Hari ini adalah hari kepulangan Clay ke rumah sakit. Memang benar apa kata dokter yang merawat Clay. Perasaan senang seorang anak adalah faktor paling penting dalam kesembuhannya. Semenjak Davina pulang dan Clay diurusnya secara langsung, bocah itu dengan cepat pulih seperti semula. Kembali gemuk dan lincah.Setibanya di rumah, Davina, Edwin, dan Clay disambut oleh Mbak Murni dengan senyumnya yang seterang lampu seratus watt. Wanita tua itu merasa begitu senang melihat bos kecilnya sudah pulang dalam keadaan sehat. Ditambah lagi Davina yang telah kembali ke Jakarta. Mbak Murni dapat merasakan angin segar yang membawa kebahagiaan itu akan segera kembali di rumah ini."Selamat datang, Clay!" Seru Mbak Murni sembari memeluk Clay erat.Bocah itu tertawa geli saat Mbak Murni menciuminya sepuas hati. Davina dan Edwin sumringah begitu melihat Clay yang memang tampak jauh membaik. Gadis itu lalu menebar pandangannya ke sekeliling rumah tersebut. Ia memperhatikan setiap jengkal rumah yang bahk
"Kamu ingin mengajak Clay berjalan jalan?"Edwin terperangah mendengar permintaan Clarissa yang benar-benar aneh. Ada apa dengan wanita ini? Apakah kepalanya terbentur di sudut tembok sehingga ia mengalami gegar otak? Kenapa tiba-tina Clarissa ingin pergi bersama Clay padahal selama ini mengurus Clay pun ia enggan?"Benar, Edwin. Boleh kan? Lagipula aku ibunya. Bukan sebuah hal aneh kalau aku mengajak anakku pergi kan?"Edwin menghela nafas pelan. Astaga, haruskah ia melarang Clarissa untuk membawa Clay pergi berjalan jalan? Karena sungguh, Edwin sangat tidak yakin pada Clarissa dan kemampuannya untuk mengurus seorang anak. Bisa saja wanita ini tiba tiba menyerah dan memutuskan untuk mengantarkan Clay pulang dalam keadaan tantrum.Tapi Edwin juga tidak bisa melarangnya. Bagaimanapun juga, Clarissa adalah ibu dari Clay. Ia punya hak yang sama dengan Edwin atas Clay. Dan mungkin Clarissa memang ingin memperbaiki hubungannya dengan puteranya sendiri. Edwin akan sangat merasa bersalah jik
Emosi benar-benar menguasai Edwin. Ternyata ia salah membuat keputusan dengan mempercayai Clarissa untuk membawa Clay pergi. Karena nyatanya, kini Edwin melihat Clay menangis di mall dengan Ananda Soedirja dan isterinya yang berusaha menenangkan puteranya mati-matian. Setidaknya Edwin bisa bernafas lega karena yang menemukan Clay adalah rekan kerjanya dan buka orang lain."Nan, apa yang terjadi?" Tanya Edwin menghampiri pria yang berusia seumuran dengannya itu."Kami dan anak-anak sedang berjalan-jalan seperti biasa, Edwin. Tapi putera sulungku, Randy, bilang kalau dia melihat Clay menangis sendirian di dekat lift. Kamu tahu kan Randy juga teman sekelas Clay?"Edwin mengangguk. Tentu saja. Ia seringkali bertemu Ananda dan puteranya saat ia menjemput Clay."Dan waktu aku mengikuti Randy, aku benar-benar melihat Clay disana. Sendirian. Kenapa bisa seperti ini, Win? Clay benar-benar sendirian kesini atau bagaimana?" Tanya Ananda bingung. Karena setahunya, Edwin sangat protektif pada pute
Clarissa membawa Heru ke salah satu hotel yang ada di dekat mall tersebut. Keduanya tak peduli dengan fakta bahwa matahari masih bersinar begitu terang dan hari masih siang. Baik Clarissa maupun Heru masih saja melenggang dengan santai masuk ke kamar hotel. Memuaskan birahi keduanya yang sudah memuncak.Begitu pintu kamar tertutup, Clarissa langsung menangkap Heru dalam ciuman yang begitu panas dan membara. Bibir keduanya beradu dan lidah saling membelit. Clarissa menghisap dan menggigit bibir Heru dengan pelan. Mengecap rasa tembakau dari rokok yang baru saja dihisap pria itu.Dengan bibir yang masih saling bertaut, keduanya bergerak menuju kasur dan saling melucuti satu sama lain. Clarissa dengan cepat membuka satu persatu pakaiannya dan pakaian Heru. Dalam sekejap, keduanya sudah dalam keadaan bugil dengan Clarissa yang bertengger di atas Heru. Siap untuk memulai permainannya.Jemari Clarissa memegang kejantanan Heru dan menggosoknya beberapa kali. Membuat benda itu bangun seiring
"Dimana Nyonya Clarissa, Pak? Saya tidak melihatnya dari tadi?"Mbak Murni bertanya saat ia sedang menyiapkan sarapan pagi sementara Edwin menyesap kopi hitam di sampingnya. "Aku mengusirnya, Bi."Wanita tua itu menghela nafas pelan tanpa berkata sepatah pun. Ia tetap fokus pada masakannya yang sebentar lagi matang."Bibi tidak bertanya kenapa aku mengusirnya?" Ucap Edwin sembari menyeruput kopinya lagi.Mbak Murni menggeleng."Saya sudah bisa menebak alasannya, Pak. Pasti karena kejadian Clay kemarin kan?"Edwin mengangguk mantap."Tapi bukan karena itu saja, Bi. Keberadaan Clarissa membawa banyak hal buruk ke rumah ini. Perginya Davina dan masalah lainnya. Selain itu, Clarissa tidak bisa memberikan contoh yang baik kepada Clay. Dan menurutku mempertahankannya disini sama saja mendidik Clay untuk menjadi seorang yang buruk.Mbak Murni menggerakkan kepalanya sebagai tanda persetujuan. Bahkan orang bodoh pun bisa menilainya. Clarissa hanya membawa masalah dan akan selalu begitu. Sejak
Permintaan Edwin terus menerus terngiang di kepala Davina. Ia bahkan tidak bisa berhenti memikirkannya dan keyakinannya seakan terbelah menjadi dua. Davina gamang antara harus mempertahankan prinsipnya atau memaafkan semuanya dan kembali merengkuh kesempatan itu. Ia ragu dan juga takut. Karena sejujurnya Davina tidak sanggup jika harus mengalami luka yang sama untuk kedua kalinya."Mbak Vina, Bapak sudah bilang ke Mbak Vina kan?"Mbak Murni bertanya kepadanya seolah apa yang akan ditanyakan adalah rahasia terbesar yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.Davina mengangguk pelan."Jadi bagaimana, Mbak? Mbak mau kan pindah kesini lagi?" Tanya Mbak Murni penuh harap.Davina hanya dapat menghela nafas pelan."Entahlah, Bu. Sebenarnya aku juga bingung dengan hatiku." Jawab Davina sedikit murung.Mbak Murni lalu mengambil kursi dan duduk di hadapan Davina. Rasanya ia harus mengatakan kebenaran ini. Kebenaran yang ia pendam akan apa yang terjadi malam itu. Malam dimana pengkhianatan Edwin y
Mata Edwin membelalak mendengar jawaban Davina. Betapa hatinya meloncat dalam kebahagiaan saat mengetahui bahwa gadis itu sudah memberinya kesempatan kedua. Membuka hatinya lagi dan memutuskan untuk menapaki hidupnya bersama Edwin seperti dulu.Rasa bahagia membanjiri hati keduanya. Edwin kini tanpa ragu maju untuk menabrak batasan itu. Ia mencondongkan wajahnya ke arah Davina yang duduk disampingnya. Dan dalam sekejap, Edwin menutup jarak di antara keduanya denhgan sebuah ciuman yang hangat dan bergelora. Davina membalas ciuman itu dengan sejuta kerinduan di dalamnya. Meleleh dalam pelukan Edwin bagaikan es yang dikepung api.Ah, betapa manisnya bibir Davina. Betapa Edwin merindukan semua ini sejak lama.Tanpa melepaskan ciumannya, Edwin menggendong Davina dengan kedua lengannya. Davina melingkarkan tangannya dengan manja di leher Edwin sembari jemarinya bermain di rambut Edwin. Keduanya tiba di kamar yang digunakan Davina selama beberapa minggu terakhir. Kamar tidur utama di aparte
"Miss Davina!"Clay berseru girang saat melihat Davina datang dengan dua koper yang dibawa Edwin. Bocah itu berlari dengan cepat dan segera memeluk Davina. Koper itu sudah menjadi pertanda yang cukup jelas bagi Clay bahwa orang kesayangannya akan kembali tinggal bersamanya."Miss akan tinggal disini lagi?!" Seru Clay senang.Davina mengangguk penuh semangat. Melihat kebahagiaan di wajah bocah itu membuatnya turut sumringah. Clay benar-benar pandai dalam menularkan kebahagiaannya pada setiap orang. Termasuk kepada Davina saat ini."Iya, Clay Sayang. Miss akan tinggal disini lagi seperti dulu!"Mendengar jawaban Davina, Clay bersorak begitu gembira bagaikan tim olahraga favoritnya baru saja memenangkan pertandingan. Bocah itu segera berlari ke dapur dan menghampiri Mbak Murni. Teriakannya bahkan terdengar begitu nyaring saat memberitahu Mbak Murni tentang berita itu."Bi! Miss Davina kembali, Bi! Miss Davina nanti tinggal disini lagi!"Edwin yang sedari tadi memperhatikan dari ambang pi
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun