Tak kusangka, seseorang yang justru kuakui sebagai salah satu petinggi yang mumpuni kini berencana untuk merebut Cincin Hitam dalam genggamanku. Benar, ia tumbuh dan berkembang di Indonesia sembari melihat aktivitas mafia yang kulakukan.
“Kau! Aku tidak menyangka kau mengincar posisiku saat ini.”
“Jangan naif, aku hanya ingin membentuk Cincin Hitam yang lebih baik dan lebih bermartabat dibanding saat kau memimpin,” ucap Soo, ia tersenyum menyeringai seolah-olah berkata dengan lantang “Akulah pemenangnya”.
Tapi akan kupastikan ia tidak bisa mengambil Cincin Hitam dariku, jika kulakukan sesuai peraturan organisasi. Aku akan mengangkat beberapa orang lagi sebagai seorang eksekutif dan menjegalkan langkah Soo untuk mengambil alih.
“Para eksekutif ini, kamu pasti hapal salah satu atau mungkin mereka semua. Dalam gelap, mereka terus saja menghambur-hamburkan uang, melecehkan para wanita dan memainkan uang di pasaran,” keluh Soo, aku tidak mengerti apa yang
Halo, maafkan Author yang belakangan ini cukup sibuk sehingga mengabaikan kalian semua. Ujian dan praktek di perkuliahan benar-benar melelahkan. Namun, Author pastikan ke kalian semua. Mulai Juli, Partner In Crime akan tayang dua chapter perhari. Jadi selamat berlibur :)
*** Pencarianku terhadap keempat orang tersebut terpaksa kuhentikan, cidera yang dialami Gisele ternyata lebih buruk dari dugaan sebelumnya. Cidera engkel yang ia derita disebabkan oleh peregangan berlebihan di bagian ikatan ligamen –urat yang mengikat tulang. Klinik kesehatan menyarankan aku untuk membawanya ke rumah sakit, aku menyetujui meski Gisele menolaknya mentah-mentah. Aku katakan padanya jika kita tidak punya banyak waktu, orang-orang yang kita kejar bisa saja mengetahui pergerakan Cincin Hitam dan mulai melarikan diri. Tujuh hari adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mengembalikan keadaan Gisele kembali seperti semula. Dengan bantuan rumah sakit yang besar dan berpengalaman, aku tidak perlu mengkhawatirkan keadaan Gisele lagi karena dia berada di tempat yang tepat. Pagi itu, dia masih terlelap di atas kasur pasien yang begitu empuk. Aku sengaja membawanya ke ruang VIP agar ia bisa mendapatkan perawatan yang maksimal. Ruangan ini
*** Alberto? Apakah mungkin ada pria tukang sate dengan nama Alberto yang lain? Tidak! Orang jawa identic dengan nama-nama yang khas, sangat jarang orang menamai anak mereka Alberto. Hanya satu kemungkinan jika Alberto yang lain ada, yaitu orang asing yang memilih menetap di Jawa Tengah dan mengubah kewarganegaraannya. Kuperhatikan lebih jelas wajah dari pria di depanku, ia berkulit putih dan memiliki perawakan khas orang-orang Kaukasian. Apakah mungkin jika orang ini adalah buronan yang tengah kucari? Semakin malam, udara di sekelilingku semakin dingin dan menusuk. Jalanan pukul sebelas malam di depan tukang sate tampak lengang, hanya beberapa kendaraan yang bias kuhitung dengan jari. Dan terlebih di daerah itu hanya ada tukang sate milik Alberto seorang yang masih buka, entah kenapa kurasa seperti ada yang ganjil dari penampilan pria bertubuh besar tersebut. Sudah lebih dari setengah jam aku berdiri tepat di samping jalan, tidak ada
“Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?” tanya Alberto, sorot matanya begitu tajam seolah kini tengah mengintimidasiku. “Sebaiknya kita cari tempat lain. Aku tidak mau anak ini mengetahui identitas sebenarnya dari Ayah yang begitu ia sayangi,” ucapku. Kubalikan tubuh ini membelakangi Alberto dan melirik pelan melalui sudut mataku kepada Sinta. Gadis yang malang, di usia yang cukup belia, ia terpaksa harus menghadapi situasi sulit seperti ini. Tapi hal menyedihkan akan membawa kekuatan bagi seseorang, begitu juga dengan mereka yang ditinggalkan. Aku yakin dia cukup tangguh untuk melewati sisa hidup ke depannya, poin plus sudah ia dapatkan ketika dengan berani meneriaki dan membentakku. “Ayah! Jangan tinggali aku.” Wajah Sinta berlinang air mata, untuk anak seusianya aku sama sekali tidak keberatan jika harus menunggu. Hari ini, di waktu petang tiba, Sinta akan berpisah dengan ayahnya, mungkin untuk selamanya. “Tidak apa-apa, jangan khawatir
*** Sisanya berjalan seperti biasa, setiap kali ia enggan menjawab pertanyaanku, kutawarkan kesenangan padanya, begitu seterusnya hingga pagi menjelang. Kulihat wajah Beto pucat pasi layaknya susu basi yang sudah ditinggal lama pemiliknya, baju dan celana pria itu tergeletak di lantai dengan penuh noda alkohol. “Ayo! Kita main lagi. Satu permainan kecil.” Benar-benar manusia yang serakah, ia tidak mengingat kesenangan di semalam suntuk yang sudah ia habiskan. Kuhitung jumlah minuman beralkohol yang habis diteguk olehnya, hampir mencapai 10 botong ukuran besar. “Sudahlah. Ayo kita pergi,” ucapku. Keadaan di ruang itu masih begitu berantakan, baju dan pakaian Beto masih tergeletak bebas tanpa pria itu pedulikan, kedua wanita yang terus menemaninya semalam suntuk tertidur pulas tanpa dibalut kain apa pun. Aku sudah berpakaian rapi, tentu saja demikian mengingat ada seseorang yang perlu kudatangi. Ridho, kudengar dia tingga
***“Kemana sebenarnya kamu akan membawaku?” tanya Beto, aku meminjam mobil rental kenalan wanita simpanan yang kutemui tadi, ia dengan senang hati membantuku untuk meyakinkan temannya meminjamkan mobil itu kepadaku.“Solo, aku akan membawamu ke sana.”“Jangan cemas, jika kamu kooperatif, aku akan mengembalikanmu ke keluargamu nanti,” sambungku tanpa melihat ke bagian jok penumpang di belakang, posisi Beto yang teikat di bagian tangan dan kaki membuatnya tak bisa bergerak dengan leluasa.Dari penuturan informasi yang diberikan Beto, Ridho pernah bekerja di salah satu sekolah dasar, lalu pergi dan tinggal di sebuah desa dengan pekerjaan sebagai seorang guru honorer di sekolah madrasah.Beto sering menceritakan tentang temannya itu, ia mengakui kalau pembunuhan terhadap Luqman dilakukan oleh mereka juga. Namun, mereka mengelak jika dituduh sebagai dalang utama.Mereka hanya menjalankan tugas dari seseorang y
*** Kudatangi sebuah gedung tua yang tampak tak terpakai, gedung itu berada di luar Desa Sukmajaya, berbatasan langsung dengan Boyolali. Waktu menunjukan pukul dua malam dan mereka yang duduk di bangku belakang sudah tertidur pulas, begitu juga dengan Beto. Kedua orang itu sudah kuikat dengan ikatan erat dan kuat. Sesampainya di dalam gedung, kedua pria itu kuletakan di atas lantai gedung yang kotor. Kulihat pemandangan itu mengingatkanku pada kejadian dulu ketika Cincin Hitam banyak melakukan penangkapan pada orang-orang yang mencurigakan. Sekitar satu jam aku menunggu mereka tersadar, akhirnya Ridho terbangun dan mendapati kalau dirinya sudah terikat di kedua tangan dan kakinya. Ia menatapku dengan wajah bengisnya, luka dan sayatan di wajahnya sama sekali tidak membuatku takut. “Di mana aku?!” tanya Ridho, ia membentak dan mencoba memberontak, tubuhnya bergeliat layaknya cacing yang kepanasan. “Tenanglah, aku akan mengembalikanmu jika
***Seharian kemarin aku hanya bisa berbaring di atas kasur, tak banyak yang bisa kulakukan bahkan polisi tidak mau melewatkan satu jam saja meninggalkanku sendirian di ruang perawatan ini.Setiap enam jam sekali akan ada pergantian jaga, personil yang menjagaku juga berubah dari semula satu orang kini menjadi dua orang. Aku semakin sulit berpikir untuk melarikan diri dari sini.Hanya ada satu momen ketika aku memang benar-benar sendirian, momen itu datang ketika perawat masuk untuk membasuh tubuhku karena aku tidak diperbolehkan untuk turun dari atas kasur.Dan itu akhirnya tiba, seorang perawat masuk sembari membawa ember yang penuh dengan air dan lap basah yang ada di bawah ember tersebut. Perawat perempuan itu mulai menyingsingkan lengan bajuku hingga siku, dan celanaku hingga lutut.Aku berbual kepada polisi dengan mengatakan aku memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi, dengan kata lain, aku cukup sensitif jika orang luar selain perawat meli
***Interogasiku selesai, mereka memerintahkan untuk memindahkanku ke Jakarta secepatnya. Sejak semalam, aku tidak melihat keberadaan Tiara di ruanganku berada.Hanya Risa yang datang padaku, terkadang ia datang untuk kembali menanyaiku tanpa menggunakan alat pendeteksi kebohongan, terkadang juga ia hanya datang untuk berkunjung atau mengobrol ringan.Aku tidak bisa mengusirnya, jika boleh jujur aku sangat membenci wanita bermuka iblis itu. Ia dengan sengaja mengubah isi interogasi sesuai dengan yang diinginkannya. Sontak saja hal itu mengundang emosiku.“Apa yang kamu butuhkan lagi padaku?” tanyaku, setiap kali kulihat wajahnya, selalu saja terbayang ucapan semalam yang begitu mengejutkan lagi menyakitkan.“Tidak, aku hanya ingin mengobrol sesuatu denganmu. Ini berkaitan dengan Tiara.”Kudengar wanita ini sudah mendapatkan lencana dan pangkat yang jauh lebih tinggi dari pada polisi kota ini, karena hal itu juga membu
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa