Juna mengangguk dan mereka bertukar duduk. Dia tak sabar ingin segera menguasai cara mengemudi mobil agar bisa lebih mandiri nantinya, tak perlu repot mengajak supir ketika dia ingin pergi. Iwang dengan sabar memberikan arahan pada Juna. Berkat kecerdasan sang panglima, dia bisa menguasai mobil hanya dalam waktu setengah jam saja. Juna mulai luwes menggerakkan tangan dan kakinya untuk berkoordinasi mengemudi mobil. Laju mobil yang dikemudikan dia juga sudah setara dengan kemampuan Iwang. “Wah! Mas Juna cepat sekali menangkap pelajarannya!” puji Iwang pada majikan mudanya. “Hanya mengandalkan tekad dan keberanian saja, Mas!” Juna merendah. “Kalau begitu, apa aku boleh menjajal mengemudi mobil di jalan raya sekarang, Mas?” Iwang berpikir sejenak. “Hm, baiklah, Mas! Tapi ke jalan raya yang tidak terlalu padat saja, yah!” Juna mengangguk dan langsung melajukan mobil keluar dari kawasan tersebut untuk berbaur dengan kendaraan lainnya di jalan raya. Tadinya, Iwang sudah berdebar-deba
“Mas! Mas! Sini, biar aku saja yang mengemudi!” Tak mau sesuatu buruk terjadi pada majikan mudanya, Iwang lekas keluar mobil dan memapah keluar Juna untuk dibawa ke kabin navigasi. Kemudian, mobil mulai dijalankan Iwang sebelum mobil di belakangnya ribut membunyikan klakson. “Mas, saya antar ke rumah sakit, yah!” Iwang menoleh singkat ke Juna dengan pandangan cemas. Juna menggelengkan kepala tanpa menoleh dan menjawab, “Errghh … tak usah, Mas Iwang … hnnghh … ini … ini tak parah, kok!” Dia tak mau repot ke rumah sakit. Dia yakin dia masih sanggup menahannya. Yang mengherankan bagi Juna, begitu mobilnya sudah cukup jauh dari TKP kecelakaan, sakit di kepala dan dadanya mendadak saja lenyap tak berbekas. Juna sampai termangu keheranan. “Ini ….” “Kenapa, Mas?” tanya Iwang sambil melajukan mobil. “Masih sakit?” “Justru sebaliknya, Mas! Ini sembuh sepenuhnya!” “Sudah sembuh?” Meski heran, tapi Iwang bersyukur majikan mudanya sudah pulih sehingga dia tak akan dimarahi majikan tuanya.
Malam harinya, Juna menenggelamkan diri pada pekerjaan memeriksa semua data perusahaan yang dia kelola. Dia tidak mau dipecundangi seperti Arjuna sebelumnya.Jabatan sebagai CEO memang terlihat bonafid dan membanggakan, tapi kalau tidak becus dan selalu dicurangi anak buah sendiri, bukankah itu menggelikan sekaligus mengenaskan?Sebagai panglima hebat di masa lampau, Juna tak mungkin menginginkan situasi seperti yang dihadapi Arjuna.Sementara itu, di kamarnya, Lenita gelisah menunggu sang suami. Berulang kali menoleh ke pintu, lalu beralih ke jam di dinding. Selalu begitu urutannya seakan sudah menjadi satu paket.‘Kenapa si sialan itu belum datang juga?’ pekik benak Lenita setelah lirikan ketiga puluh sembilan kalinya pada jam di dinding.‘Cih! Bukannya aku mengharap-harap si bodoh itu datang, sih … tapi kan … unghh ….” Lenita malah kesulitan sendiri memikirkan alasan sebagai jawaban atas ucapannya di benak. Dia tak mau mengakui bahwa dia menginginkan sentuhan Juna.Meskipun mungkin
“He he he … ditanya kok malah memaki? Ck ck ck … tidak seharusnya wanita terhormat mengucapkan makian semacam itu.” Juna melipat kedua tangannya di depan dada sambil menampilkan wajah mencemooh Lenita.“Itu gara-gara kau sendiri yang mengagetkan aku!” Lenita sudah melayangkan pukulan manja ke arah dada suaminya.Tapp!Janu lebih dahulu menangkap dua pergelangan tangan Lenita dan berkata, “Kenapa malah menyalahkan aku?”“Dari mana kau, hah?” Lenita melotot tanpa menarik tangan dari genggaman Juna.“Apakah aku punya kewajiban menjawab pertanyan semacam itu?” tantang Juna.“Si—sialan kamu! Ini rumah papaku, maka aku berhak tahu apapun yang ada di sini!” Lenita kesal dan berkata, “Pasti kau baru melakukan hal kotor di luar sana!”“Apakah duduk santai di taman samping termasuk hal kotor? Yah, mungkin juga karena lantainya pasti kotor saat aku duduki.” Juna mengedikkan bahu secara santai.“Bohong!” Lenita terlanjur menuduh dan dia malu.“Aku tidak memaksamu percaya padaku.” Juna memainkan a
Lenita bisa gila jika dia terus diabaikan Juna. Padahal dia sendiri juga tak tahu kenapa merasa begitu. Apakah ini hanya sebuah harga diri yang terluka karena sebelumnya tak pernah diabaikan Arjuna?Malam itu, Lenita mendatangi Juna meski tidak memakai lingerie, hanya kaos ketat sebatas pinggang dan celana mini katun saja.Ketika Lenita datang, Juna mendongak ke arah pintu, menjeda pekerjaannya saat melihat sang istri melangkah masuk ke ruangan sambil membawa baki berisi kue dan es sirup di atasnya.‘Wah! Wah! Bukankah ini sebuah lompatan besar untuk wanita seperti dia?’ Juna terkejut sekaligus takjub dengan perubahan sikap Lenita. Walaupun cemberut, tapi Lenita bersedia merundukkan egonya dengan memberi camilan dan minuman begitu.“Apakah tidak apa-apa kalau makan dan minum yang manis-manis begitu di malam seperti ini?” Juna membubuhkan senyum kecil ketika berbicara sambil meletakkan pensil di atas berkas sembari merilekskan punggung ke sandaran kursi.Wajah cemberut Lenita makin dit
Mau dikata apa jika tubuh mulai menyerah?Meski berat hati, tapi Lenita akhirnya berbicara walau dengan suara lirih, “Aku … minta maaf ….” Dia berada di bawah tekanan. Bukan tekanan dari suaminya, melainkan tekanan dari keinginannya sendiri ingin merasakan seluruh kenikmatan yang ditawarkan Juna.Juna menampilkan senyum diagonalnya ketika mendengar ucapan lirih Lenita. Ya sudah, tak apa hanya begitu saja. Toh, ini tetap sebuah lompatan besar bagi wanita arogan dan keras kepala seperti istrinya.Maka, sebagai hadiah atas sikap patuh Lenita padanya, Juna membopong sang istri menuju kamar mereka sendiri. Dia sendiri juga butuh adanya penuntasan setelah beberapa hari ini menahan kuat-kuat dorongan yang ingin meledak.Memiliki istri memang sangat menyenangkan, bukan?Tak perlu dipertanyakan lagi seperti apa takluknya Lenita malam itu. Dia benar-benar memasrahkan seluruh tubuhnya untuk dilahap sang suami. Dia mirip ikan yang menggelepar setelah diangkat dari air, memanggil-manggil nama Juna
Mana mungkin Wenti tidak merasa kikuk dan pipinya merona? Pinggangnya dipeluk menggunakan satu lengan kokoh pemuda tampan seperti Juna.‘Sejak kapan tubuh Juna menjadi atletis begitu?’ Wenti sibuk mengingat-ingat di benaknya. ‘Bukankah tubuh Juna kecil dan termasuk kurus? Kenapa sepertinya dia sangat kuat? Apakah selama ini dia sebenarnya bertubuh atletis dan aku tidak sadar? Dia barusan menahan beban tubuhku dengan hanya satu tangan! Astaga!’“A—ahh! Um … terima kasih, Jun! Maaf!” Wenti jadi salah tingkah dan bersikap gugup. Dia benar-benar tidak menyangka akan ada insiden semacam ini bersama menantunya.“Tak masalah, Ma. Sini belanjaannya biar aku saja yang bawa!” Juna tersenyum santai dan meraih kantong-kantong belanja di tangan Wenti untuk dia bawa menggunakan satu tangan.Setelahnya, Juna jadi lebih protektif berjalan di sisi Wenti, benar-benar melindungi Wenti dari pengunjung lain yang hendak bersentuhan dengan sang ibu mertua menggunakan tangan lainnya yang bebas.Ini membuat p
“Mas Iwang, pindahkan belanjaan mama ke bagasi mobilku, yah! Setelah itu, Mas Iwang bisa pulang dengan mobil Lenita.”“Baik, Mas!” Iwang mengangguk patuh melakukan perintah majikan mudanya.“E—ehh! Jun! Tapi belanjaan Mama pasti bau dan membuat bagasi mobilmu amis!” Wenti ingat dia tadi membeli ikan dan daging selain sayur-sayuran.“Tak perlu cemas untuk hal kecil begitu, Ma. Kalau bau dan amis, kan bisa dibawa ke tempat cuci mobil.” Juna mengentengkan kecemasan Wenti.Wenti tidak berkutik lagi karena desakan Juna. Dia pun patuh digiring ke kabin depan mobil baru sang menantu dan didudukkan di kursi navigasi.Setelahnya, Juna masuk ke ruang kemudi dan tersenyum ke Wenti sebelum menyalakan mesin mobil. Meski mobil baru, karena Juna sudah melunasi semua pembayaran dan telah melengkapi segala dokumen yang dibutuhkan, maka dia bisa membawa pulang langsung.Tentu dari Juna telah mengantongi STCK atau Surat Tanda Coba Kendaraan yang telah dia urus secara cepat di Samsat kota Samanggi sehing
Juna dan ketiga istrinya mengangguk. “Kami akan berusaha untuk itu, Ma. Terus doakan kami agar selalu memiliki hal baik.” Juna menanggapi Wenti. Kemudian, keningnya berkerut, “Ma, apakah Mama akhir-akhir ini sering cepat lelah dan mual?” “Eh, kok tahu?” Wenti terhenyak kaget. Namun, kemudian dia sadar bahwa putra angkatnya ini bukan manusia sembarangan. “Selamat, Ma!” Juna maju untuk memberikan pelukan tulus ke Wenti. Anika dan Shevia paham makna ucapan Juna dan mereka bergantian mengucapkan selamat pula sambil memeluk Wenti. “Eh? Mama kenapa?” Rinjani belum paham. “Mama sudah hamil lagi, Kak.” Shevia menjelaskan. Di antara mereka, Rinjani memang yang paling hebat jika itu mengenai intuisi bisnis, tapi dia payah dalam aspek lainnya yang berkaitan dengan hubungan antar manusia. Wenti menanggapinya dengan senyum simpul dan sedikit malu-malu. *** “Ya ampun, lihat mereka! Sungguh keluarga besar yang ramai.” Seseorang menahan pekikannya ketika melihat Juna dan keluarga kecil dia tu
“Ya ampun, lucu sekali dia! Cantiknya ….” Rinjani sambil menggendong bayinya, dia menoleh ke bayi Shevia.“Dedek bayinya Kak Rin juga ganteng, tuh!” Shevia menunjuk bayi di gendongan Rinjani dengan dagunya.Mereka saling memuji bayi milik madu masing-masing.“Mbak Anika masih menyusui anaknya, yah?” tanya Shevia setelah dia berhasil menidurkan bayinya.“Iya. Masih di kamar. Semua anaknya tenang sekali, jarang menangis. Benar-benar bayi kalem seperti ibunya.” Rinjani mengomentari anak kembar Anika.Kemudian, pintu depan terbuka dan masuklah Juna yang baru pulang dari kantornya.“Mana jagoan-jagoanku?” tanya Juna sambil mendekat ke mereka dan mulai mencium bayi-bayinya di gendongan ibunya masing-masing. “BIntang … umcchh! Wulan … umchh! Sudah wangi semua!”“Lah ini anakku masa sih dipanggil jagoan?” Shevia sambil mengangkat sedikit bayi perempuan di gendongannya.“Lho, dia ini nantinya seorang jagoan wanita! Menjadi perempuan kuat yang akan melindungi orang tertindas dan menebar kebajik
“Wah, gedungmu begitu wow sekali, Jun!” Rinjani menatap gedung baru Juna. Matanya berkeliling menelisik semua interior di sana.“Ini juga berkat bantuanmu.” Juna berkata di dekat telinga Rinjani.“Kok aku?” tanya Rinjani sambil menjauhkan kepalanya dari Juna untuk menatap suaminya dari jarak yang tepat.“Kamu kira aku tidak tahu kalau kau mengirim investor gadungan untuk membantu pendanaan untuk gedung ini, hm?” Juna sambil mencubit lembut pinggang Rinjani.Karena sudah ketahuan begitu, Rinjani hanya bisa tertawa. Shevia dan Anika di sebelahnya tersenyum.Siang ini, mereka baru saja mengadakan peresmian gedung baru apartemen Juna yang besar dan spektakuler. Meski bukan merupakan apartemen paling wah dan nomor satu di Samanggi, namun tetap mencuri perhatian publik karena dimiliki oleh pengusaha muda dengan berbagai gonjang-ganjing isu di belakangnya.Isu paling sering dibicarakan publik mengenai Juna belakangan ini tentu saja tidak lain dan tak bukan adalah mengenai ketiga istrinya yan
“Hah? Om Fer yakin dengan berita yang Om terima?” tanya Juna saat dia berbicara dengan pengacaranya, Ferdinand, di telepon. “Sangat yakin, Jun! Periksa saja ke rutan kejaksaan. Oh, atau untuk lebih akuratnya, datang saja ke rumahnya, pasti sedang ramai di sana.” Ferdinand menyahut dari seberang. Juna tak bisa berkata-kata. Dia segera mengakhiri teleponnya dengan si pengacara. “Ada apa, Jun?” tanya Rinjani dengan wajah ingin tahu. “Berita apa? Ada berita apa dari Om Fer?” Dia semakin mendekat ke Juna di sofa ruang tengah. Anika datang sambil membawa nampan berisi beberapa cangkir wedang cokelat jahe dan camilan buatannya seperti kue pukis dan bakwan jagung. “Bobby meninggal tadi sore.” Juna berkata sambil menatap Anika dan Rinjani secara bergantian. “Hah?!” pekik Rinjani karena terlalu kaget dengan berita yang diucapkan suaminya. Juna mengangguk ke istrinya. “Ada apa? Siapa yang meninggal?” Shevia keluar dari kamarnya karena suara pekikan Rinjani terdengar hingga ke telinganya.
“Ti—Tidak begitu! Ular sialan!” geram Nyai Mirah dan dia mulai mengejar Nyai Wungu yang melarikan diri sambil tertawa melengking meledek permaisuri Ki Amok itu.Kemudian, Ki Amok memanggil Nyai Mirah untuk pulang bersamanya ke istana mereka. Nyai Mirah segera berdiri melayang di sebelah Ki Amok dengan wajah merona menyebabkan kulitnya semakin memerah.“Kami pulang dulu. Nanti jika Mirah dibutuhkan lagi oleh istrimu, panggil saja, tak apa, tapi itu harus benar-benar gawat. Kalian pasti mengerti maksudku, ‘kan?” Ki Amok berkata ke Juna yang masih membopong Anika.‘Ya, ya, ya, aku paham. Intinya kami tidak boleh mengganggu kemesraan kalian berdua kecuali sangat gawat darurat.’ Juna membatin menanggapi Ki Amok.“Ya, kami paham, Ki. Terima kasih, sekali lagi untuk Anda dan pasukan, juga terima kasih pada Nyai Mirah atas bantuannya.” Juna mengangguk sebagai tanda dia menghargai mereka.Kemudian, kereta kencana Ki Amok pun pergi dari sana.Juna menoleh ke Nyai Wungu dan bertanya, “Apakah Nya
‘Apakah Dewi Salwapadmi menyaksikan aku dan Nik … bercinta selama ini?’ Juna memiliki pemikiran demikian. Ya ampun, Juna mendadak saja super malu jika mengingat seperti apa dia memesumi Anika selama ini. Belum lagi tingkah dia saat menggauli Anika. Dia bertanya-tanya, apakah itu disaksikan dan juga dirasakan sang dewi? Mendadak saja senyum lebar dan menahan geli dari Dewi Salwapadmi muncul saat dia bertutur ke Juna, “Jangan khawatir mengenai itu, Tuan Panglima. Aku selama ini tertidur di raga Anika dan mulai terbangkitkan ketika bertarung melawan mantan istrimu.” Mendengar ucapan Dewi Salwapadmi melalui mulut Anika, Juna merasa sangat lega sekaligus malu karena pikirannya ternyata bisa dibaca sang dewi. “A—Ah, iya, baiklah, Ndoro Dewi. Terima kasih penjelasannya.” Juna sedikit merona karena malu. Kemudian, Dewi Salwapadmi menoleh ke Nyai Mirah, dia berkata, “Nyai Mirah, aku sungguh tersentuh dengan pengabdianmu yang luar biasa pada ndoro putrimu ini. Tingkah lakumu sejak dulu jug
“Semua sudah usai?” Juna terengah-engah sambil menanyakan itu pada dirinya sendiri meski itu sebuah gumaman rendah. Anika bergegas terbang ke suaminya dan menyebelahinya di angkasa. Sedangkan Juna mulai merasakan armor yang melingkupi tubuhnya mulai memudar hilang secara perlahan. “Mas … semua sudah selesai. Pertarungan telah Mas menangkan.” Anika tersenyum lembut. Benar, semua sudah usai. Segala ancaman bahaya dan mimpi buruk yang pernah ditakutkan Anika, yang telah menjadi momok baginya selama beberapa minggu ini sekarang lenyap. Seakan batu besar yang mengimpit dada Anika, kini telah terangkat dengan kematian Lexus. Juna menengok ke istrinya sembari dia ikut tersenyum. “Kita yang memenangkan ini, Nik. Kita. Bukan aku saja. Kau, dan semua yang lainnya.” Tentu saja dia tidak boleh mengambil semua kredit yang ada. Bergegas, tangan Juna meraih Anika untuk memeluk wanita itu sembari hatinya berucap syukur pada semesta dan penciptanya yang telah memberikan restu sehingga dia bisa m
“Hm?” Juna mendadak saja merasakan dirinya menjadi lebih bertenaga, energi murninya melonjak tinggi.Setelah dia berpikir cepat, dia merasakan adanya energi dari Shevia dan Rinjani.‘Ternyata mereka.’ Juna tersenyum setelah memahami dari mana energi tambahan untuknya datang secara tak terduga.Saat ini, pedang di tangan Juna menebas tegas ke depan sehingga dengan cepat menyebabkan udara mengalir berputar mengakibatkan munculnya pusaran udara hanya dari ayunan pedang tersebut.Wusshh!Kibasan pedang Juna memicu beberapa ledakan bunyi memekakkan telinga ketika gelombang udara yang tadinya hanya memunculkan pusaran angin, kini berubah menjadi badai, menyapu udara di sekitar Lexus.Energi petir beserta angin badai dari kibasan pedang Juna menyerbu ke Lexus, bagaikan ular raksasa membuka mulutnya hendak menelan Lexus untuk mengunyahnya menjadi ketiadaaan.“Jangan harap semudah itu!” seru Lexus ketika dia juga mengibaskan pedang api hitam di tangannya sehingga energi api miliknya bertabraka
“Jangan sombong dulu, manusia bangs4t!” teriak Lexus pada Juna. “Jangan kau kira karena kau memiliki zirah itu maka kau bisa sekuat aku!”Lexus merobek udara hampa dan mengempaskan angin panas yang bisa membakar kulit manusia biasa dengan segera meski hanya dari hempasan anginnya saja.Juna tidak gentar meski fisik Lexus sudah semirip iblis. Dia memiliki banyak dendam terhadap sosok di depannya. “Kau yang akan berakhir mengenaskan, Lexus!”Zirah di tangan Juna mengumpulkan energi murni yang kini bermuatan energi keilahian.Dhuaarr!Ketika pukulan Juna bertabrakan dengan tinju iblis Lexus, mereka berdua sama-sama terdorong ke belakang. Tapi Juna lekas menerjang maju lagi, tak memberi kesempatan Lexus untuk menarik napas berikutnya.“Kau sudah tak sabar mati, hah?” teriak Lexus sambil mendorongkan energi iblisnya ke arah Juna.Tangan berzirah Juna menangkap kepalan tangan Lexus dan mendorongnya ke samping agar dia bisa menyarangkan tinju di tangan lain ke tubuh Lexus.Dhaakk!Betapa kag