Masalah demi masalah datang menghampiri, tapi ada saatnya mereka akan pergi. Begitu pula masa lalu yang menyakitkan hati, akan berganti dengan senyum dan tawa di masa kini.Sekian lama aku merenung, mengeja kembali apa yang telah terjadi selama ini. Perlahan mencoba mengikhlaskan meski terlalu sulit kulakukan.Rasanya masih terselip kecewa, sakit hati, terluka dan cemburu dalam dada. Semua perasaan sakit yang bertumpuk dan campur aduk.Tak mungkin bisa hilang sehari dua hari, tapi aku tetap berusaha untuk melupakan dan menggantinya dengan senyum.Tak mungkin juga terus menerus membayangkan dan meratapi masa lalu, karena saat ini ada orang-orang yang begitu mencintai dan membutuhkan cintaku.Orang-orang yang kuyakin Allah kirimkan untuk menggantikan mereka yang telah menyakiti. Tetap yakin bahwa semua ini adalah bagian dari qadarNya yang indah.Buktinya kini DIA mengganti semua luka dan air mata itu dengan senyum dan tawa. Dikelilingi orang-orang yang selalu mencintaiku dan menyebut na
"Assalamu'alaikum." Terdengar suara yang begitu kukenal dari luar. Laki-laki itu sudah berdiri di sana dengan senyum tipisnya. Dia menatapku dan Mbak Sinta sembari menganggukkan kepala."Wa'alaikumsalam." Aku dan Mbak Sinta menjawab salamnya lirih. Laki-laki itu Mas Rudy, mantan suami Mbak Sinta.Entah mengapa saat ini penampilannya sangat berubah. Kusut, kurus dan seperti menyimpan banyak masalah hingga membuat wajahnya tak sefresh dulu."Eh, Mas Rudy. Masuk, Mas. Silakan duduk," ucapku kemudian, mempersilakan Mas Rudy untuk duduk di sofa single bersebelahan denganku dan Mbak Sinta.Aku tak tahu kenapa Mas Rudy tiba-tiba datang ke sini. Biasanya dia hanya mampir di teras, ngobrol sebentar menanyakan kabar Mbak Sinta atau anak-anaknya, titip salam lalu pamit pergi.Mungkin dia melihat Mbak Sinta di sini jadi sekalian ngobrol. Barangkali memang ada sesuatu yang cukup penting yang akan dia obrolkan dengan Mbak Sinta. Entahlah.Berulang kali aku lihat Mas Rudy wira-wiri di depan tokoku.
Suasana di rumah sudah sangat ramai. Acara empat bulanan digelar sederhana dengan mengundang para tetangga. Acara akan dimulai sebentar lagi, bakda ashar.Mas Huda dan Mas Angga juga dibantu dua tetangga lain pun sudah pulang setelah membagikan 200 box makanan ke orang-orang yang membutuhkan.Acara spesial ini diawali dengan sambutan kecil Mas Huda yang mengucapkan syukur atas kehamilanku yang ketiga.Dia minta kepada semua untuk senantiasa mendoakan keselamatanku dan calon buah hati kami. Tak hanya itu saja, Mas Huda juga sekalian mengucapkan syukur atas berdirinya rumah di samping ibu yang mulai hari ini kami tinggali.Sebenarnya pembangunan rumah sudah selesai dua hari yang lalu. Perabotan pun sudah lengkap. Rumah dengan tiga kamar di bawah dan dua kamar di atas.Gala dan Gina memilih kamar atas, sementara aku dan Mas Huda juga calon buah hati kami yang ketiga di kamar utama yang lebih luas dibandingkan kamar lainnya.Setelah sambutan kecil dari Mas Huda dan ibu, acara selanjutnya
Ada tamu yang menungguku di rumah ibu. Begitu kata Mbak Sinta barusan. Membuatku sedikit berpikir siapa yang malam-malam begini ke rumah hanya untuk menemuiku."Ayo, Rum. Nanti kamu juga lihat sendiri. Mbak sudah berusaha meyakinkan dia kalau kamu nggak seburuk yang dia kira, tapi dia tetap curiga. Makanya kamu ke rumah ibu. Dengerin tuh, dia lagi ngobrol sama ibu," balas Mbak Sinta lagi sembari membantuku beranjak dari sofa.Mila yang tadi sudah tiduran di kasur depan tivi pun ikut mengekor di belakangku. Sementara anak-anak sudah mulai terlelap kecuali Agus dan Gala.Mereka semua berjejer rapi di ruang keluarga karena memang sudah sepakat untuk tidur sama-sama malam ini saja.Dika, Gala dan Agus tidur di kasur paling ujung, sementara Salma, Gina dan Mika tidur di kasur sebelahnya. Gala dan Agus masih main catur sementara yang lain sudah nyenyak di atas kasur."Pasti istrinya Pak Amin, Mbak. Bu Indah memang cemburuan," bisik Mila yang sudah mensejajariku. Kami bertiga masuk ke rumah
Hari semakin bergulir. Kehamilan ini pun menginjak trimester tiga. Rasa takut, cemas, bahagia seolah tercampur menjadi satu.Ada kebahagiaan tersendiri yang terselip dalam dada, tapi di sudut lain takut pun mulai mendera.Takut karena usiaku menginjak 35 tahun saat melahirkan nanti. Banyak doa yang kupanjatkan setiap hari, berharap kelancaran saat hamil tua hingga masa persalinan.Aku tahu, DIA senantiasa memberikan berbagai kebahagiaan yang sering kali tak terduga untukku. Seperti halnya kejutan rumah ini. Rumah yang sangat nyaman kutinggali.Kebahagian makin hari semakin bertambah saja rasanya. Saudara-saudaraku semakin solid dan saling membantu satu sama lain.Semua benar-benar sudah bisa berpikir dewasa, tak seperti dulu yang hanya mengandalkan ego semata.Sejak aku pindah ke rumah ini, ibu memang tak ikut pindah. Dia masih di sebelah bersama Mas Angga dan Dika.Tak mengapa, lagipula rumah ini dan rumah ibu berdampingan, ibarat kata hanya terpisah tembok saja. Bahkan ada pintu ten
Suara lantang itu kembali terdengar. Mas Angga sudah berdiri tak jauh dariku. Dia pulang tanpa Dika di sampingnya. Entah kemana keponakan tampanku itu."Jangan pernah terbuai dengan tangisan perempuan itu, Rum. Dia pura-pura polos dan memelas, padahal banyak akalnya untuk menipu daya," ucap Mas Angga lagi dengan tatapan tajam.Mbak Agnes melotot seketika. Mantan suami istri itu pun saling menatap tajam, seolah ada dendam diantara mereka."Aku lebih tahu bagaimana dia, Rum. Dua ratus juta bukan jumlah yang sedikit. Kalau sekarang dia jatuh, mungkin itu memang balasan terbaik untuknya karena durhaka pada suami. Biarkan saja sesukanya. Jangan dikasihani karena dia nggak pernah mau diperlakukan seperti itu," sambung Mas Angga lagi."Mas! Keterlaluan kamu. Bukannya ikut membantu meringankan bebanku, kamu malah seolah begitu bahagia melihatku sengsara. Aku bahagia banget ya kalau aku dikejar-kejar debt collector? Atau jangan-jangan kamu memang sengaja supaya aku masuk penjara?" omel Mbak Ag
"Dia siapa sih, Mas? Kok malah diam saja?" tanyaku lagi. Mas Huda menghela napasnya lalu menarik kursi di sebelahku dan mendudukinya."Mansyur anaknya Pak Joko, Dek. Mas pikir, dia cocok mengurus keuangan showroom ini. Dia juga pernah mengurus administrasi di kantornya dulu. Cocoklah untuk menggantikan Bayu yang resign itu, tapi ternyata baru tiga bulanan kerja kok sudah begini. Padahal bapaknya jadi supir puluhan tahun sama papa mama nggak pernah ngambil-ngambil yang bukan haknya begini. Mentang-mentang kita sibuk bangun rumah, Mansyur juga sibuk korupsi," ucap Mas Huda setengah emosi. Amarah yang mencoba dia tahan."Memangnya Bayu resign karena apa sih, Mas? Mas belum cerita loh sama aku soal itu. Tempo hari cuma bilang kalau Bayu mengundurkan diri, tapi Mas nggak jelasin alasannya apa. Waktu itu aku juga lupa nggak nanya kenapa dia resign," sambungku lagi. Mas Huda tersenyum tipis."Mertuanya stroke, Dek. Jadi istrinya diminta untuk merawat sang mama, makanya dia pulang kampung. Di
Ibu Rihana. Dia adalah ibu dari Amin yang berarti mertuanya Mbak Indah. Entah mengapa Ibu Hana kembali datang ke rumahku setelah dua hari lalu dia terang-terangan memintaku untuk menjauhi anak semata wayangnya itu.Padahal jelas aku tak pernah mendekatinya, kenapa juga aku harus menjauh? Aku dan Amin juga tak pernah terlihat dekat, bagaimana mungkin dia mencurigaiku sebagai orang ketiga dalam percekcokan anak dan menantunya?Aneh bukan? Entah siapa yang sengaja menyulutkan api antara keluargaku dengan keluarga Amin itu. Yang jelas sampai sekarang aku belum mendapatkan kabar apa-apa dari Mbak Indah setelah beberapa hari lalu dia datang malam-malam ke rumah ibu."Ada apa ya, Bu? Bukankah saya sudah menjelaskan kalau saya dan anak ibu tak ada hubungan apa-apa? Bahkan kami jarang berjumpa apalagi bertukar pesan seperti yang ibu tuduhkan?" tanyaku panjang lebar."Maafkan ibu soal itu, Rum. Indah dan Amin sudah menjelaskan semuanya. Ibu minta maaf karena hanya mendengar selentingan tetangga
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa