Mobil yang dikendarai Elang berhenti di sebuah butik dengan halaman yang tampak luas sekali, hanya saja walau pun luas. Namun, sangat rindang, terdapat dua pohon mangga besar di tengah lapangan hingga terasa nyaman sekali.
"Nanti ada ketentuan warna nya nggak, Ma?" tanya Rere yang berjalan bersisian dengan Ema, meninggalkan elang yang masih memarkirkan mobilnya.
"Dalam undangan nggak ada sih, Dew. Cuman Yuni minta nanti kita pakai gaun warna biru navy."
"Aduh, ada nggak, ya?" seru Rere, khawatir.
"Semalam aku udah minta Elang buat nelpon kakaknya, katanya sih masih ada, dan kebetulan busana hijab juga." Ema menjawab keresahan Rere, sambil menghentikan langkahnya karena sudah berada di depan pintu masuk.
"Selamat pagi." Seorang perempuan berjilbab membukakan mereka pintu, dan dengan menggunakan isyarat tangan mempersilahkan mereka masuk.
"Pagi ...." Jawab Ema
Ema memanggilnya dengan melambaikan tangan meminta supaya melangkah mendekat.Rere melangkah mendekat dengan tangan sembari memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas."Ada apa?""Kamu cobalah dulu, mumpung masih banyak waktu, setelah cocok. Kita langsung berangkat." Ema berkata sambil menaik tangannya masuk ke dalam ruangan."Pagi, Mbak." sapa seorang berhijab lebar ke arah Rere, tangannya terulur, membuat Rere kembali melangkah lebih dekat untuk menyambutnya."Sinta.""Rere!""Hei, sejak kapan kau mengganti nama panggilanmu, bukankah kau dulu lebih suka di panggil Dewi?" tanya Ema yang kaget saat Rere memperkenalkan nama."Sejak ada Dewa!?" jawab Elang dengan alis yang terangkat ke atas berulang kali, menggoda Rere.Semua tertawa mendengar jawaban Elang, yang memang benar adanya."Pada sirik!" Ketus Rere yang melangkah menjauh menuju kamar ganti yang tadi Sinta tunjukkan.Bukannya mereda, semua malah
"Pagi, Pak!?"Dyah yang kaget, langsung berdiri saat melihat Dewa sudah melintasi mejanya dengan langkah cepat."Bawa laporannya, Dyah." suruh Dewa sebelum tangannya menutup pintu dengan kasar hingga terdengar bunyi keras berdebum."Astaugfirulllah!" seru Dyah yang kaget saat mendengar bunyi pintu.Paham kalau suasana hati si boss sedang tak baik, Dyah pun cepat-cepat melakukan perintah yang tadi Dewa suruh.Satu kesalahan saja akan membuatnya terkena imbas. Bahkan bila tidak berhati-hati bisa-bisa besok dia sudah menjadi pengangguran."Ini, Pak ...." ujar Dyah. Tangannya mengulurkan beberapa berkas yang terisi di dalam kurang lebih lima map yang berbeda warna, ke arah Dewa."Duduk!"Dyah dengan takut-takut memundurkan satu kursi di depan meja Dewa untuk memberikannya banyak ruang untuk bisa me
Setengah berteriak, Dewa juga memukul meja dengan sangat kuat, hingga kaca pelapis atas meja tampak retak, tampak sekali terlihat rapuhnya seorang Dewa di mata Dyah saat ini, apalagi saat Dewa membanting badan di kursinya, kemudian mendongakkan wajahnya dengan mata terpejam.Dyah terdiam, matanya menunduk menatap lantai, sungguh dia terjebak di tempat dan waktu yang salah."Kamu boleh keluar, ini kita kerjakan lagi nanti! Sekalian ... kau panggil Ina suruh ke sini!""Baik, Pak. Permisi." Dyah berdiri dari duduknya, memberikan hormat dengan menundukkan sedikit punggungnya, kemudian langsung membalikkan badan menuju ke pintu."Bapak memanggil saya?"Ina masuk kedalam ruangan Dewa, dengan melabgkah sangat berhati hati, mungkin karena sebelum dia masuk, Ina sudah mendapatkan peringatan dari Dyah."Duduklah!"Ina melangkah mendek
Dewa mengangguk saat Ina pamit kembali ke tempatnya, dengan wajah berpaling ke arah ponsel, kemudian tampak senyum di bibirnya saat tahu siapa yang sedang menghubunginya."Halo ...." sapa Dewa dengan senyum yang menghiasi bibir, tampak seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya."Pasti kamu yang nyuruh Ina." Rere langsung menuduh Dewa, dengan dugaannya."Iya, habisnya kamu nggak balik-balik. Pulang dong," rengek Dewa, tak ada lagi wibawa saat di hadapan Rere"Kamu udah selesaikan urusanmu, belum?""Sudah, atau ... kalau tidak, kita kan bisa menyelesaikan bersama, Sayang.""Kenapa ramai sekali, kamu ada di mana?"Rere kemudian menghadapkan ponsel miliknya ke arah Ema dan Yuni yang tersenyum, dan menyapanya dengan lambaian tangan mereka."Yuni nikah, Sayang?" tanya Dewa saat layar ponsel milik Rere sudah kembali ke wajahnya."Nggak, ini acara tunangan aja, kok.""Sampaikan salamku padanya, katakan pada mer
"Terimakasih ya, Pak. Saya nggak nyangka bakalan di ajak makan bersama seperti ini," kata Udin yang duduk di depan Dewa, hanya dengan di batasi sebuah meja, berterima kasih. Sedangkan Ina sibuk membuat dokumentasi untuk di pajang di status aplikasi hijaunya.Dewa mengangguk, hatinya ikut senang walau sedikit ada rasa iri, saat melihat Ina yang perhatian pada Udin dan juga Dyah dengan suaminya, yang dipaksa datang. Maka dari itu sengaja dia mesan meja dengan kursi yang lebih banyak dari biasanya.Bunyi ponsel seketika itu juga membuat Udin menjadi sorotan."Halo, Mbak." Sapa Udin yang sudah mencuci tangannya untuk menerima panggilan video call dari Rere."Statusmu dengan Ina kok bisa sama, di mana itu, Din? Kok makan rame-rame, ada acara apa?" Rere langsung bertanya dengan kekuatan seribu jurus."Iya, Mbak. Lagi pada ngumpul rame-rame.""Siapa saja
"Hari ini, hari Ayah terakhir ngajar, apakah kamu mau ikut ke kampus?" Sang ayah bertanya sambil menyiapkan berkas-berkas yang kenudian beliau masukkan ke dalam tas kerja berwarna coklat."Boleh?" tanya Rere dengan mata membesar dengan tak percaya. Jarang sekali ayahnya memperbolehkan ikut ke kampus, dan sekarang malah mengajaknya."Tentu saja boleh, Apa yang tidak untuk putri ayah yang paling cantik ini." ayah berkata sambil mencolek hidung bangir putrinya, gemas.Tak menjawab, Rere langsung berlari kecil naik anak tangga, masuk ke dalam kamarnya. Baginya ini adalah kesempatan langka yang tak boleh disia-siakan."Ayah yakin bakalan ngajak Rere ke kampus? Apa nggak bakalan ganggu nantinya? Lagian apa iya dia nggak bakal bosan saat ayah tinggal?" tanya Bunda yang ikut mempersiapkan jaket almamater kampus tempat ayah kerja, yang selalu ayah pakai."Kamu itu nanya apa gimana, Bunda? Kok panjangnya mengalahkan putaran waktu.""Ayah .
"Bagaimana, kamu bosan tidak? Tadi, saat ayah meninggalkanmu sendirian?" tanya Ayah yang baru saja datang dan langsung duduk di kursi yang berhadapan dengan Rere, hanya di batasi oleh meja saja."Tidak, aku malah sudah menyelesaikan banyak tugas kantor, karena tadi sekretarisku meminta untuk kerja secara online." Rere menjawab sambil tersenyum."Mau aku pesankan sesuatu buat ayah?" Rere menawarkan ayah. Dengan mata menatap lelaki yang akan selalu menjadi cinta pertamanya itu, lembut."Kok bisa? Tidak, ayah belum haus." tolak ayah, yang terlihat dengan gelengan kepala. Matanya nampak menyapu seluruh ruangan kantin."Dewa menelpon dan merasa kasihan karena melihat aku sendirian, jadi tadi kami berempat zoom bersama untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.""Baguslah kalau begitu," seru sang ayah yang menganggukkan kepalanya berulang kali, tanpa mengerti artinya.Rere ikut mengangguk sambil menyesap sedikit minumnya dengan sedota
Rere histeris melihat kondisi ayahnya dengan kepala berlumur darah terjepit di dalam mobil, dia mengguncangkan pintu mobil. Namun, tak sedikit pun ada hasil hingga akhirnya dia lemas, dan jatuh pingsan, mungkin Rere tak sanggup melihat kuncuran darah dan rintihan kesakitan yang keluar dari mulut sang ayah.Untung saja, karena mini market yang mereka datangi masih dekat dengan area kampus, banyak mahasiswa yang kenal dengan pak Satria. Memudahkan pertolongan segera untuk pak Satria dan Rere."Ayaaah!" Rere tiba tiba menjerit, dia sadar dari pingsannya, dan langsung melihat bunda dengan wajahnya yang sembab, berdiri hampir bersamaan dengan bu Zeza, dan Dewa."Ayah, bagaimana?" tanya Rere, dengan pandangan mata menatap penuh selidik ke arah bunda."Ayah masih di ruang ICU. Ada om Bagas yang menjaganya," jawab Bu Zeza, dengan senyum di bibirnya."Aku mau ke ayah." Rere bangun dari ranjangnya, tentu saja dia tidak apa apa, karena hanya pingsan saja.&nbs
"Mbak ...." panggil Mak dari arah luar pintu, kedua tangannya membawa baki berisi piring yang kemudian dia letakkan di atas meja."Yang lainnya biar aku yang ambil, Mak," ujar Dewa yang segera berlari ke luar pintu, menuruni tangga, kemudian naik lagi ke atas dengan tangan kanan membawa dua botol minuman air mineral yang terlihat basah karena dingin. Dan keranjang buah."Mak, sini. Kita makan bersama? Looo kok piringnya cuma dua?" tanya Dewa saat melihat di atas meja."Saya sudah makan tadi, tuan, maaf."Dengan sedih Mak meminta maaf karena sudah membuat Dewa dan Rere kecewa."Nggak pa-pa kok, Mak."Dewa tersenyum, dia tak ingin membuat Mak merasa bersalah hanya karena masalah sepele."Dan ... jangan panggil saya dengan sebutan tuan, mas aja, ya." pinta Dewa dan kali ini ditanggapi oleh senyum dan anggukan Mak sebagai jawaban dari permintaan Dewa padanya.Dewa dan Rere pun segera menikmati makan si
Dari samping tubuh Rere, Dewa sedikit membuka kancing atas daster yang istrinya pakai, hingga tampaklah dengan jelas di depan matanya bukit lembut, kenyal dan indah yang menawarkan wangi sabun.Dewa mengulum dua pucuk bukit berwarna merah itu dengan lembut, secara bergantian. Suara khawatir Rere yang tadinya terdengar kini berganti dengan erangan manja.Tangannya pun tak mau kalah, meremas dan memilin, hingga membuat desahan Rere semakin terdengar."Mas ...," ujar Rere di sela sela rintihan akibat kenikmatan yang Dewa berikan.Tak ingin bermain kasar dan cepat, Dewa sengaja membuka baju atau pun celana dari tubuh istrinya, teringat pesan dari dokter tadi di rumah sakit, dia harus bermain pelan.Dia ingin istrinya merasakan lebih dulu kenikmatan sentuhan agar istrinya bisa lebih tenang."Mas ...."Dewa tersenyum, akhirn
"Mak sama siapa?" tanya Rere, dengan mata berbinar melihat orang yang berdiri di hadapannya."Sendirian, mbak. Soalnya kan Nur masih sekolah." Mak menjawab sambil melangkah mendekat dan langsung memeluk Rere."Terima kasih," ujar Rere pada Dewa sesaat setelah mengurai pelukannya dengan Mak."Hu um." Singkat dan padat Dewa menjawab."Aku bawa Rere ke kamar dulu ya Mak," ujarnya, kemudian mendorong kursi yang diduduki Rere masuk ke dalam.Mak hanya mengangguk dan menutup pintu kemudian mengikuti Dewa yang membawa Rere dari belakang punggungnya."Mak, dua hari lagi saya balik ke Jakarta, tolong jaga Rere ya. Jangan sampai keluar dari kamar," pesan Dewa sambil terus mendorong kursi roda."Kok gitu sih, Mas?!" protes Rere dengan nada tidak suka."Selama seminggu kamu harus banyak istirahat, jaga nutrisi buat anak kita. Aku tidak mau lagi melihat kamu seperti ini." Dewa menjelaskan alasannya kenapa harus
Rere terjaga saat badannya seperti sedang dipeluk oleh seseorang."Mas ...!" serunya kaget, Dewa sudah berbaring di sebelah, dengan tangan mengukung pinggangnya."Biarkan seperti ini, aku kangen banget, Re," pinta Dewa dengan mata terpejam. Sesekali dia menciumi wajah Rere."Malu, Mas. Bagaimana nanti kalau perawat jaga datang ngontrol?" Rere menggerak gerakkan badannya, mencoba melepaskan diri dari kung- kungan tangan Dewa."Mereka sudah datang tadi, pas kamu tidur, jadi aman.""Tapi sempit, Mas.""Apa kamu mau aku menghukummu di sini, sekarang?" ancam Dewa, terdengar sangat menyeramkan di telinga Rere."Memangnya aku punya salah apa?""Tidak usah sok bego, Revia Dewi Ananta. Diam dan tidurlaah." Dewa mulai berkata tegas.Rere terdiam, terasa ada sesuatu yang lembut menciumi cerug lehernya berulang kali, hingga menciptakan senyum yang tak lekang di bibirnya.Matanya menatap langit langit kamar, sunggu
"Mau ke mana, Yang!" tanya Dewa yang baru saja keluar dari kamar mandi yang letaknya di depan ranjang rawat Rere. Dan langsung memergoki istrinya yang seperti hendak turun dari ranjang."Aku ...." Rere sontak tergagap, tangannya yang hendak melepaskan selang infus dari lengannya, perlahan turun kembali ke samping badannya.Tampak sekali betapa kagetnya Rere saat tahu kalau ada Dewa yang sedang menemaninya.Selimut yang tadi ia hempas ke samping ranjang, terpaksa dia tarik lagi dengan perlahan. Membuat Dewa yang melangkah mendekatinya hanya bisa menggelengkan kepala perlahan melihat kelakuan Rere."Kau ingin apa, minum? Atau mau makan?" tanya dewa yang berdiri di samping ranjangnya, tangannya memperbaiki posisi letak selimut yang ada di kakinya.Rere tak menjawab, entah kenapa kali ini dia kembali duduk dari tidurnya, kemudian dengan mendorong tiang infus, melangkah menuju ke kamar mandi."Apa mau aku bantu?" Dewa masih berusaha m
Dewa hanya bisa terus menerus menatap sang istri yang tertidur karena obat, tangannya menggenggam erat jemari Rere.Entah apa yang ada di dalam benak lelaki tampan itu. Sesekali tangannya yang bebas mengusap perut di mana ada calon anaknya. Dengan mata berkaca kaca, pandangannya menatap nanar pada sang istri."Aku sudah menghubungi pak Bagas, beliau memintamu untuk jangan dulu menghubungi keluarga yang di Surabaya, karena pak Satria baru saja di perbolehkan pulang." Alman yang masuk ke dalam ruangan, dengan suara pelan, langsung memberikan laporan."Bagaimana kondisinya?" tanya Alman lagi, matanya ikut menatap sang sahabat yang terbaring. Berdiri di samping kursi yang Dewa duduki."Dia hanya butuh istirahat dan tenang," jawab Dewa."Ya, aku pikir juga seperti itu,""Sekarang bagaimana caranya untuk membuat dia tetap tenang saat tahu aku ada di sini." Tampaknya Dewa masih sangat kepikiran dengan masalah yang di alaminya dengan san
"Mbak Wita, tolong bantu mbak Dewi masak ya," pinta Vera pada seorang perempuan yang sepertinya dari tadi hanya mengawasi saja, orang orang yang seliweran bekerja di dapur, saat itu."Masak apa, mbak?" tanya wanita yang tadi dipanggil Wita oleh Vera, kepada Rere."Biarkan dia yang menentukan menunya, tolong di maklumi orang lagi ngidam," jawab Vera sambil tersenyum, yang langsung di iyakan oleh Wita.Seketika terdengar dengungan orang yang berkata 'o'."Kalian mau makan apa?" tanya Rere pada Vera, dengan tangan yang sibuk menggunakan bib apron, salah satu celemek paling umum yang biasanya dipakai oleh para koki."Apa saja boleh kok, Mbak,"jawab Vera yang kemudian pamit untuk duduk bersama kekasihnya, Faisal.Baru lima belas menit Vera duduk, seorang karyawan datang membawa minuman ke meja, Vera langsung mengenduskan hidung ke udara saat tercium aroma yang sanggup membuat orang lapar."Dengan jarak yang sedemikian jauh, mbak Rere
"Pagi, mbak ...," sapa Faisal yang datang pagi itu untuk menjemput Vera dan Rere.Rere setuju untuk membantu Vera di bagian keuangan cafe yang dirintisnya, karena selama ini Vera cukup direpotkan, semuanya harus dia sendiri yang handle."Sudah sarapan, Sal?" tanya Rere yang baru saja keluar dari pintu pagar, kepada Faisal yang juga tengah membantu Vera meletakkan barang di bagasi mobilnya."Kami biasa makan bersama, mbak. Hanya di saat itu yang bisa kami nikmati berdua." Vera membantu menjawab pertanyaan Rere kepada Faisal, kekasihnya."Mmm ... Sepertinya itu bisa kutiru nanti," sahut Rere. Yang di sambut senyum bahagia Vera dan Faisal.Tanpa mereka bertiga sadari, di seberang jalan, sepasang mata rindu milik Dewa sedang mengawasi Rere dari dalam mobil.Andai saja tidak memikirkan resiko, Ingin rasanya Dewa segera terbang menemui sang istri, apa lag
"Hai .... Wa!"Dewa yang saat itu tengah terpekur menatap layar komputer, langsung mendongakkan kepalanya saat mendengar suara orang yang menyapa bersamaan dengan bunyi derit pintu yang dibuka."Alman, ada perlu apa datang ke sini? Bukannya dua minggu lagi kamu akan nikah?" sapa Dewa yang langsung berdiri dengan wajah ceria, membuka tangannya untuk menyambut saat tahu siapa yang datang siang itu."Brugh!"Dewa yang tak menyangka dapat serangan tiba tiba, hanya bisa pasrah menerima pukulan keras di rahangnya."Apa yang sudah kau lakukan pada Dewi?"Dengan tangan meraba pipi yang tadi di pukul Alman, Kening Dewa mengernyit, mendengar pertanyaan dari sahabatnya yang baru datang itu, bagaimana Alman bisa tahu kalau dirinya sedang bermasalah dengan Dewi."Aku ....""Brugh ....!"Belum selesai Dewa menjelaskan, Alman kembali melayangkan pukulannya di tempat yang sama, di wajah Dewa.D