“Enggak. Bayar kopinya, Mas. Ayo lanjut lagi,” kata Ratih cuek dan meninggalkan Katon yang mengeluh untuk membayar tagihan kopi mereka. Mereka melanjutkan perjalanan. Jalanan menanjak, dan mereka harus mendorong sepeda mereka. Tapi setiap kali mereka sampai di puncak bukit, pemandangan yang menanti mereka membuat semua lelah terbayar. Laut biru yang tak berujung, rumah-rumah putih yang berjejer di tebing, dan langit biru yang terang. “Ke sana, mau?” tawar Katon sambil menunjuk ke arah bawah. Ratih mengingatnya sebagai salah satu laut yang dilewati kapal pesiar mereka kemarin. “Ayok!” Ratih menjawab tantangan Katon. Sepeda mereka meluncur ke bawah, saling berkejaran. Saat matahari semakin tinggi di langit, mereka berhenti di pantai merah yang terkenal. Pasirnya seperti debu bintang, dan airnya sejuk. Katon dan Ratih berhenti dan memarkirkan sepedanya, insting membawa mereka melepaskan sepatu dan berjalan dengan kakitelanjang di tepi pantai, merasakan pasir tergerus diantara jari
Satu minggu sudah Katon berada di Jakarta. Selama itu pula ia tidak bertemu dengan Ratih. Mereka terakhir bertemu saat mendarat di Jakarta dan Katon mengantarkan kekasihnya pulang ke rumah orang tuanya. Ia sendiri tinggal di rumah industri. Berada satu atap dengan Satria berarti kerja keras. Selama seminggu, Katon yang sudah terikat janji akan lebih berkontribusi dengan perusahaan keluarga sekarang menjabat sebagai wakil sementara Satria. Satria Anindito telah menerbitkan surat kuasa, selama belum ada pergantian posisi di C-Level, selama itu pula Katon akan menjabat sebagai wakil direktur utama. Tugas yang selama ini tidak ada dan menjadi kontroversi karena “Anak papa” sudah kembali dan diharuskan bekerja. Oleh karena itu Katon bekerja mati-matian, sebaik mungkin. Untuk meredam kontroversi, ia hanya memanfaatkan jabatan Papanya sebagai pemegang saham terbesar untuk mendapat jabatan di perusahaan. Growth Earth Company bermula dari perusahaan produk makanan dan telah merambah ke bis
“Akhirnya. Inget juga kalau punya tunangan, Mas?” sapa Ratih dengan suara sedatar wajahnya dan berjalan melewati Katon menuju ke sofa ruang tengah. Katon tersenyum masygul, karena senyum paling rupawan yang ia pasang sebelumnya, tak berbalas sama sekali. “Pagi amat datangnya. Sudah sarapan?” tanya Ratih angkuh. Bahkan duduknya pun angkuh. Ia menyalakan televisi di depannya ketika Katon mengejar dan duduk di sampingnya. “Belum, Sayang.” “Oh, malang. Aku sudah sarapan,” Kata Ratih mengejek. “Tak pelak, aku harus puasa hari ini,” kata Katon bersabar. Ratih melirik judes ke arahnya. Wajahnya tidak lagi datar, bibirnya mungilnya cemberut, mata indahnya melirik tajam. “Ayolah, Sayang. Jangan marah, aku benar-benar sibuk begitu mulai bekerja. Papa tidak memberiku kesempatan untuk bernapas,“ Katon berusaha merayu kekasihnya. “Herannya, kok masih hidup?!“ tukas Ratih, duduk bersandar dan melipat tangannya. Sudah mengarahkan pandangannya ke televisi yang menyala dengan suara sangat pela
Balak. Rasanya Katon pernah mendengar kata-kata ini bertahun-tahun lalu. Ia mencoba menggali ingatannya dan sadar. Bude Widya, kakak satu-satunya Arini yang paling sering mengucapkan kata ini kepada Arini dan Katon kecil. Sesuatu yang melibatkan banyak jajan pasar jika Bude Widya sudah bicara menggunakan kata ini di salah satu kalimatnya. Balak atau hal buruk. Apakah Katon akan mendapat hal buruk jika bepergian jauh sebelum pernikahannya? Bukankah dia sudah cukup banyak mendapat hal buruk dan berhasil melewatinya hampir sepanjang hidupnya? Katakanlah, Katon mempunyai keistimewaan untuk menghindari si balak ini. “Itu cuma tahayul, Neng,” bisiknya manis sambil menjawil pipi kekasihnya. “Tahayul atau bukan, apa salahnya kita menghindari? Aku melihat sendiri bagaimana kamu bertaruh nyawa di Konitsa, Mas. Tolong jangan buat aku menghadapinya lagi, hm?” ujar Ratih dan ia telah memutar duduknya menghadap ke arah tunangannya. “Rayulah Papa. Minta beliau memundurkan jadwal smapai dengan p
Berita pernikahan Katon Lanang Tenan yang dipercepat segera menyebar tak kalah cepat. Dimulai saat KPP yang dilakukan dengan khidmat selama tiga hari. Dimulai di hari Jumat, kedua mempelai melalui penyelidikan kanonik untuk memastikan keduanya sudah memenuhi syarat dan berhak menikah. Di sini Katon dan Ratih bertemu dengan pastor paroki. Dilanjutkan pada hari Sabtu, yang dipandu langsung oleh Romo Rudolph. Kursus Persiapan Perkawinan dalam agama kedua calon mempelai membekali mereka dengan pengetahuan dan persiapan yang penting sebelum memasuki ikatan perkawinan yang sakral. "Kalian sudah saling mengenal pribadi masing-masing, bukan? Di sini Romo berusaha mengajak untuk lebih memahami satu sama lain, termasuk kepribadian, harapan, dan ekspektasi masing-masing terhadap kehidupan perkawinan,” kata Romo Rudolph membuka sesinya. Sepanjang hari Sabtu, Katon dan Ratih menerima materi cara mengatur keuangan dalam rumah tangga, membahas pentingnya mengelola keuangan keluarga dengan bijaks
Katon melewati halaman belakang rumah mereka untuk menuju ke halaman belakang rumah sebelah. Dari jauh, dia sudah bisa mendengar tawa paman dari pihak papa bersama dengan Grand-père Manu dan sepupunya. yang pertama kali tertangkap mata Katon adalah Jeremy, sepupunya itu duduk bersisian dengan ibunya yang adalah bibi Katon, Gwen. “Om, Tante, Grand-père Manu” sapanya ramah. “Katoon! Wah calon pengantin kita, hahaha ...,” sambut Kevin dan merentangkan tangannya. Tubuhnya yang sangat kurus sekaligus sangat tinggi kelihatan rentan. Tetapi Katon tahu, pamannya tidak selemah itu. Ia maju dan memeluk Kevin. Kepala Katon hanya sampai dagunya saja. “Terima kasih sudah menyempatkan hadir. Saya harap Om dan Tante juga hadir di acara resepsi nanti.” Katon berkata dalam pelukan Kevin. “Tentu saja kami akan datang. Pernikahanmu itu sesuatu yang layak ditunggu kami hampir saja berpikir kau akan hidup selibat, Ton,” cibir Gwen yang berdiri bersama Jeremy. Katon hanya tersenyum sedikit saja. “Baga
“Fan, cepetan. Aku harus ukur badannya Mas Katon.” Kalimat Deswita membuat Katon menoleh ke arahnya. “Iya, Mak. Sebentar, eike mau reparasi wajah Mas Katon dulu!” tukas Taufan kenes tetapi mendorong Katon ke kursi dengan tenaga lelaki hingga Katon terhenyak. Taufan menahan paha Katon dengan lututnya dan ia mulai memanjat. Katon membeku tidak berani bergerak ketika Taufan membersihkan kulit wajahnya dengan semacam cairan. Lalu membubuhkan cairan yang berbeda. Katon seketika merasa jijik, geli dan tidak paham dengan maksud dan tujuan semua ini. Mengapa membasuh wajahnya dengan cairan lalu mengoleskan cairan lagi? Fungsinya apa? “Fungsinya apa, anjing! Kasih cairan, lap lalu kasih cairan lagi!” desis Katon selama wajahnya diraba-raba oleh Taufan. “Diem! Jadi nganten ya gini!” Taufan melawan dengan berani sekarang mengoleskan cairan dingin dan mulai menepuk-nepuk muka Katon. “Mendingan kita berantem, Bangsat!” “Idih! Mulut anaknya Bunda Arini kotor amat! Mau dibersihin pake mulut Ta
Satu jam berlalu dan Katon masih belum dibebaskan dari bengkel reparasi wajah ala Taufan. Entah apa yang diperbaiki kalau Katon merasa wajahnya sudah sempurna. Yang ia rasakan hanya cairan, lotion, cairan lain dan lotion lagi dalam berbagai bentuk dan warna. Belum lagi baunya sangat menganggu hidung Katon. “Aku. Lebih suka menghadapi Mafia Maroko, jebakan makam kuno dan jaguar daripada kamu!” desis Katon sambil menatap penuh dendam ke arah Taufan yang fokus melukis wajahnya. “Mas pernah ketemu jaguar? Kok gak foto bareng? Aku pernah foto bareng ular sanca dan singa di taman safari,” kata Taufan santai sambil memoles bibir Katon untuk ke sekian kali yang sekarang ini berbau dan berasa cherry. Katon memejamkan mata dan fokus membayangkan itu rasa dan aroma Ratih. “Maaak Desssswita! He’s yours! Tapi jangan dirusak make-up nya, ya!” Akhirnya Taufan berdiri dan meninggalkan Katon. Pria itu mengembuskan napas lega dan langsung berhenti bernapas kembali ketika Deswita dan timnya gantian m
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas