Ervin mengetukkan jari manis di atas meja sambil menatap laki-laki di hadapannya tanpa gentar. “Kamu tau saya siapa?” tanya Ervin dengan menahan rasa kesalnya. Berminggu-minggu ia mencari info tentang orang yang selalu mengirimi istrinya hadiah dengan surat yang ditulis tangan dan inisial ‘F’ yang selalu ada di akhir surat.Laki-laki di hadapannya itu masih mengirimi barang branded untuk Arla selama beberapa bulan belakangan.Arla memang cuek, tidak bisa menolak karena barang-barang itu tiba-tiba sudah berada di atas meja kerjanya, tapi tidak ada satu pun barang yang dipakainya. Semuanya dimasukkan Arla ke dalam kotak kardus besar.“Ervin Adhinata Candra. Direktur Pemasaran yang sekarang merangkap jabatan sebagai Direktur Utama PT Wijaya Candra. Anak kedua dari keluarga Candra, pemegang saham mayoritas Candra Group. Seorang player yang jumlah mantannya tersebar di mana-mana.”Ervin mendengkus. Bukan itu maksudnya. Ia tidak peduli dengan semua jabatan dan embel-embelnya. Ia hanya ingin
“Bete banget keliatannya.”Sejak masuk ke dalam mobil, memang Arla mempertahankan wajah cemberutnya. Seemosi itu hanya karena bertemu dengan Ferdinand.“Aku drop di apartemen ya. Aku balik ke kantor sebentar nggak apa-apa kan? Ada beberapa berkas yang mesti kutandatangani, dan tadi aku janji balik kantor.”“Aku ikut kamu ke kantor aja.”Ervin belum membalas ucapannya, namun Arla lebih dulu menatap curiga kepada Ervin sambil melemparkan pertanyaan absurd. “Kenapa? Nggak boleh? Ada siapa sih di kantor?”“Siapa yang bilang nggak boleh, Sayang? Bolehlah.”Oh damn! Sekali lagi Arla mengumpat di dalam hati karena Ferdinand berhasil merusak mood-nya yang hari itu baik-baik saja.Ervin memilih diam setelahnya. Jangan coba mengusik wanita yang mood-nya sedang terjun bebas ke dasar jurang kalau ingin selamat. Setidaknya itu yang Ervin pelajari dari dua saudara perempuannya.***“Hai, La,” sapa Lily begitu melihat Ervin datang bersama Arla. “Ya ampun, aku belum ketemu kamu sama sekali sejak kali
“Ganjen amat sih, Lil!” tegur Ervin yang melirik dari rear view mirror dan mendapati Lily yang sedang membenahi make up-nya.“Ih namanya juga usaha,” sentak Lily kesal.Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat perdebatan antara Ervin dan Lily. “Eh, Mas, kita mau ke café-nya Bas? Kok arahnya ke sini?”“Hah?” Ervin seketika tersadar begitu Arla menegurnya. “Nggak tau, dia yang masukin alamatnya ke GPS.” Ervin menuduh Lily yang memang tadi mengatakan ingin makan di suatu tempat dan memaksa untuk memasukkan alamatnya di GPS mobil Ervin.“Kenapa? Spaghetti carbonara di sana enak banget kok,” jawab Lily cuek.“Serius nih mau ke sana?” tanya Ervin memastikan. Harusnya Lily tidak pelu memasukkan alamat di GPS-nya, tinggal bilang kalau ia ingin makan malam di café milik Bastian.“Iya, kenapa sih?”Ervin menghela napas pasrah. Entah kejadian apa yang akan terjadi nanti, sepertinya keputusan Lily sudah bulat. Ia juga tidak tahu seperti apa hubungan Lily dan Bastian saat ini, dirinya sudah
Lily merasa nyaman berada di tengah-tengah sahabat Arla. Ia bahkan tidak lagi menimbang mana yang mungkin bisa ia dekati, meskipun kalau boleh jujur, detik pertama ia melihat Angga, rasanya debaran jantungnya sedikit lepas kendali.Tapi untungnya, ia masih bisa bersikap normal apalagi setelah kedatangan dua sahabat Arla yang lain—Putra dan Nathan."Ini carbonara tanpa keju parmessan kayak biasanya, tadi kamu lupa request kan."Bukan hanya Lily, Ervin juga berjengit saat mendengar suara yang ia kenali.Bastian telah menggulung lengan bajunya sampai ke siku dan mengitari meja itu untuk mengantarkan pesanan satu per satu ke masing-masing orang.Lily hanya melirik Bastian beberapa detik. "Thanks." Mencoba mengembalikan fokus dirinya yang hampir hilang, Lily memilih menatap Angga yang duduk di depannya. 'What the ...! Angga suka sama Arla?' batin Lily tidak percaya kala melihat Angga diam-diam menatap Arla dengan tatapan yang sulit diartikan."Lil.""Hah?" Panggilan dari Ervin berhasil mem
“Ke daerah mana, Lil?”“Rawamangun,” jawab Lily singkat sambil melirik ke arah Angga yang mulai melajukan mobilnya. “Ngerepotin nggak, Ngga? Aku bisa naik taksi loh. Masih belum malem banget kok itungannya kalo di Jakarta. Atau kamu drop aja di mana gitu, nanti aku telepon supir rumahku buat jemput.”“Arla tuh masih belum bener-bener maafin aku, kalau aku nggak nganter kamu sampe rumah padahal tadi aku janjiin begitu, bisa-bisa Arla makin ngamuk.”“Kamu suka sama Arla ya?” Lily langsung menutup mulut begitu pertanyaan iseng itu terlempar dari mulutnya. Lagipula memang selama makan malam dia memperhatikan Angga yang sibuk curi pandang kepada Arla. Kalau memang Angga tidak punya perasaan terhadap Arla, berarti ada hal lain yang membuat tatapan Angga kerap mampir kepada Arla.“Arla udah nikah.” Sebuah balasan yang bukan merupakan jawaban bagi pertanyaan Lily.“Nggak bisa jawab? Ok.” Lily memilih mengakhiri pembicaraan tentang perasaan Angga pada Arla. “Cuma hati-hati aja, Ngga. Ervin kal
“Kamu takut? Belum siap? Atau gimana?” Ervin berlutut di depan istrinya yang duduk di pinggir kasur dan diam seribu bahasa sejak keluar dari kamar mandi lalu menunjukkan hasil dari tiga testpack kepadanya.“Aku takut nama keluargamu jadi jelek.”“Jadi kamu nggak seneng?” Hati Ervin sakit melihat keterpurukan Arla. Harusnya memang mereka membicarakan masalah anak ataupun program kehamilan sebelum semuanya terjadi.“No, Mas. I’m happy. Tapi—”“Nda, ini berkah loh. Jangan karena mikirin omongan orang, trus kamu jadi nggak bersyukur karena berkah ini. Kan kita nggak ngelakuin kesalahan, kamu nggak hamil di luar nikah.”Arla terkesiap mendengar ucapan suaminya. Harusnya ia tidak se-overthinking itu. Lagipula sejak kapan ia terlalu memikirkan perkataan orang lain. “I’m sorry, Mas.” Arla memeluk Ervin yang sejajar dengannya dalam posisi seperti itu. “I’m happy. I really am,” bisiknya di telinga Ervin, meskipun rasa takutnya juga belum bisa sepenuhnya hilang, tapi tak ada salahnya mengungkapk
“Ada pengacara kita yang dampingin. Kamu nggak usah khawatir. Aku nunggu di depan sambil nunggu Mom dan yang lainnya datang. Kalau nanti kamu merasa tertekan, bilang ke pengacara kita. Dengan kondisi kehamilan kamu, kita bisa minta atur ulang jadwal sekaligus minta pengambilan keterangan dilakukan di rumah. Ok?”“Aku nggak selemah itu, Mas.”“Iya, tau. Tapi siapa tau mood kamu berubah tiba-tiba.”Arla mengangguk saja daripada Ervin terus khawatir dengan dirinya yang akan menyampaikan keterangan kepada polisi terkait tindakan kriminal yang telah dilakukan Alan dan Amalia.Keduanya masuk ke dalam kantor polisi, menemui Pak Herman—pengacara yang mengurus prenup mereka sekaligus sekarang diberi amanat untuk mengurus semua masalah hukum yang sedang mereka hadapi.“Nitip ya, Pak. Istri saya lagi hamil, jadi—”“Iya, orang tuamu udah cerita.” Herman mengangkat kedua ibu jarinya sambil menaikturunkan alisnya menggoda Ervin.Ervin terpaksa membiarkan pengacaranya menggiring Arla masuk ke dalam
"Qu'est-il arrivé, Biel?" (Apa yang terjadi, Biel)Semua orang di ruangan itu tampak terkejut, kecuali Ervin tentu saja yang pernah mendengar terkait niat Abiel untuk mengajukan cerai dari Irsyad."Il ne m'aime plus." (He doesn't love me anymore) Singkat dan jelas apa yang diucapkan Abiel hingga mamanya yang mengajukan pertanyaan pun terdiam."Kamu yang ngajuin, Biel?" tanya Alice masih tidak habis pikir."Iya. Udah ah, aku laper."Arla memilih diam meskipun sama bingungnya dengan semua orang yang baru mendengar masalah perceraian kakak sulungnya itu. Bukankah Abiel begitu membanggakan suaminya? Selama ini suaminya selalu menjadi patokan dan dasar bagi Abiel untuk menyeleksi laki-laki yang sedang dekat dengan semua adik-adiknya. Lalu sekarang apa? Mana laki-laki yang dibangga-banggakan Abiel itu?"Nggak kepo, Mas?" bisik Arla pada Ervin."Nggak. Aku udah tau, dari Mas Irsyad.""Kok nggak ngasih tau aku?""Kata Mas Irsyad, jangan kasih tau siapa-siapa."Dan Arla memulai aksi puasa bic
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal