Pelakor Itu TantekuPagi yang sudah kutunggu dari semalam. Sudah tidak sabar ingin segera menyuruh Tante Lili angkat kaki dari rumahku.Tadi malam yang harusnya menjadi momen kebersamaan aku dan Mas Pram akhirnya pupus sudah. Situasi yang sangat tidak mendukung untuk kami jalan-jalan dan makan bersama di luar. Lagi-lagi semua karena masalah Tante Lili.Masalah ini semakin membuat lelah. Kapan masalah ini berakhir dan kebahagiaan seperti dulu datang lagi?Pagi ini aku sudah menyelesaikan pekerjaan lebih awal dari biasanya. Meski semalam mataku hanya terpejam sesaat. "Mau ke mana, Sayang, pagi-pagi sudah cantik?" tanya Mas Pram saat melihatku sudah dandan dan rapi."Kamu lupa, kalau hati ini mau menyelesaikan soal rumah yang sudah kamu berikan pada perempuan itu?"Mas Pram terlihat kaget mendengar jawabanku."Kenapa kaget begitu? Kemarin 'kan aku sudah bilang.""A - aku antar saja, ya."Aku balik badan dan mendekati Mas Pram."Tidak perlu, kamu cukup menemani Fadil sebentar. Sarapan su
Pelakor Itu TantekuAku hanya bisa diam dengan rasa sakit hati. Seumur hidup baru kali ini aku dipermalukan di depan umum menjadi tontonan banyak orang. Dan yang lebih menyakitkan, tanteku sendiri yang melakukannya padaku.Ingin rasanya membalas perlakuan Tante Lili saat tadi bersikap kasar padaku, tapi hatiku tak kuat untuk melakukannya di depan umum. Bahkan mulutku seakan terkunci. Dan hanya tangisan yang mewakili perasaanku."Ini." Panji memberikan tissu padaku.Aku tahu, sesekali Panji menoleh ke arahku, meski pandanganku tertuju ke depan. Drrttt ... drrttt ... drrttt ....Terdengar suara getaran ponsel milik Panji. "Iya, Pram. Sifa dan Fadil aku antar pulang. Maaf tadi tidak izin kamu dulu. Oh, oke, sebentar."Panji memberikan ponselnya padaku. Sepertinya Mas Pram ingin bicara.Aku menggelengkan kepala memberi isyarat kalau tidak ingin bicara dengan Mas Pram."Pram, maaf, Sifa tidak ingin bicara denganmu. Aku hanya menyampaikan apa yang harus aku sampaikan. Sekali lagi aku mint
Pelakor Itu Tanteku"Fadil, ayo ikut Mama kerja, Nak!" ajakku dengan rasa sakit atas perlakuan papanya padaku.Aku memesan taksi online untuk berangkat ke toko, sedangkan Mas Pram balik lagi ke kamar.Tidak berapa lama taksi online yang kupesan akhirnya datang. Aku segera mengajak Fadil masuk ke dalam taksi tanpa berpamitan lebih dulu pada Mas Pram. Takutnya dia akan merasa terganggu dan marah-marah lagi.Aku menarik napas dalam dan menghembuskan pelan. Tanpa disadari air mata pun mengalir dengan sendirinya. Hatiku terlalu sakit atas sikap Mas Pram yang begitu kasar.Kenapa cobaan rumah tanggaku dengan Mas Pram begitu berat?Getaran ponsel yang ada di genggamanku mengalihkan pikiran. Dengan semangat segera melihat siapa yang menelepon, berharap Mas Pram yang menghubungiku untuk meminta maaf.Ternyata, Panji?"Assalamu'alaikum, hallo, Nji," jawabku sembari menyeka air mata."Kita jadi ketemuan di toko atau dimana, Fa? Sorry, aku telepon kamu. Soalnya dari tadi Pram aku hubungi tidak di
Pelakor Itu Tanteku"Aku pulang, ya, Fa. Kamu harus kuat. Apa yang dilakukan tantemu pada Pram tidak akan bertahan lama. Percayalah.""Makasih, ya, Nji," jawabku berusaha tetap tersenyum meski terasa berat.Rasanya aku tidak ingin Panji cepat-cepat pulang. Aku butuh seseorang yang bisa memberi semangat dalam situasi seperti ini. Tapi, tidak mungkin juga aku melarang Panji pulang.Aku hanya bisa menghembuskan napas kasar dan beranjak dari tempatku berdiri setelah Panji pergi."Ayo, Fadil, kita masuk."Tiba-tiba bocah polos yang aku gandeng melepaskan tangannya dan lari begitu cepat. Pandanganku terus tertuju ke mana Fadil berlari. Aku khawatir dia akan terjatuh. Tiba-tiba Fadil menuju ruang di mana papanya sedang duduk di sana.Aku terus mengikutinya. Langkah yang tadinya cepat seketika kupelankan. Aku melihat Fadil mendekati papanya dan meminta pangku dengan manja. Tetapi Mas Pram tidak menanggapi sama sekali. Dia membiarkan Fadil yang masih terus berusaha manja padanya. Hatiku sanga
Pelakor Itu TantekuBraaakDorongan kuat membuatku terhempas ke pintu gerbang."Pram." Terdengar teriakan dari luar pintu gerbang.Dengan bahu yang sedikit nyeri karen terkena pojokan besi, kuarahkan pandangan keluar.Panji?Aku hanya diam tanpa bisa berkata apa-apa. Semua perasaan terluka berkecamuk di dalam dada. "Fa, tolong buka gerbangnya!" seru Panji.Aku menggelengkan kepala memberi jawaban atas permintaan Panji. Kalau aku membuka pintu gerbang, pasti Mas Pram akan langsung nyelonong pergi.Mas Pram menatapku bak singa ingin menerkam mangsa. Sejujurnya aku takut kalau dia akan berbuat lebih kasar lagi."Mana kuncinya, jangan sampai batas kesabaranku habis," ucapnya. Aku berusaha menepis rasa takut atas perlakuan kasar Mas Pram. Kaki'ku melangkah mendekatinya. PLAAKKKTamparan keras akhirnya kulayangkan di pipi Mas Pram. "Aku tahu saat ini kamu sedang tidak sadar melakukan semua ini, Mas. Tapi sikap kasarmu tidak akan kubiarkan."Kedua tangan Mas Pram sudah mengepal. Mungkin
Pelakor Itu Tanteku"Kalau diizinkan, sementara waktu Mas Pram biar tinggal di sini dulu. Saya akan membersihkan pengaruh negatif yang sudah dikirim seseorang pada dirinya saat ini," terang pamannya Panji."Ini maksudnya apa? Pengaruh negatif apa?" tanya Mas Pram dengan nada tinggi.Kami semua hanya saling memandang mendengar pertanyaan dari Mas Pram. "Berapa lama Ustadz, Mas Pram harus tinggal di sini?" tanyaku memastikan."Kurang lebih dua Minggu, Mbak. Biar hati dan pikiran Mas Pram juga tenang."Ayah dan Ibu menatapku, sepertinya mereka setuju dengan usulan Ustadz."Baiklah, Ustadz, kalau itu memang yang terbaik untuk Mas Pram.""Apa maksud kamu, Sifa? Kenapa aku harus tinggal di sini?" Raut wajah Mas Pram tersirat kegelisahan.Kenapa rasanya begitu berat meninggalkan Mas Pram di sini? Hatiku begitu tidak tenang. Harusnya aku mendukung akan hal ini.Mas Pram terus menatapku, terlihat jelas kalau dia tidak menginginkan hal ini. Maafkan aku, Mas. Semua demi kebaikanmu juga."Mau d
Pelakor Itu TantekuPOV PanjiPerempuan itu memang tidak bisa kulupakan. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dan sekalinya bertemu lagi, ternyata dia sudah menikah dengan teman kuliahku, Pram.Dari awal tidak ada niat sedikitpun untuk merebut dia dari temanku sendiri. Namun sebuah kesempatan membuat diriku tidak ingin menyia-nyiakannya.Aku memang pernah suka dengannya, sebuah rasa yang tumbuh ketika kita masih ABG. Kalaupun cinta, bisa disebut hanya cinta monyet. Berkali-kali aku mengirim surat padanya, tapi tak ada satupun yang dibalas. Dia memang salah satu primadona di SMP kami. Tetapi perasaanku dulu padanya masih tetap ada.Sifa, perempuan yang bisa menarik hati setiap lelaki yang memandangnya. Dia memang perempuan yang sederhana, tidak neko-neko seperti perempuan kebanyakan. Dan dari dulu tidak berubah. Dengan kesederhanaannya saja, dia terlihat begitu menarik dan anggun. Pria manapun tidak mungkin bisa menolaknya.***"Eh ... ngapain, Mbak, mengendap-endap di depan rumah
Pelakor Itu TantekuPagi yang seharusnya menjadi pagi paling membahagiakan. Di mana semua keluarga berkumpul. Tetapi hal itu tidak kurasakan, karena Mas Pram tidak ada di tengah-tengah kami."Fa. Mendingan kamu berangkat ke toko saja, daripada banyak pikiran di rumah! Lagian Fadil banyak yang jagain. Kamu bisa fokus dengan kerjaan di toko," ucap Mbak Indah yang mendekatiku di ruang depan."Ngga tahu lah, Mbak. Pikiranku masih fokus dengan Mas Pram.""Pram 'kan sudah ditangani sama Ustadz, kamu tenang, Fa!"Harusnya aku memang tenang, tapi entah kenapa perasaanku masih saja cemas. Apa mungkin karena aku tidak terbiasa tanpa Mas Pram? Hmhh ....Ada baiknya kalau aku berangkat ke toko saja. Daripada kepikiran Mas Pram terus di rumah. "Mbak, Sifa siap-siap dulu, ya. Mau ke toko.""Nah, gitu, Fa. Semangat!"Aku pun berlalu meninggalkan Mbak Indah sendirian dan masuk ke kamar untuk ganti baju serta menyiapkan semua yang harus dibawa. "Semuanya, Sifa pamit ke toko dulu, ya. Sifa titip Fadi
Pelakor Itu TantekuSatu bulan setelah kepulangan Tante Lili di rumah Ayah dan Ibu. Keadaannya masih tetap sama. Tante Lili hanya bisa berbaring. Dan semua aktivitasnya harus dibantu. Hari ini, aku dan Mas Pram berencana untuk menengok Tante Lili. Dan membujuk dia agar mau dibawa ke rumah sakit._"Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kalian sudah datang. Ayo masuk! Ibumu sedang di kamar Lili," terang Ayah dengan menyambut kedatangan kami.Aku dan Mas Pram langsung menuju kamar Tante Lili. Sedangkan Fadil, dia bersama Mbak Tutik bermain di halaman. Kami memang sengaja mengajak Mbak Tutik agar aku bisa membantu Ibu mengurus Tante Lili selama di sini. Dan kami akan menginap untuk beberapa hari."Assala'mualaikum.""Wa'alaikumsalam. Pram, Fa," sapa ibu yang duduk di samping Tante Lili.Tante Lili hanya bisa menatap kami. Dia memang mulai sulit untuk berbicara. Dan lebih merespon dengan tatapannya. Sungguh tidak tega melihat keadaannya yang semakin hari semakin parah.Sudah berkali-kali
Pelakor Itu TantekuAku dan Mas Pram sudah sepakat untuk memberitahu Ayah dan Ibu tentang keadaan Tante Lili saat ini.Kami memutuskan untuk pulang ke rumah Ayah dan Ibu. Karena tidak mungkin, kami mengabari hal ini hanya lewat telepon."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Sifa, Pram, kalian datang ke sini kok tidak memberi kabar dulu." Ibu terlihat sedikit kaget dengan kedatangan kami yang tiba-tiba. "Ayo, masuk!" ajak ibu dengan mengambil Fadil dari gendongan Mas Pram.Kami langsung duduk di ruang depan."Ibu tinggal sebentar, ambil minum dan kue. Kebetulan Ibu habis bikin kue kesukaanmu, Fa. Pas sekali kalian datang ke sini.""Ti - tidak usah, Bu. Ayah mana, ya? Sifa mau bicara sama Ayah dan Ibu." "Iya, tapi kalian kan habis perjalanan lumayan jauh. Istirahat dulu, nyantai-nyantai, baru kita bicara. Memangnya mau bicara soal apa, Fa? kamu terlihat serius banget.""Soal Tan - Tante Lili, Bu."Kini pandangan Ibu langsung tertuju ke arahku dengan tatapan yang dalam."Lili lagi. Apal
Pelakor Itu Tanteku"Apa, Bu? Tante Lili kabur?"Baru semalam kulewati kebahagiaan bersama Mas Pram. Sekarang pikiranku sudah mulai cemas dan tidak tenang. Ibu memberi kabar, kalau Tante Lili kabur dari rumah. "Kenapa, Fa?" tanya bapak mertua dengan wajah yang penasaran."Kenapa, Sayang? Siapa yang kabur?""Tan - Tante Lili, kabur." "Fa, Ibu minta maaf, karena tidak bisa menjaga tantemu. Ibu sudah kunci kamarnya, tapi dia izin mau ke belakang. Dia pergi tanpa membawa pakaiannya."Tidak bisa dipungkiri, kalau aku merasa takut. Takut kalau Tante Lili akan datang untuk merusak rumah tanggaku bersama Mas Pram, lagi."Bu - bukan salah Ibu. Tapi, memang Tante Lili yang sudah kelewatan. Apa mungkin dia akan ke kota ini lagi, Bu?""Ibu juga tidak tahu, Fa. Kemarin, dia memang keberatan Ibu ajak pulang. Ibu suruh dia resign dari tempat kerjanya. Tapi, dia menolak."Apa sebenarnya rencana Tante Lili sekarang?"Kamu simpan baik-baik surat perjanjian waktu itu, Fa! Kalau Lili macam-macam lagi,
Pelakor Itu Tanteku"Kalau berkenan, Mas Pram bisa dibawa pada Ustadz Faiz. In Syaa Allah, beliau bisa menangani keadaan Mas Pram saat ini," terang Pak Burhan selesai menandatangani surat perjanjian. Beliau menjadi salah satu saksi dalam surat perjanjian tersebut. Pak Burhan adalah RT di tempat tinggal Panji. Dan saran dari Pak Burhan disetujui semua pihak keluarga. Mereka yakin kalau Pak Burhan tidak mungkin berbohong atau punya niat tidak baik pada kami.Akhirnya, Pak Burhan langsung mengantar kami ke tempat Ustadz Faiz. Sedangkan Tante Lili, dia tidak dilepaskan begitu saja. Ayah dan Ibu akan membawanya pulang ke rumah. Mereka tidak mengizinkan Tante Lili tinggal satu kota denganku dan Mas Pram, lagi. Sesampainya di rumah Ustadz Faiz, aku terdiam sejenak. Pak Burhan dan semua keluarga nemandangku. Sepertinya mereka paham dengan sikapku itu. "Mari!" ajak Pak Burhan pada kami. "Assalamu'alaikum, Ustadz.""Wa'alaikumsalam," jawab ustadz dengan sikap yang begitu ramah. Aku berdiri
Pelakor Itu Tanteku"Jangan, Mbak! Jangan bawa Lili ke pihak berwajib. Lili ngga mau di penjara. Lili mohon, Mbak! Lili minta maaf!" Kata-kata yang terus terucap dari mulut Tante Lili.Hal yang tidak pernah terbayangkan sedikitpun, kalau hubungan Tante Lili dengan kami akan seperti ini.Tangan Ibu terus menyeretnya. Dan Tante Lili tetap berusaha berontak. Ibu langsung menghentikan langkahnya. Dengan mata berkaca-kaca, Ibu menatap Tante Lili begitu tajam. "Minta maaf? Kamu bilang minta maaf? Kamu tahu, berapa banyak hati yang tersakiti karena ulahmu? Terutama Sifa, keponakanmu sendiri."Aku memang belum banyak bicara, karena masih syok dengan apa yang kulihat tadi. Bahkan, degupan jantung yang kencang masih begitu terasa. "Ini soal hati, Mbak. Aku sendiri juga tidak tahu, kenapa bisa mencintai, Pram. Kenapa harus aku yang disalahkan atas semua ini. Tidak adil. Benar-benar tidak adil."PLAKKKKJawaban itu, membuatku mendaratkan sebuah tamparan untuk kesekian kalinya pada Tante Lili.
Pelakor Itu Tanteku"Sudah pindah? Mak - maksud Bapak bagaimana, ya?" tanyaku pada seorang Bapak yang mengaku pemilik rumah yang di tempati pamannya Panji."Iya Mbak, mereka cuma nempatin rumah ini untuk satu bulan saja, tapi belum ada seminggu mereka sudah mengosongkan rumah ini. Kelihatannya mereka buru-buru."Tubuhku rasanya begitu lemas. Entah apa maksud dengan semua ini. Aku takut. Benar-benar takut."Ba - Bapak tahu dengan Ustadz yang menempati rumah ini?""Ustadz, Mbak? Saya malah tidak tahu kalau ada Ustadz. Saya permisi dulu, Mbak."Aku langsung berlari menuju mobil, di mana semua keluarga ada di dalam."Kenapa, Fa? Kenapa kamu terlihat bingung seperti itu?" tanya ayah dengan wajah penasaran."Sifa harus segera telepon Panji, Yah."Dadaku terasa bergemuruh dengan begitu banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikiran.Aku harus segera menelepon Panji. Apa maksud dari semua ini? Dengan cepat kutekan nama Panji dalam ponselku. "Panji, kamu di mana sekarang?" tanyaku tanpa mem
Pelakor Itu TantekuSedikitpun tak kualihkan pandangan ini dari Panji. Aku merasa ada yang aneh dari sikapnya, apalagi setelah mendengar dia menyebut tanteku dengan sebutan 'Lili' seakan-akan begitu akrab. "Ngga enak banget lho, diliatin sampai segitunya," ucap Panji dengan memberi senyum tipis."Kamu sedang tidak menyembunyikan sesuatu dariku 'kan?" tanyaku tanpa basa-basi.Panji terdiam sejenak."Maksudmu aku berbohong?""Aku ngga bilang kamu berbohong. Memangnya kamu sedang berbohong?" Kuputar balik ucapan dari Panji.Suasana jadi terasa tegang dan kaku. "Ini sudah sampai pertigaan lho, Fa. Masa iya, kamu mau ngeliatin aku terus seperti itu?" terangnya dengan mengalihkan pertanyaan.Ekhem ... seketika pandangan kualihkan ke depan. "Kita berhenti di depan Coffee Shop."Hmhh ... sudahlah, lebih baik aku fokus soal Tante Lili dulu. Sudah terlalu banyak masalah yang aku hadapi saat ini."Makasih. Aku turun dulu, Nji."Aku langsung turun menuju Coffee Shop tempat ketemuan dengan Tant
Pelakor Itu TantekuPagi yang seharusnya menjadi pagi paling membahagiakan. Di mana semua keluarga berkumpul. Tetapi hal itu tidak kurasakan, karena Mas Pram tidak ada di tengah-tengah kami."Fa. Mendingan kamu berangkat ke toko saja, daripada banyak pikiran di rumah! Lagian Fadil banyak yang jagain. Kamu bisa fokus dengan kerjaan di toko," ucap Mbak Indah yang mendekatiku di ruang depan."Ngga tahu lah, Mbak. Pikiranku masih fokus dengan Mas Pram.""Pram 'kan sudah ditangani sama Ustadz, kamu tenang, Fa!"Harusnya aku memang tenang, tapi entah kenapa perasaanku masih saja cemas. Apa mungkin karena aku tidak terbiasa tanpa Mas Pram? Hmhh ....Ada baiknya kalau aku berangkat ke toko saja. Daripada kepikiran Mas Pram terus di rumah. "Mbak, Sifa siap-siap dulu, ya. Mau ke toko.""Nah, gitu, Fa. Semangat!"Aku pun berlalu meninggalkan Mbak Indah sendirian dan masuk ke kamar untuk ganti baju serta menyiapkan semua yang harus dibawa. "Semuanya, Sifa pamit ke toko dulu, ya. Sifa titip Fadi
Pelakor Itu TantekuPOV PanjiPerempuan itu memang tidak bisa kulupakan. Meski sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Dan sekalinya bertemu lagi, ternyata dia sudah menikah dengan teman kuliahku, Pram.Dari awal tidak ada niat sedikitpun untuk merebut dia dari temanku sendiri. Namun sebuah kesempatan membuat diriku tidak ingin menyia-nyiakannya.Aku memang pernah suka dengannya, sebuah rasa yang tumbuh ketika kita masih ABG. Kalaupun cinta, bisa disebut hanya cinta monyet. Berkali-kali aku mengirim surat padanya, tapi tak ada satupun yang dibalas. Dia memang salah satu primadona di SMP kami. Tetapi perasaanku dulu padanya masih tetap ada.Sifa, perempuan yang bisa menarik hati setiap lelaki yang memandangnya. Dia memang perempuan yang sederhana, tidak neko-neko seperti perempuan kebanyakan. Dan dari dulu tidak berubah. Dengan kesederhanaannya saja, dia terlihat begitu menarik dan anggun. Pria manapun tidak mungkin bisa menolaknya.***"Eh ... ngapain, Mbak, mengendap-endap di depan rumah