Ratih menghela napas berat. Ia tidak bisa menyalahkan Morgan begitu saja. Apapun bisa terjadi pada perang. Sebagai mahasiswi sosial psikologi, Ratih sangat paham akan hal tersebut. Meratapi kejadian yang sudah lewat tidak penting lagi. Sekarang bagaimana menata hidup kedepan. “Setidaknya, mulai sekarang. Berhentilah kalian menyia-nyiakan hidup,” katanya pelan. Bahkan saat ini, Ratih ingin sekali menjewer telinga Katon. “Well, katakan itu padanya kalau dia sudah bangun,” kata Morgan pelan. Matanya menunjuk pada Katon di atas tempat tidur. “Tidak hanya mengatakan. Aku akan melakukannya.” Ratih sungguh bertekad dengan kalimatnya. “Melakukan apa?” tanya Morgan bingung. Ratih mendengkus. “Memenjara dan memborgolnya jika perlu!” desisnya kejam. Morgan jadi tidak bisa menahan dengusan tawanya. “Yeah, sepertinya Katon menemui batunya sekarang. Tidak sabar melihat dia jadi pria rumahan,” kekeh Morgan. “Jika dia mau bangun,” desis Ratih kesal dan berdiri meninggalkan Morgan untuk berada
“Nyonya Anindito?” Dokter Intern tersebut mencari Arini selaku wali keluarga Katon. “Ma-mama mertua saya pingsan, Dok. Tolong jelaskan kepada saya,” pinta Ratih terbata. Kedua tangannya mengait di depan dada dengan jemari saling meremas saking kalutnya. Matanya berkali-kali melirik lagi ke arah Katon yang masih dibenahi baju pasiennya kembali oleh perawat di dekatnya. “Tuan Tenan baru saja mengalami serangan jantung. Tetapi kami berhasil menstabilkan kembali. Seperti yang bisa Nona lihat, indikator kehidupannya sudah kembali normal. Kami akan tetap memantau setiap 30 menit sekali hingga kestabilannya kontinyu,” jelas dokter intern tersebut kepada Ratih yang mengangguk-anggup paham sekaligus tidak sabar ingin segera mendekati Katon. Nyatanya, ia sibuk menerima penjelasan dari Dokter Intern tentang kondisi Katon dan Morgan yang lebih dahulu mencapai sahabatnya dan meraih tangan Katon seolah akan mengajak panco tetapi hanya meremasnya dengan kuat. Wajah Morgan berbinar senang. “Aku t
Beberapa jam setelah sadar dari koma, kondisi Katon perlahan semakin baik dan stabil. Ia sudah diperbolehkan melepas selang oksigen karena saturasi sudah memadai dan pasien bisa bernapas mandiri. Setelah meraih kesadaran penuh dan bisa menjawab semua pertanyaan dokter dengan baik, Dokter Calix memutuskan tidak ada kelainan di badan Katon, dan telah melewati fase kritis. Hanya menunggu penyembuhan dari cedera tulang rusuk saja. Satria yang terlambat diberitahu tentang perkembangan baru kondisi Katon, sudah telanjur terbang dan hanya bisa transit di Doha, Qatar. Arini yang sudah bisa tertawa, sekarang berbicara dengan Rosalind yang lagi-lagi tidak bisa meninggalkan perusahaannya. Arini mentertawakan Satria yang terjebak pada penerbangan tidak berguna. “Sudahlah, biar kusuruh Papa tetap lanjut ke Greece saja,” kata Rosalind. “Lho jangan! Nanti kalau ketemu, Mama malah diomelin,” keluh Arini. “Biarin! Mama selalu begitu kalau urusan tentang Mas. Papa diabaikan. Mas sudah ada Mbak Rati
Satria tiba di General Hospital of Loannina satu hari selang serangan jantung Katon. Ia masuk ke kamar VVIP putranya di pagi-pagi buta. Segera ia menemukan Morgan yang tidur di sofa dengan televisi menyala tanpa suara. Ratih yang tidur di samping Katon, bergelung seperti kucing tampak mungil di sebelah Katon yang bertubuh tinggi dan kekar. Satria membiarkan bodyguard yang berjaga di luar yang menutup pintu saat ia mengendap masuk ke ruangan sebelah mencari istri mungilnya. Arini masih tertidur dan kelihatan jika lelah sekali. Bagaimanapun fasilitas disediakan di rawat inap VVIP, tetap saja tidak bisa membuat penghuninya beristirahat dengan nyaman. Satria melepas sepatu dan naik ke tempat tidur untuk memeluk istrinya. Arini tergeragap bangun. “Hei, hei, ini suamimu,” bisik Satria. “Tria! Bikin kaget!” desisnya dengan suara mengantuk. Tetapi walaupun protes, Arini langsung bersandar ke tubuh Satria seolah Satria adalah lubang puzzle yang pas untuknya. Arini segera terlelap lebih ten
“Indah, bukan?” bisik Katon ikut menatap pemandangan di luar. Santorini memang menjadi salah satu tujuan favoritnya. Lebih menyenangkan karena kali ini bersama kekasih hati. Ratih mengangguk tanpa melepas pandangan dari luar. “Kita akan memasuki area kota sebentar lagi,” bisik Katon kembali. Ketika bus mulai mendekati Fira, ibu kota Santorini, jalan-jalan sempit mengungkapkan keindahan tersembunyi seperti kafe-kafe yang manis, toko-toko butik, dan arsitektur tradisional. Akhirnya, mereka tiba di Athina Luxury Suites, penginapan yang terkenal dengan pemandangan matahari terbenam yang melegenda, dan kolam renang tak berujung sehingga tampak menyatu dengan laut. Mereka tinggal di banyak kamar yang saling disambungkan dengan tangga berundak di balkonnya yang menghadap ke laut lepas. Masing-masing balkon memiliki teras luas dan kolam renang mungil. Tempat strategis untuk berjemur. Arini tentu saja menempatkan Ratih satu suite yang memiliki dua kamar bersama Lorna dan Cia. Sedangkan Ka
Katon mengobarkan cintanya tanpa ragu. Ia meremas, memaksa masuk dan menekankan pada Ratih, dialah yang berkuasa atas wanita itu. Ratih duduk tak berdaya dalam pangkuannya dan hanya mengikuti gerak liar yang diciptakan Katon. Kedua lengan Katon membelenggu pinggang dan leher belakangnya. Apa yang bisa dilakukan Ratih selain menari bersama pasangannya dan mengalungkan lengan ke leher Katon demi tenggelam lebih dalam? “Kalian mau kami pindah dari kamar ini?” suara Cia yang memecah suara kecap bibir Katon dan Ratih, mengejutkan tunangan Katon yang memaksa memutus sambungan mereka. Wajahnya merah dan napasnya terengah. Ratih memilih memejamkan mata daripada melihat kenyataan kalau dirinya telah menjadi tontonan. Katon mengembuskan napas kesal dan mengistirahatkan kepalanya di dada Ratih. “Enggak usah pake ngomong, brengsek. Langsung minggat saja,” keluhnya sebal. “Oh, gitu. Oke. Ayuk Cia, kita tidur di kamar Katon,” ajak Lorna pengertian. Ratih yang panik segera beranjak berdiri. Namu
“Ssshhhh!!” Rosalind menghentikan kalimat Morgan saat Ratih datang menghampirinya. “Apa yang bisa aku bantu?” tanya Ratih sambil melihat ke sekitar. “Temani kakakku, perhatikan setiap ekspresi dan gestur tubuhnya. Rusuknya sedang masa pemulihan, aku khawatir dia memaksakan diri,“ jawab Rosalind mengusir Ratih kembali ke sisi Katon yang saat itu sedang bercakap dengan Zoya dan Aaliyah. Ratih bergegas menghampiri Katon yang sedang beramah tamah dengan Zoya. Entah mentertawakan apa mereka ketika berbincang sambil berdiri, Katon tampak menjulang di dekat Zoya dan Aaliyah. Ratih yang mendekat segera meraih dan memeluk lengan Katon sementara tangan yang lain ia letakkan di depan dada kekasihnya. Sepertinya mesra, sebenarnya Ratih meraba dan memeriksa letak perban yang masih membebat dada pria itu. “Nah, ini dia si bintang. Siapa sangka sekarang bertekuk lutut sama Katon sampai rela cuti kuliah,” goda Zoya. “Kak Zoyaa,” Ratih merajuk dan bermaksud melepas pelukan di lengan tunangannya,
Ratih yang histeris berlari mendekat ke tepian balkon dan melongokkan kepala melewati dinding pagar beton untuk melihat ke bawah tebing. Hatinya ikut jatuh bersama dengan tubuh Katon, demikian juga masa depannya. Bagaimana mungkin ia kehilangan Katon dengan cara setragis ini setelah semua hal mengerikan yang telah mereka lampaui. Balkon kamar Katon memang terletak di tebing tinggi dan menjorok ke laut. Mata Ratih membeliak penuh dengan air mata berusaha menemukan tubuh tunangannya, seburuk apapun kondisinya. Dan, Katon ada dua lantai di bawahnya. Telentang nyaman di atas jaring pengaman berwarna perak yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Seluruh tepian jaring pengaman itu terdiri atas kertas hitam dan berbagai huruf putih di atasnya yang terbaca, ‘Ratih, will you marry me?’ Katon telentang dengan senyum lebar, luar biasa tampan, sehat dan selamat, membawa kotak cincin yang terbuka memperlihatkan kerlip biru mata cincinnya yang serasi dengan latar belakang di bawah Katon, laut A
Acara pertunangan malam itu berlangsung meriah, penuh kehangatan dan kemewahan. Alunan musik jazz yang dimainkan secara live mengiringi setiap percakapan dan tawa yang bergaung di sepanjang taman villa. Di tengah-tengah taman, Rosalind dan Morgan berdiri sebagai pusat perhatian. Mereka berdua tampak bahagia. Bersama menyambut tamu-tamu yang datang dari berbagai belahan dunia. Saling memperkenalkan anggota keluarga, dan sesekali berbagi canda bersama para tamu yang mendekati mereka. Sebuah panggung kecil dengan latar belakang laut dan langit yang berhiaskan bintang menambah kesan romantis malam itu. Di atas panggung, band jazz memainkan lagu-lagu klasik yang mengiringi tamu-tamu saat mereka berdansa di lantai dansa yang dibentuk dari marmer putih berkilau. Para pelayan dengan seragam hitam-putih elegan bergerak luwes membawa nampan-nampan berisi minuman anggur terbaik, koktail tropis, dan mocktail segar untuk dinikmati oleh tamu. Hidangan yang disajikan sangat bervariasi, mulai d
Suasana berbeda tampak di sebuah villa megah di Riviera Maya yang berdiri anggun di atas tebing, langsung menghadap Laut Karibia. Dikelilingi oleh pohon-pohon palem tinggi dan taman tropis yang rimbun, villa bergaya arsitektur kolonial modern dengan dinding putih bertekstur, pilar-pilar marmer, dan balkon-balkon melengkung yang langsung menghadap pemandangan laut tak terbatas. Tambahan tampak mencolok dengan lampu-lampu pesta, untaian bunga dan hiasan khas sebuah pertunangan mewah, dilengkapi dengan karpet merah yang menyambut setiap tamu yang hadir. Katon, yang belakangan ini sibuk dengan tanggung jawabnya di New York, tidak ikut mengurus pesta pertunangan adik dan sahabatnya dan hanya hadir bersama Ratih sebagai tamu undangan. Ia baru saja turun dari limousine, mengancingkan jas sambil mengedarkan pandangan ke atas, tempat villa menjulang dengan indah, sesaat kemudian, ia ulurkan tangan ke arah limousine yang terbuka dan membimbing sang istri keluar dari sana. Bersama, dalam ke
Ratih menelengkan kepala, balas menatap suaminya, “Tujuan orang menikah memang biasanya untuk memiliki keturunan, Mas. Kecuali dari awal sudah bersepakat untuk child free.” Wanita itu diam sejenak untuk mengenali ekspresi suaminya. Saat Katon juga diam, Ratih melanjutkan kalimatnya. “Aku, tidak mau hamil selama ini karena enggan kuliah dengan perut besar. Aktifitas kampus tidak cocok untukku yang berbadan dua walau untuk sebagian orang lain mungkin tidak masalah. Sekarang, saat tidak ada lagi tuntutan kuliah, aku siap saja jika harus hamil. Mas Katon tidak ingin memiliki anak?” “Bagaimana kalau anak kita membawa genku, Ratih?” tanya Katon galau. Ratih menatap wajah suaminya yang tampan, jarang sekali wajah ini terlihat kalut. Tetapi sekarang Ratih melihat, Katon juga bisa rapuh. Ia merengkuh wajah suaminya, memberikan senyum paling tulus untuk menguatkan. “Maka anak kita akan seperti papanya. Kuat, ganteng, dan mampu menghadapi apapun.” Katon mendesah sebal, memutar matanya ke at
Columbia University of New York sedang menunjukkan kesibukan luar biasa. Saat ini mereka sedang dalam masa Commencement week. Yaitu, minggu-minggu menjelang wisuda dilangsungkan. Upacara wisuda di Columbia University berlangsung dengan berbagai acara selama Commencement Week. Dimulai dengan setiap sekolah di bawah Columbia university menyelenggarakan upacara Class Day masing-masing, di mana nama setiap lulusan dipanggil, memberi kesempatan untuk momen yang lebih personal. Beberapa acara lain juga diselenggarakan, seperti Baccalaureate Service—upacara lintas agama yang melibatkan musik, doa, dan refleksi multikultural untuk merayakan pencapaian lulusan sarjana dari Columbia College dan Barnard College, serta sekolah-sekolah lainnya di bidang teknik dan sains. Tradisi unik lainnya adalah penyanyian lagu Alma Mater Columbia oleh seluruh komunitas, sebagai simbol kebersamaan dan perpisahan. Columbia juga memberikan University Medals for Excellence kepada individu yang berprestasi dan m
Sebagai bisnis fashion yang menyasar level menengah ke bawah, Starlight Threads berlokasi strategis di Harlem, 214 West 125th Street, Suite 2A. Ke sanalah Katon membawa istrinya. Pagi Sabtu yang cerah menyelimuti Harlem. Matahari menyorot dari celah-celah gedung perkantoran yang sederhana tetapi berkarakter di kawasan ini. Katon membimbingnya dengan tangan yang mantap menuju bangunan tiga lantai di ujung jalan, sebuah gedung dengan dinding bata merah yang terlihat kokoh namun tidak berlebihan. Di balik kaca jendela yang lebar di lantai dua, papan nama kecil berwarna emas dengan tulisan elegan “Starlight Threads” menggantung, menandakan kegunaan bangunan ini. Ratih memperhatikan detail itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Meskipun sederhana, bangunan itu memiliki daya tarik tersendiri. Tangga menuju lantai atas diselimuti perabot industrial yang chic, dekorasi modern berpadu dengan sisa-sisa gaya klasik yang membuat tempat itu berkesan unik. Studio ini bukan hanya sekadar toko
Katon sangat terkejut dan spontan melepaskan pelukan wanita tersebut. Katon menangkap kedua bahu wanita berbaju merah dan mendorongnya menjauh. Ia tidak memiliki keinginan melihat, siapa gerangan wanita itu. Ia lebih khawatir kepada istrinya, Katon menoleh ke arah Ratih dan mendapati wajah istrinya berubah menjadi penuh amarah dan kekecewaan. “Katon, apa kabar?” tanya Alice manis, ia tak mengindahkan Katon yang berusaha lepas dari pelukannya, mendorongnya menjauh. Bagi Alice, bertemu Katon adalah keberuntungan luar biasa. Pria ini pernah dekat dengannya, menolongnya, memberikan uang perlindungan yang tidak sedikit dan berkat Katon pula, ia selamat bahkan sekarang menjadi bagian dari wanita sukses di Manhattan. Alice Wellington. Dari bukan siapa-siapa menjadi bintang berkat Katon. Uang pemberian Katon ia manfaatkan untuk kuliah dan membuka usaha. Kini, Alice Wellington adalah pemilik Starlight Threads sebuah startup fashion yang memadukan gaya modern dengan sentuhan klasik, mengkh
Ratih dan Katon telah kembali ke New York. Segera, mereka disibukkan oleh kegiatan masing-masing. Katon segera memimpin Growth Earth Company yang berada di Park Avenue. Pertikaiannya dengan Satria entah bagaimana menjadi perang dingin. Mungkin campur tangan Arini yang membuat Satria tidak datang menghukum langsung putera sulungnya. Yang Katon tahu, beberapa bulan ini papanya sibuk dengan kantor Growth Earth Company yang ada di Canada. Membuat Rosalind sibuk dengan Growth Earth Company yang berpusat di Jakarta. Hampir keteteran dengan bisnis skincare-nya sendiri. “Gak pengen pulang, Mas? Pegang GEC Jakarta dan kendalikan New York dari sini.” Rosalind saat menghubungi Katon melalui panggilan telepon sekedar bertukar kabar. “Tidak, terima kasih. Ratih sedang menyelesaikan tugas akhir. Dia harus fokus di sini. Masa kutinggal. Enak saja!” Rosalind menghela napas. “Kenapa , sih? Glowing Beauty-mu kan sudah jalan?” Katon memastikan kepada adiknya. Glowing Beauty ada di bawah Growth E
Pagi pertama mereka di Maldives dimulai dengan keajaiban pemandangan matahari terbit dari bungalow di atas air yang langsung menghadap laut. Katon, yang sudah bangun lebih dulu, menyiapkan sarapan di teras pribadi mereka. Hidangan lokal seperti mas huni, campuran tuna segar dengan kelapa yang wangi, tersaji di meja bersama kopi hangat yang mengepul. Angin laut meniup lembut, menyelimuti mereka dalam suasana pagi yang sejuk dan menyegarkan. Ratih tersenyum sambil menatap jauh ke horizon, di mana matahari mulai naik perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye keemasan. Ia telah duduk di teras, emnikmati layanan Katon, sebagai ganti layanannya semalam. "Mas," katanya sambil mengambil seteguk kopi, "aku pengen seperti ini bisa kita bagi bersama semua keluarga, suatu hari nanti." Katon menoleh, menatapnya dengan mata bertanya. "Maksudmu, liburan besar bersama mereka di tempat seperti ini?" Ratih mengangguk. "Ya, bukankah indah rasanya kalau semua orang bisa berkumpul di sini? Mam
Di dalam kamar tidur mereka, di bungalow mewah yang mengapung di atas perairan Maldives, Katon dan Ratih tengah menikmati malam pertama bulan madu yang tertunda. Malam itu, kamar tidur mereka terisi oleh suasana yang sempurna. Dinding kaca besar di depan tempat tidur menampakkan hamparan laut lepas berwarna biru pekat, dihiasi kilauan bintang dan rembulan yang menggantung anggun di langit. Suara ombak yang lembut menjadi irama pengantar yang menenangkan, membawa mereka ke dalam dunia penuh keintiman dan keheningan yang hanya mereka berdua miliki. Di lantai kamar, lilin-lilin aromaterapi tersebar. Masing-masing memiliki pendar kecil yang hangat, mengisi ruangan dengan aroma melati dan kayu manis lembut. Cahaya lilin yang berpendar-pendar membuat bayangan hangat di sekitarnya, mempertegas lantai kayu di sekitar lilin dengan kilaunya. Semilir angin laut masuk melalui celah balkon, membelai lembut rambut Ratih yang tergerai di pundak hingga punggung. Wanita itu sedang berada di atas