Suasana bandara di kota Roma, Italy itu begitu ramai. Hiruk pikuk orang-orang yang berlalu lalang membuat Alexander harus sedikit berjinjit mencari sosok yang ia tunggu sejak satu jam lalu. Sejak semalam ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana ia akan bertemu Lily setelah dua minggu tak bersua. Alex tak sendiri, Uncle el ikut beserta para pengawal yang menjaga tersebar di sekitar ruang penjemputan itu.
Pemuda itu membawa satu buket bunga mawar sebagai hadiah selamat datang untuk Lily. Ingatlah, pria Italy terkenal romantis dan bisa membuat luluh para kaum hawa dengan sejuta pesonanya, bukan? Alexander pun sama. Fausto tak ikut menjemput, ia di rumah, mempersiapkan kamar untuk Lily, makanan rumahan ala keluarga Italy dan juga tentang Belinda. Iya, wanita itu juga menjadi sosok yang dirindukan Fausto.
Pintu kaca otomatis itu terbuka bergeser, satu persatu penumpang pesawat dari Zurich berjalan keluar dengan mendorong tas koper bahkan ada yang menggunakan troli untuk meng
Alex tak lepas menggandeng jemari tangan Lily setibanya mereka di lokasi kedai yang banyak menjual Gelato, makanan ringan hingga restoran mahal di kawasan elit kota Roma. Lily tak lepas tertawa saat Alex melempar candaan atau sekedar mengomentari apa yang ada disekitar mereka. “Gelato saja, Lex, sore ini cerah, tak hujan seperti sebelumnya,” ucap Lily. “Tapi cuaca dingin, Ly, sekarang bulan November,” sanggah Alex. “Aku mau Gelato, Sayangku. Temani aku jika kau tidak mau.” Lily melirik Alex lalu mendorong pintu masuk kedai. Alex hanya mendengkus, ia mengikuti kekasihnya masuk ke kedai itu. Lily memesan Gelato rasa cheese cake dan pistachio. Alex mengeluarkan uang tunai, untuk membayar sedangkan Lily menerima cup besar berisi dua gelato pesanannya dengan sendok di atasnya. “Kita duduk di luar,” ajak Lily. Alex menuruti. Lily duduk, ia tersenyum melihat gelato di hadapannya. Alex beranjak, ia ingin memakan Tramezzino, roti berbentuk segitiga, salah satu
Edmon bersandar pada body mobil patroli polisi yang ia kendarai, kini ia memarkirkannya di depan gedung apartemen mewah. Ia menunggu seseorang yang pada jam tersebut, biasa pergi meninggalkan gedung apartemen itu. Dre. Edmon menunggu pemuda itu yang semenjak libur sekolah, kegiatan mendadak mencurigakan untuk Edmon. Sudah tiga hari ia mengikuti dan mengintak secara diam-diam.lima belas meit berlalu, Edmon berjalan menghampiri Dre yang tak sadar akan kehadirannya. Pemuda itu berpakaian serba hitam juga menutup kepalanya dengan topi. Tak peduli jika Dre berontak, Edmon menodongkan pistol ke pinggang Dre yang terkejut.“Jalan, wajahmu jangan menunjukan hal mencurigakan atau kulepaskan peluru supaya bersarang ditubuhmu.” Bisik Edmon tegas.“Tapi anda polisi. Apa anda tidak takut, huh? Seorang opsir polisi melukai warga sipil.” Tantang Dre.“Untuk apa aku takut. Ayahmu yang seharusnya takut karena pembunuhan yang ia lakukan di de
Keduanya saling menatap, duduk berhadapan di meja makan menikmati sarapan mereka yang sudah disediakan pelayan. Namun siapa yang sangka, jika di bawah meja makan, kedua kaki pasangan kekasih itu saling menggoda, hal itu membuat Lily tak henti tertawa, pun Alex yang merasa tingkah laku mereka menggelikan.“Mau ke mana hari ini?” tanya Alex sambil mengunyah makanannya. Lily mengedikkan bahu, ia tak tau mau ke mana, di rumah pun tak masalah, ia ingin menghabiskan waktu dengan santai bersama Alex.“Kalau begitu, aku akan latihan lagi,” tukas Alex yang kemudian meminta pelayan menghubungi pelatihnya. Keduanya selesai sarapan, kini mereka duduk di teras halaman belakang, Lily membaca buku dengan posisi setengah tiduran, ia baru membeli buku itu yang belum sempat ia baca. Sofa berbahan rotan dengan alas busa empuk dan nyaman, membuat Alex yang ada di dekat Lily, justru kini merebahkan tubuhnya memeluk perut Lily.Gadis itu menutup bukunya, ia me
Menempuh perjalanan darat dari Roma menuju ke Vezza d’alba daerah provinsi Cuneo, Italy. Membuat Alex dan Lily terlelap dengan Alex yang merangkul bahu Lily, gadis itu tidur bersandar di dada bidang kekasihnya. Hari juga sudha berubah menjadi malam, Alex tak diberitau akan pergi ke mana. Mereka menggunakan mobil seperti van tapi ini mewah, dengan kursi nyaman layaknya pesawat kelas bisnis di dalamnya. El menyusul setelah merapikan urusan bisnisnya. Pria itu rekan lama Pras, maka wajar jika ia selalu di ajak jika Pras berada di Italy.“Lihat putramu, Pras, aku tak menyangka Alex kita sudah sedewasa ini,” tatapan Laurent begitu memuja putranya.“Ya, selain tampan, kekar dan jago bela diri, ia juga jago membuat birahi Lily naik sepertinya,” ucapan Pras membuat ia mendapat pukulan pelan di tangannya yang direspon kekehan.“Hei, Fausto, kenapa kau diam saja?” ledek Pras.“Diam Pras, apa kau tau rasanya ingin mene
Di Zurich, tepatnya tempat tinggal Kent yang terletak di kawasan elite, pria itu duduk dengan sebelah kaki bertumpang di kaki satunya, menatap Dre yang berdiri menatap Kent tanpa bisa tergambarkan arti tatapan itu. Bukan kemarahan, atau kecewa, justru tampang kosong. Kent menyecap wiski mahal digelas kristas yang ia pegang. Terkekeh sinis menatap Dre. “Kau pikir kau anakku? Aku memang membiarkanmu memanggilku Dad, dan hanya sebatas itu. Aku juga tidak sering berada di dekatmu bukan? Anak… pungut?” ucapan Kent membuat Dre seperti tertusuk hatinya. Ingatannya benar-benar tak bisa kembali saat ia dulu di stasiun, ia hanya ingat dirinya diurus pelayan dan hanya sesekali memang berkomunikasi dengan Kent secara langsung, semua fasilitas memang diberikan pria itu, tapi tak menyangka jika semuanya akan berakhir untuk membayarnya. Bukan dengan uang, tapi pengabdian demi tujuannya. “Aku terkejut kau mengetahui ini sekarang, jauh lebih cepat dari rencanaku. Kau sudah 17 tahun s
Liburan usai, Lily terpaksa harus berpisah dengan semua orang di negara Italy itu. Alex menatap Lily yang sedang merapikan pakaian di koper miliknya. Pemuda itu menatapnya dengan perasaan khawatir. Mengingat Lily sudah tau Dre siapa.“Jangan melihatku begitu, Lex? Aku akan terus menghubungimu,” ucap Lily seraya menatap Alex yang sendu. Gadis itu menutup koper, kemudian beranjak ke atas ranjang menghampiri Alex yang sudah merentangkan tangannya.“Aku akan sangat merindukanmu, Lex…” peluk Lily erat sembari merebahkan kepalanya ke dada bidang Alex. Alex mencium pucuk kepala Lily, memberikan ciuman yang lama sembari memeluk erat.“Aku juga, Sayang,” usapan Alex di punggung Lily membuat gadis itu terpejam. “Ingat, sebisa mungkin kau hindari Dre, jangan terlihat mencurigakan. Pengawal akan mengawasimu dari jauh, Ly, kau paham itu, kan?” Alex menunduk menatap Lily yang mengangguk lalu menatap mata kek
Gerold dan Kent berdiri dengan mantel bulu yang tebal di tengah hutan salju pegunungan Alpen yang tertutup dan tak akan ada orang yang menjamah daerah tersebut. Keduanya saling menatap dan tertawa sinis saat melihat kedatangan 4 orang yang menaiki motor salju menuju ke arah mereka.Pras datang, ia tak bersama Fausto atau Bruno, namun bersama El yang sehari sebelumnya sudah menemukan keberadaan Gerold. Pras dan El turun dari atas motor salju warna hitam itu, kedua pengawal yang juga menjadi pengendara motor itu di minta menjauh dari keduanya. Pras berjalan menghampiri, El mengikuti, keduanya juga sudah menyelipkan Glock masing-masing dengan peluru penuh. Jangan kira Pras tak akan sanggup mengarahkan peluru supaya bersarang di tubuh kedua orang yang merasa dendam kepadanya, jangan salahkan Pras jika sisi dirinya yang tidur kini terbangun demi menjaga dan melindungi keluarganya.Begitu pun dengan El yang tampak tenang, namun juga mematikan. Entah siapa yang bodoh di sini,
Bukan Pras namanya jika tidak memiliki segudang strategi juga rencana matang, apalagi jika ini menyangkut keluarganya. Ia akan sangat total dan mati-matian dalam melindungi. Semua sudah bersiap dengan perlengkapan masing-masing, helicopter pertama sudah berangkat, sedangkan Pras dan timnya berangkat melalui jalur darat, guna mengekabui sehingga Dre atau bahkan kedua bajingan tengik itu menyadari kedatangan mereka. Tak perlu menunggu waktu, tiga mobil berjalan dengan cara berpencar, plat nomor dipalsukan, dan, itu semua tak lepas dari Edmon juga yang terkejut saat mengetahui putrinya tak ada di apartemen. Edmon menjadi orang terakhir yang datang ke rumah Pras setelah mencoba mencari tau sendiri lebih dulu tentang keberadaan Lily. Namun Nihil.Opsir polisi itu bahkan menanggalkan lencana juga atribut polisi, ia tak peduli jika nanti bertindak tak seperti layaknya seorang polisi karena ini menyangkut putrinya. Pras tak memberi tau keadaan Lily, itu
“Bagaimana kondisinya?” tampak Pras dan Alex berbicara dengan tatapan serius. Suami Lily itu mengusap kasar wajahnya, lalu menatap ke satu titik yang sejak awal kedua pria itu berada di sana, menjadi pusat perhatiannya. “Entahlah, Dad, bagaimana menurutmu. Aku harus apa menghadapi ini semua?” Alex justru balik bertanya. Pras terus berpikir keras, hingga pintu itu terbuka, menampakkan Laurent yang menatap penuh rasa bahagia. “KETIGANYA SUDAH LAHIR! Cucu kita sudah lahir, Pras!” teriak Laurent yang menemani Lily menjalani operasi sesar. Alex menunduk, perlahan terdengar isakan tangis penuh rasa haru juga bahagia. Pras memeluk putranya itu. “Aku sudah menjadi Ayah, Dad!” teriak Alex begitu bangga dengan dirinya. Laurent kembali masuk ke dalam ruang operasi. Derap langkah Fausto dan Belinda terdengar. “Sudah lahir?” tanya Belinda sembari menggendong putra keduanya. Alex beranjak. “Ayah! Ibu!” Alex berjalan mendekat, memeluk Fausto erat, berganti k
Satu bulan berlalu. Alex dan Lily sudah tinggal di apartemen yang mereka sewa di tengah kota Roma. Mereka tak henti saling meluapkan rasa cinta dan sayang. Lily tak mau menikmati fasilitas yang ditawarkan Fausto, seperti mencuci pakaian di laundry, makanan selalu dikirim oleh pelayan dari rumah utama Fausto di Roma yang jaraknya tak jauh dari apartemen mereka, juga mobil mewah yang disediakan juga. Keduanya menolak kompak. Tapi, jelas, Fausto tak menuruti begitu saja. Para pengawal terus berjaga walau dengan jarak yang cukup jauh, bagaimana pun, keduanya adalah keluarga Fausto, siapa yang tak tau.Kehamilan Belinda sudah menginjak bulan ke tujuh, jenis kelamin bayi dikandungnya, laki-laki. Alex loncat-loncat saking senangnya akan mendapatkan adik laki-laki. Kado ulang tahun Alexander terbaik dari kedua orang tua kandungnya, sementara Pras dan Laurent, sibuk mengelola perkebunan anggur mereka, Edmon ikut repot karena Pras meminta dibuatkan system keamanan juga mengatur para pe
Gaun panjang berwarna putih tulang, dengan bahan satin berpadu lace yang memberikan efek klasik menyesuaikan lekuk tubuh pemakaianya, tampak indah saat dikenakan Lily yang berdiri di ujung pintu gereja, merangkul lengan sang ayah – Edmon – yang tampak beberapa kali harus mengatur napas juga air mata yang beberapa kali keluar dari sudut matanya. Putri cantiknya tampak berdebar mana kala menunggu pintu itu terbuka dan mereka berdua akan berjalan masuk menuju altar dengan karpet merah yang membentang hingga ke hadapan pendeta.Edmon menatap sekali lagi putrinya yang mendongak membals tatapannya, kerudung panjang berwarna senada menjuntai panjang menutupi kepala hingga seluruh bagian tubuh belakang Lily, hanya menyisakan sebagian rambut cokelat indahnya yang di tata begitu rapi tanpa menghilangkan kesan usianya yang sebentar lagi baru tujuh belas tahun.“Aku sudah cantik, Ayah? Tidak buruk riasannya, bukan?” tanya Lily menatap sang sayah.&ld
“Lalu… apa Tuan Pras sungguh rela melepaskan apa yang sudah dikerjakan selama puluhan tahun ini dan memilih untuk berada di sini, di negara baru, juga merintis bisnis barunya?” tanya seorang reporter pria saat Pras diundang ke salah satu acara TV Show tentang bisnis dan karir cemerlang para pengusaha, yang ada di kota Roma, Italia.Pras tersenyum sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu, ia mencoba merangkai kalimat sesederhana mungkin supaya akan sampai pesan yang ia maksud. Ia melirik ke istri cantiknya yang duduk di kursi penonton, studio itu besar, dan Pras cukup bangga bisa berada di acara TV dengan rating tinggi itu.“Ya, saya tidak perlu meragukan apa pun lagi untuk melepaskan semua yang saya peroleh di Swiss, sudah cukup untuk kami, saya dan istri saya berkutat dengan bisnis yang sangat menyita waktu. Usia kami tak muda lagi, kami pun sadar, ternyata, terlalu giat mencari uang dan mengumpulkan kekayaan, akan percuma jika waktu bersama ke
“Aku lebih suka gaun yang ini, Ly, kau akan kenakan saat resepsi nanti, bukan?” tunjuk Jessie kepada gaun peseta berwarna champange kepada Lily saat keduanya berada di salah satu butik terkenal di kota Zurich. Laurent sudah menghubungi rekannya, jika calon menantunya sedang mencari gaun untuk pesta resepsi pernikahan.“Apa tidak terlalu terang untuk acara malam hari, Jes?” Lily menatap lekat gaun yang masih berada di manekin.“Tidak, warna ini sedang populer. Alex juga akan terlihat tampan dengan warna jas senada dengan gaun ini, lalu dikombinasi kemeja warna putih. Kalian berdua akan shinning di malam hari, Ly.” Tukas Jessie kemudian. Lily menimbang-nimbang, ia masih mencari warna lain.“Bagaimana dengan warna merah terang?” tanyanya. Jessie menggelengkan kepala.“Kau memang akan menjadi pusat perhatian, tapi… entahlah, mengapa aku merasa warna itu pasaran ya,” kelakar Jess
Suara teriakan bahagia terdengar di kantin mana kala mereka melihat Lily dan Alexander yang berjalan begitu mesra. Mereka kembali ke sekolah setelah Pras dan Laurent mengurus tentang menghilangnya mereka beberapa bulan belakangan. Keduanya di tuntut mengerjakan tugas sekolah yang menumpuk, juga mempelajari materi sebelum ujian kelulusan.“Aku terkejut saat tau Dre meninggal, Lex? Bagaimana bisa ia kecelakaan motor dan terjatuh, Dre pengendara motor yang hebat, bukan?” tanya Jessie yang kini berubah berdandan natural, duduk di hadapan pasangan itu.“Ya, begitulah, musibah,” jawab Alex santai. Jessie mengangguk. Ia menatap Lily, lalu melirik ke cincin yang Alex berikan untuk Lily.“Mmm… kapan kalian akan meresmikannya? Aku tidak sabar untuk hadir di pemberkatan kalian,” ledek Jessie.“Kau tidak cemburu?” celetuk Alex lalu mendapat cubitan kecil di pinggangnya dari Lily. Jessie tertawa.“Lex
Jemari tangan Pras membelai lembut punggung mulus istrinya, lalu mencium lama di sana, memeluk erat lalu kembali ia raba dengan jemari tangannya. Laurent berbalik badan, menghadap suaminya yang tak tampak tua di matanya, mengusap rahang tegas Pras lalu menarik wajah itu mendekat ke bibir Laurent. Wanita itu mengecup lama, lalu menatap.“Kali ini, apa yang mau kita lakuin, Pras, aku lelah jika terus mengejar materi dan hidup bergelimang harta.” Jemari Laurent bermain di surai Pras, pria itu tersenyum, memejamkan mata, meresapi buaian Laurent yang selalu menghanyutkannya.“Kita rintis bisnis anggur milik kita sendiri.” Pras mengerlingkan mata. Laurent menganga.“Kerja lagi?! Pras!” protes Laurent. Pras tertawa, ia merangkak ke atas Laurent lagi, keduanya masih bertelanjang bulat setelah perang di atas ranjang sejak tiga jam lalu.Laurent melenguh panjang, bibirnya terbuka dan dadanya membusung. Pras memasukan senjatanya l
Alex membuka mata, di tatapnya wajah teduh Lily yang masih tertidur di sampingnya. Alex mendekatkan wajahnya, mencium kening Lily yang bergeliat pelan. Perlahan, pemuda itu beranjak, membiarkan Lily yang masih terlelap. Tak lupa ia memakai kembali kaos dan celana jeansnya dengan pelan. Ia merasakan nyeri di kaki kirinya itu. Setelah siap, ia bergegas keluar dari dalam kamar. Tak lupa tersenyum saat kembali menutup pintu kamar kekasihnya itu. “Pagi, Ayah, Ibu…” sapa Alex yang langsung duduk di kursi meja makan.” “Pagi, ‘nak, mandi dulu. Kamarmu sebelah sana,” tunjuk Belinda ke arah Barat lantai dua. “Nanti setelah makan, aku lapar, Bu,” ucap Alex seraya meminum kopi di cangkir. “Jangan manja. Kau akan menjadi Kakak tidak lama lagi,” celoteh Fausto. Alex diam, tak lama setelah mencerna ucapan ayahnya, ia membelalakan mata. “Ibu… hamil? Mengandung Adikku?!” Ibu!” Alex berdiri, ia menganga lalu memeluk Belinda. “Selamat Ibu, aku bahagia me
Lily bersiap untuk tidur, ia menutup pintu kaca balkon kamarnya, lalu tirai renda putih ia rapatkan juga.“Maaf…” Lily terkejut, lengan kekar itu melingkat di pinggangnya, membuat ia mau tak mau memejamkan kedua matanya. Perlahan, Lily melepaskan pelukan itu, lalu berjalan keluar pintu, ia membuka lebar lalu mengusir Alex dengan tatapan dan tangannya yang meminta Alex keluar. Pemuda itu menggelengkan kepala, ia bersedekap, bersandar di pintu lemari pakaian Lily dengan langkah terpincang. Lily diam, hatinya kembali seperti di remas, namun ia juga marah dengan pemuda tampan itu, walau bekas luka masih tampak di wajahnya. Hanya luka lecet.“Keluar, aku mau tidur.” Ucap Lily ketus. Alex menggeleng lagi. “Terserah.” Ketus Lily sembari beranjak ke atas ranjang, merebahkan tubuhnya ke posisi kanan, menghadap dinding, memunggungi Alex.“Aku merindukanmu, Sayang,” suara itu terdengar, Lily masih diam, ia masa bodoh.