373. Lisa diusir (Bagian B)“Gila! Dari mana kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Bahkan untuk mengembalikan uang Aji saja, Ibu masih bingung. Dan sekarang kamu sudah meminta uangmu juga? Enam ratus juta itu tidak sedikit, Sa! Jangan main-main kamu!” sahut Ibu dengan nada ketus.Sedangkan Marwan sendiri berkali-kali mengusap peluh yang ada di dahinya, dia juga sepertinya sangat ketakutan saat ini karena ancaman yang sedang mengintainya adalah jeruji besi.“Aku nggak mau tahu, Bu. Yang pasti, aku ingin uang itu kembali. Kalau Ibu memang tidak punya uang, kenapa tidak Ibu jual saja tanah dan juga sawah yang sudah Ibu belikan untuk Marwan dan juga Mbak Rosa?” sahutku dengan nada santai“Enak saja!” Marwan kemudian berteriak panik. “Sawah itu adalah milikku, dan aku tidak akan pernah menjualnya kepada siapapun!” ujar Marwan lagi.“Hei, sawahmu itu dibeli dengan menggunakan uangku, dan saat ini Ibu berkewajiban untuk mengembalikan uang itu ketika dia tidak punya uang. Lalu kamu pikir,
374. Lisa diusir (Bagian C)“Baiklah kalau begitu, aku akan pergi dari sini. Aku akan pindah dan membawa anak-anakku, Ibu tenang saja. Tapi untuk yang pertama, kembalikan dulu perhiasan itu!” kataku semakin menadahkan tanganku ke arahnya.Ibu kelihatannya sangat kesal, karena dia langsung melepas segala perhiasan yang dipakainya dengan amat kasar. Seolah-olah ingin memutuskan semuanya.Empat buah cincin, sepuluh buah gelang, satu gelang keroncong, dan satu buah kalung panjang, sudah berpindah ke tanganku. Kemudian Ibu menatapku dengan pandangan yang amat sangat nyalang.“Kamu benar-benar membuat Ibu kecewa, Sa!” ujar Ibu sambil menunjukku.“Aku lebih kecewa dengan Ibu!” sahutku dengan nada keras. “Sekarang, silakan kalian keluar dari kamarku karena aku akan membereskan pakaianku, dan juga anak-anakku. Kami akan pergi dari sini sekarang juga!” kataku sambil menunjuk pintu kamar.Ibu dan Marwan kemudian langsung keluar dengan kaki yang menghentak, mereka sepertinya tidak terima dengan p
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)375. Pergi dari rumah (Bagian A)Aku kemudian mendengus, dan melipat tanganku di depan dada. Aku memalingkan wajah dan menatap ke arah halaman dengan tidak sabar, ternyata menunggu seseorang benarlah sangat menyiksa batinku. Rasa-rasanya, aku ingin berteriak karena temanku itu terlalu lama.“Sebenarnya ini ada apa, sih? Coba jelaskan dulu sama Bapak, biar Bapak mengerti.” Bapak berujar dengan cepat ke arah Ibu untuk meminta penjelasan.“Bapak nggak perlu tahu, yang pasti Bapak nggak perlu untuk menahan Lisa pergi. Biarkan dia mau ke mana! Biar dirasanya, enak tidak jika tidak ada orang tua!” sahut Ibu dengan nada ketus.“Lah, selama ini bagaimana, Bu? Aku memang tidak pernah merasakan ada orang tua bersamaku, kok. Toh, adapun hanya untuk dibohongi oleh kalian,” kataku sambil berujar dengan nada mengejek. “Jadi, lebih baik aku pergi. Toh, aku juga bisa hidup bersama kedua anakku karena aku memang mampu!” kataku lagi.Dari ekor mat
376. Pergi dari rumah (Bagian B)“Oh ya? Lalu, maksudnya seperti apa, Pak?” tanyaku dengan nada sinis. “Maksudnya adalah, kalian akan terus membohongiku jika saja aku tidak tahu tentang kebusukan ini? Begitu?” tanyaku lagi, terus menekan mereka agar tidak berkutik di hadapanku.“Bukan begitu, Sa. Maksud kami tidak begitu, maksud Ibu adalah baik. Dia ingin membeli tanah dan juga sawah itu sebagai bentuk investasi,” ujar Bapak berusaha meredakan amarahku.“Investasi dengan menggunakan uang orang lain maksudnya?” tanyaku dengan nada pedas. “Lagi pula, kalau emang untuk investasi kalian, seharusnya tidak dibuat atas nama Mbak Rosa dan Marwan!” lanjutku dengan nada mengejek.“Memang apa salahnya kalau Ibu membelikan tanah dan juga sawah atas nama kami? Hah? Dasar kamunya aja yang iri dan juga sirik, heran aku! Sama saudara kok punya rasa dengki, gila kamu itu!” ujar Mbak Rosa sambil memakiku.“Lah, yang iri sama kalian siapa? Aku nggak peduli kalau kalian itu mau dibelikan emas, tanah, rum
377. Pergi dari rumah (Bagian C)Kini hanya tersisa aku yang tinggal dengan tas jinjing yang aku bawa, aku kemudian menatap Ibu dan juga Bapak dengan pandangan sendu tersirat jelas rasa kecewa dari wajahku.“Aku pergi Pak, Bu, terima kasih untuk semuanya, dan ingat sediakan uangku. Kalau tidak, jangan salahkan aku jika aku berbuat nekat!” kataku dengan nada tegas.Kemudian aku berbalik dan berjalan dengan tegap, dadaku membusung, dan daguku terangkat tinggi. Aku tidak akan pernah berjalan tertatih, aku akan bangkit dan juga memperbaiki hidupku demi anak-anakku.Aku bisa mendengar Ibu yang memekik dan memakiku, namun aku sama sekali tidak menoleh sedikitpun dan memasuki mobil Ema dengan mantap.“Kamu yakin mau pindah, Sa?” tanya Ema sambil menatapku dengan pandangan kasihan.“Yakinlah, mana mungkin tidak yakin jika sudah seperti ini!” sahutku sambil terkekeh kecil. “Kontrakannya sudah ada, kan?” tanyaku lagi.“Sudah, aku bahkan sudah membayar untuk tiga bulan kepada Pak Ramon,” ujar Em
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)378. Kedatangan Edi (Bagian A)Lisa menatap Rona dengan pandangan heran, kenapa anak kecil ini ada di sini? Lisa menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba saja menjadi gatal, apalagi saat melihat tatapan Rona yang seolah tengah mengulitinya.“Mbak, ngapain di sini?” Ulang gadis itu lagi. “Mana Naufal sama Salsa? Aku kangen banget, mereka nggak kelihatan beberapa hari ini,” uja Rona lagi.Lisa menelan ludah, Rona adalah cucu Cokro, Kakak dari mantan Bapak mertuanya. Seharusnya dia memanggil Lisa dengan sebutan ‘Bulek’ atau ‘Bibi’, tetapi Lisa menyuruhnya Rona memanggilnya dengan sebutan’Mbak’. Wanita itu merasa belum terlalu tua, dan dia merasa masih pantas untuk dipanggil dengan sebutan ‘Mbak’ atau ‘Kakak’. Padahal, Rona sendiri memanggil Aji dengan sebutan ‘Paklek’.“Oh, Mbak ada perlu di sini. Naufal sama Salsa ada di mobil, mereka lagi tidur,” sahut Lisa sambil menunjuk mobil Ema yang terparkir apik di parkiran. “Kamu ngapain di si
379. Kedatangan Edi (Bagian B)Aku tidak menyahuti lagi, karena aku sudah sampai di halaman dan sudah menemukan keberadaan Mas Aji. Dia sedang bermain catur bersama Mas Abi, dan aja Joko juga di sana.“Mas, Ibu nih, mau ngomong.” Aku lantas berbicara, sambil kakiku tetap melangkah mendekat.Ketiga orang di sana langsung menoleh serempak, dan dengans erempak pula mereka mengernyit heran.“Ibu? Mau ngomong apa? Tumben banget!” Mas Abi menyahut, dia mengulurkan tangannya dan itu membuat aku balik mengernyit.“Ini buat Mas Aji, Mas,” sahutku dengan datar.“Ya ngomong dari tadi, Dek. Mas siapa yang kamu maksud, apakah Mas Aji, Mas Joko, atau Mas kesayangan kamu ini!” Mas Abi mendengus kesal.Aku mengabaikan kata-katanya, dan memilih untuk memberikan ponselku pada Mas Aji yang sudah menadahkan tangannya. Kakak iparku itu terlihat tenang, dia mengaktifkan fitur loudspeaker dan meletakkan ponsel itu di meja.“Ya, Bu? Ada apa?” tanya Mas Aji dengan lembut, dia menggerakkan kudanya untuk merunt
380. Kedatangan Edi (Bagian C)“Atau Mas Abi ikut saja untuk menemani Mas Aji? Mana tahu kalau Mas Abi ikut, Mas Aji jadi mau untuk pulang ke rumah.” Aku menatap suamiku itu dengan cengiran lebar di bibirku.“Apaan sih, Dek. Jangan ajak-ajak Mas lah, Mas juga nggak mau ke sana buat ketemu sama Marwan yang songong itu!” Mas Abi menolak dengan cepat.“Padahal itu ide yang bagus loh, Bi. Ayolah, ikut saja. Biar aku tidak sendirian menghadapi omong kosong mereka itu,” kata Mas Aji berusaha merayu adiknya itu.“Mas takut sendirian ke sana?” tanya Mas Abi dengan tatapan tidak percaya, yang terlihat amat dibuat-buat. “Kalau takut, bilang Mas … biar aku temenin ke sana,” kata Mas Abi lagi.Aku hampir saja tertawa terbahak-bahak saat mendengar balasan yang diberikan oleh Mas Abi, aku tahu betul harga diri Mas Aji yang setinggi langit pasti akan terluka ketika dikatain sebagai seorang penakut oleh Adiknya sendiri.Dan biasanya, Mas Aji akan langsung bergerak menjauh tanpa mau menyahut sedikitpu