( PoV Andira ) Dua puluh tahun yang lalu. "Aduh, telat lagi nih kalau kayak gini caranya." Ku kayuh sepeda biru bututku, menembus pagi yang penuh dengan gerimis. Waktu sudah menunjukkan pukul enam empat puluh menit. Sedangkan jarak sekolah SMA ku dan rumahku sekitar empat kilometer. Setiap hari, aku harus menempuh perjalanan selama tiga puluh menit untuk sampai ke sekolah. Itu pun dengan tenaga yang ekstra karena rumahku berada di desa dan harus melewati jalanan sawah yang lumayan melelahkan. "Kenapa sih, Ibu harus meninggal dahulu sebelum aku dewasa? Aku masih enam belas tahun. Masih kelas satu SMA. Kenapa hidupku nggak kayak temen-temen yang lain. Yang mau sekolah tinggal sekolah. Sarapan sudah ada di meja. Bekal pun sudah siap di kotak bekal. Mau belajar juga tinggal belajar. Baju seragam ada yang nyuciin. Ada yang bangunin setiap pagi. Nggak kayak aku gini." Aku menangis di sepanjang jalan sembari terus mengayuh sepedahku yang terdengar juga sedang menggerutu karena usianya yang
( PoV Andira ) Masih dua puluh tahun yang lalu."Wah, gila! Kalau kayak gini, kita nggak bakalan telat nih." Aku berteriak di balik punggung anak lelaki yang sedang memboncengku dengan kecepatan roket itu. Kakinya yang kuat, mengayuh sepedah dengan begitu lincah. Aku bahkan beberapa kali hampir terjatuh karena peganganku yang hampir terlepas di saat dia tak sengaja menabrak batu kecil atau melewati jalanan yang berlubang. Hujan masih mengguyur kami. Dan bisa di bayangkan bagaimana penampakan kami saat ini. Benar-benar basah. "Pegangan yang kenceng ya! Pegangannya di pinggang. Jangan di besinya. Licin, kena hujan." Dia berteriak. Suaranya yang gagah masih mampu aku dengar di antara derasnya hujan. Entah kenapa aku tersipu malu saat lelaki itu memegang tanganku yang sedang menggenggam besi pegangan, untuk berpindah memegang tubuh tegapnya. Dan aku menurut saja. Bukan apa-apa. Daripada aku terjatuh dan bajuku semakin kotor. Lebih baik aku mendengarkan apa yang dia katakan. "Rumah kamu
( PoV Andira )"Eh, mau ke mana? Pulang yuk!" Aku menarik baju sekolah Aksara, lelaki tampan yang sedang mengayuh sepedah dengan begitu santai ke arah taman kota. "Ngapain buru-buru sih. Ke taman kota sebentar yah, nemenin aku beli cilok." Nada bicaranya seolah tak bisa menangkap kecemasanku. Aku bahkan tidak bisa mengerjakan tugas di luar sekolah karena harus buru-buru pulang, apalagi jika harus jajan cilok dulu di taman kota. Bisa habis aku sama Bapak."Takut di marahin Bapak. Bapakku galak." Aku semakin takut membayangkan bagaimana Bapakku di saat marah. Betapa nikmatnya pukulannya di atas tubuh mungilku ini. "Nanti biar aku yang ngomong sama Bapak kamu." Sumpah! Tidak ada khawatirnya sama sekali denganku, padahal aku sudah bilang dengan jujur kalau Bapakku galak. "Aku nggak lagi bercanda, Sa. Bapak aku galak. Aku nggak berani ngelawan dia." Aku merengek. Seperti seorang anak kecil yang menginginkan balon barbie di abang penjual mainan. "Ya, kan memang kita nggak di bolehin me
( PoV Andira )"Kemana saja kamu?" Bapak langsung saja menjambak rambutku yang basah kuyup karena kehujanan waktu pulang sekolah tadi. Aku ketakutan. Aku hanya menunduk. Merasakan kulit kepalaku yang seakan tercabik-cabik karena ulah Bapak. "Pak, jangan kasar-kasar ya Pak sama Dira. Kasihan Pak. Dia kan juga anak Bapak." Aksara mencoba membuat Bapak tenang. Ya. Lelaki keras kepala itu tak bisa aku larang. Dia terus saja mengikutiku hingga aku sampai di rumah. Yah, meskipun dia mengendarai sepeda motor miliknya setelah kami baru mengambilnya dari bengkel sepulang sekolah tadi."Siapa kamu ngatur-ngatur aku? Mau aku kasarin kek. Mau aku hajar kek. Mau aku gantung. Bahkan seandainya mau aku kubur dia hidup-hidup pun, bukan urusan kamu!" Bapak menatap Aksara dengan begitu tajam. Beliau marah karena aku pulang terlambat. Ya. Mungkin dengan ini, Aksara menjadi bisa mengerti mengapa aku harus buru-buru pulang selepas dari sekolah. "Saya nggak ngatur Bapak. Tapi Bapak nggak bisa berbuat kaya
( PoV Andira )"Aku punya ini buat kamu lihat Dir." Aksara menemuiku di dalam kelasku. Dia membawa sebuah kamera mahal miliknya. Aku sebenarnya belum mau bertemu dengannya. Aku masih syock. Masih belum percaya kalau Aksara tahu tentang rahasia itu. Rahasia yang tak seharusnya siapapun tahu."Sa, kamu ngapain di sini?" Wika, teman satu Aksara yang merupakan anak borjuis dan cantik, mendekati Aksara dengan begitu manjanya. Berjalan berlenggak-lenggok memperlihatkan bodynya yang seksi. Entah sedang apa dia berada di kelas anak-anak beasiswa. Mungkin saja ingin melabrak seseorang. Yah, memang seperti itulah pekerjaannya. Menganiaya anak-anak miskin seperti kami."Eh, Wika. Lama nih nggak ketemu." Aksara seakan melupakanku. Dengan begitu luwesnya, dia merangkul pinggang Wika yang langsing. Wika memang begitu cantik. Tubuhnya tinggi semampai. Kulitnya mulus bersinar. Badannya langsing, dan rambutnya begitu indah. Berbeda denganku. Meskipun wajahku juga tak kalah cantik dengannya, namun aku t
( PoV Andira )"Aku dan Kakek aku lagi makan waktu itu di warung depan lorong rumah kamu. Dan hari itu hari ulang tahun aku. Kakek memberikanku kamera ini sebagai hadiahnya. Video itu, video pertama yang aku ambil. Aku sampai nggak bisa tidur setelah melihat kejadian itu secara langsung di depan mata aku, Dir. Apalagi saat itu aku lihat kamu yang menangisi tubuh ibu kamu yang berlumuran darah." jelas Aksara panjang lebar. Aku tak bisa berkata apapun. Aku menangis melihat video yang ada di dalam kamera milik Aksara. Kejadian itu muncul kembali di ingatanku. Di mana aku menangisi kepergian seseorang yang paling berharga di dalam hidupku. Menangisi satu-satunya orang yang menyayangiku dulu."Aku baru tahu kalau kamu adalah gadis kecil itu, di saat aku bertemu dengan Bapak kamu waktu aku mengantar kamu ke rumahmu kemaren. Aku nggak pernah bisa lupa wajah Bapak kamu. Lelaki yang menurut aku adalah lelaki jahat. Menjadi penyebab istrinya meninggal, dan meninggalkan istrinya yang sedang sekar
( PoV Andira )Aku bahagia... Layaknya taman bunga yang bermekaran... Indah dan berwarna... Mungkin ini yang di namakan cinta... Serasa rongga dadaku di penuhi dengan suka cita... Duhai sang pujangga... Aku tahu tak ada yang sempurna... Begitu pun cinta... Namun aku tetap akan menjaga... Apa yang sudah kita bina... Hingga semuanya terasa luar biasa... ~ Ku tutup buku harian berwarna merah marun punya Ibu yang di wariskan kepadaku. Buku usang yang telah lama ku simpan itu, kini ku rawat kembali. Siap menemaniku melewati hari bersama sang pujaan hati. Aksara Bagaskara. Hari ini aku dan lelaki itu resmi berpacaran. Setelah cukup lama akhirnya aku bisa luluh juga dengannya. Dia yang selalu membuatku merasa dicintai. Merasa di hargai. Merasa seperti seorang gadis remaja yang bahagia. Aku akui, aku jatuh cinta. Jatuh cinta untuk pertama kalinya.'Tok...Tok...Tok...' Seseorang mengagetkan ku dengan mengetuk jendela kamarku. Aku tak langsung membukanya. Aku takut kalau ada orang
( PoV Aksara ) Delapan belas tahun yang lalu. Malam ini, malam di mana aku dan Andira resmi membuktikan, bagaimana bahagianya kami. Bagaimana bahagianya aku memilikinya. Akhirnya aku mendapatkan gadis yang selama tiga tahun ini aku cintai. Aku mendapatkan gadis yang selama ini aku cari. Bahkan hari-hariku yang biasanya hitam putih, kini menjadi seperti pelangi.Aku malam ini dengannya. Mengenal lebih dekat satu sama lain. Mengetahui luar dalam seseorang yang kini tengah bersamaku. Menjajaki semua yang ada padanya. Aku sungguh menikmati malam ini berdua. Di antara rintikan hujan yang seakan menyenandungkan lagu cinta. Di antara dinginnya malam yang seakan menjadi saksi bisu dua insan yang sedang di mabuk asmara, yang sedang memadu kasih. Dan di antara hembusan angin yang semakin menjadikan malam yang indah ini menjadi semakin indah. Akhirnya aku mendapatkan dia seutuhnya. Mendapatkan seseorang yang begitu aku inginkan. Memilikinya hingga tak ada lagi yang mampu menggapainya. Karena se
( PoV Asmara )"Waktu itu aku nyari-nyari kamu Ra. Aku telusuri seluruh jalanan kayak orang gila biar bisa nemuin kamu." Albert menatapku. Tatapannya sayu. Dia sepertinya masih memendam perasaan kecewa kepadaku, dengan kepergianku waktu itu."Maafin aku, aku udah banyak salah sama kamu Al." Aku menunduk. Aku tak berani menatap matanya. Semakin aku menatapnya, semakin aku merasa tak pantas untuk mendapatkan maaf darinya."Aku nggak apa-apa Ra. Mungkin kamu takut sama aku malam itu. Mungkin kamu nggak mau deket lagi sama aku yang saat itu sedang kumat. Jadi kamu memutuskan untuk pergi. Dan aku ngerti." Albert semakin erat menggenggam tanganku. Sudah ku duga, dia tak akan marah kepadaku, sebesar apapun kesalahanku. Dia akan selalu memaafkanku meskipun aku telah membuatnya terluka. Sikapnya itulah yang membuatku semakin menyesal karena tak bisa mencintainya."Kamu udah banyak merawat aku Al, jadi aku nggak akan mungkin pergi hanya karena penyakit kamu itu." Ya. Malam itu aku mengetahui sa
( PoV Asmara )Kulihat Albert yang tampak kelelahan, tertidur di tepi tempat tidurku. Wajahnya yang tampan terlihat sayu karena terlalu banyak terjaga untuk menjagaku. Aku merasa begitu bersalah karenanya. Bagaimana ada seorang lelaki yang sebaik dirinya. Mencintai seorang wanita yang tak mencintainya dengan begitu besar. Wanita penyakitan seperti diriku.Ku belai lembut wajahnya. Ku telusuri setiap inci dari lekukan di wajah tampan itu untuk mencari kekurangannya. Kekurangan yang membuatku tak mencintainya. Namun semakin aku mencarinya, aku semakin tak mendapatkannya. Bahkan semakin aku melihatnya, wajahnya terlihat semakin tampan. Lantas, apa yang dalah denganku? Mengapa aku dengan sombongnya mengacuhkan seseorang yang tanpa cela ini? Mengapa aku tak bisa sedikitpun memberikan hatiku untuk lelaki yang sudah memberikan segalanya untukku ini? Mengapa aku tak bisa sedikit saja melihat cinta tulus dari lelaki yang sudah banyak berkorban untukku ini?Ah, rasanya aku benar-benar sudah gil
( PoV Albert )"Kamu nggak ngejar Amel, Al?" Aku menatap Asmara tak berkedip untuk memastikan apakah dia benar Asmara atau bukan. Ku tatap wajahnya yang sayu, wajah yang selama ini selalu ku lihat di wajah Asmara karena memang kondisinya yang lemah sedari kecil, yang tak ku temukan dari wajah Asmara yang ku temui saat dia hilang ingatan tempo lalu."Nggak. Ngapain?" Aku tersenyum menatapnya. Melihat wajah ayunya, membuat jantungku terasa tak normal. Berdetak begitu cepat. Aku bahkan hampir lupa dengan Amel yang baru saja mengamuk karena cemburu melihat Asmara sedang berada di rumahku."Ya, kasihan aja sih. Aku nggak enak juga. Kalian bertengkar kan gara-gara aku tadi kalau aku nggak salah denger." Asmara menunduk. Menunjukkan kalau dia memang berada dalam penyesalan saat ini. Membuatku tak rela jika wajah wanita yang ku cintai itu menjadi murung karena sikap Amel yang kekanak-kanakan."Dih, apaan sih. Nggak, bukan gara-gara kamu. Amelnya aja yang kayak anak kecil. Cemburu nggak jelas.
( PoV Albert )"Kamu nggak usah berisik bisa nggak sih Mel? Mara lagi sakit!" Aku kesal dengan Amel yang sedari tadi memintaku untuk mengantar Asmara pulang. Padahal dia melihat sendiri bagaimana kondisi Asmara saat ini. Asmara begitu lemah. Aku khawatir jika terjadi apa-apa dengannya lagi. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan jika dia kembali tak mengingat apapun karena aku. Aku yang tiba-tiba saja membicarakan Amora di hadapannya."Kamu nggak ngerti ya Al? Itu tuh cuma caranya aja biar kamu mau balikan lagi sama dia. Biar kamu ninggalin aku. Ngerti nggak sih? Masak gitu aja nggak paham." Amel semakin tak terkendali. Dia bahkan berbicara dengan nada tinggi. Membuatku hampir saja frustasi di buatnya. Bagaimana tidak, ada Papa dan Mama di rumah. Dan Asmara, Asmara sedang beristirahat di dalam kamarnya yang memang bersebelahan dengan kamarku yang saat ini menjadi tempat perbincangan kami berdua. Atau lebih tepatnya, tempat pertengkaranku dan Amel."Mau kamu apa sih Mel? Kamu lupa kala
( PoV Asmara )"Makasih ya Al, udah nolongin aku tadi di jalan." Aku menyenderkan tubuhku yang masih terasa begitu lemah di senderan tempat tidurku. Ah, tidak. Tepatnya kamar tamu di rumah Albert, karena kamar itu kini bukan milikku lagi. Meskipun mungkin kamar itu masih sama seperti dulu dan tak ada sedikitpun yang berubah, aku tak berhak mengakuinya masih menjadi milikku. Karena aku sudah meninggalkannya."Sama-sama." Albert menunduk. Dia duduk di tepi tempat tidurku, namun membelakangiku. Dia terlihat tak senang melihatku. Entah apa yang membuatnya bersikap seperti ini kepadaku. Bukankah dia biasanya selalu ingin bertemu denganku? Bukankah dia bahkan tak akan melewatkan sedikit saja waktunya bersamaku?"Bisa minta tolong sekali lagi?" Aku menatapnya dalam. Mencoba mengartikan ekspresinya saat ini. Mungkinkah dia masih marah kepadaku setelah kejadian terakhir di villa tempo lalu? Ketika aku menolak pernyataan cintanya untuk yang kesekian kalinya. Mungkin saja iya. Aku memang keterla
( PoV Aksara )"Bener-bener gila si Dira. Dia tahu kan bagaimana kondisiku di dalam keluarga. Iya, oke kalau aku memang pewaris dari kekayaan orangtuaku yang tak akan habis di makan sampai tujuh puluh tujuh turunan. Tapi kan dia tahu kalau bukan aku satu-satunya pewaris orangtuaku. Bisa-bisanya dia minta sesuatu yang tak mungkin bisa aku kasih ke dia. Pakai acara ngancam segala lagi." Aku mengusap keningku dengan keras. Kepalaku serasa ingin pecah. Ingin sekali aku mengusir wanita gila itu saat ini juga. Selain aku sudah muak dengan tingkahnya, aku juga sudah tak ingin lagi melihat wanita yang sekarang sudah berubah menjadi macan loreng itu."Ah, mana panas banget lagi hari ini. Jalanan macet dari tadi nggak jalan-jalan. Kenapa sih ini? Perasaan kalau jam segini nggak pernah macet deh. Kan bukan jam berangkat dan pulang kerja. Lancar-lancar aja biasanya. Ah! Sial!" Aku memukul setir mobilku dengan keras. Udara yang begitu menyengat siang hari ini membuatku tak bisa menahan emosiku. AC
( PoV Andira )"Kamu udah nggak ada waktu buat kita?" Aku melihat lelaki yang kini menjadi suamiku itu berdandan dengan begitu rapi. Entah kemana dia akan pergi. Kalau hanya sekedar ke kantor, dia tak akan sewangi ini. Aku jdi curiga, mungkinkah di luar sana ada wanita muda yang menjadi incarannya lagi kali ini?"Sama Amanda yang masih mulus saja aku sudah ogah. Apalagi sama kamu yang sekarang sudah kayak macan loreng." Deg! Apa? Apa yang dia katakan? Sadarkah dia mengatakan sesuatu hal yang begitu membuatku terluka seperti itu? Apakah dia memikirkan bagaimana perasaanku mendengar kalimat ejekannya itu kepadaku? Sungguh aku tak menyangka jika lelaki yang dulu begitu lugu, kini berubah menjadi begitu menjijikkan.Iya, aku akui aku sudah begitu berubah. Entah penyakit apa yang saat ini sedang aku derita. Seluruh tubuhku muncul bercak putih yang semakin hari semakin banyak. Aku sudah berusaha berobat kemanapun dan dengan cara apapun yang aku bisa. Namun nyatanya, bercak ini tak mau mengh
( PoV Asmara )"Aku tahu kamu udah nyaman sama cewek lain Al. Tapi jahat kalau kamu harus nuduh aku seperti itu. Nggak apa-apa kalau kamu mau pergi. Aku akan coba ikhlasin. Tapi aku nggak terima kalau seakan-akan di berakhirnya hubungan kita ini, aku yang kamu tuduh sudah menipu kamu, hingga kamu berpikir aku memang pantas menerima penghianatan kamu dengan Amel. Bahkan aku tak marah setelah aku tahu jika kamu membohongiku soal hubungan kita yang sebenarnya kita tak pernah pacaran, di saat aku hilang ingatan dulu. Dan kamu menyembunyikan hal yang paling penting di hidupku. Tentang aku yang menjadi saudara angkat kamu." Albert terkejut. Dia menatapku satu detik, kemudian kembali berpaling dariku. Dia masih diam saja. Pandangannya masih kosong. Dia bahkan tak menatapku sama sekali setelah satu detiknya tadi. Sesekali dia menarik napas panjang di sela-sela air mata yang masih mengalir sedari tadi. Aku tak menyangka, Albert setulus itu mencintaiku. Dia menangis untukku.Ah, tidak. Aku bahk
( PoV Asmara )"Aku sudah bilang, tak ada yang perlu kita bicarakan lagi Al." Aku menatap pemandangan malam di sekitarku yang begitu indah. Lampu-lampu perkotaan di bawah sana, dan bintang-bintang yang gemerlap di sekitar rembulan di atas langit cerah. Ya! Akhirnya aku pergi juga dengan Albert. Aku tak enak saja karena Tante Astia turut serta bersamanya menghampiriku ke rumah. Beliau juga dengan sangat antusias mengajak kami berkemah di atas gedung rumah sakit milik keluarga Albert."Tapi kita harus bicara Ra." Albert berdiri tepat di sebelahku. Pandangannya jauh ke depan. Mungkin sama denganku, menatap lampu perkotaan yang gemerlap dengan indah."Apalagi? Kamu mau kita udahan kan? Bukannya tadi aku udah bilang mau udahan sama kamu? Itu kan yang kamu mau biar kamu bisa lanjut pacaran sama Amel? Terus mau apa lagi?" Aku menatap Albert dengan emosi. Lelaki yang beberapa jam lalu masih menjadi kekasihku yang sangat aku cintai, kini terlihat begitu menjengkelkan bagiku."Ya. Aku mau kita