Home / Pendekar / Panglima Kalamantra / 34: Tinju Terakhir

Share

34: Tinju Terakhir

Author: Roe_Roe
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Rion dan singanya berhenti di sebuah hutan yang berbatasan langsung dengan desa terdekat di ibu kota. Sepasang mata Rion dan mata singa itu menyala merah terang dalam kegelapan dan pekatnya selimut kabut.

“Sudah kuduga mereka akan muncul di sini!”

“Kau benar-benar tahu tentang tempat ini, Penyihir Merah?” ujar seorang perempuan.

Rion berbalik dan mendapati Minako sudah berdiri di belakangnya dengan tas tergenggam dan tampak berat.

“Demi mendapatkan darah segar untuk pasukan mutannya, Ron bekerjasama dengan pemerintahan baru, bukankah kau dan Ryoma yang mengatakannya?”

Minako hanya menyeringai.

“Lagi pula tampilan mereka sangat menonjol. Untuk apa pasukan biasa berjalan-jalan di hutan pada malam hari saat tubuh mereka sudah kepayahan setelah berperang seharian?”

“Meskipun senjata milikmu sudah cukup tua, tapi pikiranmu tajam juga, ya?” ledek Minako. “Meski kau sabetkan s

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Panglima Kalamantra    35: Gadis Berkimono Biru di Kedai Teh

    Para ronin menembaki Silver dari kejauhan. Pemuda berambut perak itu memutar kedua lengannya hingga membentuk simbol mantra aksara Kalamantra dan tercipta sebuah perisai gaib. Perisai gaib dari sihir bondowoso itu mampu mementalkan semua peluru yang datang ke arahnya.Gagal dengan senapan, para ronin mencabut pedang dari pinggang masing-masing dan menerjang Silver bersama-sama.Silver menangkupkan kedua telapak tangannya ke tanah. Energi alam di dalam tanah dan di sekitarnya terserap ke dalam kedua telapak Silver. Dari tangannya memancar cahaya kemerahan. Sihir bondowosonya bekerja dengan cepat membalikkan energi alam yang ada menjadi getaran dahsyat di permukaan tanah.Silver entakkan telapaknya ke tanah. Duuarr!Para ronin yang mencoba menyerangnya terlempar ke belakang dan jatuh bergelimpangan. Tubuh mereka hancur dari dalam akibat pukulan sihir bondowoso Silver melalui tanah. Permukaan tanah retak dalam jumlah besar dan memanjang. Udara dingin dan pek

  • Panglima Kalamantra    36: Pihak yang Membelot pada Kebenaran

    Rion melihat ada sejumput rambut berwarna perak yang dia yakini milik Silver di dalam kantung koin itu.“Jadi... Kau mengikutiku?” Hiji menjadi muak menyadari pasukan mutan itu menguntitnya.“Astaga. Shinsengumi benar-benar kelompok yang merepotkan!” sengih Maitreya. “Tanpa dirimu aku bisa menemukan Rion kapan saja!” bantah Maitreya atas tuduhan Hiji.“Apa yang kau lakukan pada Silver? Di mana dia?” teriak Rion penuh kemarahan.Xavier melindungi gadis itu. Maitreya meyakinkan Xavier dia akan baik-baik saja.“Inilah akibatnya kalau kau keras kepala dan menolak bekerja sama dengan kami!” ujar Maitreya dengan seringainya. “Aku datang untuk menjemputmu, Penyihir Merah! Selama kau bersedia bekerja sama dan menyerahkan kekuatanmu pada kami, maka semua akan baik-baik saja!” bujuknya.Rion maju selangkah. Hiji menahan lengan pemuda itu dan menggeleng tipis.Rion menyentak

  • Panglima Kalamantra    37: Runtuhnya Kastil Para Mutan

    Seluruh tabung pecah berkeping-keping. Lantai laboratorium bawah tanah itu terendam cairan dari dalam tabung. Lampu gas padam seketika. Rion dengan mata burung malamnya mulai berlarian mencari keberadaan Silver. Dia membalik dan mencari setiap tubuh yang tergeletak di lantai dan di dalam tabung.“Kau mencariku, Tuan?” ujar sebuah suara dengan seringai khasnya.Rion yang berlutut segera berbalik badan. Ada cahaya redup dari salah satu lampu gas yang tersisa. Lampu itu menerangi sosok yang menyapanya dengan sangat jelas. Silver berdiri di belakang Rion sambil memegangi dadanya yang telanjang. Dia hanya mengenakan celana hitam panjang.“Brengsek! Dari man saja kau?” teriak Rion marah yang sebenarnya dia ingin sekali menangis lega.“Ayolah, aku tak akan mati semudah itu. Lihat, racun di tubuhku sudah menghilang.”“Apa yang terjadi?” Rion bangkit dan memeriksa setiap bagian tubuh Silver yang tak terlindung

  • Panglima Kalamantra    SERI C – TANAH PARA KULTIVATOR

    Sekawanan burung gagak tengah bertengger di pohon persik. Cahaya senja menyorot dari celah-celah batang pohon yang saling mencuat.Kraak! Kraak! Gagak-gagak itu berkaok cukup keras. Sekawanannya yang lain ikut berdatangan. Mereka mendarat di bawah pohon persik mengintai seseorang yang berbaring hampir mati di sana.Gagak-gagak yang mendekati tubuh berselimut semak dan dedaunan kering itu seketika berterbangan. Seseorang berjalan mendekat dan membuat mereka semua ketakutan.“Hei!” panggil orang itu pada sosok yang berbaring telungkup di tanah.Di kejauhan samar terlihat garis cakrawala yang menelan mentari hingga laut berwarna jingga. Batas antara lautan dan langit itu terlihat tenang dari bukit tempat sosok itu berjalan.“Jawablah jika kau bisa mendengarku!” teriak pria itu dengan suara serak dan besarnya.Sosok yang berbaring di antara rimbun dedaunan dan semak itu perlahan membuka matanya. Pandangan pertama yang dia tangkap adalah sepasang sandal jerami dan kaki yang terbalut kasut

  • Panglima Kalamantra    1: Kecapi Kematian

    Malam pekat berkabut di dalam hutan bambu yang lebat. Di balik awan tebal yang berarak, tampak sebagian bulan purnama yang belum sempurna. Suasana di hutan bambu itu itu sangat tegang, dingin, dan aura kegelapannya sangat pekat.Langkah-langkah kaki terdengar saling bergerisik akibat gesekan ujung celana dengan dedaunan di dalam hutan. Tapak-tapak sandal jerami terdengar berkecipak di antara genangan air dan kubangan lumpur akibat tanah yang basah.Dua puluh pria berpedang dan membawa lentera di tangan berlarian di dalam hutan bambu untuk menyelamakan diri. Lentera yang mereka bawa berayun-ayun. Tanah yang mereka pijak bergetar.Brak!Sebuah lentera milik salah satu pria terjatuh ke tanah. Api membakar lentera itu seketika. Sang pria pemilik lentera membuka mata dengan sangat lebar hingga pembuluh darahnya bertonjolan di bagian putih mata.Kraak! Kraakk!Sejumlah gagak berterbangan meninggalk

  • Panglima Kalamantra    2: Jasad Kering di Antara Semak yang Misterius

    “Di mana aku?” ujar Karuna kebingungan.Seekor kuda mengendus wajahnya. Napas bau dan basah kuda mengenai wajah pria itu. Dia hanya bisa mengerjap dan menghirup aroma kotoran kuda serta jerami basah. Tubuhnya kaku tak bisa bergerak tapi rasa sakit menjalar di setiap permukaan kulitnya. Dia menggigil. Kabut tebal menyelimuti kandang kuda yang terbuka.“Orang gila!” teriak salah satu penjaga istal yang datang membawa setumpuk jerami.Karuna berusaha duduk meski kepalanya sakit luar biasa. Dia mengangkat tangan yang gemetar di depan matanya.Buk!Karuna rebah lagi ke tumpukan jerami basah. Seseorang menendangnya dari belakang. Pria berwajah cantik itu menunduk dan menjambak rambut Karuna hingga terdongak.“Kudengar kau yang akan pergi ke Gunung Iblis? Aku akan meletakkan mataku di depanmu! Kau hanya perlu mengikuti perintahku karena aku yang akan pergi ke sana bersa

  • Panglima Kalamantra    3: Iblis yang Membawa Kapara di Dalam Dadanya

    “Kau... Kau membunuh dia!” teriak Tuan Zhu penuh kemarahan. “Kau bajingan! Kenapa kau melakukan itu?” Tuan Zhu berjalan dengan pedang tergenggam kuat di tangan.Dia bersiap mengayunkan pedang pada Karuna dan saat itu juga Chyou menghalangi.“Tuan Besar, tunggu! Saya yakin ini salah paham. Bukan Karuna pelakunya. Dia ada bersama saya sejak sore.”“Tuan Zhu,” sergah salah satu siswa kultivasi yang hadir di sana. “Daging dan cairan anakmu disedot sampai kering. Dia pasti dibunuh oleh iblis. Tak ada manusia yang bisa melakukan hal seperti ini.”“Tidak! Dia pasti yang membunuh anakku! Dia iblisnya!” jerit Tuan Zhu menolak penjelasan apa pun.“Kenapa aku membunuh putramu, Tuan Zhu? Tak ada keuntungan untukku dengan melakukan itu!” bantah Karuna dengan tenang dan santai.“Kau...,” tuding Tuan Zhu kesal. &

  • Panglima Kalamantra    4: Iblis Tanpa Jantung

    Para siswa kultivasi itu bersiaga. Dua orang mendekati sang asisten rumah tangga yang mati dan akan menutupi jasadnya. Akan tetapi, dada pria itu berlubang sangat besar. Organ di dalamnya hilang sama sekali. Mereka terkejut.“Kenapa bisa begini? Tuan Muda Changyi baik-baik saja. Tubuhnya utuh hanya cairan dan jiwanya yang disedot sampai kering.”Jedug! Jedug!Karuna yang bersembunyi di balik semak tak jauh dari halaman belakang rumah Tuan Zhu menjadi gelisah. Jantungnya berdebar kencang. Dia bisa merasakan kapara miliknya terasa sangat dekat.“Di mana dia? Setelah keluar dari tubuh si asisten rumah tangga dan sekarang....” Karuna berlari melihat situasi di halaman lebih dekat. Dia mengikuti debaran jantungnya yang semakin menguat.Di belakang dua siswa kultivasi itu, mereka melihat keanehan. Chyou berteriak dan menjerit karena melihat Tuan Zhu menjadi aneh.“Ada

Latest chapter

  • Panglima Kalamantra    25: Segel Kutukan

    “Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan

  • Panglima Kalamantra    24: Terkuaknya Sosok Berkecapi

    Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.

  • Panglima Kalamantra    23: Pasukan Iblis Kabut

    “Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka

  • Panglima Kalamantra    22: Pasukan Ngengat

    Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem

  • Panglima Kalamantra    21: Penjaga yang Mati

    Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam

  • Panglima Kalamantra    20: Mantra Pengundang Iblis

    Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me

  • Panglima Kalamantra    19: Kehancuran Misterius di Kota

    “Aku menerimanya!” teriak Eknath setuju dengan penawaran sosok misterius dalam bayangan gelap itu. “Bebaskan aku sekarang! Aku setuju dengan kesepakatan yang kau berikan!”Sosok yang tersembunyi dalam gelap itu menyeringai.“Hei! Lepaskan aku!”“Berikan padaku sumpah jiwa dengan tombak acala ini sebagai jaminannya!” tuntut sang sosok misterius.“Keparat!” umpat Eknath.Dia tak punya pilihan lain. Eknath pun merapal mantra pelepasan jiwa atau merogoh sukma. Kini, separuh jiwanya berada dalam genggaman sosok misterius itu. Jiwa tombak acala adalah separuh kehidupan Eknath. Dia serahkan jiwa tombak itu sebagai jaminan dan akan kembali padanya jika Eknath sudah menyelesaikan kesepakatannya.Jerat-jerat sihir di tubuh Eknath memudar. Dia bisa bangkit dan memijit pergelangan tangannya yang sebelumnya terikat jerat.“ACALA!

  • Panglima Kalamantra    18: Merangkak Menuju Harapan

    Di sebuah taman pribadi yang mewah dan megah dengan banyak tanaman menghiasai, seorang perempuan dalam gaun sutra tipis berjalan dengan talam di tangan. Dia membawa seperangkat alat untuk jamuan teh.Di gazebo ada seorang remaja yang tengah membersihkan pedangnya. Perempuan pembawa baki teh itu mendekat. Dari arah yang berbeda, seorang pria berlari-lari dengan tergesa.“Tuan Muda... Tuan Muda....”Remaja yang duduk di gazebo itu menengok pada sang pria. “Kenapa panik sekali?”“Hosh... Hosh... Anu... Itu... Di depan ada perwakilan dari klan Wan!”Prang!Baki teh yang dibawa perempuan bergaun sutra terjatuh. Remaja yang duduk di gazebo semakin gusar.“Apa lagi sekarang, Kak?” tanyanya pada sang perempuan.“Ini pertanda buruk, Chyou! Apa kau lupa bagaimana klan Zang dibumihanguskan oleh mereka?”“L

  • Panglima Kalamantra    17: Tiga Kekalahan

    “Ke mana kalian akan membawaku?” tutur Lilian lirih saat tubuhnya diseret oleh lima pria anak buah si perempuan bergaun ungu.Perempuan bergaun ungu itu terhenti. Dia tiba-tiba menyeringai karena mempunyai sebuah ide.“Bawa dia ke kawah iblis!”“Tapi, Nona... tempat itu....”“Ini perintah! Apa yang aku ucapkan juga mewakili perintah Tuan Muda Wan!”Kelima pria yang menyeret tubuh Lilian ragu-ragu.“Ka-kami tidak berani!”“Kalian akan mati di sini jika menolak! Bawa dia ke kawah iblis, sekarang!”Kelima pria itu mulai membawa Lilian menuju ke jalan kawah iblis tak jauh dari hutan bambu hitam. Mata Lilian yang bengkak tak bisa melihat dengan jelas. Tapi, hidungnya bisa mencium aroma daun bambu yang basah dan terbakar.Seluruh tanaman di Gunung Iblis didominasi warna hitam dan kelabu. Semuany

DMCA.com Protection Status