Dukung karya ini ya, moga rejeki kalian juga berlimpah setelahnya :D
Seperti yang David janjikan, pagi itu mereka berangkat sebelum matahari menyapa cakrawala. Mereka sudah menuju ke sebuah pantai yang jaraknya tidak sebentar dari kota Manhattan, mobil David melaju dari pukul enam pagi hingga pukul sembilan baru mereka tiba di tempat tujuan.Saat David keluar dari kendaraan, Freya juga turun dan berjalan lebih dulu ke arah pantai. Pagi ini tempat tersebut sangat sepi, angin juga terasa lebih tenang ketimbang saat siang hari."Kau akan melepaskannya di sini?" tanya David pelan.Freya yang sempat memejamkan mata, kini menatap lautan luas di hadapannya. Hembusan nafas dalam keluar dari bibirnya lalu ia mengangguk."Sebelum kematiannya, David ingin pergi ke pantai. Semenjak dia sakit, aku memang belum pernah mengajaknya liburan." Kata-kata itu terasa seperti duri yang menghujam dadanya.Air mata mulai berkumpul lagi di pelupuk matanya hingga akhirnya kembali menetes. "Aku pikir masih ada kesempatan, tidak aku sangka kalau kesempatan itu adalah dengan cara
Freya tak bisa tinggal lama di kediaman David, dia hanya punya waktu dua hari yang harusnya menjadi waktu istirahat, tapi malah menjadi hari perpisahannya dengan seseorang yang sangat Freya sayangi.Pagi itu, Freya sudah tampak rapi dan segar, namun wajahnya masih menyimpan luka. Meski berusaha tersenyum di depan David, kesedihan dalam dirinya terlalu dalam untuk benar-benar disembunyikan."Terima kasih sudah memberiku tumpangan, sekarang aku harus pergi," ucap Freya.David menoleh, pria itu terlihat sibuk menggunakan dasinya. "Kenapa? Kau bisa tinggal di sini lebih lama."Freya menggeleng, "Aku masih harus bekerja.""Di rumah Javier Bennett?" tebak David yang diangguki oleh Freya."Oh ya, David. Aku titip barang yang semalam kamu berikan padaku, nanti aku akan mengambilnya jika ada waktu," kata Freya."Bukan masalah," jawab David, pria itu sudah selesai memasang dasi lalu segera meraih ponselnya di meja. "Kebetulan aku juga akan berangkat ke kantor, bagaimana kalau aku mengantarmu?"
Hari-hari berlalu tanpa ada semangat kehidupan yang Freya rasakan, ia hanya bekerja dan bekerja, kemudian istirahat lalu lanjut bekerja. Tapi lima hari terakhir, baik itu Viona maupun Javier tak ada yang mengganggunya, mereka berdua tampak sibuk dengan urusan masing-masing.Saat sedang sibuk memotong daging di dapur, kehadiran Viona yang tiba-tiba membuat suasana berubah tegang."Bagaimana rasanya tinggal di rumah ini?" tanya Viona sembari mengambil segelas air, menatap Freya dengan sorot mata yang tak bersahabat."Cukup baik," jawab Freya singkat, tak ingin memperpanjang percakapan.Viona bersandar di tepi meja dapur, menatap Freya dari ujung kepala hingga kaki dengan tatapan penuh penilaian. Sorot matanya tajam, seperti sedang menguliti setiap inci tubuh Freya.Perasaan tak nyaman merayap ke dalam diri Freya, namun ia berusaha menahan diri. Tangan kanannya yang memegang pisau bergerak perlahan, mengontrol kekuatannya dengan seksama. Pisau itu berkilat tajam di bawah sinar lampu dapur
"Kau sibuk?" tanya Javier.Freya yang sedang menyetrika pakaian menoleh, tatapannya dingin saat Javier menghampiri. Dengan tegas Freya berdiri tegak menatap pria bertubuh besar di depannya, rasa takut Freya hilang begitu saja, ia sudah tidak peduli apa yang terjadi pada dirinya sendiri."Saya rasa Anda tidak buta, Tuan. Bukankah Anda bisa melihat tumpukan pakaian yang baru saja saya rapikan?" jawabnya tajam.Javier menaikkan alisnya, sedikit terkejut karena Freya lebih berani dari biasanya. Dimana tatapan kucing ketakutan dari mata perempuan ini? Tapi baguslah, itu artinya ia tak perlu segan lagi.Mendadak ia melemparkan blazer ke arah Freya. Dengan enggan, Freya menangkapnya. "Ada sobekan di saku. Aku ingin kau memperbaikinya. Aku akan memakainya nanti malam."Freya mengerutkan kening. "Anda punya banyak blazer. Kenapa harus menggunakan yang ini?""Kau tidak berhak membantah," Javier bergerak maju, Freya bahkan tidak terpengaruh oleh suasana mendominasi yang Javier ciptakan. "Cukup
Keesokan paginya, suasana rumah Javier seolah sedang diserang karena banyak barang berantakan. Sementara Javier tak kunjung berangkat ke kantor, melainkan sibuk mengobrak-abrik ruang baca. Tumpukan buku dan kertas berserakan di lantai, pikirannya terlalu banyak belakangan ini sampai ia lupa, berapa kode brankas perusahaan.Freya yang tengah membawa keranjang berisi baju kotor, berhenti di depan pintu. Ia memandangi Javier yang tampak gelisah dan sibuk mencari di antara buku-buku yang telah ia bongkar."Apa yang Anda cari, Tuan? Mungkin saya bisa membantu," kata Freya, berusaha menawarkan bantuan agar Javier tak membuat kekacauan lebih besar.Javier menoleh, tatapan frustrasinya berubah sejenak. "Kau melihat kertas berisi angka-angka? Aku yakin menyimpannya di sini, tapi aku lupa di mana."Freya mengerutkan kening, lalu meletakkan keranjang pakaian di dekat pintu. Tanpa berkata-kata, ia menuju kamarnya dan mengambil kertas yang ia temukan kemarin dari saku blazer Javier. Ketika ia kemb
Air yang mengalir dari shower membasahi sekujur tubuh Freya, ia mencoba untuk menghilangkan bekas hubungannya bersama Javier. Rasanya sangat memuakkan, ia tidak tau harus berapa lama lagi bertahan dengan kondisi seperti ini karena ia tidak bisa menikmatinya.Perasaannya hampa, tidak ada semangat hidup. Tujuannya telah hancur, adiknya sudah meninggal. Sejenak Freya memejamkan mata, air membasahi wajah hingga ke bawah tubuhnya.Selesai membersihkan diri, Freya mengenakan pakaian lalu turun ke lantai utama. Rumah sangat sepi, Javier juga pasti sudah berangkat ke kantor. Mendadak ponsel Freya berdering, nama David terlihat di layar utama."Namanya selalu mengingatkanku dengan orang yang aku sayangi," batin Freya lalu menerima panggilan tersebut. "Halo?""Hai, Freya. Kau sibuk sore ini?""Tidak juga," jawabnya.Terdengar suara benda jatuh dari seberang panggilan, lalu suara David yang tampak panik terdengar. "Astaga, hampir saja aku merusaknya," kata pria itu pada dirinya sendiri."Kau sed
Seperti yang sudah David janjikan, sore hari dia menjemput Freya untuk pergi menghadiri hari ulang tahun orang tua David. Freya mengenakan dress berwarna putih tanpa lengan, berpenampilan semenarik mungkin agar ia tidak terlihat seperti orang yang perlu dikasihani.Beberapa hari telah berlalu, adiknya sudah tidak ada. Kalau sampai adiknya tahu setiap hari Freya bersedih, remaja itu juga pasti tidak akan senang. Sebisa mungkin Freya harus mengontrol emosinya, ia tak boleh terlarut dalam kesedihan.Di depan pantulan bayangan cermin, Freya mengatur ekspresinya. "Perjalananmu masih jauh ke depan Freya, kau tidak boleh menyerah begitu saja," gumamnya, setelah itu ia pun turun karena David sudah menunggu di depan.Tapi ketika Freya tiba di depan pintu, pintu tersebut terbuka lebih dulu. Javier masuk, tatapannya langsung mengarah pada Freya, memperhatikan penampilan cantiknya yang jarang sekali ditunjukkan di depan Javier."Kau mau pergi tanpa seizinku?" geram Javier, tampak jelas pria itu m
David menepikan mobilnya, mengerutkan alis sambil menatap Freya dengan cemas. "Kau yakin turun di sini? Rumah Javier masih jauh." Freya mengangguk, memasang senyum tipis untuk menutupi kegelisahannya. "Tak apa, aku ada urusan dengan seseorang. Terima kasih sudah mengantarku bertemu dengan ibumu," katanya sambil membuka pintu. David tersenyum dan mengangguk. "Hati-hati," ucapnya sebelum melaju pergi. Setelah memastikan David benar-benar pergi, Freya menarik napas panjang dan berjalan menuju kafe yang telah Pamela sebutkan dalam pesan singkatnya. Dengan jantung berdebar, ia melangkah memasuki kafe dan melihat Pamela sudah menunggunya di salah satu meja. Freya menarik kursi dan duduk di hadapannya, menatap wanita yang selama ini mengendalikan kehidupannya dengan tatapan tajam yang menusuk. Pamela mengeluarkan selembar kertas dari tasnya dan meletakkannya di atas meja. "Adikmu memang sudah tiada, tapi jangan harap aku menganggap biaya ini lunas," ucap Pamela, suaranya dingin dan ta
Hari yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Udara pagi itu terasa segar, namun bagi Javier, udara seolah dipenuhi dengan ketegangan yang manis. Berdiri di ruang gantinya, ia merapikan tuksedo putih bersih yang melekat sempurna di tubuhnya. Setiap detail tampak serasi, memberikan kesan bahwa ia adalah pria yang siap memulai kembali kehidupan baru dalam hidupnya, sebagai suami dari wanita yang ia cintai.Javier menatap cermin di depannya, memperhatikan bayangan dirinya. Ada sedikit senyum puas di wajahnya, namun tatapannya segera berubah lembut ketika ia membayangkan sosok Freya."Aku ingin melihat seperti apa dia sekarang," gumamnya pelan.Namun, ketika ia berbalik untuk pergi, langkahnya di hadang oleh David yang tiba-tiba muncul di pintu."Hei, hei! Kau mau kemana, Dude?" David bertanya dengan nada menggoda, tangannya terangkat seolah ingin menghentikan langkah Javier."Bertemu istriku," jawab Javier tanpa ragu, alisnya sedikit terangkat.David tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Di
Malam itu, suasana rumah Javier berubah menjadi hidup ketika suara deru mobil terdengar berhenti di halaman. Beberapa saat kemudian, riuh celotehan anak-anak mengisi udara. Dylan dan Felix melompat keluar dari mobil, berlari ke arah Freya dengan semangat yang nyaris meledak-ledak. Mereka berlomba-lomba untuk menceritakan petualangan mereka selama di luar rumah, wajah mereka berseri-seri seperti dua matahari kecil yang membawa keceriaan.Javier yang duduk di ruang tamu menoleh sejenak. Senyumnya tipis, cukup hangat untuk menandakan kebahagiaannya melihat anak-anak begitu bersemangat. Tapi pandangannya segera tertuju ke arah pintu mobil yang masih terbuka. Dari sana, Morgan muncul, langkahnya mantap namun terlihat lelah. Javier meletakkan ponselnya di meja, bangkit dan berjalan menghampirinya."Biasanya anak buahmu yang mengantar mereka pulang," ucap Javier, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Morgan hanya menatap Javier sekilas, tidak langsung merespons. Ia menyerahkan dua tas milik D
Langkah Javier terdengar ringan ketika memasuki rumah, senyuman tak henti-hentinya menghiasi wajahnya. Di tangannya ada sebuah kotak beludru hitam, kecil namun begitu berharga, isinya adalah cincin pernikahan yang telah ia pesan. Pandangannya menyapu ruangan sesaat, mencari sosok yang sudah memenuhi setiap sudut hidupnya dengan kehangatan.Ia menemukannya di halaman belakang, wanita cantik dengan perut yang mulai membesar itu sedang memetik buah plum dari pohon. Freya terlihat begitu damai dalam kesederhanaannya, meskipun tubuhnya tengah mengandung keajaiban kecil yang sebentar lagi akan hadir di dunia.Javier berjalan perlahan ke arahnya, menikmati setiap detik pemandangan ini. Ada kebahagiaan sederhana yang terpancar dari Freya, meskipun dia tampak sibuk dengan keranjang buah di tangannya.“Hai, kau sedang apa?” tanya Javier sambil menyandarkan tubuhnya pada pintu kaca yang menghubungkan ruang tamu dengan halaman belakang.Freya menoleh, senyuman lembut menghiasi wajahnya. “Memetik b
Hari-hari berlalu dengan cepat, tapi satu hal selalu sama, setiap kali Dylan dan Felix pulang dari pertemuan mereka dengan Morgan, keduanya terlihat kelelahan. Javier sudah mulai terbiasa melihat wajah letih kedua putranya, meski rasa penasarannya terus mengganggu. Setiap kali ia bertanya apa yang mereka lakukan, jawaban mereka selalu singkat, "Bermain dengan Kakek."Namun sore itu berbeda. Wajah Dylan terlihat memerah seperti habis terbakar matahari, dan kulitnya tampak kasar. Freya yang cemas melihat kondisi anaknya, segera mengambil pelembap dan mengoleskannya ke wajah Dylan dengan lembut.Javier yang berdiri di sudut ruangan sambil memperhatikan, "Permainan apa yang kalian lakukan dengan Kakek sampai seperti ini?" tanyanya dengan nada tegas, tatapannya tajam mengarah pada Dylan.Dylan hanya menunduk, sementara Felix yang biasanya lebih blak-blakan, terlihat ragu-ragu. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Dylan buru-buru menutup mulut saudaranya.Alis Javier terangkat tinggi. "Jad
"Kau yakin hanya pesta biasa saja?" tanya Javier, matanya memandang Freya dengan ragu, seolah memastikan dia tidak salah dengar.Freya mengangguk mantap, senyum lembut tersungging di wajahnya. "Aku tidak terlalu menyukai sesuatu yang berlebihan. Lebih baik kita mengadakan pernikahan yang sederhana. Hanya menghadirkan orang-orang terdekat, tanpa kemewahan yang berlebihan. Bagiku yang penting adalah maknanya, bukan pesta besar yang mencuri perhatian."Javier terdiam sejenak, lalu meraih tangan Freya, menggenggamnya erat. Ia menatap mata wanita itu dengan penuh perhatian. "Jangan khawatir soal biaya. Aku bisa memberikan segalanya untukmu. Aku ingin hari itu menjadi sempurna, sesuatu yang tak akan pernah kita lupakan."Freya tersenyum lagi, kali ini lebih lebar, seolah meyakinkan pria di depannya. "Bukan soal biaya, Javier. Ini tentang apa yang membuatku bahagia. Aku tidak butuh pesta yang megah untuk merasa istimewa. Yang aku butuhkan hanyalah kamu, dan janji yang kita bangun bersama. It
Seperti yang Javier harapkan, keesokan paginya, bahkan sebelum cahaya matahari menyentuh cakrawala, suara mesin mobil terdengar memasuki halaman rumah. Javier yang sudah menunggu sejak semalam turun dari lantai dua ke ruang tamu.Saat pintu mobil terbuka, dua pria dengan tubuh tegap keluar, masing-masing menggendong Dylan dan Felix yang tertidur pulas di pelukan mereka. Bocah-bocah itu tampak damai, seolah-olah tak terganggu oleh perjalanan panjang yang baru saja mereka lalui.Javier melangkah keluar, matanya menyapu kendaraan dengan hati-hati, berharap menemukan sosok Morgan. Namun yang ia temui hanyalah seorang supir berdiri kaku di sisi pintu mobil.“Dimana bos kalian?” tanya Javier dengan nada datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang terselip dalam suaranya.Supir itu menunduk hormat. “Tuan mempercayakan kami sepenuhnya untuk mengantar putra Anda kembali dengan selamat. Jika tidak ada yang lain, kami permisi.”Tanpa menunggu jawaban, kedua pria yang menggendong Dylan dan Felix
Keduanya menuju mobil terparkir, niat Javier ingin mengajak Freya ke butik hari ini berakhir di tunda. Mereka pulang, perjalanan dari pantai yang Freya kunjungi dari rumah sangat jauh dan mereka tiba di rumah saat langit sudah gelap. Tapi, rumah dalam keadaan sepi. Biasanya saat jam seperti ini, Dylan dan Felix sangat ribut sehingga rumah sepi seperti ini cukup membuat Freya curiga apa yang dilakukan oleh mereka. "Aku akan lihat mereka di kamar," kata Freya. Ketika Freya menghilang menuju lantai atas, Javier menerima panggilan telepon yang datang tiba-tiba. Ia menjawab dengan santai, “Halo?” Suara berat di ujung telepon langsung terdengar tanpa basa-basi. “Aku akan mengembalikan kedua putramu besok.” Belum sempat Javier menjawab, panggilan itu langsung terputus. Ia menatap layar ponselnya yang kembali gelap, lalu mendesah panjang, memijat pelipisnya perlahan. Sementara itu Freya membuka kamar putranya, tapi kosong. Perasaannya mendadak cemas, dengan langkah tergesa-gesa ia kembal
Beberapa hari kemudian, setelah banyak pertimbangan akhirnya Javier dan Freya sepakat untuk menikah sebelum musim dingin tiba. Itu artinya, hanya tersisa kurang dari empat bulan untuk mempersiapkan hari istimewa mereka.Namun, bagi Javier waktu yang singkat itu bukan alasan untuk tergesa-gesa, justru ia ingin memastikan setiap detail sempurna, karena hari itu akan menjadi momen yang mengikat Freya sepenuhnya dalam hidupnya.Pagi itu, tepat pukul sembilan, Javier baru saja keluar dari ruang gym. Tubuhnya masih berkeringat, dan handuk kecil di tangannya ia gunakan untuk menyeka leher dan wajah. Suara dering ponsel memecah kesunyian. Ia melihat layar ponselnya, mendesah pelan, lalu mengangkatnya.Dari ujung telepon, suara berat Morgan terdengar penuh dengan kemarahan yang ia coba tahan.“Kau menguji kesabaranku, Javier!”Javier hanya menyeringai tipis sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding. Ia tidak tampak terintimidasi sedikit pun. “Aku tidak pernah berjanji apapun padamu,” jawabnya da
Setelah mendengar penjelasan Morgan, Javier tak bisa berkata kata lagi. Rasanya ia turut hanyut dalam kisah yang terjadi diantara Pamela dan Morgan, ia telah salah paham menilai Morgan yang ternyata berusaha untuk melindunginya."Sekarang, terserah padamu untuk percaya atau tidak. Keputusan untuk percaya ada di tanganmu, memang sulit menerima kenyataan bahwa ayah kandungmu adalah seorang pembunuh. Kau pasti malu, jadi sebaiknya kau tidak perlu mengakui diriku." kata Morgan.Javier tetap diam, masih mencerna apa yang sudah ia dengar. Morgan adalah korban, sementara selama ini Javier tau bahwa ibunya, Pamela, tidak pernah mencintai Rodeo. Mereka menikah karena bisnis, dan kemungkinan besar Pamela juga terpaksa hidup bersama dengan Rodeo walaupun yang sering kali Javier lihat, Pamela terlihat bahagia.Tapi tidak dengan hatinya, bahkan Morgan juga sama, dia memilih untuk tidak menikah hingga sekarang demi satu wanita yang dicintainya."Lalu ... kenapa ayahku memintamu untuk bertanda tanga