Rara panik. Berulangkali ia mengecek tubuh sahabatnya itu, tapi denyut nadinya pun tidak terasa. Apa yang sesungguhnya terjadi pada ibu kandung Ghania itu.
"Nindya, bangun. Aku enggak mau masuk penjara karena kamu. Nindya, bangun!" pekik Rara. Wajahnya terlihat begitu ketakutan saat ia memegang tubuh Nindya yang mulai dingin."Mama ...."Ghania tersentak. Ia bangun dari mimpi buruknya. Wajahnya pucat, dipenuhi keringat dan napasnya pun tersengal.Anggun yang mendengar teriakkan putri kesayangannya itupun langsung menemui Ghania di kamarnya."Sayang, kamu kenapa?" tanya Anggun saat duduk di tepi ranjangnya.Ghania tidak berkata apapun. Ia hanya memeluk sang Mami begitu erat dan terisak. Suara tangisnya yang tersedu membuat Anggun bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi."Ghania, kamu tenang. Sekarang kamu bicara sama Mami, kamu kenapa?" bujuk Anggun agar mau berkata jujur.<Anggun dan Luthfi akhirnya membawa Pras meninggalkan cafe. Pras nampak begitu terpukul mendengar berita tentang kematian Nindya yang tragis."Mas, tolong kamu bawa Pras ke rumah dulu ya. Ada beberapa hal yang harus ku urus dan sekalian cari Sara di kostnya nanti," pinta Anggun. Luthfi pun mengangguk dan membawa Pras masuk ke dalam mobilnya. Sedangkan Anggun pergi membawa mobilnya.Di dalam perjalanan, Anggun pun mengambil ponsel di dalam tasnya dan menghubungi anak buahnya untuk mencari keberadaan Sara.[Hallo, saya minta kalian cari Sara segera. Ini penting. Jika sudah ketemu, tahan dan hubungi saya. Jangan sampai ada yang mengetahui jika dia terlibat keberangkatan Nindya.][Baik, Bos.]Anggun pun melanjutkan perjalanannya menuju kantornya, ada beberapa meeting yang harus ia selesaikan. Anggun pun akan menemui Reno dan mengabarkan berita duka ini."Sara,apa sebenarnya yang membuat kam
Anggun murka pada Sara. Bukan tentang ego. Tapi, rasa ibanya pada Ghania yang harus kehilangan Mama kandungnya. Anggun pun detik itu menyeret Sara keluar rumahnya. "Anggun, kenapa kamu mengusir Sara?" tanya Luthfi."Apa salah Sara, Anggun?" timpal Pras.Anggun tetap tidak perduli. Ia meminta Sara pergi. Pras yang belum tahu apa-apa kini membela adik sepupunya itu. Begitupun dengan Luthfi. Sikap Anggun membuatnya jadi risih."Anggun, stop!" hardik Luthfi."Ngapain kamu bela dia? Pras, apa kamu akan tetap membela perempuan ini jika kamu tahu keadaan sebenarnya?" bentak Anggun."Apa yang terjadi?" tantang Pras.Wajah Sara pucat. Ia tidak tahu harus berbuat apa jika Anggun menceritakan semuanya. Sara hanya bisa pasrah menerima semuanya jika Pras juga membencinya."Mbak, tolong. Aku mohon, jangan ...." ucap Sara menggelengkan kepalanya.Anggun tidak perduli. Angg
Wajah itu nampak tersenyum. Seperti sedang tertidur. Namun, takdir begitu kejam padanya. Sahabat dan adik yang dipercaya, justru menjadi musuh yang begitu menakutkan."Airmata buaya kamu tidak akan membuat Nindya kembali. Hapus airmata kamu. Setelah semua selesai, aku tunggu kamu di rumah!" bisik Pras yang menarik tangan adik sepupunya itu dengan kasar.Tangis Anggun dan Ghania pun mengiringi kepergian Nindya ke peristirahatan terakhirnya. Sebuah pemakaman mewah dipilih Anggun menjadi rumah terbaik bagi mantan madunya itu. Anggun berharap, saat dewasa nanti, Ghania nampak nyaman menjenguk wanita yang telah melahirkannya."Anggun, terimakasih, kamu sudah melakukan semua ini buat Nindya. Aku merasa malu karena ...." ucap Pras."Pras, yang lalu biarlah berlalu. Bagiku, Nindya orang baik. Dia sudah memberiku bidadari kecil ini. Harta yang paling berharga. Tugas kita sekarang menjaganya," jawab Anggun. Pras hanya meng
Luthfi menghampiri Anggun dan Pras. Suami Anggun itu mencoba memberi semangat pada Pras yang kehilangan dua adik sepupunya di waktu yang berdekatan. Namun, entah mengapa Pras justru berbalik mencurigainya."Apa kamu dalang dibalik ini semua?" gertak Pras menarik krah kemeja berwarna coklat itu. Anggun mencoba merelai pertikaian dua pria itu."Kalian apa sih? Udah, berhenti!" bentak Anggun.Tidak lama, sebuah ambulance pun datang dan membawa tubuh Sara yang tertutup itu masuk ke dalam kantung berwarna orange itu dan memasukkannya ke dalam mobil. Mobil itupun meluncur pergi meninggalkan lokasi.Para warga pun mulai meninggalkan lokasi. Hanya ada Anggun bersama dua pria yang masih bersitegang tentang kematian Sara itu."Pras, kenapa kamu mencurigai Luthfi?" cecar Anggun.Anggun tidak ingin membela siapapun. Namun, ia juga tidak bisa percaya sepenuhnya pada pria yang sudah menikahinya itu. Trauma pengkhi
Anggun melihat kepanikan di wajah Luthfi. Kecurigaannya pun semakin bertambah saat Luthfi terbata menjawab pertanyaannya."A-aku tadi ada meeting di luar. Klien dari Jepang. Mr Tanaka. Kamu tahu kan?" dalih Luthfi mencoba menutupi kepanikannya."Mr Tanaka?" ucap Anggun. Luthfi pun hanya mengangguk.Anggun pun tidak memperpanjang masalah. Ia pun menyiapkan makanan untuk suaminya agar bisa segera beristirahat. Luthfi pun minta dibuatkan teh jahe hangat untuk menyegarkan tubuhnya."Aku tidur duluan ya sayang. Good night," ujar Anggun yang bergegas masuk ke dalam kamarnya. Luthfi pun menarik napas panjang merasa terbebas dari kecurigaan Anggun."Akhirnya ...." batin Anggun. Luthfi pun langsung menyusul istrinya itu ke dalam kamar setelah menghabiskan makanannya. Ketika Luthfi melihat sang istri yang sudah terlelap, ia pun mencium kening Anggun. Luthfi pun merebahkan tubuhny
Luthfi hanya bisa diam terpaku menatap kepergian Anggun dan yang lainnya. Pikirannya menjadi buntu. Entah apa yang harus dilakukannya besok ketika harus menghadapi Anggun, Pras juga Reno. Begitupun nasib Sara -- adik Nindya yang telah secara siri dinikahinya."Gawat! Apa yang harus kulakukan?" batin Luthfi. Pikiran pria itu akhirnya semakin kusut. Ia memutuskan pergi meninggalkan rumah kontrakan itu. Di tengah jalan, ia terus mencari akal agar masih bisa menyelamatkan wajahnya di depan Anggun. Terutama Pras dan Reno.-----Waktu semakin dekat pada waktu yang dijanjikan. Hari ini, ia harus menemui Anggun di kantornya. Bukan hanya sang istri yang menunggu penjelasannya, tetapi Pras dan Reno pasti ikut menghakiminya.Dengan langkah gontai, Luthfi akhirnya memasuki gedung pencakar langit itu. Perlahan tapi pasti ia memasuki ruangan sang direktur. Anggun Prameswari."Assalamualaikum." Luthfi pun mengucap salam. Wajah tegang Pras dan Reno mulai terlihat."Enggak usah basa-basi. Cepat mas
Anggun pun memutuskan pulang ke rumahnya ditemani oleh Pras dan Reno. Bersama Ghania, Anggun merasa mulai menemukan ketenangannya atas semua permasalahan rumah tangganya."Anggun, sebaiknya kamu istirahat aja. Ghania juga sepertinya udah ngantuk. Biar aku dan Reno malam ini jaga kamu. Aku takut, kalau nanti Luthfi dendam dan menyuruh orang untuk menyakiti kamu," ujar Pras dengan tenang. Reno pun setuju dengan keputusan sahabatnya itu.Paling tidak, malam ini ia tidak sendirian di rumah Anggun. Reno masih terlalu sungkan, karena Anggun adalah mantan istrinya."Ya sudah, aku ke kamar dulu ya. Kalau mau makan, kalian panggil mbak aja. Aku istirahat dulu," pamit Anggun. Ia pun langsung menaiki anak tangga menuju kamar Ghania yang terletak di lantai dua rumahnya.....Tengah malam, ketika semua penghuni rumah sudah tertidur, Anggun pun keluar dari kamarnya dan menuju ruang CCTV yang terletak di ruang kerjanya di lantai 2. Setelah menyalakan monitor, Anggun pun mulai menyimak apa yang ten
Panca pun menemani istri sahabatnya itu selama di rumah sakit. Serangkaian pemeriksaan dijalani hingga akhirnya pukul 09.00 pagi keesokan harinya jenazah Himawan dapat dibawa pulang untuk dimakamkan."Ca, biar aku yang urus semuanya ya. Kamu dan anak-anak sebaiknya pulang duluan aja. Nanti ada anak buahku yang urus segala keperluan di rumah," ucap Panca."Makasih ya, Mas. Aku nggak tahu lagi kalau nggak ada kamu, siapa yang akan membantuku," jawab Acha lirih."Enggak masalah, Ca. Mawan itu kan sahabat aku. Sudah seharusnya aku membantu kalian. Ya sudah, aku duluan ya. Assalamualaikum." Panca berpamitan, ia langsung menuju kamar jenazah dan mengurus semua keperluan untuk membawa jenazah sahabatnya itu.Acha sampai lebih dulu di rumahnya bersama ketiga anaknya. Betul saja, beberapa anak buah Panca telah menunggu di teras rumah. Setelah pintu utama terbuka, mereka pun bergegas menyiapkan segala keperluan untuk menyambut kedatangan jenazah tuan rumah.Setelah hampir satu jam, semuanya pun
Beberapa tahun kemudianReno dan Pras kini telah sukses dengan kariernya masing-masing. Hidupnya tidak lagi dijalanan. Tidak lagi kelaparan apalagi kedinginan saat hujan, kepanasan saat terik matahari menyala.Dalam sebuah acara para pengusaha, Reno akhirnya bertemu dengan Anggun. Anggun tidak mengenali Reno, yang pernah dianggapnya sebagai kakak dan lama hidup bersama. Sedangkan Reno, langsung mengenalinya saat pertama kali berkenalan."Anggun? Dia anak om Panca?" batin Reno.Reno pun mengambil langkah, tanpa ingin membuang waktu ia langsung menjalin kedekatan di acara itu. Hingga komunikasi mereka pun terus berlanjut dan semakin dekat. Hingga beberapa tahun kemudian, Anggun dan Reno sepakat bertunangan."Hah, tunangan? Kamu serius, Anggun?" Para sahabat baik Anggun kaget. Ini di luar logika mereka. Anggun yang dikenal sangat hati-hati dan tidak mudah percaya kenapa begitu mudah mengambil keputusan besar di hidupnya, sebuah pernikahan. Dan lebih membuat sahabat Anggun itu tak perca
Tidak ada hal yang paling menyakitkan saat mendapatkan kabar duka itu. Sendirian ia mendatangi rumah sakit di daerah puncak itu. Tidak ada satupun keluarga yang mendampinginya. Tidak ada satupun anggota keluarganya yang tersisa Sesampainya di rumah sakit, Anggun langsung diantar menuju kamar jenazah. Di sana ia membuka kain penutup berwarna putih itu. Kedua orangtuanya, juga kedua saudaranya.Anggun histeris. Hatinya hancur. Dunia seakan runtuh. Tapi kenyataan ini harus ia hadapi sendirian. Tanpa sanak keluarga. Anggun yang belum genap 20 tahun itu harus merasakan semuanya, mana kala rencananya melanjutkan studi ke Amerika harus ia kubur dalam."Kenapa kalian meninggalkan aku sendiri? Kenapa nggak ajak aku juga, Pa, Ma? Mas, kenapa harus aku sendiri yang hidup?" Rintihan itu memilukan. Para polisi itu pun mencoba menenangkan Anggun. Namun, lagi-lagi mereka gagal. Anggun tetap histeris. Tidak tahu, apakah ia sanggup menjalani hidup ke depannya sendiri. Tanpa siapapun.Tidak lama da
POV NISSASebulan sudah gadis berusia 15 tahun itu mengalami koma panjang. Hingga akhirnya, kini tubuh itu mulai bergerak, menandakan sebuah kemajuan.Perlahan gadis itu mulai membuka matanya. Ia melihat sekeliling, kepalanya yang masih pusing. Pandangannya pun masih belum jelas. Ia mencoba melihat orang di sekitarnya yang selama ini setia menunggu kesembuhannya.Matanya kini mulai jelas melihat. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi padanya. Namun, tidak ada hal yang membuatnya ingat mengapa kini ia berada di ranjang rumah sakit kamar VVIP."Kalian siapa?" tanya Nissa pada sepasang suami istri itu. Arjuna dan Balqis saling pandang. Ada kebahagiaan terpancar di wajah Balqis. Akhirnya, orang yang ditabrak suaminya itu tanpa sengaja kini akhirnya tersadar."Alhamdulillah. Akhirnya dia sadar, Mas. Nak, nama kamu siapa? Kami senang, akhirnya kamu sudah sadar. Keluarga kamu pasti susah mencari keberadaan kamu," ujar Balqis."Namaku?"Nissa mulai berpikir, mencoba mengingat siapa
Sore itu tiba-tiba Pras dan Nissa diusir dari rumah papinya. Kedua anak remaja itu hanya bisa pasrah. Mereka pun memutuskan pergi meninggalkan rumah yang banyak meninggalkan kenangan indah itu. Baru beberapa langkah, tiba-tiba hujan deras.turun. Pras pun langsung mengajak adiknya ke sebuah gubuk kecil berlantai kayu.'Mas, kita mau ke mana? Mereka kok jahat banget ya?" ucap Nissa terisak."Kamu sabar dulu ya dek.'Malam itu terpaksa keduanya bermalam di gubuk reot itu. Tidak ada pilihan lain kecuali menetap. Di luar hujan masih sangat deras. Pras dan Nissa akhirnya memutuskan tidur sejenak, karena sudah sangat kelelahan. Meraka sudah sangat kelelahan berjalan. Pras akhirnya terbangun. Ia melirik ke arah adiknya yang masih terlelap. Saat melihatnya menggigil, Pras pun langsung mengeceknya dan benar saja jika adiknya itu demam tinggi.'Astaghfirullah! Nissa, kamu demam tinggi. Ya Allah, apa yang harus hamba lakukan?" gumam Pras. Airmatanya pun menetes. Tidak tahu, apa yang harus dil
Sintia mulai keras menolak kehadiran keluarga Acha di rumahnya. Dia tidak ingin terjadi hal buruk pada ketiga anaknya hanya demi menyelamatkan anak si pembunuh."Aku udah capek ya, Mas, berdebat terus. Sekarang gini aja deh, kamu silakan pilih. Aku dan anak-anak atau mereka???" ucap Sintia lantang."Sin, jangan seperti ini. Aku tidak mungkin memilih. Aku ya pasti memilih kalian. Tapi, pikirkan Reno. Dia masih kecil untuk hidup di luar," tutur Panca."Kamu tahu sendiri kan, sejak kasus ini ke publish kedua adik Acha itu kena PHK dan sampai detik ini, tidak ada satupun perusahaan yang mau menerima mereka.""Di mana hati nurani kamu? Kamu pernah kan, diposisi seperti mereka? Dan di saat itu hanya Himawan yang mau membantu! Kamu tidak ada empati sedikitpun sama anak yang sudah pernah menolong kamu???" pekik Panca.Panca mulai hilang kesabaran. Dia tidak tahu lagi bagaimana caranya membujuk istrinya itu agar tetap membiarkan Reno dan keluarga Acha itu bertahan di rumahnya."Sekarang kamu p
Sejak hari itu keluarga Acha tinggal dikediaman Panca dan Sintia. Sintia awalnya menolak, tapi akhirnya ia hanya pasrah dengan keputusan suaminya. Sintia hanya meminta penjagaan lebih ketat di rumah maupun saat anak-anaknya ataupun anak Acha dan Himawan bersekolah. Panca pun akhirnya menyetujui syarat yang diajukan istrinya itu.Tidak seperti hari-hari biasanya, Sintia merasakan perasaan tidak enak. Ia pun memutuskan.menemani anak-anak ke sekolah.Di tengah perjalanan ponselnya kembali berdering. Sebuah nama memanggil. Benar saja dugaan Sintia. Kali ini ancaman Harris tidaklah main-main."Halo, cantik. Gimana kabarmu? Kamu sepertinya tidak mengindahkan ancamanku ya? Kamu pikir, aku main-main??" Harris terlihat tenang, tapi pikirannya cuma satu. Menghancurkan siapapun yang menghalanginya melenyapkan nyawa keluarga Acha yang tersisa."Atau kamu butuh bukti??""Tunggu! Apa yang mau kamu lakukan? Tolong, jangan sakiti anak-anak!""Jangan atur aku!!!"Harris tidak main-main. Di tengah pe
Waktu berjalan begitu cepat. Sudah beberapa bulan setelah kematian Himawan dan Acha harus merasakan dinginnya lantai penjara. Hinaan dan caci maki dirasakan Acha di dalam sel. Beberapa tahanan bahkan membully hingga melakukan kekerasan padanya. Dan kini, yang tersisa darinya hanya sebuah penyesalan. Ya, Acha menyesal. Ia sadar, bahkan kini anaknya harus merasakan penderitaan yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka.Malam itu, ketika ketiga anak Acha tengah tertidur pulas di kamarnya masing-masing, ada beberapa pria berbadan besar datang dan mengobrak-abrik rumahnya.Malam itu hanya ada ibu Acha yang menemani. Sedangkan kedua adik Acha tengah keluar kota untuk urusan pekerjaan. Sang nenek tidak dapat berbuat banyak saat Nissa, anak bungsu Himawan dan Acha dibawa oleh pria-pria itu.Entah siapa yang menyuruh mereka. Rumah itu sudah hancur, beberapa barang telah dihancurkan. Tapi anehnya, tidak ada satu pun barang yang diambil. Ini jelas bukan perampokan biasa. Tapi mungkin sebuah aj
Acara pemakaman Cindy pun sudah usai. Berita itu begitu cepat tersebar. Keluarga pun mendapatkan cibiran dari teman, tetangga dan semua yang mengenalnya. Tidak ada satupun kata dukungan, justru hinaan yang diterima keluarga Acha."Ini memalukan. Cindy telah merusak semuanya. Dasar perempuan terkutuk!" Caci maki itu akhirnya keluar dari adik beradik Cindy, termasuk ibu Acha.Namun, anak-anak Cindy yang mulai beranjak dewasa pun tidak terima mendengar hinaan dan sumpah serapah itu. Begitupun suami Cindy yang telah dikhianati, ia tetap pasang badan membela almarhumah istrinya."Mbak, cukuplah. Hentikan semua ini. Bagaimanapun Cindy itu adiknya mbak. Ini juga bukan sepenuhnya kesalahan Cindy. Himawan juga salah. Menantu mbak juga laki-laki terkutuk!" balas Harris, suami Cindy."Harris, Harris, kamu masih membela istri laknat begitu? Di mana harga diri kamu???" tutur ibu Acha sinis."Mbak, saya mungkin laki-laki bodoh. Tidak punya harga diri atau apalah terserah kalian. Tapi dia istri saya
Tidak terbersit dibenak Acha untuk melenyapkan nyawa suami dan sahabatnya. Apalagi dengan cara yang tergolong sadis. Tapi rasa sakit hati dan dendamnya membuat Acha gelap mata. "Apa yang pertama kali anda lakukan?" tanya Rifat. "Saya meminta suami saya berhenti di jalan Ardipura. Tepat di depan taman Angkasa. Dan .... ""Selanjutnya?"Wajah Acha kembali tertunduk. Tubuh mungilnya bergetar, ada banyak luka yang masih ia coba sembunyikan. Beberapa saat ia pun kembali menangis. Terisak dan seketika ia tertawa. "Mbak Acha, kamu baik-baik saja?" tanya Rifat. Ia mulai khawatir dengan mental terduga pelaku kasus yang sedang ditanganinya itu."Mbak Acha, bisa kita lanjutkan?"Hening ....Pandangan mata itu kembali nanar. Diam dan akhirnya ia mulai bercerita kembali setiap detik waktu yang ia habiskan malam itu."Aku meminta Mas Mawan berhenti. Saat itu juga banyak pedagang berjualan di depan pintu masuk taman. Aku meminta suamiku membeli beberapa cemilan dan minuman. Saat dia pergi, aku l