( PoV Andira )"Aku punya ini buat kamu lihat Dir." Aksara menemuiku di dalam kelasku. Dia membawa sebuah kamera mahal miliknya. Aku sebenarnya belum mau bertemu dengannya. Aku masih syock. Masih belum percaya kalau Aksara tahu tentang rahasia itu. Rahasia yang tak seharusnya siapapun tahu."Sa, kamu ngapain di sini?" Wika, teman satu Aksara yang merupakan anak borjuis dan cantik, mendekati Aksara dengan begitu manjanya. Berjalan berlenggak-lenggok memperlihatkan bodynya yang seksi. Entah sedang apa dia berada di kelas anak-anak beasiswa. Mungkin saja ingin melabrak seseorang. Yah, memang seperti itulah pekerjaannya. Menganiaya anak-anak miskin seperti kami."Eh, Wika. Lama nih nggak ketemu." Aksara seakan melupakanku. Dengan begitu luwesnya, dia merangkul pinggang Wika yang langsing. Wika memang begitu cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya mulus bersinar. Badannya langsing, dan rambutnya begitu indah. Berbeda denganku. Meskipun wajahku juga tak kalah cantik dengannya, namun aku t
( PoV Andira )"Aku dan Kakek aku lagi makan waktu itu di warung depan lorong rumah kamu. Dan hari itu hari ulang tahun aku. Kakek memberikanku kamera ini sebagai hadiahnya. Video itu, video pertama yang aku ambil. Aku sampai nggak bisa tidur setelah melihat kejadian itu secara langsung di depan mata aku, Dir. Apalagi saat itu aku lihat kamu yang menangisi tubuh ibu kamu yang berlumuran darah." jelas Aksara panjang lebar. Aku tak bisa berkata apapun. Aku menangis melihat video yang ada di dalam kamera milik Aksara. Kejadian itu muncul kembali di ingatanku. Di mana aku menangisi kepergian seseorang yang paling berharga di dalam hidupku. Menangisi satu-satunya orang yang menyayangiku dulu."Aku baru tahu kalau kamu adalah gadis kecil itu, di saat aku bertemu dengan Bapak kamu waktu aku mengantar kamu ke rumahmu kemaren. Aku nggak pernah bisa lupa wajah Bapak kamu. Lelaki yang menurut aku adalah lelaki jahat. Menjadi penyebab istrinya meninggal, dan meninggalkan istrinya yang sedang sekar
( PoV Andira )Aku bahagia... Layaknya taman bunga yang bermekaran... Indah dan berwarna... Mungkin ini yang di namakan cinta... Serasa rongga dadaku di penuhi dengan suka cita... Duhai sang pujangga... Aku tahu tak ada yang sempurna... Begitu pun cinta... Namun aku tetap akan menjaga... Apa yang sudah kita bina... Hingga semuanya terasa luar biasa... ~ Ku tutup buku harian berwarna merah marun punya Ibu yang di wariskan kepadaku. Buku usang yang telah lama ku simpan itu, kini ku rawat kembali. Siap menemaniku melewati hari bersama sang pujaan hati. Aksara Bagaskara. Hari ini aku dan lelaki itu resmi berpacaran. Setelah cukup lama akhirnya aku bisa luluh juga dengannya. Dia yang selalu membuatku merasa dicintai. Merasa di hargai. Merasa seperti seorang gadis remaja yang bahagia. Aku akui, aku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya.'Tok...Tok...Tok...' Seseorang mengagetkan ku dengan mengetuk jendela kamarku. Aku tak langsung membukanya. Aku takut kalau ada orang
( PoV Aksara ) Delapan belas tahun yang lalu. Malam ini, malam di mana aku dan Andira resmi membuktikan, bagaimana bahagianya kami. Bagaimana bahagianya aku memilikinya. Akhirnya aku mendapatkan gadis yang selama tiga tahun ini aku cintai. Aku mendapatkan gadis yang selama ini aku cari. Bahkan hari-hariku yang biasanya hitam putih, kini menjadi seperti pelangi.Aku malam ini dengannya. Mengenal lebih dekat satu sama lain. Mengetahui luar dalam seseorang yang kini tengah bersamaku. Menjajaki semua yang ada padanya. Aku sungguh menikmati malam ini berdua. Di antara rintikan hujan yang seakan menyenandungkan lagu cinta. Di antara dinginnya malam yang seakan menjadi saksi bisu dua insan yang sedang di mabuk asmara, yang sedang memadu kasih. Dan di antara hembusan angin yang semakin menjadikan malam yang indah ini menjadi semakin indah. Akhirnya aku mendapatkan dia seutuhnya. Mendapatkan seseorang yang begitu aku inginkan. Memilikinya hingga tak ada lagi yang mampu menggapainya. Karena se
( PoV Andira ) Delapan belas tahun yang lalu. "Maaf Mbak, Mas Aksara nya sudah nggak pernah ke sini lagi." Sudah hampir tiga bulan aku mendengar jawaban ini dari penjaga rumah Aksara, orang satu-satunya yang kini tinggal di rumah besar itu. Aku berjalan gontai meninggalkan rumah besar yang pernah beberapa kali ku sambangi. Bertemu kakek dan neneknya. Berbicara ngalor ngidul bersama dengan lelaki yang aku cintai. Aku menarik napas panjang. Mencoba memenuhi oksigen di dalam tubuhku yang seakan juga ingin menghilang bersama dengan kepergian Aksara. Dengan deraian air mata, entah kemana aku akan pergi. Berjalan perlahan lalu berhenti di tepian jalan. Beberapa kali ku putarkan pandanganku ke arah jalan yang tampak tak bertepi. Mencoba mempertahankan harapanku akan kedatangannya yang entah muncul dari arah mana saja dan akhirnya menepati janjinya untuk menikahiku. Ku usap air mata yang beberapa bulan terakhir ini bahkan hampir tak mau berhenti. Menangisi diriku. Juga sebuah nyawa yang
( PoV Asmara ) Deg! Aku melempar buku harian itu ke atas kasur tempat tidurku. Napasku seakan berhenti membaca apa yang sudah Bu Andira tinggalkan kepadaku. Buku diary. Entah sengaja atau tidak, buku diary itu jatuh beberapa saat sebelum dia pergi dari rumahku tadi malam. Aku menangis. Menangisi kisah sedih yang di alami Bu Andira. Menangisi kisah cinta yang benar-benar menyakitkan dari Bu Andira dan Aksara. Menangisi kenyataan bahwa Bu Andira jauh lebih kuat di banding dengan aku. Entah aku harus bersedih. Ataukah aku harus ikut berbahagia untuknya karena sudah menemukan lelaki yang di cintainya. Menyatukan kembali cinta mereka, dan buah hati mereka. Seorang anak. Anak yang mungkin kini sudah besar. Sebesar aku. Seumuran denganku. Ku ambil buku harian itu kembali. Ku peluk erat. Entah mengapa aku tak jadi membencinya. Entah kenapa tiba-tiba seakan aku rela kalau Aksara bahagia bersamanya. Entah mengapa aku mau menerima ini semua karenanya. Mungkin aku merasa iba padanya. Mungkin j
( PoV Asmara )"Astaga. Aku beneran lupa Al. Maaf ya. Aku juga nggak punya apa-apa buat aku kasih ke kamu." Aku merasa sangat bersalah. Di hari ulang tahun Albert yang ke delapan belas ini, dia bahkan yang mempersiapkan sebuah kejutan untukku. Menginap di puncak. Di sekitaran kebun teh. Villa milik keluarganya. Tepat di saat matahari terbenam, kami tiba. "Kamu ada di sini aja aku udah bahagia Ra. Santai." Dia tersenyum manis. Dia memang selalu seperti itu. Aku pun heran. Jika ada alat yang bisa di gunakan untuk mendeteksi seberapa besar cinta seseorang, maka aku sudah menggunakannya untuk Albert. Aku ingin melihat, sebesar apa cinta itu di hatinya. Cintanya yang membuatku merinding saat aku merasakannya. "Udah pamit sama orang rumah kan?" Aku memang belum berbicara apapun dengan Tante Astia soal kepergianku bersama dengan Albert hari ini. Karena aku pikir Albert akan mengajakku pergi ke tempat yang dekat. Namun ternyata..."Udah kok. Tenang aja. Emmm. Kamu bersih-bersih dulu gih. Mas
( PoV Asmara )"Al. Al. Please lihat aku Al." Aku mencoba memeluk Albert yang berkeringat begitu banyak dan dingin. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya kali ini. Dia memukul-mukulkan tangannya ke kepalanya sambil menangis. Terus saja seperti itu."Aku butuh obat itu. Aku butuh obat itu." Dia bahkan tak berhenti mengucapkan kalimat seperti itu dari tadi. Dan aku tak tahu obat apa yang dia maksud."Al! Kamu nggak butuh obat apapun Al. Aku di sini. Al. Please jangan kayak gini. Kamu pengen kita seneng-seneng kan di hari ulang tahun kamu ini? Kenapa malah kayak gini sih?" Aku menangis. Aku sedih. Aku takut. Aku tak pernah sekalipun melihat Albert seperti ini. Dia kenapa? Apa yang terjadi?"Aku bodoh. Aku bodoh banget. Aku bodoh." Dia terus saja mengoceh. Tubuhnya semakin dingin. Keringatnya juga semakin deras mengalir. Dan aku semakin tak tahu harus bagaimana."Al!" Aku memeluknya semakin erat. Aku benar-benar ketakutan."Maaf Ra. Asmara. Maafin aku.""Buat apa sih Al? Please jangan ka
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita