Aku masih membuat jus jambu saat ibu dan seseorang entah siapa berbincang di teras rumah. Mungkin tetangga, sekalian kubikinkan jus saja untuk melepas dahaga di siang yang terik ini. Empat gelas jus jambu siap dihidang. Kubawa ke teras depan dengan snack makaroni pedas dan rengginang. Ternyata ada Mbak Ambar dan Mbak Sri sudah ada di sana, ngobrol santai dengan ibu. Tumben sekali mereka datang, biasanya cuma koar-koar dari rumah Budhe Narni, tanpa pernah mau silaturakhim ke sini. Jangan sampai ada udang di balik batu nih."Eh Mbak Ambar sama Mbak Sri kebetulan aku bikin jus jambu. Silakan diminum, sekalian camilan seadanya," tawarku kemudian.Entah mengapa, Mbak Ambar yang biasanya terlalu nyablak dan nggak mau diam, kali ini cukup manis dan sopan. Duh, aku jadi semakin curiga kalau memang ada sesuatu di balik senyum menawannya."Wah, siang-siang bikin jus jambu. Cocok banget, Rum," ucapnya mengawali pembicaraan setelah aku ikut duduk di samping ibu."Iya, Mbak. Panas banget rasanya
Gala dan Gina sudah terlelap sedari tadi. Ibu pun sama. Mas Huda pamit ke bengkel mau modif vespanya lagi, katanya. Entah di bagian mana, aku pun tak tahu. Sementara aku masih gulang-guling di kamar menanti Mbak Sinta yang tak kunjung datangEntah ke mana dia. Katanya mau ke sini ngobrol sesuatu yang penting, tapi belum nongol juga. Sementara kedua mataku sudah cukup mengantuk bahkan cukup pusing saat kucoba terjaga.Kepala cenat-cenut misal nggak tidur siang, mungkin karena memang sudah terbiasa. Deru motor Mbak Sinta akhirnya terdengar juga. Dia menghentikan motornya di halaman. Jarum jam menunjuk hampir jam dua siang. Di saat mentari masih sangat terik.Gegas kubuatkan es sirup untuknya, supaya adem. Terdengar salam dari teras, aku pun menjawab salamnya. Tak selang lama suara langkah kaki sudah sampai di ruang keluarga, tempat biasa kami ngobrol bersama.Ternyata Mbak Sinta dan Mila yang datang ke sini. Kupikir Mbak Sinta sendirian. Kubawakan tiga gelas minuman dingin ke sana. Mere
"Mas Huda kenapa, Mbak?" tanyaku agak gemetar saat Mbak Sinta yang masih bicara dengan suaminya via telpon.Mbak Sinta menoleh ke arahku lalu mematikan ponselnya."Kenapa, Mbak?" tanyaku lagi dengan dada berdebar. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Mas Hudaku."Huda kecopetan, Rum," ucap Mbak Sinta singkat."Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Kecopetan di mana, Mbak? Dia pamit mau ke bengkel doang, modif vespany.""Di daerah Rawamangun. Bukannya itu daerah yang terkenal banyak premannya, ya, Mil?" Mbak Sinta bertanya pada Mila yang masih serius mendengarkan obrolan kami."Iya. Perkampungan agak kumuh gitu, Mbak. Banyak preman, pengemis, pemulung dan lainnya di daerah itu. Ngapain Mas Huda ke sana coba? Cari perkara aja," jawab Mila bingung."Aku juga nggak tahu, Mil. Jangan-jangan tiap bulan Mas Huda pamit ke bengkel itu cuma buat ke perkampungan itu? Ada apa sebenarnya di sana?"Aku pun bingung. Kenapa Mas Huda tak pernah cerita soal ini padaku. Jangan-jangan banyak hal yang memang
Mas Huda kupindahkan di klinik terdekat, sesuai rencana. Namun, hari ini dia sudah diizinkan pulang setelah dua malam menginap. Luka di pinggangnya tak terlalu dalam, tapi aku sendiri cukup takut karena lukanya masih basah. Sementara di lengan tak terlalu lebar, kemungkinan akan lebih cepat kering dan sembuh dibandingkan luka di pinggangnya.Sejak dari Klinik Medika sampai detik ini, Mas Huda belum menceritakan kisahnya. Apa dan bagaimana dia bisa sampai di tempat itu, bahkan cukup kenal dekat dengan warga di sana. Dia bilang kalau sudah sampai rumah saja ceritanya, aku pun mengiyakan saja. Tak ingin menambahi beban pikirannya.Ibu dan kedua anakku sudah membereskan barang-barang milik Mas Huda. Aku sendiri masih mendengarkan wejangan perawat untuk mengganti perban Mas Huda setiap hari dan mengoleskan antibiotik sebelumnya. Ada beberapa obat yang harus diminum Mas Huda untuk mengurangi nyerinya.Setelah semua sampai rumah, Mas Huda beristirahat di kamar, sementara anak-anak izin lagi
Hari ini ada acara nikahan anaknya Mbak Ambar. Sebenarnya aku malas ikut ke sana karena pasti ada sindir-sindiran atau ledekan lagi, cuma karena diundang mau nggak mau harus datang. Kewajiban sesama muslim juga kan untuk memenuhi undangan?Ibu sudah siap-siap, begitu rapi. Gina dan Gala kuminta di rumah saja, kalau mau jajan boleh juga asalkan tak perlu berlama-lama di sana. Takut ada hal-hal yang tak diinginkan nantinya. Lagipula hajatan begini, terlalu banyak orang. Aku yakin kedua anakku itu tak akan nyaman.Mas Huda pun sudah mulai aktivitas seperti biasanya. Dia kembali ke kegiatan-kegiatan sosialnya, tapi sekarang aku cukup lega karena Mas Huda ditemani seseorang sebagai body guardnya. Itu pun karena paksaanku. Awalnya dia menolak, tapi aku ambil jurus terakhir. Ancaman.Kalau Mas Huda tetap nggak mau pakai body guard, aku nggak akan izinkan dia pergi ke kampung itu lagi. Mas Huda selalu berdalih bisa bela diri, tapi nyatanya kemarin tergores juga. Aku nggak akan tega jika dia p
Aku dan Mas Huda terpaksa berpencar. Dia mencari Mbak Sinta di kampung sebelah, sementara aku dan Agus masih sibuk mencari di kampung sendiri.Berulang kali pindah gang supaya tak melewati rumah Mbak Ambar. Aku malas jika tetanggaku di sana makin kepo dan tanya macam-macam. Urusan akan semakin ribet dan nggak akan ada habisnya."Bi, ibu ke mana ya, kok belum pulang juga. Coba telpon bapak, Bi. Kali aja ibu nyusul bapak, kan?" Suara Agus yang agak serak menahan isak cukup terdengar di telingaku yang tertutup helm."Bapakmu sudah bibi telpon barusan, tapi nomernya nggak aktif, Gus. Mungkin lowbat," jawabku memberi pengertian. Entah lowbat atau memang sengaja nggak diaktifkan. Yang penting aku beralasan supaya Agus tak mikir aneh-aneh juga."Rum, mau ke mana?" tanya Mas Iqbal yang baru saja lewat di sampingku.Dia berhenti agak jauh lalu memundurkan motornya kembali. Kini aku dan dia sama-sama duduk di motor, menepi di bawah pohon beringin tak terlalu jauh dari rumah Mbak Ambar. Suara or
Kepulangan Mbak Sinta membuat semuanya jauh lebih tenang. Dia hanya butuh waktu untuk sendiri, bukan berniat b*nuh diri. Namun, berita tak sedap justru berhembus begitu saja. Menggelinding bak bola tertiup angin.Aku sudah berusaha menjelaskan, tapi banyak orang yang tak percaya. Apalagi mereka beralasan, aku dan Mila telat datang ke acara Mbak Ambar hanya karena menenangkan Mbak Sinta yang depresi.Berita nggak benar itu terdengar dari mulut ke mulut, entah siapa pencetusnya. Sebab itu pula ibu sempat marah padaku, karena tak diberi tahu sejak awal persoalan pelik Mbak Sinta. Sebelum aku dan Mila bicara soal rencana perceraian Mbak Sinta, ternyata ibu sudah lebih dulu tahu dari para tetangga.Pintar sekali mereka mencari berita. Benar-benar seperti wartawan profesional saja. Kabar apa langsung melesat ke seluruh penjuru kampung. Kadang aku heran dengan mereka, bisa-bisanya saingan dengan cctv."Rum, memangnya benar ya kalau Sinta berniat bundir? Suami balik sama mantan jangan ditangi
Mas Angga babak belur entah karena apa. Ibu cukup shock melihat anak lelakinya berdarah-darah begitu. Istighfar tak pernah lepas dari bibirnya. Badannya lemas seketika, beruntung aku dan Mbak Sinta ada di sampingnya. Gegas memapah ibu menuju kamar."Maaf, Bu. Angga dikeroyok dua orang laki-laki di pasar tadi. Motornya hampir saja dirampas pengkeroyok itu. Kalau nggak ada warga yang buru-buru datang, mungkin motor ini sudah hilang," ucap seorang bapak yang mengantar Mas Angga. Sementara bapak satunya memakai motor yang lain tanpa berboncengan."Astaghfirullah. Maksudnya Mas Angga korban perampokan atau penjambretan gitu, Pak?" tanyaku kemudian sembari membawa kotak obat dari kamar."Mungkin saja, Bu. Sebab mereka ingin merampas motor itu, tapi herannya kenapa siang bolong begini. Ibu bisa tanya ke Angga kenal atau tidak dengan pelakunya. Yang jelas tadi memang terjadi pengeroyokan. Itu saja yang bisa kami jelaskan," balas bapak itu lagi sembari menoleh ke arah Mas Angga yang masih kesa
Setiap orang memiliki takdir hidup masing-masing yang pasti berbeda antara satu dengan yang lainnya. Begitu pula hidupku dan hidup mereka. Bahkan sekalipun terlahir dari rahim yang sama, tak lantas memiliki jalan hidup yang sama. Sebab apa? Allah jauh lebih tahu apa yang terbaik untuk hambaNya, sekalipun kadang sang hamba tak paham jika takdirNya tak pernah salah jika kita menerimanya dengan lapang dada. Selama hidup, sudah terlalu banyak nikmat yang kudapatkan. Meski dulu sempat hidup di bawah garis kemiskinan, namun rasa syukur atas segala takdirNya tak pernah kulupakan. Aku selalu menerima segala alur hidup yang telah digoreskanNya, apapun itu, termasuk saat menjadi anak dari istri kedua papa. Meski awalnya sempat shock dan tak menyangka, namun pada akhirnya aku menerima dan menyadari jika memang inilah takdir yang terbaik untukku. Tak terus perlu mengeluh atau kecewa, sebab di setiap qadar yang DIA berikan selalu ada hikmah dan kenikmatan yang tentu akan kudapatkan. Jika tidak
Semua rombongan sudah siap. Mas Angga dengan keluarga Mbak Sinta dalam satu mobil yang sama, Mila sekeluarga dan keluarga kecilku bersama ibu. Tiga rombongan keluarga besar ini sudah lengkap dengan baju yang sama. Empat belas orang memakai baju seragaman yang kupesan tiga minggu yang lalu. Rona bahagia terpancar, celoteh riang anak-anak dan canda lelaki dewasa terdengar saat memanasi mobil sebelum berangkat ke tempat acara. Sebuah gedung yang biasa disewa untuk acara pernikahan. "Keluarga Bu Yuni bahagia banget ya?" Suara Mbak Ambar terdengar saat dia dan tetangga lain sedang belanja sayur di depan rumah Bude Narti. "Iya, semuanya mapan," sahut yang lain entah siapa. "Mereka mapan semua karena Ningrum dan Huda sabar dan ikhlas membantu perekonomian saudara-saudaranya. Kalian masih ingat kan bagaimana sikap ketiga saudaranya itu saat mereka baru tiba di kampung ini?" "Ingatlah. Mereka dihina, diremehkan bahkan difitnah piara tuyul segala, tapi tetap sabar mengahadapi semuanya. Aku
Waktu terus bergulir. Usia Gaffi menginjak tiga bulan. Anak lelakiku itu, semakin hari terlihat semakin menggemaskan. Kedua kakaknya pun begitu menyayanginya. Tiap pulang sekolah, kedua anak itu bergantian menjaga adik kecilnya.Aku berharap mereka selalu akur, saling sayang dan saling melindungi satu sama lain hingga dewasa dan menua nanti. Seperti harapan kebanyakan orang tua yang menginginkan anak-anaknya saling mengasihi satu sama lain, dalam suka maupun duka.Hari ini ibu dan Mbak Sinta masak-masak sebab Mayang akan datang bersama papa. Aku sangat bersyukur karena kesehatan papa mulai membaik meski masih dibantu kursi roda. Setidaknya, papa sudah melewati masa kritis dan komanya.Tiap kali Mayang video call, wajah papa tambah berbinar bahagia. Berulang kali mengucapkan maaf dengan mata berkaca-kaca. Sepertinya papa benar-benar merasa bersalah karena sudah menelantarkanku saat bayi hingga baru menemukanku sedewasa ini.|Rum, aku dan papa juga Andre hampir sampai. Mau titip sesuatu
Detik ini, rasanya hati berdebar tak karuan. Kucoba untuk bicara meski terasa begitu berat. Jujur dalam hati aku juga tak ingin melihat Om Burhan sakit. Ada rasa sayang yang terselip di sini. Di hatiku untuknya. Hanya saja, mungkin masih agak kaku sebab terlalu lama aku tak mengenalnya.Kuhirup napas dalam lalu menghembuskannya. Kembali menata hati agar lidah ini mampu mengucapkan kalimat yang baik-baik saja untuknya. Aku tak ingin membuatnya kecewa pun terluka dengan kalimatku yang mungkin tak kusengaja."Assalamu'alaikum, Pa. Gimana kabarnya? Ini Ningrum. Kami sekeluarga sehat. Ningrum harap papa juga lekas sehat supaya kita bisa bertemu kembali." Aku mulai bercerita meski kutahu mungkin Om Burhan tak akan membalasnya. Sesak. Kalimat yang keluar dari bibir begitu berat hingga aku harus menjedanya beberapa saat. Kuseka bulir bening yang kembali menetes ke pipi. Rasanya tak kuat, tapi aku harus melakukannya demi semua. Demi Om Burhan juga."Ningrum sudah melahirkan, Pa. Hari ini cucu
Hari ini acara aqiqah Gaffi. Anak ketigaku yang bernama lengkap Muhammad Gaffi Al Huda. Dua ekor kambing sudah disembelih dan dimasak oleh para tetangga.Seperti biasa, di kampungku memang jarang pesan catering. Kami biasanya bergantian membantu siapa saja yang hajatan, dari aqiqahan, khitan sampai nikahan.Gotong royong di sini masih cukup kental. Makin mempererat tali silaturahmi antar tetangga, tapi tak jarang menjadi tali perghibahan juga. Seperti pada umumnya.Setelah acara masak memasak selesai, biasanya nasi dan lauk-pauk disusun ke dalam keranjang nasi dan dibagikan ke para tetangga. Malamnya acara inti, makan bersama, ikut dengarkan kajian dan potong rambut serta memperkenalkan nama si bayi.Aku begitu bahagia bisa melahirkan Gaffi dengan sempurna meski harus dengan operasi secar. Semoga saja tak ada nyinyiran seperti yang sering kudengar dari komentar para ibu di sosial media. Komentar membanding-bandingkan seorang ibu yang melahirkan secar dengan ibu yang melahirkan normal.
"Mau apa kalian ke sini? Perang?" Mbak Sandra memandang ke arah kami dengan sinis. Dia beranjak dari .eja kerjanya lalu menghampiri kami yang sudah seperti rombongan pendemo saja.Mas Angga meletakkan beberapa foto itu di atas meja termasuk foto motor Mas Rudy yang lama. Perempuan yang usianya tak jauh dariku itu melirik foto-foto yang sengaja dijejer Mas Angga di sana.Kedua mata perempuan berpenampilan glamor itu pun sedikit kaget. Bola matanya bergerak ke kanan-kiri seolah kebingungan. Mungkin dia merasa aman dan tak menyangka jika aku dan Mbak Indah justru bekerja sama untuk menjebaknya.Beberapa karyawan yang ada di sini mendadak ke belakang, bahkan ada pelanggan yang pergi begitu saja saat rombongan kami datang."Gara-gara kalian calon pembeliku pada pergi. Sebenarnya apa mau kalian, ha?!" Mbak Sandra sedikit membentak."Pembelimu juga bakal kabur semua kalau mereka tahu kelakuan busukmu!" bentak Mas Angga balik."Ada urusan apa kalian ke sini. Cepat ngomong, jangan bertele-tele
Bakda isya'. Mas Huda mengundang Mas Rudy untuk bertemu di resto kami. Waroeng Ndeso namanya. Menu-menu yang disajikan adalah menu desa.Mas Huda sudah menghidangkan sop buntut, aneka gorengan, ayam panggang dan nila bakar di atas meja.Keluarga kecilku, ibu, Mas Angga dan Dika ditambah Mas Rudy menikmati hidangan ini di gazebo paling belakang. Semua menikmati hidangan dengan nikmat.Masakan dengan rasa yang pas di lidah, enak dan nagih. Pantas dua bulan ini banyak yang datang, orderan online pun cukup banyak. Entah darimana Mas Huda mendapatkan koki yang sepintar ini.Restoran ini pun sebuah kejutan dari Mas Huda untukku di usia tujuh bulanan lalu. Kini usia kandungan menginjak bulan ke sembilan. Perkiraan lahir tinggal menghitung hari lagi.Setelah semua selesai makan, ibu mengikuti anak-anak yang nonton tivi di dalam. Ada ruangan khusus untuk Mas Huda dengan sofa dan tivi di sana. Tak hanya itu saja, ada toilet dan kulkas juga di dalamnya. Cukup nyaman untuk sekadar melepas lelah.
Pagi ini Mas Huda mengantarku ke toko. Kebetulan dia tak ada acara, jadi memiliki waktu lebih untukku dan anak-anak. Biasanya dia terlalu sibuk ke sana-sini untuk usaha barunya.Mas Huda membuka resto dengan menu andalan sop buntut, rawon dan timlo. Ada juga ayam dan ikan goreng atau bakar, gorengan, kerupuk dan aneka sambal.Resto itu sudah berjalan dua bulanan, mungkin karena itu Mas Huda tak terlalu sibuk lagi sebab sudah berjalan dengan baik dan sesuai yang diharapkan.Mas Huda tiduran di lantai atas, sementara aku ikut cek beberapa pesanan online bersama Mbak Arum dan Mbak Nisa di lantai bawah."Mbak, hari Rabu lalu Bu Sandra ke sini loh," ucap Mbak Nisa disertai anggukan Mbak Arum. Aku sedikit menaikkan alis."Maksudnya Bu Sandra yang punya toko seberang, kan?" Aku memastikan."Iya, Mbak. Yang dulu ke sini narik-narik suaminya itu. Waktu itu dia ke sini sendirian," sambung Mbak Arum."Nanya soal apa dia?" Aku mulai penasaran dengan cerita Mbak Arum. Mau ngapain Mbak Sandra ke to
Mas Angga masih terlihat kusut dan diam beberapa menit sebelum menceritakan permasalahannya."Kenapa sih, Mas? Ada apa?" tanya Mas Huda lagi. Mas Angga menghela napas lalu menyandarkan punggungnya ke sofa."Sebenarnya ini masalah sudah cukup lama sih, Da. Awalnya dari ributnya rumah tanggaku dengan Agnes sampai aku bercerai dengannya. Aku memilih berpisah karena sudah angkat tangan dengan kelakuannya yang memusingkan kepala. Kupikir dengan bercerai, aku akan lebih bebas dan dia tak bisa merecoki hidupku lagi. Ternyata dugaanku salah besar. Dua kali dia membuat keributan di kantor hingga aku mendapatkan SP 3. Dia tak terima aku dekat dengan teman kantorku, padahal jelas dia yang selingkuh. Dia mungkin tetap ingin aku terus mengejarnya, sementara dia sesuka hatinya. Parahnya, kemarin dia membuat ulah lagi. Hanya karena dia melihatku makan siang dengan teman kantorku."Mas Angga menghela napasnya lalu mengusap wajah kasar. Keningnya semakin berkerut memikirkan masalah yang terus menimpa