Setelah hampir dua jam lamanya berbelanja, akhirnya Lyra bisa menarik napas lega. Semua belanjaan sudah dibawa oleh suruhan Brian, sementara dirinya kembali dengan tangan kosong. Memang dia tidak perlu kesusahan menenteng belanjanya, tapi tetap saja kaki dan tangannya lelah karena harus mondar-mandir mencoba dan mencari pakaian seperti keinginan Brian.
Apalagi dengan keberadaan Brian yang membuat kepalanya makin pusing. Brian dengan otak mesumnya kadang membuatnya ingin melempar lelaki itu ke luar angkasa. Namun jelas hal itu tidak mungkin terjadi. Jangankan melempar Brian, mendorong lelaki itu saja tenaganya tidak kuat.
Lyra hanya memasang wajah kesal dan mengatupkan bibirnya rapat. Bahkan mengabaikan Brian yang sejak tadi memancingnya bicara.
"Kita makan dulu?" Tawaran lelaki itu seperti sebuah perintah mutlak yang tidak bisa ditolak.
Lyra memberikan tatapan sinisnya. Dia masih kesal ka
Beberapa saat menunggu, Brian mulai heran karena Lyra belum juga kembali. Dia melihat ke arah jalannya toilet, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran perempuan itu. Saat dia ingin menghubungi Lyra, perempuan itu malah meninggalkan ponselnya di atas meja.Brian menghembuskan napasnya dengan lelah. Dia mulai khawatir dengan perempuan itu. Tidak mau semakin menduga sesuatu yang buruk, Brian berdiri dan beranjak menuju toilet wanita.Semakin mendekati pintu, telinganya malah menangkap suara aneh. Keningnya berkerut samar. Dia mendengar teriakan frustasi yang tak asing di pendengarannya. Brian semakin mempercepat langkah kakinya dan mendobrak pintu sampai menghasilkan suara benturan yang keras.Tatapannya langsung membola saat menangkap pemandangan Lyra yang meringkuk di depan wastafel. Tanpa membuang waktu, Brian segera menghampiri perempuan itu. Membawa tubuh Lyra ke dalam pelukannya. Dia menepuk pipi chubby Lyra,
Sudah beberapa jam yang dilakukan Brian hanya duduk dengan tatapan terus tertuju pada Lyra, seakan semenit saja dia mengalihkan pandangan, perempuan itu akan musnah. Rasa khawatirnya belumlah reda sejak tadi. Perasaan asing yang tidak menyenangkan. Brian tidak pernah memiliki kepedulian sebesar ini sebelumnya. Dia bukan orang yang memiliki empati besar. Namun saat berhubungan dengan Lyra, dia seakan menjadi orang baru.Tatapannya tertuju pada kening perempuan itu yang mengerut. Dalam keadaan tidak sadar saja, Lyra masih saja resah. Brian mengulurkan tangan, mengelus kening perempuan itu dengan lembut. Dia seakan ingin menghilangkan segala keresahan atau mimpi buruk yang Lyra alami. "Seberapa buruk mimpimu, huh?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik. "Sangat buruk." Lyra tiba-tiba menjawab. Kelopak matanya yang tadi tertutup, perlahan terbuka. Perempuan itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina matanya. Merasakan keberadaan seseorang di sekitarnya
Setelah merasa lebih baik, Lyra memaksa untuk pulang. Dia tidak pernah betah berada di rumah sakit, apalagi dengan bau obat-obatan yang menyiksa hidung. Beruntung kali ini Brian menyetujui permintaannya dengan mudah. Namun ternyata lelaki itu menyiapkan hal lain yang lagi-lagi membuat Lyra menarik napas lelah. Bagaimana tidak? Jika setelah dia pulang dan kembali ke mansion itu, Brian langsung membacakan surat perjanjian di mana semua pointnya sangat memberatkan baginya. Secara tidak langsung, Brian seakan ingin mengurungnya dalam sangkar emas yang lelaki itu buat.“Tapi aku pengen kerja, Brian!” tegas Lyra dengan tatapan kesalnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, Lyra memberikan tatapan menantang pada lelaki itu.Namun bukannya kesal, Brian malah merasa gemas sendiri. Dia mati-matian menahan diri untuk tidak mencium perempuan itu dan membawanya ke atas ranjang. Otaknya masih berpikir dengan waras. Dia tidak mau Lyra sampai takut karenanya. Apalagi dari laporan yang Athes berika
“Lyra, selama dua jam nanti, jangan ada yang menggangu saya.” Perempuan yang merasa namanya terpanggil, mendongak. Membenarkan letak kaca mata tebalnya dan memandang sang bos yang berdiri menjulang di depannya. “Baik, Sir,” jawabnya menyanggupi. Memangnya apa lagi yang harus Lyra jawab selain kata iya. Sebagai asisten, Lyra hanya membantu masalah pekerjaan dan memenuhi permintaan sang atasan. Tidak ikut campur dengan masalah pribadi sang atasan apalagi hobi yang terbilang aneh. “Semua telepon masuk, kamu handle saja. Nanti kamu laporkan setelah saya senggang.” Tanpa perlu dijelaskan, dia sudah tahu kegiatan apa yang dilakukan bosnya di ruangannya setelah ini. Apalagi barusan seorang wanita cantik baru saja masuk. Entah wanita keberapa dalam minggu ini, setiap hari selalu berganti. Jarinya bahkan tidak mampu menghitung sangking banyaknya. Brian, seorang eksekutif muda, dengan wajah yang rupawan dan rahangnya yang tegas. Tidak sulit bag
“Tidak salah banyak perusahaan yang bekerja sama dengan Anda.”Brian yang mendengar pujian tersebut tersenyum puas. Sebenarnya sudah sering sekali dia mendengar kalimat senada, tapi tetap saja hatinya tak pernah biasa.Memiliki perusahaan multinasional yang bergerak dalam bidang komunikasi jelas tidak segampang yang dilihat orang. Banyak kerja keras dan juga usaha, naik turun bukan hal baru bagi mereka.Brian memulai semuanya dari titik nol. Memulai dari hal kecil sampai bisa merengkuh banyak negara agar ikut bekerja sama dalam lingkarannya. Bahkan menyeleksi orang-orang yang bernaung dalam atap yang sama, bersinergi untuk mengembangkan perusahan tersebut sampai berhasil di titik ini.“Saya harap kerja sama ini bisa berjalan dengan lancar,” timpal Brian, mengalami salah satu perwakilan dari Hong Kong.Mereka sudah melalui meeting yang cukup panjang, saling memahami visi misi satu sama lain untuk mendapatkan kesamaan
Lyra meraup wajahnya yang tampak pucat. Sapuan make up tipis sudah memudar bahkan hilang, meninggalkan sisa wajahnya yang polos. Lipstik nude kesayangannya bahkan ikut menghilang. Maklum, semua produk yang digunakannya hanya make up murahan. Meski gajinya lumayan tinggi sebagai seorang asisten, Lyra tetap tidak bisa bertindak boros. Apalagi masih banyak hutang yang harus segera dilunasinya.Lyra menatap pantulan wajahnya di cermin. Menatap wajah basahnya dengan jejak air yang masih menetes.“Sialan!” rutuknya berkali-kali. Ini karena ulah atasannya. Lyra merasa meriang membayangkan kejadian Brian dengan wanitanya tadi.Ada sesuatu yang asing, mendebarkan dalam hatinya. Melihat secara langsung adegan panas tersebut membuatnya merasa panas dan basah bersamaan. Meski dia selalu menampilkan wajah datar, tetap saja Lyra tidak bisa menampik keras perasaan asing tersebut. Rasa lumrah yang muncul seiring dengan kedewasaannya. Ada r
Lyra menatap Brian dengan wajah basahnya, bibirnya bergetar. Namun, dia masih berusaha berdiri, meski kakinya terasa seperti jelly.“Pulang.” Hanya itu yang mampu diucapkannya. Dia tidak mau semakin lama di sini.Brian yang sejak tadi memandangnya, akhirnya mengangguk. Dia mengulurkan tangan, bermaksud mambantu wanita itu. Namun alih-alih menyambut uluran tersebut, Lyra malah melewati sang atasan dengan langkah tertatih. Dia memeluk dirinya sendiri. Bukan saja karena udara malam yang menusuk kulitnya, tapi bayangan kejadian tadi cukup membuat bekas ketakutan tak mau juga hilang.Sebuah mobil berhenti di depan mereka. Lyra masuk lebih dulu ke kursi depan, mendudukkan diri di sana. Dia memejamkan mata, agar tidak ada pertanyaan yang diberikan Brian.Sementara Brian masih belum berhenti dengan rasa penasarannya. Keadaan Lyra lengkap dengan tatapan kesedihan itu berhasil menarik rasa empatinya yang sempat hilang. Dia melihat sisi lain dar
Hari berikutnya, semua kembali seperti semula. Lyra dengan kesibukan yang tidak pernah selesai dan Brian masih dengan hobinya membawa wanita di sela pekerjaannya. Lyra hanya diam saja, tidak peduli dengan kegiatan pria itu sepeti sebelumnya. Selama Brian tidak menganggu pekerjaannya dengan menyuruh wanita yang datang dan mengaku memiliki anak dari pria itu. Hal biasa, yang sudah diatasi oleh pihak keamanan. Lyra menggeleng, ngeri juga dengan hobi pria itu.“Lyra, nanti malam kamu ikut saya ke London.”Lyra lekas mendongak saat mendengar suara yang sudah akrab dengan telinganya. Dia menatap Brian dengan bingung. “Maaf?”Pria itu sangat panjang umur, pikir Lyra. Baru saja dipikirkan, tahu-tahu sudah muncul di depannya, bahkan dia tidak sadar sejak kapan Brian keluar dari ruangannya.Brian yang sudah berdiri di depan meja Lyra, menatap wanita itu dengan tajam. apa sejak kejadian beberapa hari lalu, fungsi telinga wanita itu bermasalah
Setelah merasa lebih baik, Lyra memaksa untuk pulang. Dia tidak pernah betah berada di rumah sakit, apalagi dengan bau obat-obatan yang menyiksa hidung. Beruntung kali ini Brian menyetujui permintaannya dengan mudah. Namun ternyata lelaki itu menyiapkan hal lain yang lagi-lagi membuat Lyra menarik napas lelah. Bagaimana tidak? Jika setelah dia pulang dan kembali ke mansion itu, Brian langsung membacakan surat perjanjian di mana semua pointnya sangat memberatkan baginya. Secara tidak langsung, Brian seakan ingin mengurungnya dalam sangkar emas yang lelaki itu buat.“Tapi aku pengen kerja, Brian!” tegas Lyra dengan tatapan kesalnya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, Lyra memberikan tatapan menantang pada lelaki itu.Namun bukannya kesal, Brian malah merasa gemas sendiri. Dia mati-matian menahan diri untuk tidak mencium perempuan itu dan membawanya ke atas ranjang. Otaknya masih berpikir dengan waras. Dia tidak mau Lyra sampai takut karenanya. Apalagi dari laporan yang Athes berika
Sudah beberapa jam yang dilakukan Brian hanya duduk dengan tatapan terus tertuju pada Lyra, seakan semenit saja dia mengalihkan pandangan, perempuan itu akan musnah. Rasa khawatirnya belumlah reda sejak tadi. Perasaan asing yang tidak menyenangkan. Brian tidak pernah memiliki kepedulian sebesar ini sebelumnya. Dia bukan orang yang memiliki empati besar. Namun saat berhubungan dengan Lyra, dia seakan menjadi orang baru.Tatapannya tertuju pada kening perempuan itu yang mengerut. Dalam keadaan tidak sadar saja, Lyra masih saja resah. Brian mengulurkan tangan, mengelus kening perempuan itu dengan lembut. Dia seakan ingin menghilangkan segala keresahan atau mimpi buruk yang Lyra alami. "Seberapa buruk mimpimu, huh?" tanyanya dengan suara yang hampir berbisik. "Sangat buruk." Lyra tiba-tiba menjawab. Kelopak matanya yang tadi tertutup, perlahan terbuka. Perempuan itu mengerjap pelan, menyesuaikan intensitas cahaya yang masuk ke retina matanya. Merasakan keberadaan seseorang di sekitarnya
Beberapa saat menunggu, Brian mulai heran karena Lyra belum juga kembali. Dia melihat ke arah jalannya toilet, tapi belum ada tanda-tanda kehadiran perempuan itu. Saat dia ingin menghubungi Lyra, perempuan itu malah meninggalkan ponselnya di atas meja.Brian menghembuskan napasnya dengan lelah. Dia mulai khawatir dengan perempuan itu. Tidak mau semakin menduga sesuatu yang buruk, Brian berdiri dan beranjak menuju toilet wanita.Semakin mendekati pintu, telinganya malah menangkap suara aneh. Keningnya berkerut samar. Dia mendengar teriakan frustasi yang tak asing di pendengarannya. Brian semakin mempercepat langkah kakinya dan mendobrak pintu sampai menghasilkan suara benturan yang keras.Tatapannya langsung membola saat menangkap pemandangan Lyra yang meringkuk di depan wastafel. Tanpa membuang waktu, Brian segera menghampiri perempuan itu. Membawa tubuh Lyra ke dalam pelukannya. Dia menepuk pipi chubby Lyra,
Setelah hampir dua jam lamanya berbelanja, akhirnya Lyra bisa menarik napas lega. Semua belanjaan sudah dibawa oleh suruhan Brian, sementara dirinya kembali dengan tangan kosong. Memang dia tidak perlu kesusahan menenteng belanjanya, tapi tetap saja kaki dan tangannya lelah karena harus mondar-mandir mencoba dan mencari pakaian seperti keinginan Brian.Apalagi dengan keberadaan Brian yang membuat kepalanya makin pusing. Brian dengan otak mesumnya kadang membuatnya ingin melempar lelaki itu ke luar angkasa. Namun jelas hal itu tidak mungkin terjadi. Jangankan melempar Brian, mendorong lelaki itu saja tenaganya tidak kuat.Lyra hanya memasang wajah kesal dan mengatupkan bibirnya rapat. Bahkan mengabaikan Brian yang sejak tadi memancingnya bicara."Kita makan dulu?" Tawaran lelaki itu seperti sebuah perintah mutlak yang tidak bisa ditolak.Lyra memberikan tatapan sinisnya. Dia masih kesal ka
Setelah lolos dari godaan Brian, Lyra kembali melanjutkan menghidangkan masakannya di meja makan. Sementara Brian sudah berlalu ke kamarnya untuk membersihkan diri. Lyra memegang dadanya yang sejak tadi berdetak tak normal. Sentuhan dan segala tentang Brian memang patut diwaspadai mulai saat ini. Lelaki itu cukup membawa pengaruh untuknya.Suara langkah kaki yang mendekat berhasil menarik kembali atensinya. Lyra menoleh dan mendapati Brian yang sudah segar dengan penampilan santainya. Lyrra segera mengalihkan tatapannya, merasakan pipinya yang memerah hanya karena melihat penampilan lelaki dan mengingat kegiatan mereka barusan.“Ayo makan,” katanya, sembari mengambilkan nasi dan diletakkan pada piring lelaki itu. Lyra seakan tak sadar bahwa tindakannya membuat Brian menaruh perhatian penuh. Tatapan lelaki itu sangat lekat, mengikuti setiap pergerakan kecil yang dilakukan Lyra. Bahkan tanpa disadari siapapun, ada senyum tipis yang terbit di bibirnya.
Lyra memasukkan irisan bawang merah, bawang putih, dan cabai merah ke dalam wajan. Tangannya yang lentik mulai menumis hingga harumnya tercium tajam dan membuat Lyra memejamkan mata pelan, menikmati aroma masakan sederhana yang dibuatnya saat ini. Hanya nasi goreng dengan telur ceplok yang sudah diirisnya kecil-kecil sebagai hiasan. Kemudian Lyra sibuk menyiapkan makanannya ke meja makan. Menatanya dengan rapi dan juga menuangkan air putih di dua gelas yang berbeda. Lyra berdecak melihat hasilnya. Semua sudah selesai. Kini dia hanya perlu memanggil Brian agar bergabung dengannya. Pria itu pasti masih di ruang fitness pribadinya. Dengan pemikiran itu, Lyra segera melangkah ke lantai atas. Sudah lima hari tinggal di sini, sedikit banyak dia mulai paham seluk beluk setiap ruangannya. Bahkan Brian pernah mengajaknya berkeliling di apartemennya ini. Sungguh luas dan mewah. Bangunan ini seperti dua apartemen yang dijadikan satu bangunan. Dan tebakannya ternyata be
Lyra berusaha untuk tidak memukul pria di depannya ini. Sejak keluar dari rumah sakit, sikap Brian sangat menyebalkan. Selain memaksanya menghilangkan sikap formal antara atasan dan bawahan, pria itu dengan seenaknya membawanya tinggal bersama di apartemen mewah pria itu. Demi Tuhan, Lyra memang mengizinkan Brian berada di sekitarnya, tapi bukan berarti lelaki itu harus selalu menempel begini. Lama-lama Lyra yang menjadi risih sendiri. Dia sudah berusaha mengusir Brian dengan cara baik-baik sampai kasar. Namun semua kalimatnya seakan masuk telinga kanan, dan keluar telinga kiri.“Bri, kamu nggak ada kerjaan lain?” tanya Lyra dengan wajah yang sudah menahan kesal. Dia berusaha sabar, memasang senyum lebar yang membuat pria itu kesenangan.Brian yang rebahan dengan paha Lyra sebagai bantalannya malah semakin menikmati posisinya. Matanya terpejam dengan senyum tipis yang terukir di sana. Dia rela tidak ke kantor hanya untuk menemani Lyra di apartemennya.
Setelah menyelesaikan urusannya, Brian kembali ke rumah sakit. Dia seperti enggan meninggalkan Lyra lebih lama. Rasanya berjauhan dengan perempuan itu sudah cukup menyiksa. Anggap saja Brian berlebihan. Nyatanya semua tentang perempuan itu selau berhasil membuatnya gila. Dia sudah menyerahkan urusan Donna pada kedua kawannya. Terserah mau diapakan, bahkan dilenyapkan pun, dia tidak masalah. Malah semakin bagus, artinya berkurang hama di sekitarnya. Tiba di ruang rawat Lyra, dia malah menangkap sosok wanita asing dalam ruangan itu. Wanita yang tengah berbincang dengan sangat akrab dengan Lyra. Tatapan Brian mengerut, dia berusaha menilai wanita asing itu. Setelah tidak menemukan hal yang mencurigakan, Brian bisa mendesah lega. Dia mendekati Lyra yang hanya diam menatapnya. “Kamu sudah makan?” tanyanya dengan tatapan lembut. Berusaha memberi kesan baik pada perempuan sakit itu. Lyra mengangguk sekali. “Obatnya sudah diminum?” Lyra kembali mengan
Seperti dugaannya, saat Lyra menghubungi Bella dan mengabarkan keadaannya, wanita itu panik dan langsung mendatanginya ke rumah sakit. Bahkan sejak pertama menginjakkan kakinya di ruang rawat, Bella tidak berhenti bicara dan mengomelinya panjang lebar. Wanita itu selalu memiliki tenaga lebih untuk bicara.Lyra sampai berkali-kali memutar bola matanya malas. Dia menatap tingkah Bella yang seperti seorang ibu yang tengah memarahi anaknya. Dia tahu wanita yang merangkap menjadi temannya itu hanya khawatir padanya.“Lain kali kamu jangan lemah. Jika ada yang menindas, langsung lawan!” ujar Bella dengan nada suara yang menggebu-gebu. Dia jelas sangat geram mendengar cerita Lyra yang dibully oleh Donna. Meski tidak pernah bertatapan secara langsung, dia cukup tahu banyak tentang model tersebut.“Cih, dia hanya menjual tubuh untuk mendapatkan ketenaran instan saja sok sekali. Kalo ketemu, aku rontokin rambutnya,” komentarnya penuh ancaman. Wajah