Aku masih berdiri di tempat dengan dada berdetak tak karuan. Tangan berkeringat dingin, hati dipenuhi rasa cemas.
Tak dapat kubayangkan reaksi Mas Nata saat melihat wanita terkasihnya dalam keadaan seperti ini, lebih-lebih Anes bilang yang sebenarnya. Akulah yang memisahkan mereka.Siap-tak siap, aku harus menerima kenyataan. Toh, di sini aku yang perebut. Perusak hubungan dua insan saling mencintai itu.Beberapa menit berlalu, aku tak mendengar suara apapun. Ataupun suara Mas Nata begitupun Anes. Karena penasaran, aku menoleh ke belakang. Mataku memicing saat sudah tak menjumpai Mas Nata di tempatnya. Hanya Anes yang celingukan tampak mencari-cari seseorang.Ke mana Mas Nata? Kulihat Aneska melangkah ke arahku. "Mungkin tidak sekarang, tapi aku akan kembali berusaha menemui apa yang sepantasnya jadi milikku."Aku terpaku dengan kata-kata Anes. Artinya … ia akan berusaha terus menemui Mas Nata. "Seperti halnya kau merebut Mas Nata, aku akan kembali hadir untuk merebutnya kembali darimu. Sebab ia memang milikku. Lagi pula … pernikahanku sedang berada di ujung tanduk." Setelah berucap, Aneska pergi begitu saja.Aku meremas tanganku. Tentu gelisah dengan ucapan Anes yang secara tak langsung ia akan meneror pernikahanku.Ya, Tuhan … siapkah aku?Tak ingin berlarut dengan ketakutan, aku berlari kecil mencari Mas Nata dan anak-anak. Ke mana dia?Saat ingin kembali berlari, aku melihat Mas Nata muncul bersama si kembar."Mas Nata!" Segera kuhampiri dan mencekal lengannya."Ada apa? Kenapa wajahmu berkeringat?" Dia menatapku heran."Mama habis lari-lari?" tanya Damar. Aku menggeleng."Kenapa, Nye?""Aku mencarimu, Mas. Kau menghilang." Kalimat itu begitu cepat aku luncurkan disertai nada khawatir.Mas Nata terdiam sejenak. "Kamu takut kehilangan aku?"Aku tergeragap dengan pertanyaannya. "Tidak, aku hanya khawatir sama Damar dan Wulan." Aku segera berjongkok dan memeluk si kembar. Untuk mengalihkan keadaan. Yang sempat tegang karena pertanyaannya.***Saat tiba di rumah, Mas Nata menggendong Wulan yang tertidur, sedangkan aku menuntun Damar.Setibanya di kamar, dengan pelan nan lembut Mas Nata mengelus pipi gembul Wulan dan menatapnya sambil tersenyum. Sedangkan Damar masih bermain dengan Mbak Ita di ruang tengah."Wulan begitu mirip denganku, ya?" Aku yang tengah menyimpan tas menoleh ke arah Mas Nata yang terus mengelus wajah Wulan dengan bibir masih tersenyum."Memang Damar nggak, Mas?" tanyaku sambil melepas aksesorisku."Ya mirip. Kan mereka kembar. Cuman … Wulan lebih mirip.""Kenapa bisa begitu?" Sekilas aku melirik sambil melepas anting."Entahlah … mungkin ini efek aku terlalu penyayang wanita. Sebenarnya Wulan sama Damar sama aja wajahnya. Mirip denganku. Cuman karena Wulan wanita jadi mungkin aku lebih memperhatikan dia. Bukan ingin pilih kasih. Tapi aku didik Damar agar jadi mandiri dan pemberani. Agar kelak bisa melindungi sang adik." Mas Nata masih setia mengelus wajah yang bak cerminannya tersebut.Dia memang akan bicara dan bercerita denganku hanya di luar tentang dirinya. Keseringan tentang anak-anak. Padahal aku ingin ia curhat tentang pribadinya. Lebih-lebih perasaannya. Untuk siapa hatinya."Juga … kelak pria yang menginginkan Wulan, gak boleh sembarang pria. Aku harus menjaga wanitaku dari emosional pria yang bisa berujung kekerasan. Itu tak boleh terjadi."Kata-kata pria yang penuh kelembutan nyaris mengalahi perempuan itu mengingatkanku dengan nasib rumah tangga Aneska. Ia banyak menerima kekerasan dari suaminya.Ya, Allah … apa jadinya jika Mas Nata tahu keadaan wanita terkasihnya yang gagal ia nikahi sebab tuduhan palsuku?Mas Nata tak suka pengkhianatan, jika sampai ia tahu kebohonganku, aku tak tahu apa yang akan terjadi. Tentu aku kehilangan segalanya. Materi dan cinta ….***Pagi ini si kembar berangkat sekolah denganku. Saat perjalanan pulang, di pinggir jalan aku melihat mainan anak-anak yang dijual dengan harga murah. Berjejer antara penjual satu dengan yang lainnya.Sebenarnya mama mertua melarangku juga Mas Nata membelikan si kembar mainan yang dijual pinggir jalan. Alasannya kotor gak baik untuk anak-anak.Ah, ada-ada aja emang mama. Udah kayak makanan aja harus bersih.Mas Nata biasa membelikan di mall, tapi sekalian melariskan dagangan bapak-bapak yang jualannya tampak sepi, aku pun turun dari mobil yang kuparkir di pinggir jalan.Pertama aku mengambil mobil-mobilan untuk Damar. Ada bola kecil dan pesawat juga. Lalu beralih ke boneka barbie. Saat tanganku hendak meraih bando pita. Tiba-tiba …."Mah, Bela kepengen bando itu. Cepat beli sebelum dibeli bibi itu …."Karena aku penasaran, lantas menoleh ke belakang. Mataku membelalak saat mengetahui itu Aneska dengan anak cewek berkisar seumuran Wulan.Segera kupalingkan wajah ke depan sebelum Aneska melihatnya. Mungkinkah itu anak Aneska?"Besok, ya, Nak … sekarang uangnya 'kan dipakai beli buku Bela …." "Ah, Mama selalu saja bilang besok dan besok terus. Tapi gak pernah belikan Bela. Bela benci Mama." Melalui pandangan ekor mataku, anak kecil yang kuyakini anak Aneska berlari."Bela. Tunggu …!" Aneska mengejarnya.Aku membalikkan badan untuk menatap Aneska yang mengejar anaknya. Juga kulihat mantan sahabatku itu memarahi makanya yang ngambek. Bahkan juga memukulnya. Setelah cukup lama, Aneska pergi dengan kesal meninggalkan Bela yang menangis tersedu-sedu.Hatiku teriris melihat adegan ini. Apalagi Mas Nata yang melihatnya. Dia orang yang sangat tersentuhan. Dulu Aneska yang glamor dan selalu membeli barang mahal, kini untuk membelikan bando anaknya seharga tujuh ribu saja gak punya.Apa segitu gak punyanya suami Anes. Dan ke mana orang tuanya yang kaya raya. Setidaknya mengetahui ini sedikit membantu.Di sini aku merasa jadi wanita paling jahat. Seharusnya Anes yang ada di posisiku, dan mungkin akulah yang di posisi Anes.Aku membeli beberapa mainan anak cewek juga bando tadi yang tersisa satu.Lalu menghampiri Bela yang masih menangis tersedu-sedu duduk di hamparan rumput.Kuusap air mata di wajah cantik menuruni ibunya itu. Dia tersenyum. Lalu kuberikan semua mainan yang kubawa. Tak luput bando yang diinginkannya tadi.Senyuman gadis ayu itu semakin mengembang. Begitu terlihat kebahagiaan di wajahnya."Kalau ditanyain mama, bilang aja dapat dari bibi yang Bela bantu bawain mainannya, ya." Aku mencolek dagu Bella. Dia mengangguk girang. Beberapa kali bilang terimakasih. Sebelum akhirnya pamit untuk pergi sambil berlari.Tadinya ingin memberikan uang juga, tapi takut Anes curiga.***Setibanya di rumah, aku mencari mainanan Wulan baik yang baru atau sudah tak digunakan lagi untuk kuberikan pada Bela.Untuk baju … biar aku belikan yang baru saja. Harga standar biar Anes gak curiga. Sebab kulihat baju Bela sudah kumuh, tak kalah dengan Anes.Saat sudah mengumpulkan barang dan buku serta alat tulis milik Wulan yang tak ia pakai sebab lebih, aku lanjut berjalan ke arah kamar lantai bawah dekat gudang.Aku mencari boneka besar yang masih baru. Terakhir kulihat di lemari kamar sana.Saat membuka lemari, sebuah kotak terjatuh. Dan tampaklah sebuah liontin berinisial A menyundul dari dalam kotak berukuran sedang itu.Aku tahu, itu liontin dari Anes untuk Mas Nata. Sebagai hadiah karena Mas Nata mendapat predikat terbaik di kampusnya."Jadi kau masih menyimpannya, Mas?" Air mata mengalir begitu saja. Kesakitan hatiku tak berhenti di situ. Luka semakin menganga tatkala melihat foto setengah wajah Aneska yang hanya menampakkan lesung pipinya saja.Aku terduduk lesu di lantai sambil meremas foto. Aku sakit … aku rapuh mengetahui kenangan mantan terindah masih tersimpan olehnya._____Setelah mengetahui kenangan dengan Aneska masih tersimpan, aku lebih banyak diam pada Mas Nata. Mengimbangi sikapnya yang pendiam. Tak lagi ada basa-basi untuk mengajaknya ngobrol. Ah, entahlah. Aku tahu diri ini egois. Aku sudah disenangkan dengan materinya sesuai tujuanku menikah dengannya, sekarang aku malah menuntut pria itu untuk memperlakukan aku sama dengan mantannya.Siang, sehabis menemui Bella dan memberikan mainan, aku langsung masuk ke kamar.Ada rasa dilema saat mendengar cerita Bela. Gadis itu kerap menerima kekerasan dari ayahnya.Ternyata suami Anes seorang penjudi dan pemabuk. Hutang di mana-mana. Awalnya si suami seorang ustadz yang kaya. Begitu informasi yang kudengar yang sengaja aku cari tahu.Setelahnya aku tak tahu apa yang terjadi, kenapa suami Anes jadi berubah.'Drrtt ….'Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Mas Nata masuk.[Bisa minta tolong? Berkasku yang ada di atas meja rias kamu ketinggalan.]Aku melirik meja rias. Memang ada map di sana. Aku mengirim
"Ada apa, Nye?"Aku menoleh saat mendengar pertanyaan Mas Nata. Kulihat ke arah pagar. Anes sudah tak ada. Itu artinya Mas Nata baik Anes sama-sama tak melihat. Keburu Anes belok kanan sebelum mobil masuk.Aku bernafas lega. Namun sampai kapan aku akan menyembunyikan kebenaran ini? Sedangkan sudah ada pepatah mengatakan, sedalam-dalamnya bangkai dikubur, pasti tercium juga. "Nye, hei …." Mas Nata mengibaskan tangannya ke wajahku. Aku pun tersadar."Ada apa? Kok barang-barang Wulan berserakan di sini?" Mas Nata menatap barang-barang yang dilempar Anes tadi.Haruskah aku jujur sekarang? Sebab rasanya sudah lelah dan ingin mengakhiri saja. Sekalipun resikonya aku akan kehilangan segalanya. Materi dan … kebahagiaan hidup bersama Mas Nata walau … tanpa cinta. Ternyata benar, bahagia dengan hasil tak baik itu tak akan membuat benar-benar kita tenang."Anye ….""Mas …." Aku balik memanggil."Iya. Ada apa?" tanyanya menatap serius."Aku ingin bilang … maksudku aku ingin bertanya kenapa Mas
Aku menatap Mas Nata dan Anes secara bergantian. Tatapan keduanya saling tertahan. Bak sepasang kekasih yang sudah lama terpisahkan dan sekarang kembali bertemu di waktu yang tak terduga.Iya, itu memang benar. Dan pelakunya adalah aku. Memang akulah orang ketiga di antara mereka.Andai aku tak tega memisahkan mereka berdua dengan tuduhan palsuku, tentu kedua insan berbeda jenis saling mencinta itu akan hidup bahagia.Di sini aku yang salah. Namun … untuk sekarang, akulah istri Mas Nata dan aku sakit melihat tatapan itu.Dapat kulihat tatapan itu begitu berarti untuk Anes. Begitu lekat menatap sang wanita. Ah, entah apa yang ada di pikiran Mas Nata sekarang ini setelah bertemu dengan pujaan hatinya. "Hei, itu Pak Adinata, bukan?" Salah seorang pria bertanya."Iya. Dia Adinata Hermas. Pengusaha sukses itu," jawab seseorang.Namun meskipun begitu, Mas Nata seolah tak mendengar beberapa orang yang membicarakannya. Ia terlalu fokus menatap sang pujaan hati. Bahkan ia tak peduli dengan
Saat perjalanan pulang, pikiranku kalut dan bercabang. Begitu banyak yang aku pikirkan. Dari Mas Nata yang bertemu dengan Anes. Lalu pengakuan perasaan Kak Bian.Kak Bian bilang menyukaiku sudah lama, sedari masih sama-sama SMA atas rekomendasi Anes.Saat Anes menolak Kak Bian sebab sudah punya pacar dari anak kepala sekolah, temanku itu memperkenalkan aku pada Kak Bian. Aku masih ingat kejadiannya. Baru ngeh juga saat itu dia baru ditolak Anes.Dan saat itu juga mungkin aku sudah terlebih dahulu menyukai Kak Bian, namun ia tak menyadari.Lalu baru sekarang ia menyatakan perasaanya dengan alasan gadis seukuran Aneska saja menolak, apalagi aku yang katanya kerap mendapat prestasi dan pendiam. Ah, entahlah. Aku tak tahu apa yang dikatakan Kak Bian itu benar atau tidak. Sebab saat ini aku tak bisa fokus hanya ke satu hal. Ada hal lain yang lebih penting aku pikirkan sekarang. Yaitu Mas Nata.Sesampainya di rumah, aku langsung masuk dan menjumpai Mas Nata duduk seorang diri di sofa ruang
Aku masih menangis menatap foto Mas Nata dan Anes. Di sana Mas Nata tampak berdiri saling berhadapan, sedikit menoleh ke samping. Aku cemburu melihat ini. Apalagi lainnya?Apa yang Mas Nata dan Anes lakukan saat ini? Bagaimana posisinya. Mengetahui selama ini Mas Nata pendiam dan cuek pada wanita lalu menemui wanita lain sekalipun itu mantan calon istrinya, itu membuatku agak gimana. Seharusnya biasa tapi jadi tak biasa. Ingin aku blokir nomor Rosa, agar tak mengetahui tentang Mas Nata dan Anes lainnya yang tentu sangat membuatku sakit hati dan rapuh. Tapi … jika tidak begitu, aku akan terus menutup mata dari kebenaran.Kebenaran Mas Nata yang diam-diam menemui Anes dan hatinya masih untuknya.Dadaku sesak, hati dan pikiran tak tenang. Memikirkan apa yang dilakukan Mas Nata dan Anes. Entahlah kenapa aku bisa se tak terima ini. Padahal di sini akulah orang ketiga, namun aku juga yang merasa terkhianati.Karena tak tahan menanggung gejolak hati yang dirundung rasa curiga, kuberanikan d
Setibanya di rumah, aku melihat mobil Mas Nata sudah terparkir di depan rumah. Itu artinya dia sudah tiba terlebih dahulu.Mendadak bingung, jika ia bertanya aku habis dari mana, aku jawab apa? Tapi rasanya tidak mungkin. Selama ini Mas Nata tak pernah bertanya aku habis dari mana jika keluar.Toh, dia juga pernah bilang gak usah repot-repot izin jika mau pergi ke suatu tempat. Takutnya Mas Nata lagi sibuk dan ia telat balas aku juga telat perginya.Tapi aku malah merasa tak dipedulikan dengan cara bersikapnya. Seolah ia cuek aku mau pergi ke mana aja. Padahal aku pengen ditanyain, dikepoin. Mau ke mana, pergi dengan siapa, ketemu siapa. Pengen gitu, merasa dipentingin Mas Nata, dikhawatirin di luar khawatir aku celaka. Cemburu gitu.Ah, boro-boro cemburu. Suka aja nggak.Setelah keluar dari mobil, aku langsung masuk. Anak-anak tampak sudah siap untuk pergi jalan, sudah dimandikan juga kayaknya sama Mbak Ita.Setelah menyapa si kembar dan mengecupnya, aku melangkah ke kamar.Saat mem
Seperti halnya saat aku menikah dengan Mas Nata karena tak punya pilihan, begitupun dengan perpisahan ini, aku tak punya pilihan. Tepatnya Mas Nata tak memberiku pilihan.Semalaman aku dan Mas Nata sama-sama menangis. Menangis dalam diam. Sebab, setelah keputusan perpisahan sudah diambil, Mas Nata tak lagi bicara denganku.Aku meringkuk di atas ranjang, menangis sepanjang malam. Sedangkan Mas Nata di sofa sama menangisnya.Sempat bertanya-tanya, apa yang membuat pria itu menangis. Perpisahan inikah? Atau apa? Ingin bertanya tapi keadaan sudah tak sama lagi.Pagi sekitar jam 5, Mas Nata mengantarku untuk kembali ke rumah orang tuaku. Si kembar dititipkan ke Anita—adiknya yang masih kuliah. Diantar sekolah dan dijemput olehnya lalu dipulangkan ke rumah Mama Sarah—orang tua Mas Nata.Iya, aku pergi dari rumah saat si kembar belum terbangun. Sengaja aku memintanya, sebab tak tahan untuk berpisah dari mereka dan menampakkan air mata kesedihan ini. Lalu menciptakan tanda tanya di pikiran k
"Kenapa kau harus kehilangan suami sebaik Nata, Nye?"Saat aku kembali masuk, Bapak dan Ibu menyidangku. Sedangkan Paman sudah pulang.Aku hanya menunduk dalam-dalam. Tak tahu mau jawab apa. Aku saja terpukul atas kehilangan Mas Nata."Katakan, Nye. Tidak mungkin suami sesempurna Nata akan menceraikanmu tanpa sebab. Dia pria cerdas dan sopan. Aku tahu pasti kamu yang berbuat kesalahan tidak mungkin dia. Katakan sekarang! Kesalahan apa yang kau perbuat hingga pria baik itu membuangmu?" Kali ini Ibu berdiri. Menatapku dengan deraian air mata.Sedangkan Bapak hanya diam saja. Namun aku tahu, diamnya Bapak bukan berarti ia tak marah. Oleh karena ia marah makanya diam."Anye, katakan!" bentak Ibu. Masih menanyaka kesalahanku.Keluargaku memang tak ada yang tahu, alasan kenapa aku bisa dinikahi pria yang banyak memiliki kelebihan seperti Mas Nata.Aku memang tak memberi tahu bahwa aku merebutnya dari Anes. Lalu dengan apa aku harus menjawab pertanyaan Ibu?Bilang kalau Mas Nata punya orang
"Kamu suka hadiahku?" Usai sholat Maghrib, aku mendapat telepon dari Mas Nata. Tak segera kujawab pertanyaanya. Mendadak canggung, seperti malu gitu aku mau mengakuinya. Ya tentu aku suka dengan hadiahnya. Yang merupakan untuk pertama kali darinya."Itu hadiah pertama kalinya dariku." Meski pertanyaanya belum kujawab, ia kembali berucap."Namun bukan berarti untuk terakhir kalinya," lanjutnya lagi. Aku masih setia membungkam.Entahlah, lebih suka mendengarkan suaranya saja. Suara yang begitu aku rindukan di setiap waktu."Nanti aku akan sering memberimu hadiah lagi. Maaf ….""Untuk apa?" Kali ini aku bersuara. Sebab penasaran tiba-tiba Mas Nata bilang maaf padaku."Maaf aku baru tahu kalau kamu suka hadiah. Kupikir kamu lebih suka uangnya.""Tidak. Maksudnya … ya awalnya aku memang butuh uang. Namun bukan berarti—""Iya aku tahu kau mencintaiku." Mas Nata menyela, tentu membuatku malu mendengar kebenaran itu.Sesaat hening. Aku dan Mas Nata sama-sama terdiam."Sepertinya kita meman
"Minta tisu, Nye!" Aku yang termangu segera sadar ketika Mas Nata mengulurkan tangannya ke depanku."Ada, gak?" tanya Mas Nata dengan sebelah mata terpejam.Karena tak membawa tisu, aku memberikan saputangan. Yang langsung disambut oleh Mas Nata mengelap wajahnya."Eh, ini saputangan milikku, bukan?" Mas Nata menatap sapu tangan berwarna dongker yang memang miliknya. "Iya," jawabku pelan."Kok gak kamu kembalikan?" Mas Nata menatapku dengan mata memicing."Ya udah, itu sekalian aku kembalikan.""Gak usah, itu emang buat kamu, kok." Mas Nata langsung duduk begitu saja di kursi tepat depanku."Mas udah dari tadi di sini?" tanyaku langsung begitu Mas Nata sudah duduk."Iya, bahkan sebelum kalian datang.""Hah!" Aku melongo dengan mata beberapa kali berkedip."Kenapa?""Jadi—""Iya, aku melihat tingkah saltingmu saat baca chat aku."Aku segera memalingkan pandangan ke arah lain. Gak kuat menanggung rasa malu.Sesaat hening. Aku sok sibuk membenarkan jilbab yang diterpa angin sore."Kamu
Pagi ini aku sudah diperbolehkan pulang. Amir yang menjemputku.Wulan tak bisa datang, katanya pagi ini ia akan mendaftar sekolah di salah satu sekolah SMP top dan bermutu.Sedih sebenarnya, tapi tak apa. Toh habis ini aku akan sering bertemu dengan putriku itu. Mas Nata sendiri yang bilang.Selama dalam perjalanan pulang, dalam mobil aku terus kepikiran dengan kata-kata Mas Nata semalam yang mengatakan akan membuatku jadi lebih dekat dengan Wulan juga papanya. Itu artinya dirinya 'kan? Iya, aku yakin maksud kata-kata Mas Nata semalam itu adalah dirinya. Memang siapa lagi papanya Wulan. Atau … apa mungkin pria itu hanya bercanda. Secara Mas Nata sekarang agak berubah, dia bukan pria pendiam lagi yang dingin dan cuek. Semalam saat bersamaku meskipun hanya sebentar, dia banyak bicara bahkan bercanda juga.Sempat kaget dengan perubahan Mas Nata. Penasaran, kira-kira siapa yang membuatnya berubah? Adakah wanita lain yang membuatnya berubah. Sering kudengar, cinta akan membuat seseorang
Aku masih termangu di tempat, rintik hujan semakin deras turun. Begitu juga dengan air mata yang mengalir deras hanya saja tersamarkan air yang turun dari atas.Mas Nata membalikkan badan, mulai melangkahkan kakinya.Aku terpaku di tempat, seolah tak punya tenaga untuk bersuara atau mengejar langkah Mas Nata yang semakin menjauh.Saat kupaksakan kaki ini untuk bergerak untuk mengejar, tiba-tiba …."Awas … ada mobil!"Entah siapa yang berteriak, namun bersamaan dengan itu sesuatu yang keras menerjang tubuh hingga diri ini terpelanting ke aspal jalanan. Disusul dengan suara teriakan histeris dari orang banyak.Aku merasakan sakit di sekujur tubuh, dan dari kepala seperti ada cairan kental yang mengalir."Mama …!" Saat mata ini ingin terpejam, tiba-tiba mendengar suara yang begitu aku kenal. Sekuat tenaga kupaksakan mata ini terbuka.Samar-samar kulihat gadis kecil berjilbab mendekatiku. Setelahnya semuanya jadi gelap dan aku tak ingat apa-apalagi.***"Mama, ini Damar!" Sayup-sayup k
Lima tahun berlalu, dan luka juga rasa kehilangan itu masih ada di lubuk kalbu. Entah kapan bisa move on dari rasa kehilangan.Kegiatan sehari-hariku disibukkan dengan mengajar di beberapa universitas di samping menjaga toko kosmetik yang alhamdulillah semakin maju dengan pesat, bahkan aku harus menaruh beberapa karyawan di sana untuk membantu di kala sibuk.Setelah lulus S2 sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan, namun entah kenapa aku tak tertarik, lebih tertarik menjadi seorang dosen.Namun sesibuk apa diri ini, kadang masih meneteskan air mata saat teringat dengan orang-orang tercinta."Mbak semakin sibuk aja." Amir yang baru saja turun dari mobil menghampiriku di toko."Iya, Mir, biar sukses. Mbak udah kenyang dengan hinaan di masa lalu," candaku yang disambut gelak tawa oleh pria yang kini sudah bekerja di sebuah perusahaan besar dengan jabatan lumayan tinggi."Kamu juga gitu, Mir, kerja yang benar, biar nanti gak dipandang rendah sama wanita. Apalagi pas nikah d
"Pergilah, Nes. Aku tak lagi ingin melihatmu," kataku menatap Anes yang masih menangis.Perlahan aku berdiri tanpa mengusap air mata yang terus mengalir."Anye, aku—"Kata-kata Anes terhenti saat sebelah tangan kuangkat sebagai isyarat agar dia diam saja."Aku tak perlu permintaan maafmu saat ini. Jangan tanya bagaimana rasa benciku padamu sekarang. Tapi tetap aku memaafkanmu.""Anye—"Aku kembali mengangkat tangan menghentikan Anes yang hendak mendekatiku."Percuma, aku meluapkan amarah padamu. Toh aku sudah kehilangan segalanya." Kutarik nafas dalam-dalam. "Pergilah!" kataku tanpa melirik Aneska.Perlahan dan dengan kepala menunduk, wanita yang sudah menghancurkan hidupku itu melangkahkan kakinya."Ingat! Jangan pernah lagi muncul di hadapanku. Aku tak mau lagi hilang kontrol dan kembali memukulmu seperti tadi," kataku saat Anes sudah berada di belakangku.Sesaat hening, lalu … "Maafkan aku, Nye." Terdengar suara Anes bergetar sebelum kudengar langkanya pergi menjauh. Air mata kemb
Saat perjalanan pulang, aku terus kepikiran dengan cerita Anita. Selama menikah aku terus dihantui rasa bersalah karena memisahkan dua orang saling mencinta dan curiga tak pernah mendapatkan cinta dari suamiku, tak tahunya diam-diam dia mencintaiku bahkan sejak dulu.Sekarang aku juga tahu alasan kenapa Mas Nata juga keluarganya begitu menyayangi bahkan menganggapku sebagai pembawa berkah, jadi itu alasannya.Aku datang di waktu yang tepat dengan menawarkan diri menjadi pengantin pengganti Mas Nata. Dianggap sebagai penyelamat keluarganya dari rasa malu sebab undangan sudah tersebar.Benar, aku bukan pelakor. Oleh karenya aku dikarunia kebahagiaan dan dilimpahi rejeki yang baik. Sebab selama ini aku tak pernah merampas milik orang lain.Aku sukses karena hakku sendiri, hanya saja kesuksesanku hancur sebab aku yang terus merasa bersalah hingga memilih tuk mengalah.Karena melamun, tanpa kusadari sudah sampai rumah. Saat turun dari mobil, aku terkejut melihat wanita berjilbab duduk di
Aku terbangun saat merasak sentuhan di pipi. Ketika mata terbuka, orang yang pertama kali kulihat adalah Ibu."Syukurlah, Nye. Kau sudah sadar." Ibu tersenyum sambil meneteskan air matanya.Dahiku mengernyit. "Aku kenapa, Bu?" tanyaku tak mengerti apa yang sudah terjadi."Kamu pingsan, Mbak, di jalanan, untung ketemu aku. Kalau tidak mungkin Mbak masih tergeletak di sana." Amir yang baru masuk menimpali.Kupejamkan mata, berusaha mengingat apa yang sudah terjadi, tak butuh waktu lama aku sudah kembali merekam ingatan apa yang sudah terjadi dan kenapa aku bisa pingsang di jalan.Air mata menetes. Aku harap ini semua hanya mimpi. Saat terbangun aku menemukan orang-orang yang kucintai. Damar, Wulan … dan Mas Nata. Tapi semua hanya harapan semu. Ini bukan mimpi … saat aku terbangun aku sudah kehilangan semuanya.Keluarga kecilku, kini sudah jauh pergi. Kadang berpikir, dosa apa yang pernah aku lakukan, hingga Tuhan menjauhkan aku dari semua orang-orang tercinta dan tersayang.Mulai dari
Suasana jadi hening. Setelah jawaban Kak Bian yang mengatakan sebagai calon suamiku, semua jadi diam.Begitu juga dengan keluargaku, Ibu dan Amir yang mendukungku untuk menerima tawaran Kak Bian ikut bungkam. Begitu juga dengan Bapak yang tak tahu apa-apa."Jadi … Anye sudah mau nikah?"Deg. Pertanyaan Mama membuat detak jantungku berdegup lebih kencang.Aku bungkam seribu bahasa, tak tahu mau jawab apa. Fatalnya aku sudah terlanjur menerima tawaran Kak Abian untuk menikah dengannya.Tak ingin terjebak dengan suasana yang menegangkan seperti ini, tanpa menjawab pertanyaan Mama, aku segera menarik lengan Kak Abian untuk ikut pergi denganku."Kak, anakku sekarang lagi sakit," kataku saat sudah berada di tempat yang tak begitu ramai."Apa? Jadi anak kamu yang sakit?" Kak Bian tampak terkejut. "Aku pikir kamu, Nye," lanjutnya.Aku menggeleng lalu menceritakan semuanya, kalau Damar anakku kecelakaan jatuh dari tangga."Lalu bagaimana sekarang keadaannya?" tanyanya dengan raut khawatir."E