Sinta terkejut, ia heran dengan pertanyaan Biru. 'Langsung? Langsung pulang?' batin Sinta. Sinta berprasangka baik, ia lalu mengangguk dan tersenyum lega, tapi siapa sangka. Biru memegang tuas samping kursi dan menurunkan sandaran kursi, badan Sinta ikut turun merebah di sana. Biru mulai melepas pakaiannya, jasnya ia letakkan di tempat duduknya. "Ka-kamu mau ngapain?" tanyanya masih belum paham. Ia menggelengkan kepalanya dan mencoba bangkit dengan satu tangan yang masih diperban. "Katanya mau langsung, diem aja di situ." Biru mencegah Sinta bangkit, mendorongnya agar badannya merebah kembali, kekasihnya itu melepas kancing kemeja satu persatu. "Jangan aneh-aneh ya!" bentak Sinta mulai berpikir ke sana. Biru melepas ikat pinggang, menurunkan resleting celananya dan nampaklah sesuatu menonjol dari dalamannya. "Lang-kamu nggak akan macem-macem kan? Mau ganti baju doang kan? Terus kenapa aku di rebahin gini?" tanya Sinta lemot. Biru tak menj
Sinta mengerjapkan matanya, adik-adiknya pasti akan mengejeknya sebentar lagi. 1 ... 2 ... 3 ... "Cie ... Cieeeee," ejek kedua adiknya kompak membuka pintu kamar Sinta. "Brisiiik! Diem ya kalian." Sinta mendorong pintu kamarnya dengan tangan kanannya agar kedua adiknya keluar. Namun, ia kalah karena dua adiknya mendorong pintu dengan tenaga yang kuat. "Besok-besok suruh beliin makanan yang lain, Kak. Biar kita setuju, ya gak, Dek?" ucap Riko, bersekongkol dengan Vika. "Iya, Kak. Kak Langit suruh bawa makanan yang banyak, kita kan nggak pernah makan enak," balas Vika antusias, senyum mereka tulus terpancar. Ceklek! "Bilang sendiri sono, setuju apaan coba?!" "Setuju jadi ipar lah, emang apalagi?" "Kak, besok anterin lebih pagi ya, ada lees," rengek Vika menatap Sinta. "Assalamu'alaikuum," ucap seorang wanita yaitu ibunya, masuk ke dalam rumah. "Wa'alaikumsalaam," jawab kedua adiknya serempak. "Buk, sini deh ... ayo cepet kita
Biru sudah rapi dengan setelan jasnya, setelah sarapan ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sinta dulu sebelum ke kantor. Bunga yang mekar di dalam hatinya masih membuat suasana hatinya begitu ceria. Ia membuka pintu mobil, masuk ke dalamnya kemudian menginjak pedal gas. "Tuan-tuan!" panggil Bibi berteriak nyaring. Ia mengerem mobilnya, si Bibi berlari menghampiri. Menumpu separuh bobotnya dilututnya. Huh huh huh huh"Ada apa sih, Bi?" tanya Biru heran, kepalanya melongok ke luar jendela. "Ini Tuan, Nyonya nelpon," ucap Bibi mendekat sambil mengatur napasnya menyodorkan telepon rumah. "Ooh." Biru meraih telepon dan berbicara. "Ya, Ma." "Kamu itu selalu aja ya nggak mau angkat kalau mama telfon, kamu anak mama apa bukan sih, bandel nggak bisa dibilangin. Udah tua masih aja sulit diatur," oceh Mamanya selalu begitu. "Ada apa sih, Ma?" balas Biru malas. "Nanti malem jam tujuh ke rumah, jangan telat dandan yang rapi." "Ada acara apa si
Sinta lupa memeriksa ponselnya sejak kejadian ia kecelakaan beberapa hari yang lalu. Jadi ia tak sempat mengabari sahabatnya yang selalu kepo mengenai keadaannya. Ternyata Vivi begitu peduli dengannya karena setiap hari selalu mencarinya dengan mengiriminya pesan juga menelponnya lebih dari tiga kali sehari, mungkin sahabatnya itu mencarinya karena dia kesepian karena tak ada yang bisa diajaknya ngobrol. Sintapun menelpon sahabatnya dan sialnya langsung ditolak panggilan darinya. "Kurang ajar, giliran gue telpon diriject!" Sinta paham mungkin dosen sudah datang, ia akhirnya mengirimkan pesan singkat pada Vivi. Sinta : Gue masih hidup bego. Gue abis kecelakaan, lo maen ke sini aja. Gue tunggu, alamatnya udah gue share. Sinta mengirim alamat dan foto tangannya yang masih dibalut gips karena menurut dokter tulangnya sedikit retak. Kemudian ia meraih paper bag kecil yang diberikan Biru tadi, membukanya perlahan dan ... Isinya ternyata ialah buku tabungan dan kartu ATM. Ia lantas memb
Biru menginjak pedal gas hingga kecepatan mobilnya berada di angka 100, ia kesal bukan main. Kenapa orangtua begitu mengatur hidupnya ... bahkan dalam segala hal termasuk pernikahan. Bukankah itu hak seorang anak untuk menentukan siapa pasangan hidupnya, memilih pendampingnya. Kenapa bisnis dibawa-bawa ke dalam hal serius seperti pernikahan, tak adil rasanya.Orangtua tak selalu benar dan ia akan buktikan bahwa pilihan orangtuanya salah. Tidak ada cinta di antara dia dan Marsya, kata-kata "cinta akan datang dengan seiring waktu berjalan" itu tidak berlaku baginya. Karena hatinya sudah terisi oleh Sinta, dia sudah merenggut mahkota gadis itu dan ia akan bertanggungjawab meski harus mengorbankan segalanya agar bisa bersama. Dia menambah kecepatan mobilnya karena jalanan saat ini lengang, namun setelah seratus meter berikutnya ia mendadak dikejutkan oleh seorang pengendara motor yang lewat di depan mobilnya, menyebrang sembarangan. Dia menekan klakson dan pengendara motor itu
Sinta melotot, mengembalikan lagi barang tersebut. Biru menatap Sinta sekejap. "Kenapa nggak jadi ambil?" tanya Biru. "Eng-enggak, nanti aja." Sinta menatap ke depan. "Kita ke tempat yang bagus ya, aku pengen nenangin diri." "Ke mana?" "Entah," jawab Biru singkat, tanpa menatap Sinta. Percakapana berakhir, keduanya diam suasana berubah hening. Biru terus mengemudikan mobilnya, mereka melewati pintu masuk sebelah timur, setelah membayar kemudian mobil melaju dengan kecepatan sedang, barulah setelah beberapa menit Biru memarkir mobilnya dan mengajak Sinta keluar. "Kamu biasa ke sini?" tanya Sinta, menghirup udara malam yang segar dan sedikit dingin. Biru sudaj berjalan dahulu. Tempat ini sepi, lagi pula siapa yang mau ke pantai malam-malam, buat apa kalau bukan untuk menikmati suara deburan ombak di pinggir pantai, menenangkan diri. Mereka pasti suka bermain air laut di tepi pantai atau main pasir saat siang hari, saat panas matahari sedang terik-ter
Aktivitas mereka terpaksa berhenti karena ponsel Biru berdering, kekasihnya langsung menarik diri. Mencari ponselnya ke saku celana panjangnya yang sudah ia lempar sembarangan tadi. Ia menemukan ponsel tersebut ketika panggilannya telah berakhir. Biru memeriksa ponselnya sebentar lalu kembali lagi ke Sinta. "Maaf, Honey," ucapnya menyesal. "Siapa?" tanya Sinta. "Apa kita pulang aja sekarang, pasti Bapak khawatir." Sinta tiba-tiba duduk. Biru kemudian duduk di samping Sinta. "Kita belum selesai, Sayang. Aku mohon sebentar lagi," pinta Biru memelas, matanya berair. Sinta diam saja, kemudian mengangguk. Tanpa aba-aba Biru mencium bibir Sinta, mengisap bibir atasnya lembut penuh perasaan, bergantian ke bibir bawahnya. Sinta mulai pintar menciumnya, Biru diam dan ia biarkan Sinta menciumi dirinya. Tangan Biru meraba ke bukit kembar Sinta, kenyal dan berisi, putih dan lembut. Sangat menyenangkan bisa memegang dada perempuan yang biasa ditutupi itu, lelaki itu meremas d
"Hehe, itu punya kakak, khusus buat orang dewasa, besok kakak beliin mainan ya buat kamu," ucap Biru malu, melangkah pelan menghampiri Vika, memegang kedua pundaknya."Beneran, Kak?" tanya Vika antusias, sorot matanya terlihat sangat senang. "Iya, tapi jangan beli mainan aja, kita beli perlengkapan sekolah juga, tapi kamu jangan bilang ibu ya soal kotak kecil tadi," rayu Biru pada calon iparnya. "Emangnya dureksss itu apaan, Kak?" tanya Vika. Sinta langsung membungkam mulut adiknya, takut Ibu mereka datang tiba-tiba dan mendengarnya. "Bukan apa-apa, besok kakak beliin boneka sebagai gantinya, ya?"Sinta melepas tangannya dari mulut adiknya, karena takut ia digigit. "Asyiikk, janji ya, Kak?" Vika mengacungkan kelingkingnya ke atas ke hadapan Biru. "Iya ... kakak janji, lain kali kita jalan-jalan juga, kamu mau kan?" Biru menautkan kelingkingnya pada Vika, agar anak itu senang. "Yeyeyeye ... Makasih ya, Kak." "Udah kamu ke sana, kamu bal
"Pak, nanti ikut saya ke showroom," ucap Biru. Dia kemudian membereskan beberapa berkas kemudian memasukkannya ke dalam tas lalu beranjak dari tempat duduknya. "Pak, nanti saya telepon kalo saya udah nyampek sana." "Ba-baik, Tuan." Pak Sony menatap Biru sebentar lalu mengangguk paham, tapi sedikit bingung ... menggaruk tengkuknya pelan, ekor matanya memperhatikan Biru yang keluar dari ruangan. Pintu tertutup, tapi tak lama kemudian langkah kaki terdengar mendekati pintu, dan ... kriit"Pak, siapin kamar dan private dinner buat tanggal 10 di resort kemarin," pinta Biru melongok dari luar pintu. Pak Sony memegang dadanya yang berdetak kencang karena terkejut. "Astaga!""Haha, maaf, Pak-sengaja ..." Biru membuka pintu lebar, terkekeh pelan. "Nggak, Pak, aku bercanda.""I-iya, Tuan," balas Pak Sony sekenanya. "Jangan sampek lupa ya, Pak," pesan Biru, balik badan melangkahkan kakinya melewati pintu ruang kerjanya. Tapi ketika Biru akan menutup pintu, Pak Sony menghentikannya. "Maaf, T
Sinta tersenyum penuh arti dan Vivi mengernyitkan dahinya, heran. "Woy, jawab dong malah nyengir," protes Vivi pada sahabatnya yang menurutnya jadi agak berbeda dari yang lain. "Eemmm-kayaknya gue kenal sih, kayak nggak asing gitu mukanya," papar Sinta santai. Vivi menghela napas dalam mengembuskannya kasar, meletakkan sendok dan mengelus dadanya berusaha sabar dengan jawaban sahabatnya yang datar sekali. "Elo kenal apa kagak? kalo nggak kenal emang lo gak takut diliatin terus? Iiih, ngeri," sambung Vivi bergidik ngeri, dia masih belum paham dengan maksud Sinta. "Udah tenang aja, lanjut makan," titah Sinta menatap Vivi, sahabatnya itu mendengus kesal dan melanjutkan makannya begitu pula Sinta. Mengacuhkan dua pengawal Langit yang terang-terangan mengawalnya ... Ah, bukan, lebih tepatnya membuntuti dirinya. Bagaimana tidak, mereka berdua sangat terang-terangan, seperti belum profesional dalam membuntutinya. Sinta selesai makan begitu pula Vivi. Sebelum masuk kelas dia mengirimkan
Sinta bangun pagi dengan perasaan gembira walau tubuhnya terasa remuk, lelah sekali. Sudah waktunya kembali ke kampus, dia harus melanjutkan kuliahnya, seperti hubungan percintaannya yang terus berlanjut dan menuju jenjang yang lebih serius. Sinta merentangkan kedua tangannya, duduk di tepi ranjang mengerjap-ngerjapkan matanya sambil menguap. Senyum indah terbit begitu saja dari bibir Sinta, dia terkikik kala menyadari hidupnya terasa bagai dongeng pengantar tidur. "Udah adzan subuh aja, gue harus bangun ... siap-siap buat ke kampus ..." ucap Sinta beranjak dari kasurnya. "bisa-bisa gue ditendang keluar ntar kalo kebanyakan bolos," gumamnya berjalan gontai menuju meja belajarnya.***Sinta memarkir motornya ke belakang gedung perpustakaan, tak lama kemudian Sinta mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya, tak ada suara motor berhenti. Sinta tak berpikir macam-macam dan segera membawa tumpukan buku penting ke dekapannya tanpa menoleh ke belakang. "Wih hebat bener lo udah tuna
Semua orang yang ada di ballroom hotel itu terpana melihat Sinta yang anggun dengan balutan kebaya warna pink pastel dengan jarik motif bunga. Tatanan rambut yang menawan, anggun dan cocok dengan kepribadian Sinta. Ratusan pasang mata tertuju pada gadis itu, mereka sampai membuka mulut karena terkesima dengan paras elok Sinta."Cantik juga tunangannya," ucap salah seorang pria, yang tak lain tak bukan ialah tamu undangan. "Iya, pasti pintar dan terpelajar," timpal lelaki lain. Pak Lukman berjalan berdampingan dengan Sinta, putri sulungnya itu memegang lengan bapaknya, jantung mereka berdetak kencang. "Tapi, keluarganya rumornya bukan orang kaya," ucap wanita itu setengah berbisik. Sinta dan Pak Lukman berusaha bersikap biasa, melewati tamu undangan yang sibuk membicarakan dia sekaligus keluarganya. "Gue denger-denger hubungan mereka gak direstui pihak ortu Biru, pasti si cewek ini ada apa-apanya." "Kayaknya cewek biasa sih, anak kuliahan mungkin," sahut yang lain. Acara sudah b
"Pakai lagi cincinnya, Sin," titah Biru menatap datar Sinta, gadis itu tak bergeming ia malas, malah bersedekap membuang muka ke samping. "Ayo, Sin pakai lagi," bujuk Biru, dia tetap sabar. "Nggak, kita putus," balas Sinta. "Kamu yakin? Kalau kamu bilang putus sekali lagi aku akan bener-bener pergi selamanya, kamu mau jauh dari aku?" Sinta menoleh, ia menghadap ke Biru, dia bersiap menumpahkan segalanya. "Kamu pikir gampang jadi aku? Harus nerima penghinaan dari keluarga kamu, kamu pikir aku nggak sakit hati?!" Sinta menitikkan air mata, dia tak sanggup membendungnya lagi. "Maaf, Sayang. Ayo kita hadapi ini sama-sama, kamu berdiri di samping aku," ujar Biru, menggenggam erat jemari Sinta. "Latar belakang kita beda, Langit, beda jauuh ... bagai langit dan bumi." Sinta melepas tangannya dari genggaman Biru. "Dan aku yang akan buat mereka tidak berjarak, Sin. Kita bersatu, buktikan ke orang tuaku kalau kita punya cinta, kekuatan itu yang buat kita bersama." Sinta menggeleng dan me
Setelah mereka bertiga selesai mengisi perut yang kosong, barulah Biru bertanya ada apa gerangan Pak Sony menyusulnya ke sini. Biru menatap lekat asisten pribadinya, melipat kedua tangan di atas meja. Sinta yang hendak pergi di tahan oleh Biru untuk sekadar menemaninya, tak ada hal yang ingin ia rahasiakan dengan calon istrinya itu. "Gimana, Pak? Ada apa?" Pak Sony mengelap mulutnya dengan tisu kemudian mulai berbicara. "Begini, Tuan. Ibu meminta saya untuk menyusul Tuan, meminta Tuan untuk segera pulang." Raut wajah Pak Sony berubah drastis, menjadi sangat serius. Biru hanya santai mendengarnya, menyedot kembali smoothie buah naga pesanannya yang belum habis, setelah Pak Sony diam lelaki itu meletakkan minumannya dan menatap asprinya, menyatukan jemari tangannya yang diletakkan di atas meja. "Saya sudah bilang ke mama, Pak, saya ada urusan di luar kota, Bapak juga tinggal bilang gitu harusnya.""Tapi, Ibu memaksa saya untuk membawa pulang Tuan hari ini
Dari kejauhan, lelaki dan perempuan itu menyipitkan mata memandang ke halaman bangunan lobi, melangkah semakin dekat ... Biru menangkap sosok yang tak asing baginya yaitu asistennya, Pak Sony. "Bukannya itu pak Sony?" tebak Sinta ragu, menatap lelaki yang menggandengnya, Biru menatap sebentar pada kekasihnya dan menatap depan lagi. "Iya, kamu bener, yuk kita ke sana." Biru dan Sinta mempercepat langkah untuk menghampiri Pak Sony yang berdiri di samping mobil berwarna hitam. "Iya, yuk," balas Sinta mengangguk samar. Pak Sony terlihat gelisah, sesekali melirik ke pergelangan tangannya dimana jarum arlojinya terus berjalan, pria itu lantas menoleh ke kiri dengan waspada lalu ke kanan. Senyumnya terbit ketika melihat orang yang ditunggu-tunggu berjalan mendekat, mereka saling berpandangan. "Ah, Tuan, akhirnya Anda datang juga," ucap Pak Sony tersenyum setelah majikannya berdiri di hadapannya, asistennya tersebut menegakkan badan kemudian membungkuk sebentar. "Apa Bapak sudah lama nu
Dia lupa, Sinta lupa, dirinya tak melihat apakah Biru memakai pengaman atau tidak. Dia terlena sampai benar-benar lupa akan hal yang penting."Mati gue!" batinnya resah."Kamu kenapa sih, Honey?" tanya Biru masih dengan mata terpejam. "Nggak," balas Sinta singkat, dia kesal dan sekarang merubah posisinya memunggungi Biru. Laki-laki itu malah memeluk Sinta dari belakang. "Nggak papa ngomong aja pasti aku dengerin kok," ucapnya. Sinta memutar bola mata malas, dia tak percaya dengan ucapan lelaki di belakangnya. Sinta memindahkan tangan Biru yang melingkari perutnya, namun tangan itu malah memeluknya lagi bahkan rasanya ingin meremukkan tulang iganya. Sekarang 2 tangannya bergerilya ditubuhnya, tangan kirinya menyelusup ke bawah pinggangnya, dan satunya lagi di atas perutnya, Biru malah makin mengeratkan pelukannya. "Lepasin dong!" pekiknya sambil berusaha membuka kedua tangan Biru. "Nggak ... nggak akan aku lepas sebelum kamu jujur ke aku ada masalah apa," balas Biru tenang."Plis
Sinta terpana dengan panorama laut malam, bulan bersinar dengan terangnya, bintang-bintang bertaburan ... deburan ombak diiringi angin sepoi-sepoi, terasa sejuk dan menenangkan. Sinta duduk agak dekat dengan pinggiran laut, berjarak dua meter saja. Biru yang heran menggelengkan kepalanya karena Sinta tak menghampirinya malah berjalan mendekat ke pinggir laut, lelaki itu kemudian langsung menghampiri Sinta, duduk di sampingnya. "Nakal ya kamu," ucap Biru sambil memencet hidung Sinta. Sinta cemberut, menepuk punggung tangan Biru yang berhasil membuat hidungnya merah sekejap. "Cium nih," ancam Biru, mendekatkan wajahnya ke Sinta. Gadis itu tersipu, meski Biru tak melihat jelas rona merah dipipinya namun ia tahu Sinta tersenyum. Biru melekatkan bibirnya menyapu permukaan bibir Sinta, gadis itu langsung menutup matanya. Lelaki itu menjauh dan menatap gadisnya sejenak, Sinta yang heran karena Biru tak lagi menciumnya akhirnya membuka matanya perlahan. Biru tersenyum, berhasil menjahili