***
Pada akhirnya, Calista dan Sinta bisa tersenyum kembali. Wanita itu kini tengah dirawat selepas operasi usus buntu yang di jalaninya.
Beberapa kali ia berterima kasih padaku karena telah membayar seluruh administrasi rawat Calista, aku hanya mengangguk dan menjawab semua itu kulakukan atas dasar balas budi.
Kini, Calista tidak akan mengeluh tentang penyakitnya lagi. Begitu juga dengan Sinta, gadis muda itu bisa kembali bersekolah dengan tenang tanpa harus mengkhawatirkan Calista berlebih.
Calista tidak mempunyai sanak saudara, kedua orang tuanya sudah meninggal beberapa bulan lalu, hanya Sinta dan Beto keluarga yang ia miliki.
Di samping Beto yang belum kembali, dan Sinta yang harus pergi bersekolah. Terpaksa aku harus merawat dan menjaga Calista hingga ia sembuh total.
“Bagaimana dengan lukamu? Apa sudah sembuh?” tanya Calista.
Aku sudah menjalani operasi pengangkatan proyektil tepat ketika operasi Calista sedang berl
Hah? Siapa sebenarnya yang melakukan hal kejam seperti itu? Apa kepolisian yang melakukannya? Bagaimana reaksi Calista dan Sinta ketika mengetahui ayahnya sudah terbunuh secara keji? Wah, makin seru kisahnya. Ada unsur-unsur tertentu yang tak kutulis dengan detail, tentu itu agar pembaca nyaman dengan ceritanya. Jangan lupa vote dan comment yah, serta share ke temen-temen kalian:)
*** Esok harinya, aku langsung memutuskan untuk pergi dari rumah Beto. Kuberikan uang sejumlah sepuluh juta untuk mereka bertahan hidup, aku memilih bungkam ketika mereka menanyakan alasanku. Jelas! Uang yang kuberikan semoga bisa membuat mereka berpikiran untuk tidak mengharapkan Beto kembali. Harapanku adalah semoga mereka bisa mulai berinvestasi atau berdagang dengan uang itu, dan aku percaya Calista bukanlah wanita yang boros. “Hati-hati di jalan.” Calista tersenyum, wajah pucat dan sedih darinya hilang berbarengan dengan naiknya matahari di atas kepalaku. Sinta pergi bersekolah, aku sudah berpamitan dengannya semalam dan ia mengaku senang mengenalku. Memang begitulah, kita tidak bisa menilai seseorang dari penampilannya saja. Hal itu yang kuyakinkan kepada Sinta, dengan kata lain, kita harus berbuat baik bahkan kepada orang asing sekali pun. Ia tersenyum masam, ternyata sifat juteknya masih melekat erat di gadis muda itu. Mereka b
***Keadaanku jauh lebih berbeda dibanding sebelumnya, sudah dua minggu aku sembunyi dengan penampilan yang baru, kepala plontos dan tumbuh janggut tebal di pipi dan daguku. Sekilas aku sudah mirip orang lain dalam ingatanku.Wajahku muncul di depan layar televisi, mereka memberitakan kalau aku adalah dalang utama pembunuhan Anggota Dewan Luqman. Kuyakin rekan-rekanku melihat berita ini dan berpikiran kalau identitasku pasti sudah terbongkar.“Pak Hassan, apa kamu punya obeng?” tanya petugas yang sedang membenarkan selang air di kontrakanku, kini aku tinggal di selatan Bawen, dekat dengan pertokoan kuno yang menjajakan oleh-oleh khas Semarang.“Obeng? Tunggu sebentar.”Kuberikan benda itu kepadanya dan ia menerima obeng itu dengan ramah, hanya aku seorang diri yang tinggal di tempat itu, mereka tidak tahu kalau akulah buronan yang tengah dicari seantero negeri.“Baiklah, sudah selesai. Lain kali jika ingin menya
*** Penjelasan Ridho sangat singkat, terukir di wajahnya raut ketakutan ketika kutanya penyebab kematian Beto. Ia bercerita malam itu setelah dirinya ditangkap, beberapa petugas membawanya pergi dengan mobil berbeda. Tangannya gemetar, kulihat keringat mulai deras membasahi wajah dan tangannya. Aku menyadari sesuatu, apa yang ditakuti Ridho ternyata lebih besar dari yang kuduga. Mereka menyebutnya lingkar dewan, organisasi yang sama ketika Ani menceritakannya di ruang kamar Gisele selama di rumah sakit. Merekalah yang berada di dalang pembunuhan Beto, dengan alih menutup bukti, mereka justru membuka bukti baru pembunuhan Beto. “Bagaimana kamu bisa tahu kalau mereka adalah lingkar dewan?” tanyaku. Ia masih terdiam, mungkin pertanyaanku terlalu membingungkan bagi Ridho yang tampak masih shock dengan kejadian tersebut. “Biar kuganti pertanyaanku, apa ada seseorang di sana yang kamu kenali?” tanyaku. Ridho mulai merespon, ia terus
*** Alhasil kami mengobrol di luar, di sebuah warung angkringan yang menjual berbagai macam makanan dan minuman. Kami mengobrol hangat, tawa canda menghiasi perbincangan ringan antara aku dengan Ridho. Perlahan topik pembicaraanku mulai mengarah ke kejadian penculikan tersebut, tapi aku tidak blak-blakan menanyakannya secara langsung. “Terkait pembicaraan kita yang terhenti siang tadi,” ucapku. Posisi duduk kuubah dan kini tengah menghadap ke pria tersebut, Ridho tampak terkesiap sembari menghabiskan gorengan yang ada di piringnya. “Pembicaraan? Apa itu tentang dia?” tanya Ridho. Aku mengangguk, Ridho tampaknya dalam keadaan tenang, dilihat dari wajahnya yang tidak gelisah dan cemas seperti siang tadi. Malam itu, wajahnya begitu tenang layaknya air di danau. “Namanya Stefano, mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui siapa dia sebenarnya,” jelas Ridho. Udara semakin dingin menit ke menit, kulirik jam di tanganku su
***“Di mana aku?” tanya pria tersebut, Valenkov, nama dari penjahat yang berhasil kutangkap.Aku melihat ada dua bukti identitas yang pria itu miliki, sebagai seorang warga Rusia dan sebagai warga Indonesia dengan nama Supratno.Polisi langsung tiba sepuluh menit sejak penembakan terjadi, untungnya aku berhasil melarikan diri sebelum mereka tiba.Jika dugaanku benar, maka mereka pasti akan melakukan pengetatan di kawasan perbatasan, dan aku akan dengan mudah tertangkap melalui bukti pintu mobilku yang pecah dan rusak.“Kamu aman bersamaku, jika kulempar kamu keluar, pasti kamu juga akan tertangkap atas tuduhan pengerusakan barang.” Kuputar kepalaku dan berbalik menatap Valen yang tengah terikat di atas kursi, tangan dan kakinya terikat dengan mata yang tertutup kain hitam.“Silakan, lakukan saja. Tuan Stefano pasti akan melindungiku,” ungkap Valen, suaranya meninggi penuh percaya diri.“Itu t
***Tak hanya Soo, para pengawal yang menemani wanita itu sama brengseknya. Aku bahkan harus dipaksa keluar dari dalam mobil dengan tangan terikat layaknya penjahat.“Ah, menyebalkan sekali, bukan? Harus tertangkap dua kali oleh wanita sepertiku,” hina Soo, ia tersenyum seraya memasukan kembali G2 Elite yang telah ia tunjukan di depan publik.Entah kenapa para petugas keamanan di rumah sakit ini tidak mengamankan Soo, wanita di larut malam dengan senjata yang teracung kepadaku, itu bukanlah sesuatu yang bisa disebut main-main, nyawaku taruhannya jika aku melawan.“Tapi aku akan bersikap lembut kali ini kepadamu, karena jas hitam ini sudah tak lagi membuatku kedinginan.” Ia mencium jas hitam yang menutupi tubuhnya dan meremasnya dengan penuh perhatian.“Lalu apa lagi yang akan kamu lakukan padaku? Bukankah sudah kubilang, aku tidak akan menyerahkan Cincin Hitam kepadamu,” tegasku.“Sebaiknya
*** “Apa dia benar-benar pergi dengan keadaan seperti itu?” tanya Reno. Sebelum melancarkan serangan balasan ke kediaman Soo, kuajak dia untuk masuk ke sebuah apartemen kecil di dekat pasar rakyat Semarang. Pada awalnya, aku memarahi Reno karena pria itu meninggalkan posisinya seenak jidat, tapi ketika kudengar penjelasan darinya, aku tidak bisa memarahinya lagi. Singkatnya, ia memiliki informasi berharga tentang keberadaan Stefano di Semarang dan kota sekitarnya. Ia mendapatkan informasi tersebut dari informan yang tak ingin namanya diketahui, sebut saja dia Mr. X. “Aku tidak ingin mengulang apa yang sudah kukatakan, mengingatnya saja sudah membuat hatiku sakit.” “Aku mengerti,” balas Reno. Ia melempar tas besar yang ada di tangannya ke atas kasur dan menarik rasleting tas secara perlahan. Kuperhatikan jalanan di luar, tampak lengang dan sunyi, hanya ada beberapa orang yang lalu lalang di jalanan tersebut. “Apa ini cuk
***Dua jam berlalu, pembantaian yang kami lakukan berakhir sudah. Kulihat mayat dari anak buah Soo banyak bergelimpangan di atas lantai dengan luka tembak yang besar, kebanyakan dari mereka tertembak peluru kaliber besar yang berasal dari senapan Reno.“Mereka semua sudah mati, aku harap kamu menyesali apa yang sudah kamu perintahkan.”Kutarik tangan Soo dan mengajak wanita itu keluar kamar, ia tampak terkejut, takut, dan gemetar melihat banyak rekan-rekannya yang tewas.Bahkan ia tidak bisa menutupi ketakutannya tatkala melihat beberapa potongan tubuh berserakan di lantai rumahnya, ada kepala yang terlepas, mata yang tercopot hingga organ perut yang tercerai berai.“Aku tidak menutup kemungkinan ada yang selamat dari tragedi hari ini,” ucapku, dengan tenang aku berbicara padanya seolah aku tidak memiliki kesalahan apa pun.Kubuka tas milikku dan mengeluarkan bom yang sudah Reno persiapkan, terdapat tiga buah bom den
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa