“Buddy, aku tidak akan menganggumu, oke?” desis Katon lembut ke arah dua dobberman tersebut. Posisinya masih sama, berjongkok karena baru mendarat. Kedua anjing penjaga itu juga tetap menggeram dan memamerkan taring-taring mereka yang berselimut liur. “Aku mau saja memberikan lenganku untukmu, Nak. Tetapi aku harus menyelamatkan istriku. Susah jika berbagi daging denganmu dulu,” rayu Katon perlahan, ia memutar jongkoknya dan sekarang menghadap ke dua ekor dobberman sambil mengulurkan kedua tangan tanpa keinginan mendominasi. Geraman kembali terdengar. Dan mendadak suara keributan terdengar di ruang depan. Kedua anjing itu menegakkan kepala sekaligus kedua telinganya, melupakan Katon sesaat, menatap ke arah asal suara. “Shit! Sesa sudah memulai pestanya,” geram Katon. Ia khawatir keramaian itu akan mengundang perhatian. Katon harus bergerak lebih cepat. “See you later, boys!” Katon melesat berlari dan dengan segera kedua anjing mengejar kakinya. Berlomba dengan maut, Katon menggeba
Suara letusan pistol beradu dengan dentang besi yang mencelat patah terdengar nyaring di ruangan ini. Dan Katon semakin khawatir karena Ratih tidak bergerak dengan segala keributan yang menggema ini. Katon mendobrak pintu lalu berlari masuk dan meraih tubuh lemas istrinya. “Ratih!” panggilnya berkali-kali tetapi istrinya tidak merespon. Matanya tetap terpejam dengan rapat. Katon mengendus tubuh Ratih dan mengenali bau kimia yang kuat di antara keringat dan parfum Ratih. Istrinya dicekoki sesuatu hingga tak sadarkan diri. Katon mengangkat tubuh Ratih ke pelukannya dan membawa keluar kamar. Baru dua langkah keluar dari sel bau itu. Tiga pria muncul dan menodongkan senjata. Katon kembali berlari masuk ke dalam sel ketika peluru memberondong sekaligus menghantam dinding disekitarnya. Ratih mengerang karena bahunya terbentur kusen pintu saat Katon cepat-cepat masuk tadi. Tetapi matanya masih terpejam meskipun sekarang bibirnya terbuka. “Maafkan aku, Sayang,” bisik Katon sedih, terpaksa
Ratih sudah ada di gendongan Katon kembali saat ia berjalan menuju pick up. Ia meletakkan Ratih di jok samping dan berjalan memutari bagian depan mobil menuju sisi pengemudi saat Gio dan Sesa telah melenyapkan diri dengan dua motor. Katon masuk dan menyalakan mesin, ia menutupi tubuh Ratih yang pingsan dengan selimut yang ada di belakang jok pengemudi dan mengendarai mobil dengan santai meski berpapasan dengan banyak mobil polisi dan satu ambulance. Seorang polisi lalu lintas yang mengatur jalan dan merupakan bagian dari polisi yang mengepung tempat tinggal Belkacem, malah membukakan jalan untuk pick up lusuh berwarna hijau dengan kerak berkarat di bagian bawah yang ditumpangi Katon. Segera saja pria itu mengarahkan mobilnya ke jembatan El Kantara da kembali menuju ke pusat kota yang lebih beradab. Ponsel Katon bergetar dan ia mengeluarkan tanpa melepas kemudi. “Hm.” “Langsung ke hotelmu, Ton!” Suara Giovanni memecah dari balik ponsel di antara deru angin sekitarnya. “Aku butuh
“Woo, aku tahu mata itu. Aku tahu wajah itu! Tidak, Ton. Pesan dari Evita jelas. Selamatkan Ratih. Titik. Stop. Berhenti!” tukas Gio tidak suka melihat wajah geram Katon. “Kamu berencana mengejar Belkacem? Jangan. Percuma, Ton. Lagipula kau ke sini untuk bisnis dan Ratih sedang sakit. Jangan aneh-aneh, Katon.” Sesa menambahkan kalimat Gio. “Dengar, Grand-mère Evita merahasiakan misi kita dari Mama Papamu, Ton. Jangan khianati usaha beliau dengan kamu mengamuk membabi buta mencari Belkacem. Jangan sekarang,” kata Gio lagi. Katon kembali meredam emosinya, “Berarti boleh aku lakukan nanti? Setelah selesai urusan bisnisku?” tanya Katon berusaha sok tenang ke arah Gio dan Sesa. “Kalian akan membantuku saat itu tiba?” Giovanni bertatapan dengan Francesca. Mereka mengenali angkara Katon. Pria ini tidak akan berhenti membalas dendam. “Bro, saat ini kita fokus bisnismu dan kesehatan Ratih pulih kembali, oke? Hal lain bisa kita bicarakan kemudian,” rayu Giovanni. “Kau mau aku panggilkan L
Lorna dan Cia datang selang satu hari setelah drama penyelamatan Ratih. Saat kedua wanita itu datang, kondisi Ratih sudah jauh lebih baik. Lambungnya telah kembali normal, membawa napsu makan tanpa masalah. Ratih hanya perlu menyembuhkan memar dan lecetnya saja. “Kamu benar-benar belahan jiwa Katon ya? Kamu ke sini untuk bulan madu, omong-omong. Bukan malah buka lowongan peperangan,” goda Lorna yang saat bicara duduk di atas tempat tidur menemani Ratih. Cia ada di kursi dekat mereka, mengupas jeruk untuk dua wanita di atas tempat tidur. Ratih mengikik bersamaan dengan Lorna menyelesaikan kalimatnya, membuat Cia yang mengulurkan jeruk kupasan hanya mampu penggeleng tak percaya. Katon keluar dari ruangan lain sambil mengancingkan ujung lengan kemeja, “Sayang, aku akan meninggalkanmu bersama Cia dan Lorna. Jangan takut. Belkacem dan kawanannya tidak melacakku hingga kemari.” “Kamu gimana, Mas?” tanya Ratih tanpa bisa menutupi kekhawatirannya. “Aku?” Katon balas bertanya sambil mer
Katon menyambut Karim Belkacem dengan bermartabat. Seolah-olah tidak ada kebencian membakar di dalam dirinya karena pria ini telah melukai sang istri. Tapi hatinya dipenuhi bara kebencian yang mendidih. Ia menyembunyikan emosinya di balik wajah yang dingin. Pria ini telah melukai Ratih, secara langsung atau mungkin melalui anak buahnya, dan rasa sakit itu masih segar dalam ingatan. Namun, di hadapan musuhnya, Katon harus bertindak bijaksana. “Mister Belkacem, suatu kehormatan bertemu dengan Anda.” Katon yang telah berdiri, satu tangan mendarat sopan di dadanya sendiri sementara tangan kanannya mengulur untuk menjabat Belkacem. Meskipun hatinya menggerung untuk meremukkan pria itu. Belkacem membalas uluran tangan itu dengan suara serak yang terdengar sangat sakit, seolah-olah napasnya tercekik di tenggorokan. “Aku pun merasa tersanjung bertemu dengan Anda, Tuan,” balasnya dengan senyum yang sulit ditebak. Selanjutnya Gio dan Sesa yang menggantikan tangan Katon untuk menjabat pria Al
Pintu lift terbuka dengan denting lembut. Menjadi kode untuk Sesa dan Giovanni yang langsung mengarahkan revolvernya ke pintu yang terbuka, sementara Katon berdiri dengan wajah dingin dan revolver tergantung di tangan kanannya. Sesa mengarahkan senjata ke kanan saat Gio mengarahkan ke arah sebaliknya. “Aman,” desis Sesa. Katon melangkah keluar, lurus menuju ke kamarnya dengan wajah murung diliputi amarah. Kartu kunci sudah diserahkan ke Sesa, maka wanita itu yang membuka pintu dan mempersilakan Katon masuk lebih dulu. Pria itu melempar revolvernya ke atas tempat tidur lalu membuka jas dan membantingnya sekalian. Amarahnya telah tiba di ubun-ubun karena rencana indahnya bersama Ratih telah dikacaukan Belkacem. Di sisi lain kota, tepatnya di Constantine Hotel. Lorna yang telah menerima instruksi dari Sesa, segera sigap memeriksa keluar kamar dengan cara memindai sekitar dari balkonnya. Cia, yang menerima pesan dari Giovanni menyiagakan senjata dan menyiapkan untuk kekasihnya maupun
Di kamar hotel murah yang disewa Katon. Pria itu berdiri di depan jendela memikirkan istrinya. Ia baru akan bergerak mengambil ponsel di celana sebelum kemudian tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Sesa yang duduk di tepi ranjang dan Giovanni yang mondar-mandir, segera menoleh ke arah pintu. “Menurutmu itu mereka?” bisik Giovanni tajam. Tanpa menunggu konfirmasi lebih lanjut, Katon memberi kode agar mereka bersiap. Sejurus kemudian, pintu didobrak. Daun pintu seketika jebol dalam sekali tendang, membuat serpihan kayu berhamburan menyiram Giovanni yang berada paling ujung. Pria itu melindungi mata sembari satu tangan meraih revolvernya. Lima pria berbadan tegap dengan mata dingin tanpa ampun menyerbu masuk. Dua orang langsung menyerang Giovanni tak memberinya kesempatan menarik revolver. Menendang senjata api itu hingga jatuh. Satu orang meluruk dan menyerang Sesa. Dua lain melaju ke arah Katon. Revolver Katon jauh di atas tempat tidur, akibat dilemparnya tadi. Ia juga tida
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas