Katon mengemasi peralatan makan mereka secepat kilat. Lalu membersihkan tempat tidur dengan seksama. Ratih yang berdiri menjauhi tempat tidur, menatapnya sambil terkikik geli. Ketika sudah bersih semua, Katon segera menerjang ke arah Ratih. Secepat kilat wanita itu memasang kuda-kuda dan meluruskan kaki kanannya. Telapak kakinya mencapai dada Katon dan menahan pria itu. “Neng?” Katon keheranan dan nyaris menerima hal ini sebagai tantangan bertempur. Tangannya sudah hampir menepis sekaligus membanting Ratih ke atas tempat tidur jika tidak tergoda dengan paha mulus istrinya yang tersibak, sekaligus pertigaan yang ... Ah! Tapi, ‘kan ini istrinya sedang bersiaga dengan kuda-kuda! “Mandi dulu, Mas. Segarkan dirimu dulu, aku tidak mau memeluk bekas orang dan bekas aroma steak!” desis Ratih. Katon memutar matanya, memahami ‘bekas orang’ yang dimaksud Ratih adalah pelukan dari keluarga dan para tamu undangan. “Banyak sekali syarat untuk menidurimu, Neng?!” “Itu baru satu syarat. Selain tu
Dua napas memburu. Dua tubuh bersatu. Katon berada di atas dan mengungkung Ratih yang tak berdaya di bawahnya. Rambut panjang Ratih bertebaran di atas bantal, wajahnya merona dan matanya sayu, membuat Katon makin menggila rasanya. Satu tangan Katon meringkus kedua tangan Ratih dan menahan di atas kepalanya. Sementara satu tangan yang lain meremas satu paha Ratih yang selalu berusaha mengatup. “Perih, Mas.” Ratih memejamkan mata dan mengerutkan dahi saat wajah Katon yang menyala begitu dekat dengan wajahnya. Desir napas Katon menyapu, membuat Ratih enggan membuka mata karena ingin menikmati harumnya. Mata Katon yang membara berusaha mencari mata Ratih karena ia ingin mengikat pandangan wanita itu. Tetapi sang istri malah memilih memejamkan mata. Katon tidak suka pasangannya menutup mata saat ia berkuasa. Namun, kali ini berbeda. Karena Ratih tampak menderita. Alih-alih memaksa sang wanita membuka mata, ia memilih berhenti bergerak dan Ratih mengembuskan napas lega seolah berhenti mend
Entah berapa kali mereka bermain. Ratih yang baru pertama kali melakukan aktifitas tersebut, dengan berani menerima perihnya dan menantang Katon untuk lagi dan lagi mengulang demi rasa yang enak saja, karena perih makin lama makin hilang. Sedangkan Katon yang telah lama berpuasa, seolah menemukan oase di tengah gurun kering cinta. Emosinya meluap dan meluber hanya untuk Ratih seorang. Membimbing wanita yang berstatus istri ke batas yang mereka buat sendiri, lalu melampauinya berdua. Selalu Ratih berkali-kali barulah Katon yang menemaninya di puncak. Mereka baru sadar untuk berhenti ketika pintu kamar mereka diketuk perlahan, “Ton, Tih, ibadah Minggu jam berapa? Kami berangkat dulu, ya?” Suara Arini membuat dua tubuh yang sedang membelit, kedua tangan dan kaki kehilangan kepemilikan karena saling merangkai satu sama lain, spontan berhenti bergerak. Ratih menutup mulutnya dari suara nakal yang sedari dinihari ia nyanyikan untuk Katon sedangkan Katon membeku menatap Ratih. Mata dan mat
Katon dan Ratih mengikuti ibadah hari Minggu yang dimulai pukul setengah sebelas. Mereka tiba di gereja tempat melangsungkan pernikahan, lima belas menit sebelum ibadah dimulai. Ktika turun dari mobil, tampak Ratih mulai tidak nyaman melangkah. Katon segera tiba di sisi Ratih dan menyerahkan lengannya, “Masih sesakit itukah?” tanyanya perhatian. “Bukan sakit. Tidak nyaman. Seperti kebas dan tebal?” Ratih menjawab sambil mencoba mengenali rasanya. “Bengkak?” Katon bertanya kepada Ratih tetapi pandangannya ke titik di antara dua kaki istrinya. “Mas Katon!” desis Ratih mengingatkan. Katon yang tinggi menjulang jadi tampak mencolok kalau agak menunduk dan menatap lekat-lekat area situ. Katon jadi sadar sendiri kalau secara tidak sengaja sudah melecehkan istrinya. Sambil tertawa meminta maaf, Katon mulai melangkah dan menarik lengannya. Maka Ratih yang menempel di sana tereret ikut melangkah. Mereka memasuki gereja bersama dengan ratusan jemaat lain. Para pelayan kudus yang mengenali
Katon dan Ratih pergi ke Aljazair hanya berdua di hari Jumat. Sengaja tidak memakai fasilitas milik Satria, mereka berdua menggunakan pesawat terbang komersil. Rencana perjalanan bisnis selama satu minggu dan memanfaatkan akhir pekan yang sesaat sebagai bulan madu kecil-kecilan, membuat mereka tidak banyak membawa bagasi. Hanya dua koper besar dan satu ransel yang semuanya dibawa oleh Katon menggunakan trolley, membebaskan istrinya yang masih muda dan cantik berjalan anggun di sisinya hanya membawa satu tas yang berisi keperluan pribadinya sendiri. “Berapa lama penerbangan, Mas?” tanyanya ceria. Bagaimana tidak, satu minggu setelah menikah, baru dia bisa menghabiskan 24 jam berdua saja bersama sang suami. Ah, abaikan penumpang yang lain. Katon mendorong trolley dengan satu tangan karena ia butuh melihat jam tangan di pergelangan sebelum menjawab pertanyaan istrinya, “25 jam lebih? Kita akan tiba di Aljazair pukul dua siang hari Sabtu.” “Wah, perjalanan terjauh yang pernah aku lal
Katon menatap ponselnya dengan wajah heran. Apakah Ratih kehabisan daya seluler? Sekali lagi ia mencoba mendial dan segera tersambung ke kotak suara. Tanpa menunggu lebih lama dan tidak perlu memperhitungkan waktu yang berbeda, Katon segera menghubungi Grand-mère Evita. “Hei, pengantin baru. Sedang bulan madu, ya? Mau mampir Riquewihr?” sapa Evita manis, setelah Katon mendengar tiga kali dering tanda sambung. “Grand-mère, tolong cek posisi Ratih. Apakah dia masih di dalam Bandar Udara Houari Boumediene?” tanya Katon, wajah dan tangannya menghadap ke arah supir taksi dan memintanya untuk bersabar beberapa saat lagi. “Algiers? Kau berada di Aljazair? Aaah, perjalanan bisnis ya? Dasar Satria! Dia sama saja dengan Andrew, padahal ....” “Grand-mère, please? Posisi Ratih?” Katon memotong ceriwisnya Evita. “Ah, ya! Tunggu sebentar. Kamu sudah mengaktifkan GPS di ponsel Ratih?” Evita bertanya sambil melakukan sesuatu. Karena Katon mendengar suara Manu di belakang Evita dan juga ketukan j
“Ton! Tunggu, kita berangkat sama-sama!” kejar Francesca sambil menyeret Giovanni yang melap mulut sambil menahan tawa. Bab El Kantara, terletak di sudut Kota Konstantinus. Sebuah distrik paling kumuh dan kelam. Lingkungan kuno ini, punya lorong-lorong berliku dan fasad-fasad yang retak, pusat kejahatan dan bukti tingginya angka kriminalitas di sini. Untuk menuju ke area ini, Katon dan dua rekannya harus melewati sebuah jembatan tua dengan nama yang sama. Jembatan batu yang melengkung di atas Sungai Rhumel. Saat matahari merosot, bayangan jembatan melintasi air yang mengalir. Seharusnya indah, tetapi tidak hari ini. Karena semua gelap bagi Katon. Giovanni mengemudikan sebuah pick up berwarna hijau tua yang sudah mulai memudar warna utamanya. Di bak belakang yang panjang, membawa dua sepeda motor bertutupkan terpal biru gelap. Katon yang duduk di dekat pintu, dipisahkan Francesca yang berada di tengah, menatap kalut ke arah kota yang lusuh dan separuh gelap. “Aku akan berhenti satu
“Buddy, aku tidak akan menganggumu, oke?” desis Katon lembut ke arah dua dobberman tersebut. Posisinya masih sama, berjongkok karena baru mendarat. Kedua anjing penjaga itu juga tetap menggeram dan memamerkan taring-taring mereka yang berselimut liur. “Aku mau saja memberikan lenganku untukmu, Nak. Tetapi aku harus menyelamatkan istriku. Susah jika berbagi daging denganmu dulu,” rayu Katon perlahan, ia memutar jongkoknya dan sekarang menghadap ke dua ekor dobberman sambil mengulurkan kedua tangan tanpa keinginan mendominasi. Geraman kembali terdengar. Dan mendadak suara keributan terdengar di ruang depan. Kedua anjing itu menegakkan kepala sekaligus kedua telinganya, melupakan Katon sesaat, menatap ke arah asal suara. “Shit! Sesa sudah memulai pestanya,” geram Katon. Ia khawatir keramaian itu akan mengundang perhatian. Katon harus bergerak lebih cepat. “See you later, boys!” Katon melesat berlari dan dengan segera kedua anjing mengejar kakinya. Berlomba dengan maut, Katon menggeba
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas