Pintu lift terbuka dengan denting lembut. Menjadi kode untuk Sesa dan Giovanni yang langsung mengarahkan revolvernya ke pintu yang terbuka, sementara Katon berdiri dengan wajah dingin dan revolver tergantung di tangan kanannya. Sesa mengarahkan senjata ke kanan saat Gio mengarahkan ke arah sebaliknya. “Aman,” desis Sesa. Katon melangkah keluar, lurus menuju ke kamarnya dengan wajah murung diliputi amarah. Kartu kunci sudah diserahkan ke Sesa, maka wanita itu yang membuka pintu dan mempersilakan Katon masuk lebih dulu. Pria itu melempar revolvernya ke atas tempat tidur lalu membuka jas dan membantingnya sekalian. Amarahnya telah tiba di ubun-ubun karena rencana indahnya bersama Ratih telah dikacaukan Belkacem. Di sisi lain kota, tepatnya di Constantine Hotel. Lorna yang telah menerima instruksi dari Sesa, segera sigap memeriksa keluar kamar dengan cara memindai sekitar dari balkonnya. Cia, yang menerima pesan dari Giovanni menyiagakan senjata dan menyiapkan untuk kekasihnya maupun
Di kamar hotel murah yang disewa Katon. Pria itu berdiri di depan jendela memikirkan istrinya. Ia baru akan bergerak mengambil ponsel di celana sebelum kemudian tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kamar. Sesa yang duduk di tepi ranjang dan Giovanni yang mondar-mandir, segera menoleh ke arah pintu. “Menurutmu itu mereka?” bisik Giovanni tajam. Tanpa menunggu konfirmasi lebih lanjut, Katon memberi kode agar mereka bersiap. Sejurus kemudian, pintu didobrak. Daun pintu seketika jebol dalam sekali tendang, membuat serpihan kayu berhamburan menyiram Giovanni yang berada paling ujung. Pria itu melindungi mata sembari satu tangan meraih revolvernya. Lima pria berbadan tegap dengan mata dingin tanpa ampun menyerbu masuk. Dua orang langsung menyerang Giovanni tak memberinya kesempatan menarik revolver. Menendang senjata api itu hingga jatuh. Satu orang meluruk dan menyerang Sesa. Dua lain melaju ke arah Katon. Revolver Katon jauh di atas tempat tidur, akibat dilemparnya tadi. Ia juga tida
Malam mulai turun di Konstantin saat mobil yang dikendarai Giovanni melaju dengan kecepatan tinggi, menyusuri jalan-jalan yang sempit dan berkelok-kelok, menjauhi pusat kota. Lorna dan Cia duduk di belakang, sementara Ratih dalam pelukan Katon di jok tengah, tak berhenti melihat ke belakang, memastikan Belkacem dan anak buahnya tak membuntuti mereka lagi. Di jok depan, Sesa dan Giovanni fokus ke depan, meski jantung mereka berdebar seiring perasaan bahaya yang terus membayang. “Kita akan ke mana sekarang?” tanya Ratih ragu kepada suami yang memeluknya. Barang-barang mereka semua tertinggal di dalam Hotel Constantine. Katon tidak menjawab tetapu menatap ke arah Giovanni melalui spion depan. “Safe house yang disediakan Nadia,” jawab pria itu pendek. Katon berganti menunduk ke wajah sang istri yang menatapnya penuh pengharapan untuk mengirimkan senyum menenangkan. Ketika mobil yang mereka tumpangi mendekati jembatan gantung yang terkenal di Konstantin, pemandangan spektakuler terbuka
“Pait, Neng,” keluh Katon seraya mengernyit. Ratih yang sempat terkesiap karena Katon mendadak menciumi lehernya, seketika tertawa. “Lah memang! Kan barusan Mas olesin salep! Aku juga kaget Mas tiba-tiba nyium di situ, gak sempet nolak,” kekeh wanita itu sambil berusaha melap bibir Katon dengan ibu jarinya. “Kamu sih, Neng. Godain mulu,” gerutu Katon. “Cium di sini saja,” ujar Ratih sambil tertawa pelan dan mengelus rahang suaminya. Sementara jari telunjuk kanan ia tempatkan di tengah bibirnya yang ranum. Katon senang bukan kepalang, baru akan mendesak sang istri saat pintu kamarnya diketuk. “Ton,” panggil Giovanni pelan. Katon mendengus sebal, tidak jadi menindih sang istri yang sudah pasrah. “Istirahatlah, Neng. Aku keluar sebentar.” “Ke mana?” Dengan segera Ratih yang baru dilepas Katon balas mencengkeram lengan suaminya. Matanya mengerut mencurigai sang suami. “Keluar kamar, kan dipanggil Gio. Masa Gio kusuruh masuk di mari,” jawab Katon sabar. “Jangan pergi, Mas. Jangan b
Di meja makan, suara gelak tawa ringan memenuhi suasana. Katon duduk di ujung meja sambil menyesap teh mint yang disajikan Nadia. Di sebelahnya, Ratih sibuk menyodorkan piring berisi chakchouka yang ia buat dengan bangga. "Kamu harus coba ini, Mas. Aku buat sendiri loh!" Ratih berkata sambil tersenyum lebar, bangga dengan hasil masakannya. Katon menatap piring itu dengan mata menyipit bercanda. "Hmm, kalau ini bikinanmu pasti enak, Neng Ayu" ujarnya sambil mengangkat garpu dan mulai mencicipi. Wajahnya berubah seketika, seolah mencicipi sesuatu yang luar biasa. "Wah, rasanya ... lezat banget, Neng!" tambahnya dengan nada menggoda. Ratih tertawa bahagia seperti anak kecil yang dipuji atas kerja kerasnya. Nadia yang duduk di depan mereka, tersenyum melihat interaksi Katon dan Ratih, lalu menatap ke arah Nyonya Anindito itu. "Ratih, hari ini bagaimana kalau kita jalan-jalan ke Belezma National Park? Kudengar kamu suka hiking. Ada beberapa tempat menarik yang aku bisa tunjukkan padamu.
Katon yang jatuh bergulingan bersama Karim, tak sempat menjawab atau mengkhawatirkan bunyi letusan senjata bak peperangan di telinganya. Ia tengah menghadapi lawannya sendiri. Dua orang bodyguard Belkacem telah memasuki ruang VIP delapan dan tidak memberi kesempatan pada korbannya. Keduanya meluruk dengan cepat ke arah Katon dan Karim. Katon berguling untuk menghindari tendangan membahayakan lalu sigap berdiri sambil melayangkan tendangan juga ke arah kaki lawan. Ia bertarung satu lawan satu dan dalam tiga kali gerakan, Katon segera menyadari jika Karim tidak pandai bela diri. “Fuck!” Makinya kesal, membuat pukulan tinjunya lebih mematikan. Katon menjotos muka lawannya yang baru saja menghindari kumite. Ia tidak menggunakan karate tetapi murni jotosan kuat langsung ke titik hidung. Empat kali Katon menyarangkan jotosan tak berperikemanusiaan. Menghancurkan tulang hidung dan mata lawannya, membuat lawannya mati kutu dan jatuh menabrak barisan vas aromaterapi di atas meja. Katon te
Suara mesin mobil terdengar meraung keras, membelah jalanan keluar dari bangunan spa. Katon menancap gas kuat-kuat, mengejar sedan hitam yang membawa Belkacem dan dua sahabat wanitanya. Karim duduk di sampingnya, wajah masih berdarah dan lebam tetapi tatapan matanya tajam meski satu mata bengkak besar. Mereka berdua tahu, satu kesalahan kecil bisa berujung maut. Apalagi dengan medan menantang seperti jembatan gantung Aljazair, Jembatan Sidi M’Cid yang menjulang tinggi di atas lembah. “Jembatan di depan!” teriak Karim, menunjuk ke depan. Sedan hitam yang mereka kejar mulai memasuki jembatan yang terkenal dengan angin kencang. Pemandangan di sekitar jembatan sungguh memukau. Namun, sekarang itu tidak berarti karena Katon menghadapi situasi hidup dan mati. Tidak hanya Lorna dan Cia yang ada di depannya, tetapi juga Sesa dan Gio di tempat lain. Katon menggenggam erat kemudi, mempercepat laju mobilnya, “Kita harus menghentikan mereka sebelum keluar dari jembatan,” desisnya. Angin berd
Ratih dan Nadia yang keluar dari rumah selepas sarapan menuju Belezma National Park yang terletak di kaki pegunungan Atlas. Matahari pagi yang cerah menyinari keindahan taman nasional tersebut. Nadia terlihat sangat antusias sementara Ratih berusaha mengimbanginya demi kesopanan. “Matahari paginya menakjubkan, Nadia. Aku hampir tidak percaya kita benar-benar berada di sini!” kata Ratih sambil memandang panorama menakjubkan di sekeliling mereka. Nadia tersenyum penuh kesabaran. “Belezma terkenal dengan keindahan alamnya. Lihatlah hutan pinus dan lereng bukit yang tertutup hijau ini. Kita bisa menghirup udara bersih dan segar di sini.” Mereka berdua melangkah perlahan di sepanjang jalur setapak, dikelilingi oleh pemandangan hutan lebat dan aliran sungai yang jernih. Suara kicauan burung dan gemericik air menambah suasana tenang dan damai. Ratih merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk kota. “Mari kita ambil beberapa foto di sini. Ini pemandangan yang luar
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas