277. Solusi dari Amran! (Bagian B)Aji hanya kebagian yang pahit-pahitnya saja, kebagian dimarahi oleh orang lain, kebagian didemo wali murid, kebagian ditagih hutang juga. Sebenarnya yang malang itu adalah Aji, anaknya. “Biarkan!” Makanya Sri mengambil keputusan. “ Ibu tidak peduli orang mau berbicara apa, biar mereka tahu sekalian, Pak. Apalagi kedua orang tua Lisa dan juga keluarganya, mereka tidak berhak untuk marah apalagi protes. Karena Lisa pergi atas keinginannya sendiri, dan bukannya itu juga karena hasutan Mawan?” tanya Sri ke arah Aji.Aji mengangguk. "Benar, Bu. Marwan mengajak Lisa untuk pulang ke rumah mertuaku, dan Lisa menyetujui hal itu," ujar Aji dengan mantap."Nah, lihat? Yang salah itu siapa? Masak, masyarakat nggak bisa nilai sih, Pak. Para warga juga pintar kali," kata Sri dengan enteng. "Sudah, nggak usah dipikirkan! Biarkan dia mengurusi urusannya sendiri," kata Sri lagi."Tapi bagaimana dengan Naufal dan juga Salsa, Bu?" tanya Amran lagi, dia masih belum pua
278. Solusi dari Amran! (Bagian C)Bapaknya ini tidak pernah marah, yang selalu bersikap tegas di keluarga mereka adalah ibunya. Tetapi Aji dan juga Abi jelas tahu, ketika Bapak mereka marah maka hal itu pasti akan menjadi suatu hal yang menyeramkan."Ya Allah! Ya Robbi! Kamu benar-benar melakukan hal itu? Kamu benar-benar mengecewakan Bapak, Aji!" ujar Amran sambil memijat pelipisnya. "Bagaimana bisa kamu menggadaikan kebunmu pada lintah darat itu? Dia bukanlah orang baik, dia bukanlah orang yang akan melepaskan mangsanya begitu saja. Dia akan menghisap kalian sampai kering, setelah itu baru membuang kalian seperti sampah!" kata Amran lagi."Aku membutuhkan uang itu, Pak, untuk berinvestasi kepada Marwan," kata Aji sambil menunduk."Lebih baik kamu tidak berinvestasi pada adik iparmu itu, daripada kamu harus menggadaikan kebunmu kepada Karta!" sahut Amran lagi. "Kamu itu memang benar-benar sudah kehilangan kewarasan, kamu itu tidak bisa berpikir! Apa kamu tidak tahu, kalau kebun itu
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)279. Biang Masalah! (Bagian A)Aji membeku, tak pernah sekalipun dia punya pikiran untuk menjual kebun yang sudah diberikan oleh kedua orang tuanya itu. Sampai sekarang dia masih berharap, kalau dia bisa menebusi kebun itu pada Karta. Tetapi tiga ratus juta? Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak itu?Lagipula, andai Aji setuju untuk menjualnya pun, maka pertanyaan selanjutnya adalah … siapa yang mau membelinya? Nominalnya saja mencapai lima ratus juta, lalu siapa yang punya uang sebanyak itu di desa ini? Mungkin hanya, Karta, Anwar, dan juga … kedua orang tuanya. Dan ketiga orang ini tak mungkin mau membeli tanah milik Aji, Karta sudah jelas menolak dan lebih memilih untuk semakin menekan Aji agar segera menyerah dan kebun itu otomatis menjadi miliknya.Sedangkan Anwar? Dia lebih suka dengan sawah, karena Anwar adalah juragan beras, dia tidak terlalu menyukai kebun sawit. Dan pilihan terakhir adalah Amran juga Sri? Tapi mustah
280. Biang Masalah! (Bagian B)"Tapi mau bagaimanapun juga, aku hanya berharap Aji bisa segera melalui hal ini, Bu," kata Amran tiba-tiba. "Ide menjual kebunnya itu memang bagus, terpikirkan begitu saja tadi. Tetapi pertanyaannya adalah, siapa yang mau membeli kebun seluas itu? Dan benar yang Ibu bilang menjual kebun tidaklah sama seperti menjual kacang goreng, tentu saja sulit dan susah!" kata Amran lagi."Carikan saja orang yang mau membeli kebun itu, daripada pusing-pusing, Pak. Infokan sama saudara-saudara, atau tetangga, atau kenalan kita. Aku sudah tidak mau lagi pusing-pusing untuk memikirkan hal itu!" kata Sri menyahuti. "Toh, jika untuk Naufal dan juga Salsa, kebun kita masih banyak. Untuk stok cucu-cucu kita nanti, kita tidak kekurangan, Pak!" kata Sri lagi."Iya, aku juga mikir begitu, Bu. Bukannya aku tidak mau menebus hutang Aji pada Karta, tapi aku hanya mau dia jera dan tidak berbuat seenaknya lagi. Aku mau dia berubah, dan menghargai uang!" sahut Amran dengan mantap."
281. Biang Masalah! (Bagian C)"Sebenarnya kalau pakai sosis juga enak lho, An. Kita bisa bakar sosis buat cemilan," ujar Mas Aji, sambil ikut mengacungkan jempolnya juga.Aku memutar bola mataku, dan langsung bergegas pergi. Sama sekali tidak mau mendengarkan kata-kata Mas Aji tadi, enak sekali dia. Sudah numpang makan, malah request untuk dibuatkan sosis bakar pula."Ana! Jangan lupa beli sosis!" Mas Aji sempat memekik, namun aku menghiraukan pekikannya dan melajukan motorku secepat kilat.Saat melewati rumah Ibu, aku bisa melihat motor Bapak masih ada di depan, dan itu artinya Bapak belum pergi ke sawah. Apa aku mengajak Ibu saja untuk ke pasar ?Mana tahu Ibu ingin membeli sesuatu, kan?Ah, tetapi aku mengurungkan niatku setelah berpikir sejenak, karena mungkin saja saat ini Ibu sedang beristirahat. Dia terbiasa tidur siang, dan tidak menutup kemungkinan kalau saat ini Ibu sedang tertidur, dan jika aku ke sana maka aku akan mengganggu waktu istirahatnya.Aku langsung mengegas motor
PILIH KASIH (Membungkam Mertua dan Ipar secara Elegant)282. Fitnah Lisa! (Bagian A)Aku terpaku, bagaimana bisa Lisa melakukan hal ini? Itu artinya, dia pergi dari rumah demi menghindari semua masalah dan melimpahkan segalanya pada pundak Mas Aji. Kenapa dia sejahat ini, sih?Astagfirullahaladzim! Aku benar-benar tidak menyangka kalau dia sepicik itu, padahal dia adalah istri Mas Aji, tetapi dia bersikap seolah-olah mereka adalah musuh, karena dia melemparkan tanggung jawab yang seharusnya ada pada dirinya kepada Mas Aji.“Nah! Bener, kan? Dia pergi dari rumah! Kamu ngapain bohong sama Mbak, An? Mbak ini tidak suka bergosip, kok!” kata Mbak Rini tiba-tiba.“Bukan seperti itu, Mbak. Aku hanya tidak mau mengumbar urusan keluarga kepada orang banyak,” kataku dengan lesu.Aku lalu mengembalikan ponsel Mbak Rini kepada pemiliknya, dia lalu mengutak-atik ponselnya tersebut tanpa melihat ke arahku sama sekali. Sedangkan aku saat ini hanya terdiam lesu, berdiri menatap kosong ke arah tumpuka
283. Fitnah Lisa! (Bagian B)“Kirimi aku screenshot status Mbak Ruli, dan juga screenshot percakapan Mbak dan juga Mbak Lisa tadi,” kataku sambil menangkupkan kedua tanganku di depan dada.“Oh, kalau itu nggak masalah. Bisa Mbak kirimkan, Mbak pikir tadi kamu mau pinjam uang, kalau pinjam uang … Mbak angkat tangan. Uang Mbak tidak ada, soalnya dagangan hari ini belum terlalu laku padahal sudah menjelang sore,” kata Mbak Rini sambil kembali membuka tutup toples Khong Guan miliknya.“Nggak Mbak, aku nggak mau pinjam uang, kok. Tenang aja! Aku cuman mau minta screenshot-an punya Mbak tadi,” kataku sambil terkekeh kecil, aku lalu mengambil ponselku di dalam saku tunik yang aku pakai. Tak lama kemudian aku bisa mendengar ada pesan masuk dari nomor Mbak Rini.Dia mengirim dua buah foto, yang pertama screenshot dari status Mbak Ruli dan yang kedua adalah screenshot dari percakapan Mbak Rini dan juga Lisa.“Kamu mau ngelaporin ini sama Aji dan juga mertuamu, An?" tanya Mbak Rini ingin tahu.
284. Fitnah Lisa! (Bagian C)"Oh, kami mau ketemu sama Bu Sri dan juga Pak Amran. Tapi dari tadi, kami panggil-panggil belum ada sahutan sama sekali, Mbak," kata Mbak Suci sambil tersenyum."Oh, mungkin Bapak dan juga Ibu sedang tidur siang. Soalnya ini kan, memang masih jam tidur siang. Nggak apa-apa, Mbak. Duduk dulu, biar saya yang manggil Bapak sama Ibu," kataku sambil mempersilahkan mereka duduk di kursi teras."Wah, terima kasih banyak ya Mbak Ana, kalau tidak ada Mbak Ana kami pasti bingung karena Bu Sri dan juga Pak Amran tidak bisa dipanggil dari tadi," kata Mbak Suci sambil tersenyum kecil. "Ayo Bude, kita duduk dulu," kata Mbak Suci sambil duduk terlebih dahulu, dan diikuti oleh Ibu yang lebih tua.Aku langsung mengangguk dan berjalan ke arah samping, mengelilingi rumah Ibu yang besar dan sampai ke pintu dapur. Di sana aku langsung mendorong pintu yang memang jarang terkunci itu, lalu masuk ke dalam dengan leluasa."Assalamualaikum, Bu! Ibu!" Aku mengetuk pintu kamar Ibu ya