya. nanti kamu temui aja, Mas." "Aku deg-degan kalau sendiri. kamu temani, lah." "Hih, mana bisa. iitu pembicaraanmu dengan Ayah. Aku ngikut aja." Mendengar ucapan vania, membuat debaran di jantung Ibra semakin mengencang. ia sama sekali tak menyangka jika hubungannya dengan Vania akan berjalan dengan lancar. "Mas nggak nyangka kalau kita bentar lagi mau nikah, Van," ucap Ibra. Dulu, ia dan vania menjalin hubungan saat mereka menjejaki bangku SMA. Ibra terpaksa memutuskan hubungannya dengan Vania karena akan fokus bekerja sambil kuliah. Terlahir dari keluarga sederhana, membuat Ibra tumbuh menjadi sosok lelekai yang begitu tahu diri. Ia bahkan tak segan untuk bekerja sebagai kuli bangunan sebelum akhirnya bekerja part-time dan melanjutkan kuliahnya. Tak lama kemudian, Rahman keluar dari kamar dan bergabung bersama dengan anak serta
BAB 105___"Ternyata Vania benar-benar akan menikah," lirihnya. Langkah lelaki itu terhenti, suasana hatinya berubah seketika. Rasanya berat membayangkan wanita yang dulu ia sia-siakan, sebentar lagi memiliki pendamping baru. Sementara dirinya, sendiri meratapi penyesalan yang tak berujung."Eh, Papa sejak kapan sampai?" Anna terkejut ketika melangkah keluar, melihat Hanif sudah berdiri di teras rumah. Hanif gelagapan, "baru aja, kok!" "Kita jadi jalan, kan?" tanya Anna lagi. "Jadi dong!" ucap Hanif, ia tak mungkin mengecewakan anak-anaknya lagi hanya karena perasaannya. Mereka masuk ke dalam mobil yang di pesan oleh Hanif lewat aplikasi ojek online, demi menyenangkan buah hatinya ia rela merogoh kocek untuk mengorder kendaraan roda empat agar anak-anaknya nyaman, tadinya ia ingin naik motor bersama Anna, sementara Aldi membawa motor sendiri. Tapi ia berubah pikiran. "Mau makan dulu enggak?" tanya Hanif, mencairkan suasana yang canggung di dalam mobil. Anna dan Aldi saling tat
BAB 106__"Bang, jangan terlalu berharap. Meskipun Kak Vania belum memiliki calon, aku yakin dia enggak akan mau kembali lagi sama Abang!" Hanif seolah tertampar mendengar ucapan adiknya, ia seorang bajingan brengsek, berharap kembali lagi menjadi pendamping bidadari, tentu saja ia akan dihempaskan sang bidadari ke jurang. "Sudah banyak kesalahan Abang sama Kak Vania, tak mungkin wanita cerdas seperti Kak Vania memberi kesempatan untuk keparat seperti Abang!" cibir Rima, tak memikirkan perasaan abangnya yang tercabik-cabik. "Tega sekali muncungmu itu, Rima!" gumam Hanif seraya mengusap wajahnya. __Lia melangkah sempoyongan ke kamar mandi, ia baru saja selesai pesta miras bersama para berondong. Ia menghambur-hamburkan uang hasil penjualan mobil untuk berpesta, bahkan ia tak pernah menghubungi keluarganya setelah kabur dari kota tempat tinggal suaminya. "Hah!" Tubuh wanita berusia kepala empat itu terduduk di dalam kamar mandi, matanya menengadah menatap langit-langit kamar. Ia
BAB 107Vania menangis haru saat dirinya dan Ibra sudah sah menjadi pasangan suami istri. Kini ia tak perlu merasa takut jika harrus pergi berdua-an. "Mama," ucap Anna."Nak."Mereka pun akhirnya berpelukan. Haikal dan Ibra pun melakukan hal yang sama. Untuk ke depannya, ia mungkin akan memilih untuk ngekost di luar. Sama seperti Anna, lelaki itu belum mampu menghilangkan Anna dari hati dan ppikirannya. Rasanya menyiksa, jika ia harus tinggal satu atap bersama dengan mantan kekasih yang tyelah menjadi saudaranya itu."Om, jangan sakiti Mama, ya? Aldi percaya sama Om," ucap Aldi seraya menatap suami mamanya itu."Kok manggilnya masih Om? Seharusnya Papa. Saya ini kan suah sah menjadi Papamu." Aldi tersenyum kaku, rasanya aneh jika harus memanggil Papa pada porang selain Hanif. Raisa yang ssedari tadi sudah menahan air matanya, akhirnya tumpah juga sat Vania menghampirinya. Kedua sahabat itu saling berpelukan. "Setelah ini, apa akku bakal kehilangan seorang sahabat?" tanya Raisa."
BAB 108__Lia membersihkan nanah yang ada pada lukanya, sesekali ia meringis menahan pedih yang mendera. Pikirannya dipenuhi dengan kekalutan, tentu saja ia tahu jika hal seperti ini bisa jadi gejala penyakit sex menular. "Aku sudah berhubungan dengan aman, bagaimana bisa aku tertular penyakit menjijikan!" gumamnya. Setelah membersihkan diri, Lia menatap layar ponselnya. Ia ragu ingin kembali menghubungi Hanif, tapi perutnya pasti akan membesar. Ia tak mungkin terus sendirian tanpa pendamping suami, meskipun anak dalam kandungannya bukan anak suaminya. "Bagaimana caranya aku kembali dengan Mas Hanif?" gumamnya. Lia kembali menggaruk selangkangannya, bahkan rasa gatal itu berubah menjadi panas. Ia beranjak dari duduknya, lalu mengambil air hangat dan mengompres selangkangannya. "Bangsat, kenapa hidupku jadi begini!" rutuknya. Wanita paruh baya itu denial dan tak mau memeriksakan diri, ia merasa selama ini sudah 'bersih' dalam menjaga kewanitaannya. Setiap pria yang menggaulinya
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe