Axel termangu mendengar pengakuan Tika. Namun, dia enggan melepaskan dekapannya meski Tika meminta dilepaskan. Ditatapnya wajah Tika dengan seksama lalu ditatapnya mata wanita itu dalam.
'Siapa bilang aku mempermainkanmu, bodoh?' pekiknya dalam hati.
"Axel, lepaskan aku. Aku bisa jalan sendiri," Tika memohon. Alkohol memang luar biasa, bahkan Tika jadi memiliki keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang telah lama disimpannya.
Axel tidak menjawab, dia masih memandang Tika lekat, membuat wanita itu makin tersipu.
"Ax, please?"
Bukannya mendengar permintaan Tika, Axel justru mendaratkan ciuman lembut ke bibir wanita itu, membuat Tika membeku. Ciuman itu hanya sesaat tapi bagi Tika seperti selamanya.
"Jangan terlalu banyak bicara," ucap Axel datar setelah mencium Tika.
"Axel," panggil Tika lembut sembari menatap Axel dalam.
"Ya?"
Tika membalas jawaban Axel dengan ciuman. Kali ini tautan itu berlangsung cukup lama. R
Tika mengerjapkan mata, seketika ngilu terasa di sekujur tubuhnya. Meski begitu, senyumnya merekah. Rasa sakitnya setimpal dengan apa yang dia peroleh, menjadi kekasih Axel. Pria yang amat disukainya. "Pasti, Rose akan kaget setengah mati kalau aku memberitahunya soal ini," senyum Tika makin terkembang membayangkan raut Rose. "Tapi, Axel tidak menginginkan hubungan kami diketahui." Tika menghela napas, lalu perlahan bangun dari posisi tidurnya. Tika mengecek ponselnya yang disimpan di nakas dekat tempat tidur. Ada panggilan dari Rose. "Baru saja aku memikirkan anak itu, ternyata dia langsung menelepon," gumam Tika sebelum menggeser tombol hijau pada layar ponsel. "Tika, aku kangen banget sama kamu tau." Suara khas Rose langsung terdengar nyaring dari seberang. "Rose, nanti orang salah paham kalau mendengar ucapanmu," protes Tika. "Tika, sejak kapan kau peduli ucapan orang." "Sejak sekarang." "A
" Tika, kamu udah tau belum?""Tau apa?" Tika menatap Rose dengan rasa penasaran."Bakalan ada karyawan baru. Semuanya cowok." Rose menyeringai."Trus?" tanya Tika acuh."Artinya bakalan ada pemandangan baru," Rose tersenyum genit."Astaga, Rose. Aku kira apa. Tapi aku penasaran, ko kamu bisa tau ya?""Tentu aja aku tau. Aku kan punya teman di SDM." Rose menjawab bangga."Oh, iya. Aku lupa.""Tika, kamu kok reaksinya gitu?" ucap Rose sambil cemberut."Terus, aku harus gimana Rose?"Tika mencubit pipi Rose gemas."Ya, kamu setidaknya bisa lebih antusias."Tika menghela napas, "Rose, kalau ada pegawai baru, itu artinya pekerjaanku bertambah. Aku harus menjadi supervisor mereka dan membimbing mereka. Itu merepotkan sekali." Tika merengut membayangkan pekerjaan yang akan dia hadapi nantinya.Rose menepuk dahinya, "ya, ampun, Tika. aku baru ingat. Kau yang paling muda, jadi kalau ad
Tika tak berhenti mengulum senyum. Tadi pagi Axel mengjaknya sarapan sebelum berangkat ke kantor. Tika benar-benar tidak menyangka, memiliki seseorang yang dia cintai akan membuat hidup menjadi begitu berwarna juga lebih bersemangat. "Pasti kau sedang bahagia ya?" suara Reino membawa angan Tika kembali. "Ah, ya. Bisa dibilang begitu," jawab Tika sambil tersenyum. Reino mengangguk, lalu mengulurkan segelas kopi yang tadi dibelinya. "Aku tidak tahu, kau suka apa, tapi aku membeli ini tadi." "Wah, kau sangat pandai mengambil hati, ya. Terima kasih." Tika mengambil kopi dari tangan Reino. "Nggak masalah." Reino lalu berjalan menuju mejanya. Tak lama Mike datang. "Hai, Tika. Hari ini kita akan belajar apa?" tanya Mike tanpa basa-basi. "Hari ini aku akan ajak kalian ke salah satu subkontraktor kita, lalu nanti malam aku akan traktir kalian makan. Ucapan selamat datang." "Wah, Tika, kau senior yang baik ya," celetuk Rose yang mendengar percakapan mereka. "Bukankah kau juga melakukan
"Kamu yakin kita perlu melakukan penculikan?" seorang pria yang tengah menghisap rokok kretek bertanya pada rekannya. "Aku sangat yakin. Kita perlu mengkonfirmasi perasaan Axel terhadap gadis itu sekaligus mengorek keterlibatannya pada peristiwa malam itu." "Tapi, bagaimana kalau Laura mengetahui perbuatanmu ini? Bukankah nanti dia akan curiga?" "Laura sedang berada di Swiss, kalaupun dia tahu, aku bisa memberikan banyak alasan padanya." "Jadi, apa rencanamu?" "Kita akan culik dia di depan Axel, lalu kita interogasi. Kita harus membuat gadis itu mengingat kembali kenangan saat malam terakhirnya di New York," ucap lelaki itu sambil tersenyum licik. "Aku mengerti. Kau ingin membuat gadis itu takut pada Axel, bukan?" "Tepat. Kita tidak punya banyak waktu. Axel harus segera masuk dalam jebakan atau dia bahkan Laura menyadari kejadian yang sebenarnya." "Tapi, bukankah agak kejam melibatkan seorang gadis di dalamnya?" tanya lelaki kretek. "Kenapa? Kau mulai merasa kasihan?" "Ah, ti
Rintik hujan menyambut Tika saat dirinya keluar dari dalam taksi. Awalnya Axel menawari untuk menjemput Tika, tapi dia bersikeras untuk datang sendiri ke tempat pertemuan. Tika ingin merasakan kencan yang biasa tanpa kemewahan ataupun fasilitas yang berlebihan."Ax, aku ingin berangkat sendiri seperti wanita lain," ucap Tika saat Axel menawarkan untuk menjemput Tika."Tika, banyak juga wanita lain yang dijemput oleh kekasihnya saat pergi berkencan," sanggah Axel."Iya, aku tau. Tapi, Ax, aku beneran ingin pergi sendiri. Aku ingin merasakan debaran selama perjalanan menemuimu." Tika tetap ngotot, bahkan dia mengubah suara dan mimik mukanya demi membujuk Axel.Axel yang melihat kekasihnya begitu menggemaskan saat bersikap manja membuatnya luluh, "Baiklah, Nona muda. Aku kabulkan permintaanmu.""Terima kasih, Axel. Aku tidak akan mengecewakanmu." Tika mengatakan itu dengan hati riang. Dia sudah bertekad akan tampil secantik mungkin apalagi Axel
"Rei, tolong cepat atau kita akan kehilangan jejak Tika!" perintah Axel pada Reiden usai mereka menemukan lokasi Tika melalui pelacak yang diletakkan pada sepatu Tika. "Axel, ini sudah kecepatan paling maksimum. Aku takut kalau lebih cepat dari ini, kita sudah lebih dulu mati karena kecelakaan sebelum berhasil menemukan Tika," ujar Reiden seraya tetap fokus dengan jalanan yang dilaluinya. "Baiklah, baiklah. Apakah masih jauh?" "Tidak, di persimpangan depan, kita belok ke kanan. Disitu pelacaknya terdeteksi." "Oke. Semoga mereka tidak menyadari keberadaan pelacak itu,"harap Axel. Sayangnya, harapan itu harus kandas. Saat mobil yang membawanya dan Reiden sampai pada titik, yang ditemukan hanyalah sepasang sepatu yang tadi Tika pakai. Para penculik sepertinya menyadari bahwa di dalam sepatu itu terdapat pelacak dan memilih meninggalkannya untuk mengecoh pengejar. Axel mengangkat sepatu Tika lalu memeluknya. "Sial!" pekik Axel.&nbs
"Axel, axel, aku dapat rekaman kamera dasbor dari mobil yang kebetulan berada di jalan yang sama dengan mobil yang membawa Tika," ucap Reiden buru-buru pada Axel. Wajah Axel yang kusut setelah semalam suntuk tidak tidur karena harus melihat semua rekaman CCTV bahkan kamera dasbor mobil berubah lebih cerah. Bahkan senyum simpul mulai tampak di sana, "Benarkah? Tolong perlihatkan padaku!" Axel berjalan menuju ke tempat Reiden berada. "Lihat! Bukankah itu mobil yang membawa Tika? Platnya sesuai yang kita ingat," ujar Reiden senang. "Kamu benar. Di daerah mana ini?" "Sepertinya mengarah ke daerah di sekitar gunung Michellin." "Baiklah, ayo lekas kita kesana!" Axel langsung bergegas menuju pintu. Reiden mengikuti dari belakang. Dia merasa bersyukur akhirnya memiliki titik terang. Dia belum tidur sejak Tika menghilang meskipun tubuhnya terasa sangat lelah dan mengantuk. Namun, Reiden tahu, Axel pasti yang paling menderita jadi dia tidak protes."Rei, biar aku yang membawa mobil." Axel
"Bagaimana kondisi kekasih saya dok?" cerca Axel pada pria berjas putih yang baru saja memeriksa kondisi Tika. "Dia baik-baik saja, lukanya tidak parah dan sudah diobati," jelas sang dokter. "Tapi kenapa dia belum bangun dok? Sudah hampir 10 jam dia pingsan." Suara Axel masih penuh kecemasan. "Itu hal wajar, Pak. Nona Tika baru saja mengalami kejadian yang traumatis, sehingga tubuhnya ingin beristirahat. Saat cukup beristirahat, saya yakin dia akan bangun." Sang dokter menjelaskan dengan penuh pengertian. Axel tak mampu berkata-kata lagi setelah mendengar penjelasan dokter sebab semua yang dikatakan sang dokter benar. Tika mengalami kejadian yang buruk, kondisi psikologisnya pasti terganggu. "Kalau begitu, saya permisi dulu ya, Pak," pamit sang dokter seraya berlalu meninggalkan Axel. Sepeninggal sang dokter, Axel terpekur memandang wajah Tika. Wajah itu terlihat damai saat tidur seperti ini. Axel menghela napa. "Setidaknya, kau bisa sejenak melupakan kejadian menyakitkan itu, T
Axel memandang ponselnya dengan gusar. Sejak 10 menit yang lalu dia mencoba menghubungi Tika, tapi yang menjawab adalah mesin penjawab otomatis. "Apa yang sedang kamu lakukan, Tika?" geram Axel saat teleponnya yang kesekian kali tidak dijawab juga. Kepala Axel berdenyut, juga inti tubuhnya. Dia teramat merindukan Tika. Axel terus mengingat, malam saat Tika menyerahkan seluruhnya padanya. Axel bahkan tidak pernah bisa tenang bekerja sejak hari itu. Dia menjadi sangat menginginkan wanita itu. Cinta dan nafsu seakan memburunya, tanpa memberinya ruang. Selama ini, dia selalu berhasil menahan perasaan dan nafsunya. Namun, pertahanannya luruh malam itu. Sudah sejak lama dia tidak merasakan perasaan seperti malam itu. Sesuatu yang Axel rindukan sejak kematian Marry, telah Tika berikan bahkan dengan rasa yang lebih dahsyat. Axel yakin, dia tidak akan bisa hidup tanpa Tika. Sayangnya, wanita itu justru mengabaikannya. "Reiden, Reiden!" teriak Axel memanggil asisten sekaligus sekretaris pri
"Tika, wajahmu tampak berseri-seri hari ini, " celetuk Rose saat melihat Tika datang. "Benarkah?" Tika memegang pipi dengan kedua tangannya sembari tersenyum. "Kalian pasti bersenang-senang ya?" "Hemh," ucap Tika tersipu. "Waw, good job girl!" teriak Rose histeris. "Rose, pelankan suaramu." "Iya, iya, iya. Tapi selamat ya, akhirnya." "Semua berkat kamu, Rose." Tika beringsut mendekati Rose lalu memeluknya. "Wah, ada apa ini dengan dua gadis cantik kita?" celetuk Mike yang baru masuk ruangan bersama Reino. "Tika sedang bahagia, Mike," jawab Rose. Meski tampak biasa, sebenarnya kecanggungan terlihat diantara Reino dan Tika. "Tika, aku mencoba menghubungimu sejak kemarin. Aku mau minta maaf." Reino mencoba mengajak Tika bicara saat mereka bertemu di dapur ruangan. "Tidak apa, Rei, aku sudah memaafkanmu. Bukan sepenuhnya salahmu, aku saja yang terlalu emosional." "Terima kasih, Tik, sudah memaafkanku. Aku janji tidak akan melewati batas." "I see, Rei." Tika tersenyum pada Re
Tika menautkan kedua pasang tangannya erat sembari berdoa dalam hati. Debaran jantung yang bertalu serta butir keringat halus yang mengalir perlahan di punggungnya menyiratkan ketegangan yang kini tengah membelenggunya. 'Tuhan, semoga aku tidak pingsan saat melihatnya.' Kurang lebih seperti itu doa yang Tika panjatkan demi mengurangi semua ketegangan dan kegugupan. Tika sendiri tidak paham akan perasaannya atau alasan dari semua reaksi tubuhnya. Bertemu seorang Axel bukanlah hal baru, tapi Tika tetap merasa gugup. Saat masih bergulat dengan perasaannya sendiri, seseorang menyapanya. "Tika," sapa sebuah suara. Suara dari orang yang Tika tunggu sejak tadi. "A-ah, iya," gagap Tika. Lelaki itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tika. Lucunya, Tika tetap menunduk tanpa berani memandang ke arah lelaki itu. "Kamu tidak mau melihatku, Tika?" tanya lelaki itu. "Ah, ti-dak, bukan begitu." Tika masih gugup. Tautan ditangannya maki
"Tika, kamu lagi bahagia ya?" tanya Reino penasaran."Eh, Rei, dia tu lagi hepi soalnya pacarnya mau ngajak makan malam.""Oh," ucap Reino datar. Raut mukanya langsung berubah menjadi sedikit masam."Kenapa Rei?" tanya Tika."Nggak apa-apa. Aku cuma bingung aja kamu tiba-tiba baikan sama pacarmu. Bukannya kalian sudah putus, ya?""Hemh, ceritanya panjang Rei. Kami tidak putus, aku hanya menjauh karena suatu masalah. Tapi dia berjanji akan menjelaskan semuanya saat nanti kami bertemu, jadi aku memutuskan untuk berhubungan dengan dia lagi," jelas Tika."Begitu rupanya, syukurlah. Aku turut senang, Tika. Tapi, sebagai temanmu aku berharap kamu tidak langsung percaya seratus persen pada pacarmu. Apalagi pacarmu adalah Axelsis." "Maksudmu? Lalu sejak kapan kau tahu pacarku adalah Axel?""Tidak ada. Hanya saranku, kamu lebih baik tidak langsung mempercayai semua ucapannya dan mengenai kapan aku tahu pacarmu adalah Axel, itu sejak kamu diculik. Malam itu, saat aku mengunjungimu di rumah sak
Tika memandang ponselnya dengan gamang. Dia masih belum yakin mampu berbicara dengan Axel. Berkali-kali dia membuka nomor kontak lelaki itu lalu menutupnya lagi. "Tika, ada apa dengamu? Bukankah kau sudah putuskan untuk memaki lelaki itu?" umpat Tika pada dirinya sendiri. Tika menghela napas berat. Perlahan dibukanya kembali nomor kontak Axel, lalu secara perlehan dia menekan tombol hijau. Tidak kurang dari satu menit, sebuah suara yang sangat dia rindukan terdengar dari seberang. "Hallo,...." Tiba-tiba air mata mengalir deras dari pelupuk mata Tika, seolah itu sudah ada disana dan menunggu untuk keluar. Lalu tanpa menunggu Axel menyelesaikan ucapannya, Tika menyela, "Ax, apa salahku? Kenapa aku mesti mencintai orang sepertimu? Kenapa aku begitu bodoh?" Tika terisak. Hati Axel sebenarnya ikut sakit mendengar isak tangis Tika. Namun, bila mengingat kembali bahwa Tika pernah mengusirnya, Axel bersikap ketus. "Apa maksudmu, Tika?" ketus Axel. "Aku membencimu, Ax. Aku takut pada
Tika nampak anggun dengan balutan gaun berwarna merah maron. Sepatu berhak tinggi berwarna putih krem turut mempercantik kaki mungilnya. Wanita itu berjalan dengan riang menghampiri lelaki tampan yang telah menunggu kedatangannya sejak tadi."Kamu cantik sekali malam ini, Sayang," ucap lelaki tampan itu seraya mengulurkan tangan pada Tika.Tika menyambut tangan itu, lalu menggenggamnya erat, "Terima kasih, Ax. Kau juga sangat tampan."Axel dan Tika lalu berjalan masuk ke dalam restoran."Ax, ini tidak seperti yang aku pikirkan bukan?" Raut wajah Tika tampak penasaran melihat tidak ada satupun orang di dalam restoran."Ya, ini seperti dugaanmu. Aku menyewa semua tempat disini. Aku hanya ingin makan romantis berdua denganmu tanpa ada orang lain mengganggu.""Bukankah ini agak berlebihan?""Tidak, tidak. Ini sangat sepadan.""Oh, oke, baiklah. Meski aku berpikir ini sedikit tidak masuk akal.""Tika, please, jangan bahas lag
"Hai, Rose," sapa Tika ceria begitu wajah Rose tersembul dari balik pintu yang setengah terbuka. Meski sedikit terkejut dengan kedatangan Tika, Rose ikut tersenyum sembari membuka pintu rumahnya sepenuhnya. "Waw, Tika." Mereka berdua berpelukan seolah baru bertemu setelah sekian lama, padahal baru satu hari Tika tidak masuk kantor. "Ayo, ayo masuk Tika. Rei, juga." Rose mempersilahkan Tika dan Reino masuk. "Thanks, Rose," ucap Reino yang mengekor di belakang Tika dan Rose sambil membawa koper milik Tika. "Jadi, kalian mau minum apa?" "Terima kasih, Rose, aku memang sangat haus, apa saja yang segar boleh," jawab Reino. "Tika?" "Tidak ada, aku tidak haus. Nanti akan aku ambil sendiri bila butuh." "Oke." Rose lalu sibuk mengambil beberapa botol minuman dingin dari dalam lemari es, juga mengambil tiga buah gelas. "Rose, aku bilang kan kau tidak perlu repot." "Oh, ayolah Tika, ini tidak repot sama sekali. Hanya minuman dingin instan." "Baiklah, Rose, tempat sandaranku, aku minum
"Gimana? Udah merasa baikan setelah makan?" tanya Reino pada Tika usai mereka menyelesaikan makan. "Yah, aku merasa lebih bertenaga juga lebih penasaran." "Astaga, Tika. Aku pasti akan menceritakannya. Tapi, sebelum itu, aku penasaran apa yang terjadi sampai kamu diteror seperti ini?" "Ah, itu, mungkin karena aku terlalu baik hati." "Ayolah Tika, ini bukan hal yang bisa dijadikan lelucon. Kamu kemarin diculik dan sekarang diteror. Itu semua kejadian yang mengerikan bahkan untukku yang seorang lelaki. Apalgi buat kamu." Nada suara Reino terdengar frustasi sekaligus khawatir. "Rei, aku masih baik-baik saja sampai saat ini. Kamu tidak perlu begitu khawatir. Aku sedang sial saja." "Oke, oke, tapi bisa kan kamu ceritakan, foto-foto itu?" "Ih, kok, jadi aku yang mesti cerita. Kan kamu yang harusnya jelasin ke aku tentang orang yang kamu kenali di salah satu foto itu." Wajah Tika merengut. "I-iya, sih. Tapi menurutku lebih adil kalau kamu juga menceritakan kisahmu lebih dulu Tika."
Tika terbelalak melihat bungkusan yang dipeganggnya. Lalu sedetik kemudian wajahnya memucat, diiringi teriakan yang terlontar dari bibirnya."Aaaaaaaaaaa!!!!"Tika menendang jauh bungkusan yang tadi dipegangnya.Ting tong, ting tong,"Aaaaa!" Sekali lagi Tika berteriak. Suara bel apartemen megejutkannya.Meskipun masih terkejut sekaligus takut, Tika memberanikan diri membawa tubuhnya mendekati pintu. Perempuan itu lalu perlahan membuka pintu apartemennya. Rasa lega langsung mengalir ke seluruh pembuluh darahnya melihat Reino berdiri di depan pintu kamarnya."Hai, Tika, selamat pagi," sapa Reino sambil tersenyum manis.Gegas Tika memeluk Reino karena merasa senang dan aman."Hei, ada apa ini, Tik?" tanya Reino kaget dengan perilaku Tika yang tidak biasa."Nggak apa-apa, aku seneng aja, kamu datang. Ayo masuk." Tika mempersilahkan Reino masuk.Reino mengikuti Tika, lalu matanya menangkap bungkusan yang tadi Tika bua