( PoV Asmara )"Hai." Jangan tanya bagaimana terkejutnya aku saat ini. Aku yang berniat ingin bertemu dengan Albert di rumahnya sepulang sekolah ini dan membahas soal kelanjutan hubungan kami, malah melihat lelaki yang masih resmi menjadi kekasihku itu sedang tertawa bahagia dengan seorang wanita di kamarnya. Dia pasti Amel. Meskipun tadi aku hanya melihatnya sekilas di sekolah, aku sudah hapal wajahnya."Eh, Ra." Albert yang tadi berbaring di atas ranjang ketika aku datang, tampak gelagapan dan langsung berdiri. Dia berjalan gugup ke arahku. Ekspresinya yang tadi tampak bahagia, kini berubah menjadi tegang. Seperti seseorang yang sedang tertangkap basah mencuri singkong di kebun dan di jatuhi hukuman satu tahun penjara."Klo aku ganggu kalian, aku pergi aja." Aku membalikkan tubuhku berniat untuk pergi. Bukannya aku terima saja ketika pacarku berduaan dengan wanita lain, aku hanya tak ingin hatiku lebih sakit dari apa yang ku rasakan kini. Namun Albert dengan sigap memegang tanganku.
( PoV Asmara )"Pak Aksa?" Buru-buru ku seka air mataku yang masih deras mengalir di penjalanan pulangku setelah dari rumah Albert. Aku terkejut melihat Bos ku yang sedang asyik duduk di kursi depan rumahku sambil merokok. Apa yang beliau lakukan di sana? Mengapa tiba-tiba saja beliau datang ke rumahku? Apakah aku melakukan kesalahan hingga seorang produser harus berkunjung ke rumahku? Tapi jikalau aku telah berbuat salah dalam bekerja, tak akan mungkin seorang bos besar seperti beliau mau membereskannya sendiri. Paling-paling anak buahnya yang di suruh maju."Eh, Ra. Akhirnya kamu pulang juga. Kirain bakal betah banget di rumah Albert." Beliau membuang rokok yang masih menyala di asbak dan kemudian berdiri, menyambut kepulanganku dengan senyumannya. Aku semakin tak mengerti. "Iya Pak. Capek aja, pengen cepet-cepet istirahat. Bapak ada urusan apa ke sini?" Aku berjalan mendekat ke arahnya. Jalanku perlahan, sambil berpikir, apa yang harus aku lakukan dan apa yang harus ku katakan ber
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita