Bocah kecil bernama Clay itu berlari dengan gembira masuk ke rumah mewahnya. Sang ayah hanya tertawa kecil melihat anaknya yang tampak begitu bahagia. Clay memang selalu seperti itu. Ceria setiap saat terlebih lagi sejak dia mulai sekolah. Sepertinya Clay benar-benar menyukai sekolah barunya, khususnya gurunya yang bernama Davina itu.
"Bi, tolong bawakan tas Clay ke dalam ya." Pinta ayah Clay, Edwin, kepada asisten rumah tangganya.Wanita paruh baya yang kerap dipanggil Mbak Murni itu mengangguk patuh. Ia mengambil tas Clay dari tangan Edwin dan menggandeng Clay masuk ke kamarnya. Hendak mengganti baju Clay dengan pakaian bersih.Beberapa menit kemudian, Clay sudah menghilang di balik tangga bersama Mbak Murni. Edwin segera berjalan masuk ke ruang kerjanya dan menutup pintu ruangan itu seketika. Pria bertubuh tinggi atletis itu lalu duduk di kursi kerjanya yang nyaman. Menyenderkan punggungnya dan memijat keningnya yang sedikit berdenyut.Barulah ia hendak terlelap sebentar dalam tidurnya, Edwin dikagetkan dengan suara dering teleponnya yang nyaring. Ia melihat nama penelepon yang ternyata adalah Pak Baskoro. Pria tua yang menjadi pengacara kasus perceraiannya dan isterinya, Clarissa.Edwin menghela nafas pelan dan jemarinya dengan cepat menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Ia lalu menempelkan ponselnya di telinganya dan Pak Baskoro menyapanya dengan nada yang amat profesional."Selamat siang, Pak Edwin." Sapa Pak Baskoro mantap."Selamat siang, Pak Bas. Ada kabar apa terkait perceraian saya?" Tanya Edwin langsung."Bu Clarissa meminta tambahan harta gono gini sebesar 500 juta rupiah per bulan, Pak. Jika tidak, ia tidak akan mau menandatangani surat cerai tersebut." Jelas Pak Baskoro.Edwin menghela nafas pelan. Kurang ajar sekali wanita itu. Setelah bolak balik berselingkuh dengan brondong simpanannya, sekarang Clarissa malah ingin memeras Edwin agar mereka bisa berpisah. Sudah begitu lama Edwin mengetahui hobi isterinya yang bermain dengan brondong dan menghabiskan uangnya. Namun demi Clay, pria itu terus menahan egonya dan mencari pembenaran atas perbuatan isterinya.Edwin berpikir mungkin karena ia terlalu sibuk dengan perusahaannya sehingga isterinya mencari kehangatan lain di luar sana. Tapi setiap manusia tentu mempunyai batas kesabarannya sendiri. Puncaknya adalah ketika Edwin memergoki Clarissa, bercinta dengan brondongnya itu di kamar mereka sendiri. Seketika Edwin naik pitam dan mengusir isterinya itu. Harga dirinya begitu terinjak-injak karena wanita yang ia panggil sebagai isteri.Pria itu tersadar dari lamunannya karena suara Pak Baskoro yang kembali memanggilnya."Pak Edwin? Apakah Bapak masih bersama saya?" Tanya Pak Baskoro.Edwin menggelrngkan kepalanya beberapa kali, menyadarkan dirinya dari lamunan yang sepersekian detik lalu menghinggapi kepalanya."Ah iya, kabulkan saja, Pak. Yang penting semua ini cepat selesai. Saya sudah muak melihat wanita itu." Ujar Edwin malas.Pak Baskoro tampak berdeham. Ia kaget dengan jawaban Edwin yang begitu singkat."Bapak yakin, Pak? Kalau begini Bu Clarissa akan terus menerus mengeruk harta Bapak dengan ancaman perpisahan." Ingat Pak Baskoro."Jadi saya harus apa, Pak? Membiarkan dia kembali ke rumah ini dan berselingkuh lagi?" Tanya Edwin sedikit sebal."Boleh saya memberikan sedikit saran untuk ditambahkan di klausul perjanjian?" Ucap Pak Baskoro memberikan ide.Edwin menegakkan tubuhnya. Ia tampak tertarik mendengarkan tawaran pengacara terpercayanya itu."Lanjutkan, Pak. Saya mendengarkannya." Ujar Edwin serius."Kalau dari saya, tidak masalah bagi Bapak untuk menuruti permintaan Bu Clarissa yang begitu besar. Tapi kita juga akan membuat dia merasa di atas awan dengan seperti ini. Saya sarankan agar kita menambahkan klausul agar uang gono-gini ini akan dikurangi lima persen per enam bulan, Pak. Bagaimana?" Saran Pak Baskoro.Edwin mengangguk-angguk mantap pertanda ia setuju dengan kata-kata Pak Baskoro. Sejujurnya, uang tidak pernah menjadi masalah bagi Edwin. Ia hanya ingin Clay tidak tumbuh dengan sosok ibu yang seperti itu. Ia ingin secepatnya wanita bernama Clarissa itu pergi dari hidup mereka selamanya.***Edwin berbaring bersama puteranya di atas kasurnya yang nyaman. Sebelah tangannya mengelus-elus kepala Clay. Ia berusaha menidurkan anaknya itu yang sejak tadi enggan untuk naik ke atas kasur."Kamu mau Papa melakukan apa, Clay? Kamu benar-benar sudah harus tidur, Anakku. Besok kamu harus sekolah dan bertemu Miss Davina kesayanganmu lagi kan?" Tanya Edwin sembari berusaha meninabobokkan Clay.Tapi sepertinya hati bocah itu sedang gelisah. Ia enggan memejamkan matanya dan sibuk mengajak ayahnya bercerita tentang apa saja. Edwin yang sudah setengah mati menahan kantuknya mau tidak mau harus tetap terjaga mengurus anaknya itu. Hingga akhirnya, sebuah pertanyaan dari mulut Clay membuat pria itu terjaga kembali."Pa, Clay kangen Mama. Kenapa Mama tidak pernah kelihatan lagi, Pa?" Tanya Clay sambil memainkan robotnya.Edwin terdiam. Ia bertanya kepada dirinya sendiri bagaimana ia harus menjawab pertanyaan anaknya? Haruskah ia mengatakan bahwa ibunya pergi berselingkuh dengan pria lain? Atau apakah lebih baik jika Edwin berbohong saja tentang keberadaan ibunya? Toh Clay juga tidak akan mengerti yang sebenarnya terjadi.Edwin tersenyum kecil dan menatap Clay."Mama sekarang sudah tidak tinggal disini lagi, Clay. Mama kan sudah bisa beli rumah sendiri jadi Mama mau tinggal di runahnya sendiri." Ujar Edwin berbohong.Clay menatap ayahnya bingung."Jadi bagaimana kalau Clay mau bertemu Mama, Pa?" Tanya bocah itu."Nanti Papa akan mengantar Clay ke rumah Mama kalau Clay kangen Mama ya." Jawab Edwin sembari mengusap kepala Clay lagi.Clay mengangguk-angguk walaupun sebenarnya ia tidak mengerti."Sekarang Clay tidur dulu ya. Besok Clay mau bermain sama Miss Davina kan?" Ajak Edwin.Anaknya itu tersenyum cerah mendengar nama Davina. Ia bersorak senang dan setuju untuk segera pergi tidur. Tak butuh waktu lama, bocah itu sudah terlelap nyenyak dalam pelukan ayahnya. Edwin hanya bisa menatap anaknya itu dengan senyum kecut. Ia merasa bersalah karena sudah memberikan anaknya hidup yang begitu rumit."Maafkan Papa, Clay. Tapi ini yang terbaik untuk kita semua."Davina menyapa seluruh muridnya dengan ceria. Kebiasaan rutinnya setiap kali membuka kelasnya. Dan anak-anak itu juga membalas sapaannya dengan sama hebohnya. Gadis itu mengamati satu persatu muridnya yang hari ini tampak sangat menggemaskan dengan baju daerah.Hari ini akan diadakan karnaval mini di lingkungan sekolah dan setiap anak wajib memakai pakaian adat dari berbagai daerah. Ada yang tampak memakai baju adat Jawa Tengah. Dan ada pula yang memakai baju kebesaran khas Bugis di tubuhnya. Semua anak ini terlihat menggemaskan dan rasanya Davina ingin memeluk mereka satu persatu."Okay, class! Seperti yang Miss katakan kemarin, kita akan mengadakan karnaval kecil di lingkungan sekolah kita kan?" Ujar Davina bersemangat."Iya, Miss!" Jawab muridnya serempak.Davina menepuk kedua belah tangannya."Nah, jadi sekarang ayo kita berbaris membentuk kereta api dan berjalan keluar ya! Nanti kita akan bergabung dengan teman-teman dari kelas lain juga!" Ajak Davina lagi.Dengan tertib, anak-an
Mbak Murni tersenyum sumringah melihat kedatangan Davina di rumah tempatnya bekerja. Seolah ia sudah mengenal dan benar-benar menunggu gadis itu. Dan Davina hanya tersenyum cerah, membalas senyuman Mbak Murni yang dianggapnya sebagai sebuah tanda keramahan."Oh, Miss Davina ya? Ayo silahkan masuk, Miss. Miss pasti mau menjenguk Clay ya?" Ajak Mbak Murni dengan ramah sembari mempersilahkan Davina masuk.Davina mengangguk sedikit."Iya, Bu. Saya kesini untuk menjenguk Clay. Kemarin saya mendapatkan surat sakitnya Clay. Makanya hari ini saya ingin menjenguk Clay, Bu." Ujar Davina sopan.Davina lalu teringat dengan puding buah yang ia bawa untuk Clay. Ia langsung menyodorkan kantung berisi puding itu kepada Mbak Murni dengan senyum canggung."Saya tidak bisa bawa banyak, Bu. Tapi saya membawakan puding buah kesukaan Clay. Ini Bu." Ucap Davina lagi pelan.Mbak Murni langsung menerimanya dengan tangan terbuka. Senyumnya cerah bak matahari pagi."Terimakasih ya, Miss Davina. Nanti akan saya
Edwin berjalan menuruni tangganya. Ia mengecek jam tangannya yang menunjukkan pukul 6 sore."Bi, jam berapa Miss Davina datang kesini?" Tanya Edwin sembari berjalan ke arah meja makan.Mbak Murni yang masih memasak, menjawab Edwin dari dapur dengan suara yang sedikit besar."Jam 7 atau 8 malam, Pak. Nanti biar saya yang menyambutnya kalau Bapak sibuk." Ujar Mbak Murni masih sibuk mempersiapkan makan malam.Edwin menarik salah satu kursi di ruang makannya. Tangannya lalu membuka tudung saji dan mendapati satu loyang puding buah yang ada di baliknya. Tanpa ragu, Edwin mengambil sepotong dan memindahkannya ke piring kecil. Pria itu mulai menyendok puding itu ke mulutnya dengan lahap."Wah, ini enak sekali. Beli dimana ya?" Gumam Edwin masih melahap puding tersebut.Setelah menghabiskan satu potong, Edwin kembali mengambil potongan lainnya. Begitu terus menerus hingga hanya tersisa satu potong puding di atas piring. Rasa puding itu begitu lezat sehingga Edwin tidak bisa menghentikan dirin
Davina membelalak mendengar permintaan ajaib Clay. Menghukum Papanya sendiri karena tidak bisa berbagi? Bagaimana mungkin Davina melakukannya? Terlebih lagi, pada ayah muridnya?"Eh, tapi Papa kan sudah meminta maaf, Clay. Tidak apa-apa kalau Papa tidak dihukum, kan?" Bujuk Edwin sambil tertawa canggung.Clay mendelik dan bibirnya mengerucut. Membuatnya tampak seperti karakter Russel di Film UP. "Tidak boleh, Pa. Anak nakal harus dihukum! Dan Papa kan anak nakal!" Seru Clay tidak terima.Edwin menghela nafas pelan. Ia menyerah. Pria itu tidak akan pernah bisa menang berdebat dengan puteranya yang cerewet itu. Edwin menyodorkan kedua tangannya dengan kepala yang tertunduk."Baiklah, Clay boleh hukum Papa sekarang." Ujar Edwin pelan.Clay menyeringai puas. Ia lalu menggandeng Davina mendekati ayahnya yang duduk di meja makan. Davina menatap Clay dengan bingung."Ayo, Miss harus menghukum Papa karena Papa menjadi anak nakal, Miss." Pinta Clay dengan sungguh-sungguh.Davina mengerjapkan
Aroma masakan yang dibuat larut malam memang terasa berbeda. Mungkin karena suasananya atau mungkin memang karena perut yang saat itu sedang menjerit lapar, mie rebus sederhana buatan Davina tercium sangat lezat dari dapur. Hidung Edwin menangkap aromanya dan seketika perutnya semakin keroncongan.Tak berapa lama, gadis itu berjalan keluar dari dapur dengan membawa semangkuk mie rebus di kedua tangannya. Ia lalu meletakkan mie rebus itu di meja."Kenapa banyak sekali?" Tanya Edwin terkejut melihat porsi mie yang begitu banyak.Davina menatap Edwin sambil berdecak."Kan katanya Bapak lapar." Balas Davina tidak mau kalah.Edwin menghela nafas. Tangannya meraih sebuah mangkuk kecil untuk ia gunakan."Iya, saya lapar tapi bukan berarti saya tidak makan tiga hari. Kalau kamu menyuruh saya makan sebanyak ini, bisa-bisa perut saya meledak, Davina." Ujar Edwin sambil geleng-geleng kepala.Edwin lalu mengambil sebuah mangkuk lagi dan menyodorkannya pada Davina."Ini, kamu juga harus ikut makan
"Selamat pagi, anak-anak kesayangan Miss Davina!"Davina dengan penuh semangat menyapa kelasnya. Sudah tiga hari ia absen mengajar karena memutuskan untuk cuti demi mengurus Clay. Dan hari ini, Davina sudah kembali bekerja. Ia sangat merindukan murid-muridnya yang pintar dan menggemaskan ini.Gadis itu menebar pandangannya ke seluruh penjuru kelas. Seluruh muridnya hadir hari itu. Bahkan Clay yang sempat sakit pun hari ini sudah duduk manis di kursinya. Wajahnya segar dan merona seperti apel yang baru dipetik. Davina tersenyum bahagia karena hari ini kelasnya sudah kembali seperti biasa."Baik, Class! Apa yang akan kita lakukan hari ini ya?" Tanya Davina pada murid-muridnya.Gerombolan anak kecil itu bersuara saling tumpang tindih meneriakkan usulan mereka. Ada yang ingin belajar menyanyi, menari, dan bahkan menonton film. Davina tertawa geli melihat tingkah muridnya. Untuk meredakan kerusuhan itu, Davina segera meminta muridnya untuk melakukan pemungutan suara.Beberapa menit berlalu
Dengan penuh semangat, Clay menggandeng Davina memasukki salah satu mall terbesar di Jakarta. Wajahnya sumringah seolah ingin menunjukkan pada dunia bahwa ia memilikki guru sehebat Davina. Sementara Davina, tersenyum gemas melihat tingkah yang menggemaskan dari bocah laki-laki itu. Bersama keduanya, Edwin berjalan beriringan. Senyum bahagia tak berhenti terpasang di wajahnya karena ia melihat puteranya yang tampak begitu ceria."Papa, kita akan makan di tempat biasanya kan?" Tanya Clay bersemangat.Edwin mengangguk."Iya, Clay. Kita akan makan cheeseburger kesukaanmu!" Ucap Edwin antusias.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina."Miss! Kita akan makan di tempat kesukaanku! Makanannnya enak sekali! Aku jamin Miss juga pasti suka!" Seru Clay lagi.Davina tertawa. Ia lalu berjongkok agar sejajar dengan Clay. Tangannya mencubit gemas pipi Clay."Benarkah? Clay sekarang sudah seperti orang-orang di televisi loh! Orang-orang yang suka memberitahu makanan enak itu. Clay tahu kan?" Balas D
"Siapa wanita itu? Pacar barumu?" Clarissa menatap Edwin dengan tatapan mengejek. Seolah mantan suaminya itu tidak lebih baik daripada dirinya yang berselingkuh dengan belasan pria."Bukan urusanmu." Jawab Edwin dingin.Clarissa terkekeh."Tentu saja itu urusanku. Karena siapapun yang akan menikah denganmu lagi akan menjadi ibu dari Clay." Balas Clarissa.Edwin mendengus."Sejak kapan kamu peduli dengan anakmu? Bahkan kamu tidak tahu berapa sendok takaran susunya, Clarissa. Jangan berpura-pura menjadi Ibu yang baik sekarang." Ucap Edwin tajam."Entah seburuk apapun kamu mengatakannya, aku tetap Ibu dari Clay, Sayang. Tidak ada yang lebih berhak atas Clay dibandingkan aku." Ujar Clarissa dengan pongah.Edwin menghela nafas. Ia memijat keningnya. Wanita ini benar-benar seperti virus. Barulah ia muncul sejenak, tubuh Edwin langsung terasa tidak enak."Apa yang kamu inginkan?" Ucap Edwin langsung ke intinya.Clarissa tertawa lepas. Tangannya menepuk lengan kekasih mudanya yang kekar."As
Pesta pernikahan itu berlalu bak sebuah film yang ditayangkan di depan mata. Adegan demi adegan dan momen demi momen berkelebat dan melayang. Tanpa terasa, tiga jam berlalu dan pesta pernikahan Davina dan Edwin resmi selesai. Keduanya sudah sah sebagai suami isteri dan berjanji akan ada di sisi satu sama lain hingga maut memisahkan.Tamu yang datang menyalami pasangan pengantin satu persatu. Mengucapkan selamat berbahagia, memuji betapa cantik dan tampannya kedua mempelai, dan ucapan indah lainnya. Sungguh, hari ini adalah hari yang paling membahagiakan bagi Davina dan Edwin.Davina akhirnya bisa menikah dengan Edwin dan Edwin memberikan Davina kesempatan untuk melakukan pernikahan impiannya. Sementara Edwin, akhirnya menemukan cintanya setelah pencarian yang begitu panjang. Menemukan tempat kapalnya akan berlabuh setiap hari. Tempat dimana ia akan menemukan kehangatan dan kenyamanan dari seorang isteri. Dan tempat itu adalah Davina."Duh, pengantin baru, kalian mau bulan mau kemana s
Lantunan musik indah terdengar memenuhi ballroom tempat pernikahan Davina dan Edwin akan dilaksanakan. Semuanya tampak begitu indah. Dekorasi dengan nuansa putih dan emas. Bunga-bunga cantik yang berada hampir di setiap jengkal ruangan, karpet merah yang mengantarkan keduanya ke pelaminan. Seperti negeri dongeng. Semuanya tampak begitu sempurna dan begitu menggambarkan perasaan sang pengantin hari ini.Davina menatap pantulannya di cermin. Ia tampak begitu memukau dengan pulasan riasan yang sangat apik. Bahkan Davina tampak secantik pengantin yang sering ia lihat di televisi. Begitu anggun dan elegan. Namun juga tampak hangat dan bersahabat. Seperti Davina."Cantik sekali, Mbak Vina. Saya yakin Mas Edwin pasti akan terpesona sekali." Puji Mbak Sekar, perias yang bertanggung jawab kepada Davina di hari spesialnya."Terimakasih banyak, Mbak Sekar. Mbak memang hebat sekali." Balas Davina kagum.Tak berapa lama, seorang wanita masuk ke ruangannya. Davina melihatnya dari cermin di hadapan
"Vin, tunggu! Jangan pergi!"Edwin mengejar Davina dengan begitu tergopoh-gopoh. Davina menghentikan langkahnya dan terdiam tanpa menoleh ke arah Edwin."Ron, tolong kamu bawa mobil saya pulang. Biar saya pulang bersama Davina."Roni mengangguk dan segera pergi meninggalkan bosnya dan Davina."Kenapa kamu melakukan semua itu, Mas?" Tanya Davina saat keduanya berada di dalam mobil."Karena aku tidak mau kamu kecewa, Vin. Kamu sudah merindukan ayahmu begitu lama dan aku tahu harapanmu pasti sangat besar padanya. Aku tidak ingin kamu sedih saat mengetahui yang sebenarnya. Aku hanya tidak ingin kamu terluka, Sayang." Ujar Edwin sembari membelai lembut pipi Davina.Air mata mengalir dari mata indah itu. Membasahi pipinya dan menjadi tangisan sunyi di dalam mobil yang bergerak membelah jalanan."Aku malu, Mas. Aku malu mengakui pria itu sebagai Papaku." Ucap Davina dengan begitu lirih.Edwin menghentikan mobilnya di sebuah ruas jalanan yang lengang. Sepertinya Davina memang membutuhkan wakt
"Sayang, aku ke kantor dulu ya."Edwin berpamitan kepada Davina untuk ke kantor di hari Sabtu. Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak bisa dimengerti Davina. Karena Edwin selalu menyisihkan akhir pekannya di rumah. Menghabiskan waktunya bersama Davina dan Clay."Tumben, Mas? Biasanya kamu selalu libur kalau Sabtu.""Ada urusan mendadak. Aku pergi sama Roni kok, jangan khawatir ya." Jawab Edwin sambil tersenyum.Bohong. Davina tahu benar itu semua bohong. Edwin bahkan tidak pernah merasa perlu untuk menjelaskan dengan siapa ia pergi jika tidak ada sesuatu yang ia tutupi. Seolah Edwin berusaha keras meyakinkan Davina agar percaya bahwa Edwin benar-benar pergi ke kantor."Kalau begitu hati-hati di jalan, Mas. Makan siang di rumah saja ya? Aku akan memasak makanan kesukaanmu."Edwin memeluk Davina dan mengecup kening kekasihnya itu. Tangannya membelai pipi Davina dan matanya menatap Davina seolah ada sesuatu yang ia ingin ceritakan. Namun Edwin mengurungkannya. Membiarkan kebenaran itu k
"Maksudmu, Mas?""Iya, aku ingin hadiahku karena aku sudah bekerja dengan baik. Bisakah aku memintanya sekarang?"Edwin bertanya dengan tatapan yang tampak begitu nakal dan menggoda. Senyumnya tersungging dan Davina langsung mengerti hadiah apa yang diinginkan oleh pria itu. Dan entah darimana dorongan itu berasal, Davina juga ingin menggoda pria itu sesekali."Lalu bagaimana kamu akan menikmati hadiahmu, Sayang?" Ucap Davina sembari mengelus dada Edwin dengan kedua telapak tangannya.Edwin mendekatkan bibirnya ke telinga Davina dan berbisik dengan suaranya yang seksi."Di meja ini. Aku akan menikmati hadiah itu di meja ini. Sepuasnya hingga kita berdua lelah."Davina melingkarkan lengannya memeluk Edwin dengan begitu erat. Bibirnya memagut bibir Edwin dan mencium kekasihnya dengan begitu dalam. Edwin melumat bibir manis itu dan sesekali menggigitnya. Bibir keduanya saling terbuka dan lidah saling beradu dalam ciuman yang begitu sensual.Tangan Edwin yang melingkar di pinggul Davina d
"Vin, aku sudah menemukan dimana Papa tinggal." Edwin mengabari berita itu setelah ia yakin semua persiapan yang ia lakukan benar-benar sempurna. Kekasihnya menoleh dan menatapnya dengan begitu takjub. Sungguh, Davina benar-benar tidak menyangka semua ini akan terjadi. Bagaimana mungkin Edwin bisa menemukan ayahnya yang menghilang selama dua puluh tahun terakhir ini?"Benarkah? Dimana Papa tinggal, Mas?""Di Tanjung Priok, Vin. Kamu mau kita kesana besok?" Ajak Edwin dengan senyum yang begitu lembut.Davina mengangguk mantap. Berkali-kali dengan penuh semangat. Tak peduli sebesar apapun bencinya kepada sosok ayahnya, hati kecilnya tetap merindukan pria itu. Sebuah hal yang normal bagi setiap anak perempuan untuk mendambakan ayahnya ada di sisinya, bukan?Karena itu, Davina merasa senang bukan kepalang saat Edwin mengajaknya untuk menemui sang ayah. Setelah dua puluh tahun mereka berpisah tanpa bertukar kabar sedikitpun, akhirnya Davina akan bertemu dengannya. Sosok cinta pertamanya y
Berita yang disampaikan Roni cukup menyita perhatian Edwin selama seharian. Ia diselimuti dilema akan keputusan yang harus ia ambil. Antara melindungi Davina dari kenyataan sebenarnya tentang sang ayah, atau membiarkan kekasihnya itu tahu dan tenggelam dalam kekecewaan.Tidak, Edwin tidak bisa membiarkan hal itu terjadi. Edwin bahkan tidak sanggup melihat Davina terluka dan meneteskan air mata. Bagaimana mungkin ia membiarkan calon isterinya hidup dalam kekecewaan dalam waktu yang lama?Edwin melirik ke arah ponselnya. Sudah setahun belakangan ia menggunakan foto Davina bersama Clay sebagai layar utamanya. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Kebahagiaan keduanya adalah prioritas Edwin sampai kapanpun. Dan Edwin tidak akan membiarkan semuanya runtuh. Impian Davina untuk hidup bahagia bersamanya dan Clay akan ia wujudkan. Meskipun itu artinya Edwin harus begitu banyak menyembunyikan kenyataan pahit sendirian.Ia sudah memutuskan. Ia akan menemui pria itu seorang diri dan menyelesaikan
Edwin memanggil Roni, asistennya, untuk menghadapnya ke ruangan. Ada tugas penting yang harus dilakukan pemuda itu. Mencari ayah mertuanya. Alias ayah dari calon isterinya."Ada apa, Pak Edwin? Kenapa memanggil saya langsung kesini?" Tanya Roni sedikit bingung."Saya memiliki tugas penting untukmu, Ron. Sangat penting."Wajah Edwin berubah begitu serius sehingga Roni menyadari betapa pentingnya tugas itu bagi atasannya."Tugas apa, Pak?""Tolong cari keberadaan pria ini." Ucap Edwin sambil menyodorkan sebuah foto.Foto lama yang tampak begitu usang. Dan di foto itu terlihat seorang pria yang begitu gagah dan tampan sedang menggendong seorang bayi perempuan. Foto itu adalah foto ayah Davina. Pria yang ia cari selama satu minggu terakhir."Namanya Rudi Halim, Ron. Temukan keberadaan dia secepatnya."Roni mengangguk tanpa bertanya sedikitpun. Namun rasa ingin tahu mencuat dalam hatinya karena Edwin tidak pernah menyuruhnya mencari seseorang yang tidak berkaitan dengan bisnisnya. Pemuda i
Kata-kata sang ibu terus menerus terngiang di kepala Davina. Meminta izin kepada ayahnya? Dimana ayahnya berada pun Davina tidak sedikitpun mengetahuinya. Bagaimana ia bisa menemukan ayahnya dan meminta izin kepada pria itu? Tapi ibunya benar. Bagaimanapun, Davina memiliki seorang ayah yang berhak tahu tentang kehidupan puterinya. Apalagi jika sudah menyangkut pernikahan.Ah, tapi dimana ia bisa menemukan pria itu?"Vin? Ada apa? Kenapa kamu tampak kusut sekali, Sayang?"Davina merasakan pelukan hangat dari belakang. Edwin baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya bahkan masih terlihat berantakan dan matanya tampak mengantuk. Tapi pria itu sudah mencari Davina dan bermanja-manja dengan gadis itu lagi. "Aku sudah mengabari Mama soal lamaranmu, Mas."Senyum Edwin merekah. Ia segera membalik Davina dan keduanya berhadapan dengan jarak yang amat dekat. Meskipun sudah mengenal Edwin selama setahun lebih, Davina masih saja merasa kagum dengan paras pria ini. Begitu tampan dan tegas. Namun