“Udah denger sendiri kan apa kata Nadia? Hubunganku sama dia udah kelar dari dulu. Meskipun nggak diucapkan pake ‘ok, kita putus’, pada prinsipnya ya … memang udah putus aja.”Arla menatap Ervin dengan kesal. Malunya setengah mati saat sadar Ervin meneleponnya hanya agar ia bisa mendengar sendiri apa yang disampaikan Nadia.“Malu tau, Vin. Mikir apa coba Nadia? Ntar dikira aku posesif—”“Bukannya memang begitu?” Ervin mencolek dagu Arla.“Masa sih? Nggak ah! Mana ada ceritanya seorang Arla posesif ke cowok."Ervin tergelak mendengar tingkat kepercayaan diri Arla yang di atas rata-rata."Kamu nggak suka aku posesif?” tanya Arla ragu-ragu. Bukannya ia tidak merasa, belakangan ini memang ia 'sedikit' cemburuan, sensitif, dan posesif.“Selama nggak berlebihan, I’m ok. Suka malah. Posesif kan bagian dari rasa memiliki. Selama nggak berlebihan ya.”“Dih. Kalo gombalin jangan nanggung dong.”“Aku nggak gombal, aku ngomong sebenernya termasuk realitanya. Kalau level posesif kamu udah sampe ng
"Ervin, udah berani ngajak cewek ke rumah?" ledek omanya yang berada di teras rumah untuk mengamati tanaman hias milik menantunya."Oma, udah lama Oma nyampenya?""Lumayan, nggak lama setelah kamu pergi tadi." Wanita yang kini telah memasuki usia lanjut itu menatap gadis yang berdiri kaku di samping cucunya. "Oma nggak dikenalin, Vin?"Tangan Ervin beralih ke punggung Arla, mengusapnya pelan untuk memberikan ketenangan yang memang sedang Arla butuhkan. “Kenalin, Oma. Arla.”“Saya Arla, Oma.” Arla menggigit lidahnya sendiri setelah berhasil memanggil wanita di hadapannya dengan panggilan ‘Oma’."Ayo masuk, La. Yang lain pada di dalem. Tinggal pacarnya Yara yang belum datang.""Wah! Berani-beraninya Adam telat di acara keluarga!" ledek Ervin yang akhirnya bisa jemawa karena membawa 'partner' sendiri dan tidak akan menjadi bulan-bulanan keluarganya yang lain.Ervin bisa bernapas lega karena omanya tidak menunjukkan penolakan terhadap Arla. Karena dari semua orang yang hadir hari itu, sik
“Feeling dari mana?” tanya Arla dengan nada sarkasme yang kentara.“Feeling aja. Lagian kan ucapan itu doa,” ucap Ervin sambil membalik tubuh Arla agar menghadap padanya. “Kamar ini terlalu maskulin, butuh sentuhan wanita. Do it for me, for us.”Arla mengerjap bingung. Mungkin memang begini cara Ervin untuk mendapatkan seorang wanita, menyerang bertubi-tubi hingga sang wanita seperti kehabisan oksigen dalam darah dan tidak bisa berpikir, lantas mengiakan apa pun ucapannya.Karena beberapa saat kemudian Arla baru tersadar dengan keberadaan benda yang menjuntai di lehernya—sebuah kalung dengan bandul cincin.“Ini—”“Aku tau kamu masih belum yakin untuk melangkah lebih jauh. Tapi karena aku udah yakin, hmm … ini sebagai simbol kalau aku maunya kamu, aku udah nggak lirik-lirik yang lain. Jangan merasa tertekan karena ini. One day, kalo kamu memang merasa udah siap, pindahkan bandul cincin di kalungmu ke jari manis kamu.”“Tapi, Vin—”“Nggak usah merasa tertekan. Aku nggak maksa kok, cuma
-Beberapa hari sebelumnya-"Aku mau ke Mandailing."Ervin menatap Arla sambil mengernyitkan kening. "Ngapain sih? Kamu boleh balik ke apartemen lama bukan karena kamu udah aman, Nda. Aku sama Mas Pram mutusin itu dengan penuh pertimbangan.""Aku tau, tapi memang udah nggak ada kejadian aneh lagi kan. Mereka udah nggak berani macem-macem kan."Pada akhirnya Arla berhasil mendesak Ervin untuk memberitahunya dalang di balik peristiwa buruk yang terjadi belakangan."Aku nggak sendirian, kan pergi sama pegawai lain yang lebih ngerti tentang kopi juga.""Ya tapi kenapa jauh banget?""Opsinya cuma Mandailing, Flores, sama Aceh.""Dalam rangka apa sih?""Amigos mau kerja sama sama petani lokal supaya pasokan kopi untuk Amigos nanti langsung dari sana. Programnya bagus kok. Boleh ya?"Ervin memijat pelipisnya, Arla memang tidak bisa melihatnya karena saat ini mereka tengah bicara melalui sambungan telepon."Harus kamu yang berangkat?"Arla terdiam. Memang masih ada pegawai lain yang bisa beran
Ervin masih enggan membuka mata, meskipun ia merasakan tangan seseorang menyentuh keningnya. Sepertinya halusinasinya kali ini cukup kuat hingga membuatnya bahkan bisa menghidu parfum orang yang ada di dekatnya.‘Oh Damn! Apa sekangen ini sama Arla? Mana kepala gue masih berat benget, boro-boro ke kantor untuk ambil charger yang ketinggalan, turun ke counter hp depan apartemen untuk beli charger baru aja udah nggak kuat.’“Vin, makan dulu yuk. Aku udah masak.”No. Ini bukan halusinasi. Ini mimpi! Arla harusnya sudah ada di pesawat, bahkan mungkin harusnya mendarat sebentar lagi di Silangit, sebelum Arla dan timnya melanjutkan perjalanan darat ke Mandailing dengan supir khusus yang sudah 'disiapkan' mamanya.Lagipula Arla masih marah padanya. Ervin belum sempat meminta maaf malam itu dan sial, pagi harinya ponselnya kehabisan daya.“Vin, mau kupanggilin dokter aja?”Kali ini, dengan nyawa yang sudah terkumpul sepenuhnya, Ervin membuka mata dan tatapannya langsung bersirobok dengan mata
"Ehem!" Arla berdeham sambil membersihkan tenggorokan untuk menutupi kegugupannya. "Aku mau nyuci piring dulu."Saking bingungnya Ervin dengan keadaan yang sedang dihadapinya, Ervin sampai-sampai membiarkan saja Arla berlalu dari hadapannya.Tidak banyak piring yang harus dicuci Arla sebenarnya, hanya piring bekas Ervin makan. Ia hanya ingin menyingkir untuk meredakan debaran jantungnya yang mulai tak beraturan."Sayang, piringnya yang dicuci cuma satu kan? Lama banget."Seruan dari Ervin itu membuat Arla akhirnya sadar kalau ia sudah terlalu lama di depan tempat cuci piring."Sini, kita ngomong dulu," ucap Ervin sambil menepuk sisi sofa yang kosong di sebelahnya."Apa nggak baiknya kamu istirahat lagi, Vin? Memangnya kamu sakit apa sih sampe dua hari nggak bisa dihubungi?""Sini dulu."Arla menghela napas, duduk di ujung sofa, tempat di mana tadi Ervin memintanya duduk.Begitu Arla duduk, Ervin bergegas mengambil posisinya sendiri, dengan merebahkan diri dan menjadikan paha Arla seba
“Vin, mau cuddling sampai kapan?”“Bentar lagi.”Arla menghela napas pasrah. ‘Bentar lagi’ yang diucapkan Ervin adalah ‘bentar lagi’ yang sudah ke sekian kalinya. Arla sampai tidak bisa menghitung seberapa banyak Ervin mengucapkan frasa itu.“Ini udah mau malem loh, aku mesti balik—”“Nginep sini aja. Cuddling sepanjang malam, aku rela.”“Harusnya kamu bilangnya ‘mau’, bukan ‘rela’. Rela tuh kesannya kayak aku maksa kamu gitu.”Ervin terkekeh pelan, sama sekali tidak berniat menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Arla.“Geli ih. Jangan ketawa di leher.”Ervin kembali tergelak merasakan pundak Arla yang bergerak-gerak, berusaha menghindar.“Di sini aja ya. Please.”“Jangan aneh-aneh. Aku temenin sampe makan malam dan kamu minum obat dari dokter. Abis itu aku pulang.”“Ya udah aku nggak minum obat. Kan kamu nemenin sampe aku minum obat. Kalo aku minum obatnya besok, berarti kamu nggak ke mana-mana kan malem ini?”“Ervin!” Arla mendengkus kesal. Ini bukan level manja lagi, Ervin benar-bena
“Papa nggak mau denger kalo kamu masih main-main ya, Vin.” Naren menatap putranya dengan sungguh-sungguh.Usai Arla pulang dari unit apartemen itu, orang tuanya memang tinggal lebih lama. Ervin jelas tahu apa tujuan orang tuanya masih betah berada di apartemennya yang hanya seluas kamar tidur orang tuanya di rumah. Apa lagi kalau bukan menceramahinya.“Nggak, Pa.” Ervin menahan kantuknya yang mulai menjadi, mungkin efek obat yang diminumnya setelah makan malam, atau efek Arla sudah pergi dari apartemennya.“Kamu udah ngerasain gimana susahnya meluluhkan hati Arla kan. Jadi sekali aja kamu bikin dia kecewa, mungkin kesempatan untuk kamu nggak bakal ada lagi. Untuk dapetin lagi hati orang yang udah dikecewain itu lebih susah daripada untuk dapetin hati dia pertama kali.” Kali ini ganti Rhea yang memberi wejangan.Seketika Naren tersedak mendengar ucapan istrinya. Kenapa itu mengingatkannya pada masa lalu?“Tanya aja papamu kalo nggak percaya. Pengalaman papamu banyak, mulai dari ngecewa
"Abiel tadi telepon, Mas." Arla membantu Ervin membuka kancing kemeja sebelum ia beranjak ke kamar mandi. Kebiasaan baru yang diharuskan Arla setelah Ervin pulang kerja dan sebelum suaminya itu menyentuh Ancel."Kenapa Abiel?""Keputusannya keluar. Mas Pram diberhentikan dengan tidak hormat. Abiel bilang makasih ke Mas."Ervin hanya menghela napas. Bukan ia sebenarnya yang bertindak. Ia meminta bantuan kakeknya yang memiliki lingkup pertemanan lebih luas.Kasus perselingkuhan yang diajukan Abiel hampir terkubur begitu saja karena kedudukan Pramono. Untung kakek Ervin memiliki kenalan dengan kedudukan jauh lebih tinggi hingga semuanya bisa dilancarkan.Di atas langit masih ada langit. Peribahasa yang tepat untuk perkara satu ini."Tuhan baik banget ngirim kamu ke hidupku, Mas."Ervin mengerjap pelan. Kapan lagi dia bisa mendengar kalimat semacam itu dari istrinya. "Tuhan juga baik banget ngirimin kamu sama Ancel ke hidupku." Diam sesaat, kening Ervin mengernyit seperti memikirkan sesuat
“Arla!”“Iya, Mom,” sahut Arla begitu mendengar teriakan Mom dari lantai bawah. “Mas, Papa sama Mama udah dateng kayaknya, jahitanku masih sakit kalau buat naik turun tangga.”Ervin sedang fokus pada laptop-nya di meja rias Arla untuk menyelesaikan pekerjaannya yang ia abaikan selama dua minggu belakangan karena cuti untuk ayah atau lebih terkenal dengan paternity leave. “Ok. Biar naik aja ya Papa Mama.”“Iya.” Arla bergegas merapikan kamarnya yang (agak) berantakan. Siapa pun pasti maklum kan kalau kamar jadi berantakan dengan keberadaan anak bayi. Pertama, karena sang ibu belum benar-benar pulih, kedua karena orang tua bayi masih dalam masa adaptasi, dan ketiga, karena ayah si bayi mungkin memang tidak memiliki bakat untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga semacam rapi-rapi kamar.“Anceeel!”Ancel memang tidak sedang tidur, tapi tetap saja tergeragap mendengar suara yang cukup kencang itu. Sementara Arla hanya menggeleng-gelengkan kepala. Bukan suara mama mertuanya tentu saja yang
“Mas.”“Kenapa? Nggak usah ikut ya. Janji cuma bentar, abis sidang, aku langsung pulang. Biar Mom sama yang lainnya ikut ke sini sekalian. Siapa tau kalo keluargamu ngumpul, dedeknya mau keluar.”Memang, sudah seminggu lewat dari HPL, tapi anak di kandungan Arla seakan masih betah bermain di dalam sana. Arla cukup stres dibuatnya meskipun dokter kandungannya mengatakan kalau hal itu adalah normal. Waktu persalinan tidak harus sama dengan HPL, tiga minggu lebih awal sampai dua minggu lewat dari HPL adalah hal yang normal.“Atau aku nggak usah berangkat ya? Kan ada tim pengacara.”Arla menggeleng. Tidak tega membiarkan keluarganya sendiri tanpa Ervin. Meskipun tetap ada pengacara yang siap membantu mereka, tapi Arla tetap tidak tega.Sejujurnya, Arla juga ingin Ervin ada di sampingnya seperti beberapa hari belakangan, tapi kakak iparnya—Irsyad—sedang dinas di luar kota. Jadi, hanya Ervin laki-laki di keluarganya saat ini.“Nggak apa-apa, di sini kan banyak orang. Nanti kalo aku udah nge
Berhadapan di kantin rumah sakit, Ervin dan Arla saling tatap. Ervin meraih kedua tangan Arla dan menggenggamnya.Keduanya masih mencoba mengatur napas setelah kepanikan mereka beberapa saat sebelumnya. Tegang dan lega secara bersamaan sepertinya tidak pernah mereka rasakan seperti sekarang.“Kita cuma terlalu panik tadi, Mas.”“Iya, syukur nggak kenapa-napa. Tapi kan dokter memang minta kamu istirahat dulu. Kita ke rumah Mama aja ya.”Arla mengangguk setuju. Setidaknya ada mama mertuanya yang sudah berpengalaman dengan tiga kali kehamilan. Ada beberapa ART yang sudah punya anak bahkan cucu, yang mungkin bisa meredakan paniknya kalau hal seperti sebelumnya terjadi lagi.Walaupun setelah Arla melalui serangkaian pemeriksaan, dokter berkata itu hal yang wajar jika Arla kelelahan dan semuanya normal.“Kalau kita ditanya kenapa nginep di sana gimana, Mas?”“Ya kita bilang kejadiannya. Aku beneran nggak berani berdua di apartemen sama kamu. Aku takut.”Arla mengangguk. Sama. Ia juga takut
“Udah ok belum, Kak?” tanya Yara sambil menunjukkan desain interior rumah yang baru dibeli kakaknya.Siang itu, Yara menemui Arla di kantor mamanya—lebih tepatnya di lantai 2 Amigos—karena kakaknya mengatakan bahwa Arla yang akan memutuskan semuanya. ‘Itu rumah untuk kakak iparmu, Dek. Jadi tanya aja ke dia.’ Begitu tadi ucapan kakaknya yang membuat Yara merotasikan kedua bola matanya karena level bucin yang agak berlebihan dari kakaknya.“Rumahnya masih lumayan baru, nggak terlalu banyak yang harus direnov. Aku cuma bakal ngeberesin taman samping ini yang kelihatan gelap. Tapi terserah Kak Arla, Kak Ervin bilang sepenuhnya keputusan di Kak Arla.”Arla mendengkus kesal. “Kamu nggak nanya ke kakakmu? Dia sebenernya mau tinggal sama aku apa nggak? Kok semuanya aku yang mutusin.”Tawa Yara berderai mendengar ocehan kakak iparnya dan seketika tersadar kalau ia pun mengalami hal yang sama saat mendesain interior rumah Adam. “Emang gitu laki-laki, Kak. Niatnya sih baik, biar kita betah di r
“Ada urusan apa kamu mau ketemu aku?”Ervin tidak menyangka kalau siang itu dia harus menemui Alan. Pengacaranya menghubungi dan menyampaikan bahwa Alan ingin bertemu dan bicara sesuatu padanya. Diiming-imingi dengan janji Alan untuk bersikap kooperatif dan memberikan sebuah informasi penting, akhirnya Ervin menyetujui permintaan Alan itu.Harusnya Alan gentar mendapatkan tatapan setajam itu dari Ervin, tapi Alan sama sekali tidak menunjukkan ketakutannya.“Aku nggak sendirian. Harusnya kamu sadar gimana susahnya anak buah kamu buat dapet bukti kan?”“Jadi? Siapa?” Setengah mati Ervin mencoba untuk tidak menunjukkan rasa penasarannya. Trik dalam negosiasi sedang dipakainya. Sekali ia menunjukkan rasa penasarannya, maka Alan akan memegang kendali, merasa bisa menyetir arah pembicaraan mereka. “Jangan buang waktuku!”“Do something for me. Setelah itu aku akan bongkar semuanya.”“Apa? Aku harus lihat dulu sepadan atau nggak apa yang kamu minta sama yang kamu tawarin.”Alan sebenarnya tah
“Dirga rewel?” tanya Abiel yang baru menjemput Dirga sore hari. Ternyata ia benar-benar butuh ‘me time’. Jadi setelah pertemuannya dengan Pramono dan selingkuhannya itu, Abiel pergi ke salon langganannya untuk creambath. Meskipun pijatan dari pegawai salon itu tidak juga menghilangkan pusingnya, setidaknya ia punya waktu untuk melatih senyuman palsunya di depan Dirga—anak sematawayangnya.“Nggak. Sejak kapan Dirga rewel. Kalo udah ketemu sama Lashira tuh, baru saling ganggu, saling bikin nangis.” Arla mengajak Abiel untuk duduk di ruang makan. Ia mengambil satu pitcher es jeruk yang sudah disiapkannya di dalam kulkas.“Sekarang Dirga mana?”“Lagi ke minimarket bawah sama Mas Ervin.” Arla tahu kalau Abiel sedang ingin cepat angkat kaki dari apartemennya demi menghindari pembicaraan tentang Pramono dan perselingkuhannya. “Jadi, kamu apain dia? Udah beres masalahnya?”Abiel memilih diam.“Hubungan kita memang kayak Tom and Jerry, Biel. Tapi … kita tetep saudara. Aku juga akan tetep bela
"Maaas, Abiel mau ke sini. Mau nitipin Dirga." Arla terburu menyusul Ervin yang berada di dapur untuk membuatkannya puding. Arla tersenyum melihat suaminya sedang video call dengan Bi Ijah demi mendapatkan tutorial yang meyakinkan. "Bisa? Sini aku aja.""No, no, udah tinggal nunggu mendidih kok. Tadi apa kata kamu? Abiel mau nitipin Dirga di sini?""Iya. Abiel mau ketemu sama Mas Pram dan dia nggak mau Dirga denger apa yang mereka omongin.""Ok, mumpung weekend, dan pas banget aku lagi bikin puding. Nanti kita ke bawah beli snack ya buat Dirga.""Nunggu Dirga dateng aja, biar dia yang milih snack-nya.""Ok. Done. Bi Ijah makasih ya, Bi. Ini tinggal kupindah ke wadah trus nunggu uap panasnya ilang, baru masukin ke kulkas kan. Sip." Ervin mengakhiri sambungan video call, lalu sibuk menuang puding buatannya ke wadah kaca. "Sabar ya, Sayang. Tunggu pudingnya dingin," ucap Ervin sambil mengusap perut istrinya yang kini mulai terlihat membuncit di dua puluh minggu kehamilannya.Entah siapa
“Dek, jujur ya. Aku kelihatan gendut banget ya? Perutku kelihatan buncit kan?” Berulang kali Arla berkaca dan sudah lebih dari lima orang yang mengatakan kalau ia tidak terlihat sedang hamil, tapi masih saja Arla gelisah. ‘Ini terakhir kalinya,’ batin Arla. Ia berjanji Yara—adik iparnya—adalah orang terakhir yang ia tanya.“Nggak kok, Kak. Masih lurus, lempeng. Nggak pake stagen, korset, atau semacamnya kan, Kak? Kasihan ponakan aku kegencet.”Arla terkekeh geli melihat raut wajah Yara yang benar-benar terlihat memelas. “Nggak, mana dibolehin sama kakakmu.”“Lagian begini aja masih kelihatan langsing kok. Kak Arla ngatur makan ya?”“Nggak juga, ini aja udah naik tiga kilo. Sempet diomelin kemaren karena bajunya mesti dirombak lagi.”“Ah iya, aku jadi keinget, karena Kak Arla lagi ngomongin baju. Mama udah tau apa yang dilakukan Anya. Mama mau ngamuk, untung ada Kak Aileen yang nenangin. Jadi Mama udah nggak make jasa butik dia lagi mulai sekarang.”Arla menghela napas. “Sebenernya kal