“Tuan Tenan!” Katon melepas Ratih yang wajahnya memerah karena marah dan bibir sedikit bengkak. “Ya, saya.” “Bisakah Anda ikut saya ke kamar Nona Calderon? Ada yang perlu kami sampaikan di depan Anda berdua,” kata Carlos. Ratih menatap Carlos dengan pandangan malu, tetapi polisi itu bahkan mengabaikan kondisi yang dia lihat sebelumnya. “Baik.” Katon merespon Carlos dengan menghampirinya, tapi satu tangannya tetap memegang tangan Ratih dan menyeret wanita itu bersamanya. Ratih memberontak sia-sia karena pegangan tangan Katon semakin kuat dan menyakiti pergelangan tangannya. Ia juga malu dilihat orang-orang yang mereka lewati selama Carlos dan Katon menuju kamar Mariana. Mariana Paranhos Calderon seharusnya adalah wanita latin yang cantik. Kulitnya yang keemasan berpadu apik dengan rambut panjang coklat tuanya. Saat ini kecantikan itu dirusak dengan luka memanjang di pipi kiri. Mata Mariana yang sedih ketika menatap Katon yang baru masuk ke kamarnya, membuat Ratih yang ada di bela
Pertama kali yang dilakukan Katon ketika ia dan rombongan mendarat di Bandara International Charles de Gaulle adalah menjadikan satu bagasi miliknya dan milik Ratih ke dalam mobilnya. Ratih yang hendak menolak, mendadak diam ketika Katon meliriknya dengan tajam. Ratih menelan ludah dan pasrah dengan perbuatan tunangannya. “Morg, Stu, kalian pakai taksi bandara,” perintah Katon sambil melemparkan kunci rumah tapak ke arah Morgan yang segera menangkap dengan tangkas. “Ooh, gitu. Setelah kami tidak diperlukan. Kami dibuang begitu saja?” tanya Stuart dengan raut wajah sedih. “Aku meminjamimu rumahku, kamu numpang gratis di sana, aku harus mengantarkan Ratih dan teman-temannya pulang ke apartemen mereka, mobilku tidak cukup kalau bawa kalian semua. Dan berapa usiamu, Stu? Kok masih suka merajuk?” tukas Katon sebal. Ia segera membukakan pintu untuk Ratih dan mempersilakan Sarah, Emily, Christopher dan Daniel berdesakan di bagian belakang SUV-nya. “Aku cuma bercanda, lho. Kenapa sensitif
Katon sedang membuka makanan kaleng yang berisi ikan dan daging lalu memutuskan untuk membuat sup ikan dan quesadillas—makanan khas Meksiko yang berisi keju di dalam tortilla tepung terigu dan daging sebagai isian utama. Selama ia memanggang quesadillas dan merebus ikan dalam kuah sup, Katon kembali mengoprek lemari es Ratih dan kini membuka kacang hitam kaleng. Kacang hitam memiliki rasa yang kaya dengan tekstur krim saat dimasak. Sangat cocok berpasangan dengan sup ikan. Katon beruntung menemukan rempah-rempah Indonesia di lemari dapur Ratih seperti jintan, ketumbar, dan kunyit. Maka ia gabungkan semua dan menambahkan percikan jus lemon untuk keseimbangan rasa. Katon menata makanan di atas meja saat Ratih selesai menjemur pakaian mereka di ruang kosong sebelah kamar mandi. Ratih yang baru tiba di ruang makan langsung melotot. “Maaassss!!!” Katon terlonjak terkejut, nyaris menjatuhkan sepiring quesadillasnya. “Apa? Astaga ... ada apa?” tanyanya panik. Ratih memburu ke ruang makan
Beberapa hari kemudian, Katon disibukkan menemani Ratih wira-wiri mengurus laporan ke kampus maupun mengikuti penyelidikan atas kematian Devon Robert Grant. Ia sampai mengabaikan dua sahabatnya yang susah payah datang ke Perancis untuk membantu, sampai dengan Morgan dan Stuart kembali ke negara masing-masing, dan hanya berpamitan dengan Katon melalui pesan tertulis. Untungnya, Universitas bertanggung jawab penuh sampai mendatangkan tim legal dan investigasi mandiri selain dari Lembaga Funai untuk dipertemukan langsung dengan kedua orang tua Devon Robert Grant, Michael James Grant dan Jessica Marie Carter. Entah keberuntungan atau tidak untuk Katon karena ia tidak perlu mengantarkan Ratih dan Christopher sampai ke Tuscany, Italy. "Pertama-tama, ijinkan kami menyampaikan duka yang mendalam atas peristiwa yang terjadi pada Devon Robert Grant hingga berujung pada kematiannya," kata Graham Possuelo, pimpinan Lembaga Funai kepada kedua orang tua Devon yang berwajah sedih. Jessica bahkan t
Katon hampir tidak tinggal lagi di rumah tapak. Ia sudah seperti roommate Ratih di unit apartemennya. Wanita itu memang sudah menerima Katon walaupun tetap enggan melakukan kontak fisik lebih jauh. Katon yang sudah memiliki ponsel baru dan memboyng laptopnya ke apartemen Ratih bisa bekerja dengan nyaman, bersisian dengan tunangannya yang mengerjakan laporan jurnal. Terkadang, tim mereka berkumpul bersama di unit Ratih. Untungnya Christopher menunjukkan tanda-tanda yang membaik. Dan, tanpa adanya Stuart di antara mereka. Sepertinya hubungan Emily dan Daniel telah membaik kembali. Hari ini, Ratih dan timnya berpindah mengerjakan jurnal di unit Emily karena Katon harus menghadiri rapat online melalui sambungan video call dengan jajaran eksekutif Growth Earth Company yang dipimpin oleh Satria. Ratih baru kembali ke unitnya menjelang makan malam. Katon yang sudah menyelesaikan sambungan internasionalnya mendengar suara ceklik kunci dibuka dan berinisitif menunggu di foyer. Benar dugaan
“Kapan dan di mana?” tanya Katon kepada selulernya. Ratih hanya menoleh sekilas dan kembali sibuk mengupas apel dan menyiapkan snack yang lain. Sementara Arini sampai berhenti dari pekerjaan menyediakan minuman segar dan menatap dalam-dalam ke arah putera sulungnya. Lily yang memahami tatapan khawatir mamanya, menatap bergantian ke wajah Arini dan Katon sambil menyesap jeruk segar diantara dua bibirnya. “Tangier. Secepatnya,” jawab Stuart yang tidak bisa didengar oleh tiga wanita di sekitar Katon. “Aku tidak bisa secepatnya, Stu. Semua keluargaku sedang berkumpul di sini dan kami akan menghadiri presentasi jurnal ilmiah Ratih. Aku akan menyusul,” ujar Katon. Ia menatap Arini yang khawatir dan Lily yang penasaran. Katon mengusap wajah Lily memintanya melihat ke arah lain. “Bugger! Aku butuh bantuan secepatnya, Ton!” seruan Stuart hanya masuk ke telinga Katon. “Aku akan meminta Cia dan Lorna mendatangimu. Aku menyusul setelah urusan di sini selesai,” jawab Katon. “Oke. Suruh merek
Katon merapatkan rahangnya dan sekuat tenaga menahan diri. Ia menunggu saat Ratih melonggarkan pelukan tangannya yang melingkar di leher Katon. Baru lelaki ini bergerak pelan meletakkan dan meninggalkan Ratih di atas tempat tidurnya sendiri. Ia bergerak cepat menuju ke kamar mandi dan melucuti semua pakaiannya lalu berdiri dibawah kucuran shower dan menyelesaikan urusannya sendiri hingga tuntas dengan bantuan sabun lembut milik Ratih. Setidaknya ia melakukan sambil membayangkan aroma Ratih. Setelah selesai dengan urusan pribadi, Katon lanjut mandi dan keluar dari kamar mandi hanya mengenakan handuk. Ia berdiri di pintu kamar tidur Ratih, menatap wanita yang membuatnya acak-acakan barusan. “Demi apa, Neng? Demi menjagamu tetap utuh aku terpaksa bekerja sendiri. Spermakuyang terbuang di lantai kamar mandi adalah bukti nyata aku mencintaimu sepenuh hati, Ratih,” bisiknya. Dan Ratih menggeliat lalu menggumam. Katon terbirit menghindar. Keesokan paginya Ratih bangun dengan terkejut. Ia
“Luar biasa, Sayang. Aku yakin seribu persen, jurnalmu yang akan dipilih untuk dipublikasikan secara meluas,” ujar Katon menarik Ratih kepadanya dan menyalami sekaligus memberinya selamat dengan perasaan meluap-luap. “Mas! Please, kendalikan dirimu,” bisik Ratih. “Eh?!” Katon seolah tersadar ketika Ratih melepaskan tangannya dari genggaman Katon dengan sedikit memaksa lalu Ratih menerima uluran tangan kedua orang tuanya yang mengucapkan selamat sambil mengulum senyum simpul melihat kelakuan Katon yang meluncur turun dari bangku tempat dia duduk begitu para penonton dipersilakan meninggalkan tempat duduk. Katon sadar, barusan dia bertingkah norak. Sekarang ia berdehem dan mencoba menggapai martabatnya kembali. Saat Ratih disalami dan diberi selamat oleh para orang tua, lanjut kepada timnya yang lain, Katon berdiri gagah menjadi bodyguard Ratih. “Selamat Kak Ratih, melihat cara Anda menjelaskan tadi, Anda wanita yang cerdas. Dan berdasar cerita Mas, Anda juga wanita yang tangguh. Su
Sesuai dengan rencana yang sudah disusun Katon. Mereka akan bertolak dari Kairo kembali ke Paris, Perancis terlebih dahulu untuk mengantarkan rombongan Katon, Ratih, Morgan dan Stuart, baru ke Barcelona, Spanyol untuk mengantarkan Lorna dan Cia. Ketika jet pesawat pribadi milik Satria telah dipakai untuk mengantarkan keluarga kembali ke Indonesia, pesawat tersebut mengubah jadwal dan mengurus perijinan terbang ke Kairo untuk menjemput putera sulung Satria dan Arini. Dengan memakai pesawat jet pribadi, pemeriksaan keimigrasian melalui jalur khusus tidak terlalu ketat. Mereka yang telah mensortir harta-harta karun dan menentukan ranking nilainya, lebih leluasa menyembunyikan di berbagai tempat pada bagasi pribadi mereka. Mereka melalui jalur pemeriksaan khusus dan bisa pulang ke Paris dengan mudah. Seperti biasa, ketika tiba di Charles de Gaulle International Airport. Katon mempersilakan Morgan dan Stuart untuk memakai rumah tapak miliknya sementara ia akan mengantar Ratih ke apart
Mereka kembali ke griya tawang yang mereka sewa dengan berjalan kaki. Stuart yang setengah mabuk berjalan sambil merangkul dua wanita. Morgan masih berusaha membebaskan diri dari satu wanita yang bandel menempel padanya. Cia dan Lorna yang saling bergandengan sambil sesekali berdansa di tengah jalan. Dan Katon yang berusaha mempertahankan Ratih di tangannya. Meski Ratih gigih melawan, tetapi Katon memaksa menggenggam tangannya dan menggandeng sepanjang perjalanan kembali. Sesekali ia akan membawa punggung tangan Ratih ke mulutnya dan mengecup ringan untuk meredakan kesal wanita itu. Saat ini mereka berjalan di Midan Tahrir, distrik tengah yang ingin menjadi “Paris di Sungai Nil,” tempat restoran-restoran dan kafe-kafe terkenal berada. Salah satunya yang baru saja mereka tinggalkan. Lampu-lampu jalan menghiasi tepian Sungai Nil, menciptakan jejak cahaya yang membelah gelapnya air. Bangunan-bangunan bersejarah seperti Menara Kairo dan Benteng Saladin berdiri megah. “Dan pemandangan s
"Halo Gamal,” sapa Lorna ceria. Di sisinya ada Cia yang sibuk memakaikan jas untuk Lorna yang sedikit terbuka malam ini, mendadak sembuh dari demam ketika dikatakan akan diajak clubbing. “Mari, saya antar ke meja Anda.” Gamal meluruskan lengan dan mempersilakan rombongan Stuart. “Tolong kendalikan pesanan alkohol, Gamal. Aku tidak mau ada yang mabuk malam ini,” kata Katon seraya menyelipkan segepok uang ke genggaman tangan Gamal ketika mereka berjalan bersama-sama, seolah bersalaman ringan. “Baik, Tuan Tenan.” Gamal mengangguk khidmat dan dengan luwes memasukkan uang dari genggaman tangannya ke saku celana. Mereka dibawa ke meja di samping jendela sehingga bisa menikmati pemandangan kota. Sesuai janji Gamal sebelumnya, dia mengendalikan pemesanan alkohol dan menjaga kesadaran tamu-tamunya. Yang menjadi masalah ketika mereka puas menikmati makan malam, ternyata Stuart meneruskan keinginannya. Yang tidak diduga Katon karena ia dan Morgan sudah menolaknya. Lagipula, ada Lorna dan C
“Crap!” Katon segera sadar sepenuhnya dari kondisi baru bangun tidur dan kelelahan. Ia bangkit dan memilih duduk di tepi tempat tidur, melanjutkan mendial nomor telepon lain. Bukan Ratih, kali ini ia menghubungi Lily. Perbedaan waktu tujuh jam antara Kairo dan Riquewihr membuat Katon merasa bebas saja menghubungi Lily meski sekarang masih pukul dua dini hari di Kairo. Karena di Riquewihr adalah pukul sembilan pagi. Keluarganya pasti sedang menikmati sarapan pagi. “Halo!” Suara Lily ceria. “Lily, Ratih masih di Riquewihr, ‘kan?” tanya Katon panik. “Masih. Kenapa gak telepon Mbak Ratih aja, Mas?” Lily balik bertanya dengan heran. Lily bicara dengan intonasi yang jelas, antara mereka belum mulai sarapan atau sudah selesai. “Mas butuh bantuanmu. Mbakmu ngambek karena Mas gak telepon dua hari ....” “Kapok!” potong Lily. “Lily!” “Iyaaa, Lily dengerin. Lanjut!” “Kamu coba bicara padanya. Mas akan meminta bantuan Maxime untuk mengantar Ratih ke Kairo,” ujar Katon. Maxime adalah salah
“Minggir!” teriak Stuart melepas talinya dan mendorong Cia agar lari mendekati Morgan. Katon melakukan hal yang sama bersama Lorna. Mereka berlima menjauhi sarkofagus yang terjatuh miring. Kelimanya menatap ke arah benda itu. Stuart bahkan berjongkok untuk mengetahui sudut yang menghantam lantai. Tidak ada asap. Tidak ada debu. Semua tampak baik-baik saja. Dan bagian sarkofagus yang menghantam lantai sedikit terbuka. Menumpahkan sekaligus menunjukkan isinya sedikit. Tanpa menunggu sahabat-sahabatnya, Stuart melangkah mendekati sarkofagus dengan berani. Katon hendak melarangnya. Namun, melihat keteguhan dan kerinduan di wajah Stuart, Katon memutuskan untuk melihat saja. “Setidaknyanya pake sarung tangan sama masker gas, kek,” celutuk Lorna. Katon berniat meneriakkan saran Lorna tetapi Stuart telah tiba di sisi sarkofagus dan membuka paksa tutupnya yang sudah rusak. Sesosok jenazah terbungkus kain kusam terjatuh dan kainnya robek menunjukkan isi yang ternyata hanya sisa-sisa residu t
Terdengar suara seperti semprotan saat sarkofagus terangkat. Mirip suara minuman berkarbonasi baru dibuka. Bedanya, yang ini suaranya lebih keras dan sekaligus menyemburkan debu-debu, saking banyaknya sampai mirip asap. Sedetik kemudian terdengar lolong kesakitan dari empat orang yang berada di sekitar sarkofagus. “Sekarang!” teriak Stuart dan Katon melompati peti didepannya lalu melesat untuk menyerang Hachim. Pria tambun itu yang semula terkejut melihat kawan-kawannnya sontak menoleh ke arah Katon dan siap melayangkan rungu. Katon merendah dan meluncur di lantai, menyapu kaki Hachim hingga pria tambun itu terjatuh . Hachim tergagap dan berusaha berdiri ketika Loran datang dan menendang kepalanya. Hachim terbatuk dan berguling. Lorna yang belum puas, mengejar. Ia rebut satu rungu Hachim dan memakai ujung yang bulat untuk menghajar kepala Hachim sampai dia pingsan. Di sekitar sarkofagus, empat orang berkelojotan dan berteriak kesakitan. Jamal dan Malik Albani adalah yang paling pa
“Malik Albani,” desis Stuart penuh kebencian. Ia menatap wajah yang meringis geli tetapi juga menunjukkan kekejaman yang mengerikan. Seketika Katon paham, tidak ada gunanya Stuart memilih lewat laut ke Kairo karena pada akhirnya, Malik Albani tetap bisa mengejarnya hingga kemari. “Yeah, bagus sekali Stu,” geram Katon perlahan. “Wah, lihat harta-harta ini, Malik!” “Kita kaya! Hahahahaha ....” “Dan biarkan bangsat-bangsat putih ini jadi anjing pelacak kita. Puas sekali aku, hahahahaha ....” “Kau luar biasa, Malik!” Seruan teman-teman Malik Albani hanya membuat Stuart, Katon, Morgan dan Cia merah padam. Hanya Lorna yang menatap dengan tertarik ke arah Malik Albani. “Bagaimana caranya kalian melewati lubang besar di lorong pertama?” tanya Lorna tertarik. “Dengan cara yang tidak perlu kau ketahui, perempuan. Kau tidak akan membutuhkannya!” jawab salah seorang kawan Malik dengan nada kejam. “Di situkah tempatnya?” tanya Malik, berjalan mendekati Stuart dan Katon sambil menggoyang-g
“Apa saranmu. Lorna?” tanya Katon dengan nada malas. Makin lama pembicaraan ini menjengkelkan karena hasilnya membawa mereka pada kesulitan lain atau resiko kematian. “Apa lagi? Lakukan sesuai yang diharapkan pembuat lorong ini. Nyalakan Asphaltnya.” “Yeah, dan kita akan merasakan neraka lebih awal,” kata Cia terdengar super sebal. Lorna tertawa kecil dan membungkuk ke arah kekasihnya, untuk menggoda dan menaikkan mood Cia lagi. “Apakah ada kemungkinan Asphalt itu mengering dan tidak berguna lagi. Kalian lihat dua jebakan sebelumnya kan sudah kurang efektif. Iya, ‘kan Ton? Jebakan pertama, seharusnya ada sungai bawah tanah. Tetapi tidak, ‘kan?” kata Morgan. “Yang membuatnya makin berbahaya. Tanpa ada sungai, kita malah menghempas ke dasar tak terhitung dalamnya, Morg. Jika ada air mungkin kita hanya hanyut. Tanpa air, kita remuk,” jelas Katon makin membuat Morgan merasa ngeri. “Lagipula, Asphalt murni itu tahan lama. Apalagi ketika diletakkan di tempat nyaris tertutup seperti ini
Ruangan ini berbentuk kotak sempurna, berbeda dengan ruang sebelumnya yang bulat. Ruangan ini juga menampilkan aula persembahan dengan altar granit, dihiasi dengan penggambaran perwakilan dari berbagai provinsi yang membawa persembahan kepada firaun. Stuart terpana menatap salah satu dinding ruangan utama ini. Ada sebuah patung manusia sangat besar. Patung laki-laki yang mengenakan pakaian kebesaran khas Mesir. Kepalanya yang memiliki wajah berwarna hijau, menoleh ke kanan. Kedua tangan patung itu bersilangan di depan dada, masing-masing membawa alat yang sudah tidak jelas lagi bentuknya. “Ruang persembahan Dewa Osiris. Kita ada di jalur yang benar,” bisik Stuart sambil menatap ke patung itu dengan wajah terpesona. “Bagus! Jangan sampai pengorbanan kemejaku sia-sia,” Lorna tiba-tiba sudah ada di sisi Stuart dan ikut berdesis di sebelahnya. Pria Inggris itu seperti ditampar sesuatu dan menoleh ke arah Lorna. “Eh, kampret! Tadi kenapa pake diem pas nancep ke langit-langit?! Teriak