“Fan, cepetan. Aku harus ukur badannya Mas Katon.” Kalimat Deswita membuat Katon menoleh ke arahnya. “Iya, Mak. Sebentar, eike mau reparasi wajah Mas Katon dulu!” tukas Taufan kenes tetapi mendorong Katon ke kursi dengan tenaga lelaki hingga Katon terhenyak. Taufan menahan paha Katon dengan lututnya dan ia mulai memanjat. Katon membeku tidak berani bergerak ketika Taufan membersihkan kulit wajahnya dengan semacam cairan. Lalu membubuhkan cairan yang berbeda. Katon seketika merasa jijik, geli dan tidak paham dengan maksud dan tujuan semua ini. Mengapa membasuh wajahnya dengan cairan lalu mengoleskan cairan lagi? Fungsinya apa? “Fungsinya apa, anjing! Kasih cairan, lap lalu kasih cairan lagi!” desis Katon selama wajahnya diraba-raba oleh Taufan. “Diem! Jadi nganten ya gini!” Taufan melawan dengan berani sekarang mengoleskan cairan dingin dan mulai menepuk-nepuk muka Katon. “Mendingan kita berantem, Bangsat!” “Idih! Mulut anaknya Bunda Arini kotor amat! Mau dibersihin pake mulut Ta
Satu jam berlalu dan Katon masih belum dibebaskan dari bengkel reparasi wajah ala Taufan. Entah apa yang diperbaiki kalau Katon merasa wajahnya sudah sempurna. Yang ia rasakan hanya cairan, lotion, cairan lain dan lotion lagi dalam berbagai bentuk dan warna. Belum lagi baunya sangat menganggu hidung Katon. “Aku. Lebih suka menghadapi Mafia Maroko, jebakan makam kuno dan jaguar daripada kamu!” desis Katon sambil menatap penuh dendam ke arah Taufan yang fokus melukis wajahnya. “Mas pernah ketemu jaguar? Kok gak foto bareng? Aku pernah foto bareng ular sanca dan singa di taman safari,” kata Taufan santai sambil memoles bibir Katon untuk ke sekian kali yang sekarang ini berbau dan berasa cherry. Katon memejamkan mata dan fokus membayangkan itu rasa dan aroma Ratih. “Maaak Desssswita! He’s yours! Tapi jangan dirusak make-up nya, ya!” Akhirnya Taufan berdiri dan meninggalkan Katon. Pria itu mengembuskan napas lega dan langsung berhenti bernapas kembali ketika Deswita dan timnya gantian m
Katon membeliak kaget melihat kedatangan sahabat-sahabtanya ditambah satu rekan Ratih. Dilihat dari gestur mereka berdua, sepertinya Emily sudah demikian dekat dengan Stuart. “What the ....” “Bagaimana mungkin kami melewatkan perkawinanmu, Ton,” kata Morgan sambil merentangkan kedua tangannya. Dengan cepat memotong kalimat katon dan sekarang memeluk sahabatnya itu. “Kisah abad ini, Katon menikah. Harus datang, tidak bisa tidak,” kata Stuart yang hanya berdiri dan memeluk pinggang Emily yang tersenyum ke arah Katon. “Kami harus datang,” ujar Lorna. “Dan mengajarkan Ratih melakukan hal-hal liar dan di luar dugaan para pria!” tukas Cia. “Sialan! Ada orang tua dan keluagaku, Cia!” hardik Katon tapi sepertinya percuma karena semua orang tertawa di dalam ruangan itu. Hanya Rosalind yang sigap tertawa sambil menutup telinga Lily. Tak lama, masuklah salah satu penjaga rumah industri yang memberitahu jika limousine-limousine telah tiba untuk menjemput para penumpangnya. Riuh rendah sel
Musik Wedding March berhenti tepat ketika Ratih dan Teguh Putra tiba di depan altar. “Katon Lanang Tenan.” Suara Teguh Putra yang berat bergema di aula gereja yang sunyi karena musik sudah berakhir. Katon tersenyum menatap pria tua yang sebentar lagi akan menjadi ayah mertuanya. Dari sudut mata, Katon bisa melihat Ratih pun menatap ke arahnya dengan penuh kerinduan. “Aku serahkan putri bungsuku, permata hatiku, kepadamu. Kepada belas kasih dan penjagaanmu. Aku berharap kau akan mencintai dan melindunginya sama seperti yang aku lakukan selama 20 tahun ini.” Suara Teguh Putra bergetar tetapi mantap mengatakan setiap kata. Katon terus tersenyum menatap ke arahnya meski dari sudut mata ia bisa melihat Ratih yang sekarang tercengang dan berpindah menatap ke ayahnya. Katon tahu Ratih terkejut karena Katon tahu, wanita ini merasa kurang dicintai sebagai anak bungsu di keluarga Teguh Putra. “Aku harap kau tidak akan menyakitinya dalam bentuk apapun. Aku harap kau akan membahagiakannya sebe
Dengan cepat Katon mencium Ratih lagi lebih dalam untuk menutup tawa yang keluar dari mulut Ratih. Meskipun diciumi Katon dengan ugal-ugalan, Ratih masih bisa tertawa geli. Maka, dengan lambaian tangan Katon meminta dua pengiring pengantinnya untuk menyuruh tim orkestra gereja segera memainkan musik kembali. Wedding March bagian akhir yang terpotong oleh langkah Ratih tadi, kembali berbunyi dan kali ini lebih gempita dan keras yang selanjutnya langsung masuk ke intro lagu She’s Beautiful in White. Barulah Katon melepas ciuman dan membiarkan tawa Ratih karena suara itu akan tertutupi oleh musik yang gembira. “Selamat Katon dan Ratih, semoga damai Yesus menyertai hidup pernikahan kalian,” ucap Romo Rudolph. “Amen. Terima kasih, Romo,” balas Katon dan selanjutnya, keluarga inti mereka mengejar naik ke altar dan memeluk bergantian kedua pengantin. Di tengah semua kehebohan itu, Stuart dan Morgan memeluk Katon sekaligus mengembalikan buket bunga Ratih. Cia dan Lorna mengejar ke atas da
Pria itu menuju ke keluarga Teguh Putra. Segera saja Kinan dan aayu memeluknya sebagai bagian dari keluarga. Herman dan Bagus menyusul kemudian. Herman tentu saja sambil menggendong bocah lelakinya. “Hei, anak ganteng. Siapa namanya?” tanya Katon sambil mengelus kepala bocah itu yang menatapnya dengan takjub. “Dimas, Om. Sepertinya Dimas kagum sama Om Katon,” kata Kinan geli. “Halo Dimas, mau gendong sama Om?” tawarnya sambil mengulurkan tangan. Dimas menyorongkan tubuhnya ke arah Katon pertanda ia mau digendong oleh Katon. “Wah, nurut?! Padahal Dimas paling susah dekat sama orang asing,” kata Herman keheranan. “Karena Om bukan orang asing, ya?” kata Katon kepada Dimas di gendongannya. “Karena Om Katon tinggi kayak tower. Digendong Om Katon berasa terbang,” sahut Kinan. “Wah, bakalan cepet dapet nih Ratih,” kekeh Laras. “Enggak, ah! Mbak Laras sama Mas Bagus duluan aja,” kata Katon masih sambil menatap dan berinteraksi dengan Dimas. “Lho? Kenapa? Kayaknya kamu sudah cocok pun
Katon dan Ratih melangkah perlahan memasuki kamar mereka, selepas para keluarga dan sahabat memberi waktu kepada mereka untuk menikmati suasana berdua. Kamar tidur Katon telah berubah menjadi sebuah mahakarya keindahan dan cinta. Di atas ranjang yang luas terhampar seprai berwarna putih bersih dengan motif bunga-bunga yang lembut, menambah suasana romantis yang menyelimuti seluruh ruangan. Di setiap sudut kamar, hiasan bunga segar dan rangkaian daun hijau yang menawan menghiasi dinding dan meja, menciptakan aroma alami yang menenangkan. Di tengah kamar, sekelompok lilin aromatik bercahaya dengan lembayung yang lembut, menciptakan cahaya redup yang menggoda dan menyejukkan. Di sepanjang dinding, jajaran buket dan karangan bunga segar ucapan dari kolega terdekat kedua mempelai, menghiasi dinding dengan sentuhan aroma harum dan warna indah. Namun, yang paling mencuri perhatian adalah gorden jendela yang besar dengan motif bunga dan warna pastel yang lembut. Gorden itu ditarik terbuka, me
Katon mengemasi peralatan makan mereka secepat kilat. Lalu membersihkan tempat tidur dengan seksama. Ratih yang berdiri menjauhi tempat tidur, menatapnya sambil terkikik geli. Ketika sudah bersih semua, Katon segera menerjang ke arah Ratih. Secepat kilat wanita itu memasang kuda-kuda dan meluruskan kaki kanannya. Telapak kakinya mencapai dada Katon dan menahan pria itu. “Neng?” Katon keheranan dan nyaris menerima hal ini sebagai tantangan bertempur. Tangannya sudah hampir menepis sekaligus membanting Ratih ke atas tempat tidur jika tidak tergoda dengan paha mulus istrinya yang tersibak, sekaligus pertigaan yang ... Ah! Tapi, ‘kan ini istrinya sedang bersiaga dengan kuda-kuda! “Mandi dulu, Mas. Segarkan dirimu dulu, aku tidak mau memeluk bekas orang dan bekas aroma steak!” desis Ratih. Katon memutar matanya, memahami ‘bekas orang’ yang dimaksud Ratih adalah pelukan dari keluarga dan para tamu undangan. “Banyak sekali syarat untuk menidurimu, Neng?!” “Itu baru satu syarat. Selain tu
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas