Helda menggenggam tangan Nuning erat-erat. Dia tahu beban berat yang tengah dipanggul wanita itu. Tapi saat ini Nuning tak punya pilihan selain melangkah maju, menghadapi kenyataan yang tengah mempertontonkan taringnya. Bayangan tentang sosok Pak Priyo yang tengah menanti kehadiraannya bersama Vincent sebagai suami-istri yang utuh, jauh lebih menggigit nyalinya ketimbang rasa takutnya sendiri pada mantan suami yang pernah melukainya itu.
Rasa takutnya kepada Vincent tak setajam rasa takutnya jika melihat kekecewaan dalam sorot mata tua Pak Priyo yang tengah sakit. Dia tak ingin menancapkan kesedihan kedua kali pada hati sang bapak, yang pernah berduka karena perceraiannya yang pertama dengan Jaka. Nuning sudah biasa menerima kekalahan akan cinta dalam hidupnya, tapi dia tidak ingin membagi kekalahannya itu dengan keluarga yang dicintainya. Dia tak sanggup mengakui rasa sakitnya itu kepada orang-orang yang ia sayangi. Dia tak sanggup melihat kekecewaan itu membebani emak-bapak
Vincent mengambil cuti kerja selama mendampingi Nuning di rumah sakit. Wanita itu bergulat dalam kecemasan selama menunggui bapaknya menjalani operasi besarnya karena kondisi jantungnya yang harus dipasangi ring. Namun secara ajaib genggaman Vincent yang membungkus tangannya sanggup mengalirkan ketenangan yang dia butuhkan. “Cemas tak akan membantumu, Ning. Ayo ... berdoalah dengan hatimu. Pintalah yang terbaik, namun tetap pasrahkan apapun yang terjadi pada Tuhan,” bisik Vincent dengan suaranya yang tak hanya merdu, tapi juga berbalut kesejukan. Hingga Nuning tak punya pilihan selain mengangguk dan menurutinya. Sedangkan Bambang tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan kakinya sebagai wujud kegelisahannya yang terpendam. Namun kakinya sontak terdiam kala tatapannya bersiborok dengan mata elang Helda yang tajam menatapnya, kemudian tatapan gelap itu beralih ke kakinya. Membuat kaki Bambang mematung bagai kena hipnotis wanita aneh itu. ‘Kenapa sih wanita itu?’
Jaka terkejut kala bibinya di kampung mengabari tentang kondisi Pak Priyo yang sedang menjalani operasi jantung. “Tengoklah Pak Priyo ke Jakarta, Jak. Mewakili keluarga kita. Beliau kan sudah seperti keluarga kita sendiri,” kata bibinya. Padahal tanpa diminta pun Jaka bakal pergi menjenguk sosok orang tua yang sudah dianggapnya seperti ayah sendiri itu.Lalu Jaka menelepon Bambang, “Mas Bambang kenapa nggak ngasih tahu aku? Tahu begini kan aku bisa lekas datang, biar bisa membantu Mas merawat Bapak.”“Terima kasih atas perhatianmu, Jak. Tapi aku sudah cukup dapat banyak bantuan kok dari Nuning dan suaminya. Jangan khawatir, operasinya berjalan lancar, sekarang Bapak masih di ruang ICU, mungkin butuh waktu 1-2 minggu baru bisa dipindahkan ke kamar perawatan biasa, tergantung kondisi Bapak nanti gimana. Tapi sejauh ini kondisi beliau baik dan stabil. Doakan saja, Jak. Nanti saja kalau mau ke sini pas Bapak sudah dipindah ke kamar perawatan b
“Permisi?” Jaka menyapa sambil melongok masuk ke dalam sebuah kamar rawat inap VIP.“Eh, Jaka? Masuk, Jak!” Bambang menyambut seraya mengulurkan tangan, menerima uluran parcel buah dari tangan Jaka. “Repot-repot amat sih, Jak. Tapi, makasih loh ya?”Jaka tertegun demi mendapati sosok Daniel Sutomo juga tengah berada di dalam ruang ini, tempat Pak Priyo tengah dirawat usai dipindahkan dari ruang ICU. Jaka buru-buru menyapa dengan sepenuh hormatnya. Dan Tuan Daniel pun membalasnya dengan begitu rendah hati.Jaka menyapa Pak Priyo, mereka mengobrol untuk sejenak, kemudian Jaka duduk di sisi Tuan Daniel Sutomo, sosok konglomerat yang dia hormati dan menjadi salah satu tokoh panutannya selama ini. Jaka tak menyangka bisa bertemu beliau lagi setelah sekian tahun lamanya.“Saya dulu pernah bertemu dengan Bapak di acara kampus, saat itu Bapak menjadi pembicara di sana,” kata Jaka bernostalgia sejenak saat Tuan Danie
Diam-diam Bambang bersyukur dengan keberadaan Jaka yang dengan ringan tangan mau bergantian menjaga Pak Priyo selama dirawat di rumah sakit. Sehingga Bambang punya waktu untuk memulihkan tubuhnya dari kelelahan. Selain mengurusi Pak Priyo, Bambang juga rutin menelepon Bu Parmi di kampung untuk mengecek kondisinya. Emaknya tak bisa ikut serta ke Jakarta mendampingi pengobatan si bapak karena kondisi fisik yang tak memungkinkan. Kalau diajak pergi dengan jalur darat, Bu Parmi mabuk laut dan suka migrain kalau naik mobil lama-lama. Apalagi lewat jalur udara dan harus naik pesawat, bisa-bisa malah stroke karena takut. Emaknya memang sepayah itu.Untunglah ada bibinya Jaka, yang kerap menginap menemani Bu Parmi di rumah selama Bambang dan Pak Priyo di Jakarta. Kedua perempuan tua itu sangat cocok berteman dan berghibah, alias ngomongin orang. Meskipun orang yang diomongin dia-dia lagi. Kalau lagi nggak membahas Nuning ..., pasti Jaka yang dibahas. Bukan Bambang yang sepertinya ngg
Pak Priyo pulang ke kampungnya saat dokter sudah memperbolehkan beliau pulang dengan jadwal kontrol yang harus dijalani di kemudian hari. Jaka turut serta mengantar pulang meski Bambang mencegah karena tak ingin merepotkan lelaki itu lebih banyak lagi.Namun Jaka enggan ditolak. “Nggak apa-apa, Mas. Lagipula aku mau sekalian pulang nengokin Paman dan Bibi juga kok. Sudah lama aku nggak bertemu mereka dan juga Emak,” katanya berusaha membuat Bambang nyaman menerima bantuannya.Jaka terkejut melihat Nuning sudah lebih dulu ada di sana, menyambut kedatangan mereka bersama Bu Parmi yang langsung menangis tersedu-sedu memeluk Pak Priyo.Bambang pun membiarkan si emak menggandeng Pak Priyo dari mobil menuju ke dalam rumah, sambil berjaga-jaga di dekat mereka.“Bapak ini loh, sekalinya sakit kok ya kayak gini tho. Untunglah sampean selamet, Pak. Nggak kebayang aku hidup tanpamu, Pak ... Pak!” oceh Bu Parmi sebagai ungkapan rasa syukurnya.
Dua Tahun Kemudian“Walah, makan opo tho kuwi Nuning? Kok weenak buanget kelihatannya. Bikin aku jadi laper lagi loh! Padahal baru aja aku makan siang.”“Tahan, Jeng. Tahan ..., itu ujian! Nuning makan sebakul bakalan tetep langsing, nggak kayak kita cuma menelan ludah aja bisa langsung jadi lemak!”“Iyo yo ... nurunin berat badan kok susah banget gini, kayaknya lebih gampang melunturkan dosa-dosa kita deh daripada melunturkan lemak di badan.”“Lemak di badan ini kayaknya emang dosa kita sebagai emak-emak deh, Jeng! Yang suka khilaf nggak tahu diri kalau keasyikan ngunyah.”“Heran. Mulut dipake buat ngunyah melulu salah, ... dipake buat ghibah juga salah! Serba salah deh hidup kita tuh!”“Dih, kita?? Situ aja keleuuus!”Begitulah ramainya komentar emak-emak yang sedang asyik berkumpul di teras rumah Bu RT, saat ngerujak bareng sambil
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m