“Apa-apan ini?”
Sheila berdiri di ambang pintu dengan napas terengah. Ia baru saja berlari di sepanjang lorong rumah sakit dengan air mata berderai dramatis, sampai-sampai orang berpikir salah satu kerabat gadis itu pasti sudah meninggal.
Setidaknya, itu yang sebelumnya Sheila pikirkan, sampai ia menemukan kakaknya tengah tertawa tanpa rasa sakit sama sekali. Padahal ia hampir saja mati karena khawatir.
“Shei? Kenapa kamu ke sini?”
Itu bukan pertanyaan yang Sheila harapkan.
Andaikan Kakaknya benar-benar sekarat, apakah pertanyaan itu pantas diajukan?
“Apa ini salah satu permainan kamu, Bi?” tanya Sheila dengan wajah dingin.
Bianca menghela napas panjang. Tidak ada gunanya juga menutupi lebih lama, toh sebentar lagi semua sandriwaranya harus selesai.
“Apa cuma aku yang nggak tau soal ini?” tanyanya, melirik Indra yang berdiri di samping ranjang Bianca.
“Ka… kami juga baru tau, Shei.”
Pagi sekali seisi kampung sudah dihebohkan dengan kedatangan sebuah mobil impor yang mahal. Beberapa anak berlarian, emnegjar mobil itu dengan suara nyaring, bagai menyambut iring-iringan presiden yang takkan mungkin menyentuh pelosok kampung mereka. Heboh sekali. Terlebih saat mobil itu berhenti di depan sebuah rumah tua dengan tenda yang separuh jadi. “Mak! Teh Indi geus datang!” ujar seorang remaja tanggung dengan rok berwarna kuning dan kaos merah muda. Beberapa ibu-ibu yang tengah sibuk di dapur dengan kuali-kuali sebesar mulut sumur di kampung, langsung ricuh. Gosip kepulangan salah satu anak kampung mereka yang merantau ke kota sudah menjadi buah bibir yang paling hangat selama beberapa waktu belakangan ini. Apalagi, di arisan-arisan kelompok Ibu Lurah yang jelas sangat membenci Indi dan keluarganya. Bagaimana mungkin anak miskin itu bisa mendapatkan beasiswa di kota, sedangkan anaknya saja yang terlahir sempurna tidak lulus ujian masuk
“BR*NGSEK!” Indra menendang kursi di dalam ruang perawatan Bianca yang kosong. "Apa kalian tau apa yang sudah kalian lakukan?!” geram Indra, menatap dua pria bertubuh tegap yang ia pilih dengan hati-hati setelah mengganti beberapa kali penjaga ruangan Bianca. “Maaf, Pak Indra, tapi Bu Bianca sendiri yang bilang bahwa dia harus pergi karena urusan penting.” “DAN KALIAN BIARKAN DIA PERGI BEGITU AJA?!” Rasanya Indra ingin membakar rumah sakit dengan dua penjaganya itu. “Kami minta maaf, Pak Indra.” Felix menundukkan kepala di depan pria itu. Indra menggeram sambil berjalan mondar-mandir di dalam ruangan Bianca. Ia menempelkan teleponnya di telinga, berharap sambungan telepon itu segera mendapatkan jawaban, atau ia akan benar-benar gila karena rasa khawatir yang memenuhi kepalanya. “HARUSNYA KALIAN LANGSUNG HUBUNGI SAYA!” teriak Indra meskipun ia tau itu sia-sia. Lia meringis ketakutan di ujung ranjang, me
Bianca meninggalkan kerumunan di belakang punggungnya dengan wajah dingin.“Apa kita nggak apa-apa begini?” tanya Sandra dengan kening sedikit berkerut cemas. Terlebih saat melihat Fuadi pingsan karena syok saat melihat foto-foto putrinya sendiri.“Kenapa kamu jadi kasihan sama mereka?! Ini harga yang pantas buat membayar pengkhianatan mereka! Bahkan mungkin kurang!” Seperti biasa, Tini menimpali menggebu-gebu. Ia bahkan sengaja meletakan tumpukan foto lainnya di meja penerima tamu, membuat tamu-tamu yang duduk di luar tenda mendapatkan akses yang lebih mudah untuk melihat foto-foto itu.Mike, sudah berdiri di samping Pandu yang kedua tangannya terikat cable ties. Bianca menatap wajah Pandu sekilas. Dulu, mereka pernah berpapasan beberapa kali, walau bagaimana pun ia adalah salah satu anak buah kepercayaan suaminya. Mereka pernah berhubungan baik, sebaik hubungannya dengan Dandy dulu.Bianca mel
“Bu Bianca! Bu Bianca! Bangun!”Bianca mengerjap sekali. Kelopak matanya begitu berat dan basah. Bau bensin dan darah bercampur jadi satu. Bianca mencoba membuka mata, tapi sengatan nyeri di kepalanya langsung membuat wanita itu mengerang.“Bu Bianca? Ibu bisa dengar saya?”Perlahan sekali, Bianca mulai membuka mata, meski masih dengan sengatan nyeri yang sama. Bayangan Pandu masih terlihat kabur di hadapannya.“Syukurlah,” ujar pria dengan luka di bahu dan kepalanya itu. “Kita harus keluar sekarang,” katanya, mencoba membuka pintu Bianca yang tertutup dahan kayu.Mobil mereka terbalik setelah berguling beberapa kali menuruni jurang. Kini Bianca tergantung terbalik di kursinya. Ia melirik Mike yang terbaring telungkup di luar mobil, lalu menoleh ke belakang, tempat Tini dan Sandra yang menumpuk dengan posisi aneh karena tidak menggunakan sabuk pengaman. Hanya Pandu yang tad
Beberapa hari sebelumnya. “Apa ini bantuan yang dulu kamu minta?” Sheila berdiri di ambang pintu ruang perawatan Kakaknya dengan pandangan nanar. “Supaya aku diam dan nggak menuntut waktu kamu mengambil semuanya?” tanya Sheila getir. Bianca diam. Keheningan yang canggung memenuhi udara di sekitar mereka. “Ya.” Jawaban singkat Bianca membuat Sheila kembali menertawai dirinya sendiri. “Sini, Shei, masuk dulu.” Tini mencoba mendekati gadis itu. “Kayaknya nggak perlu.” Sheila berkata dingin. “Aku datang buat melihat Kakakku yang sekarat, mungkin aku harus kasih beberapa kata terakhir, tapi ternyata sekarang persiapan kata-kataku nggak diperlukan. Jadi, lebih baik aku pergi.” “Shei, kami juga kaget, tapi ini memang rencana yang terbaik sekarang. Kalau ada yang tau Bianca masih sehat, mereka pasti nggak akan tinggal diam,” bujuk Tini. “Rencana,” gumam Sheila pelan. Ia menghela napas panjang, lalu mengang
Indra berdiri di samping jurang. Di antara rimbun pepohonan di hadapannya, ada satu sisi yang kini sudah koyak, tergilas oleh dorongan mobil yang melaju cepat dengan kecepatan penuh. Di aspal, tersisa noda hitam jejak ban mobil yang terbanting ke kiri, lalu menerjunkan diri ke dalam jurang. Ia bisa membayangkan kepanikan semua orang di dalam mobil itu. Hingga akhirnya mobil itu terbanting keluar jalur penurunan karena menabrak batu yang cukup besar, lalu berguling beberapa kali hingga berakhir terbalik di ujung jurang. Dari tempatnya berdiri, Indra bisa melihat bangkai mobil itu di balik rimbun dedaunan. Butuh beberapa waktu hingga pertolongan datang dari warga sekitar karena sepinya orang yang melewati jalan itu. Dan, Indra sama sekali tidak terkejut saat mengetahui orang-orang Damian yang datang terlebih dahulu dari pada warga sekitar. Polisi mengatakan 3 orang korban tewas di tempat, dan 1 orang kritis. Namun, tentu saja itu
“Indra kenalin, ini Bianca dan Sheila.”Pagi itu, tidak seperti biasa, kakeknya menyuruh Indra menggunakan kemeja dan celana terbaiknya. Ia bahkan membelikan Indra sebuah sepatu baru.Sejak kecil, Indra memang terkenal sebagai anak yang pintar dan rapi, tapi hari itu terasa sangat spesial.Kakeknya sendiri yang membantu Indra memilihkan kemeja, ia meminta pelayan menyetrika celananya dua kali demi menghapus kerut yang ada di ujung celananya. Indra pikir, mereka akan bertemu dengan presiden atau pejabat setempat melihat bagaimana ia dan Kakeknya berpakaian.Namun, ternyata mereka hanya memasuki sebuah rumah dengan selusin pelayan.Rumah itu megah bak istana, dengan air mancur yang lebih indah dari pada air mancur yang ia lihat di taman kota. Rumpun mawar berbagai warna memenuhi sudut-sudut taman yang berhias patung-patung malaikat kecil berwarna putih.Mungkin di dalam sana ada ratu dan raja, pikir Indr
“Selamat pagi, saya Nindi yang kemarin sudah membuat janji.” “Oh, iya Kak Nindi, silakan ruang VIPnya sebelah sini.” “VIP lohh?? Keren banget, Nin!” desis Risti tak tahan. “Silakan tunggu sebentar, Bu Anyelirnya sedang bersama tamu sebentar.” Nindi mengangguk sopan, menirukan gerakan-gerakan yang biasa Bianca lakukan. Anggukannya, cara bicaranya, senyumannya, meski wanita itu adalah musuh besar Nindi, tapi ia ingin meniru segala sesuatu tentang Bianca. “Ehhhh kita dilayanin langsung sama Bu Anyelir? Sumpah keren banget!” pekik Risti girang. Risti berkeliling dengan mata berbinar dan mulut ternganga, tidak menyangka bisa melihat gaun-gaun indah itu secara langsung. “Lebay banget deh,” gumam Jessica, menghempaskan tubuhnya ke sofa yang ada di ruangan itu. Seorang petugas lain datang membawakan minuman untuk mereka berempat. “Bagus nggak, Ris?” tanya Nindi, mengambil salah satu gaun yang tergantung l
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski