Han meletakkan kantong plastik berisikan gorengan yang baru saja ia beli. Dengan hati-hati karena panas, Han mencomot satu tempe goreng dengan menggunaan tissue. Ia lantas meniup-niup gorengan panas itu dan sedikit demi sedikit memakannya karena cukup membakar lidah.Ia duduk tak jauh dari sang penjual gorengan yang masih terus menggoreng.“Masih panas banget ya, den?”Han melirik ke arah sang penjual gorengan dan tersenyum, ia mengangguk.“Barusan banget saya gorengnya. Haha. Ditunggu sebentar lagi pasti sudah lebih dingin.”“Ga apa-apa, Pak. Santai aja.”Han menatap ke arah seberang jalan, di sana ada ruko-ruko gelap yang dua di antaranya menyalakan lampu yang terlampau ramai. Satu untuk karaoke, di sebelahnya bilyar, dan satu lagi khusus dingdong atau video games.“Jangan masuk ke sana, Den. Isinya orang-orang ga bener.”Han tersenyum pada sang penjual gorengan, “Lha Bapak kok jualan di sini? Kan di depan sana isinya orang-orang gak bener.”“Karena orang-orang gak bener itu pasti b
Garin mendengus dan beberapa kali bersin saat berjalan berdua bersama Han pagi itu. pemuda bertubuh besar dan berkepala plontos itu berulang kali menyapukan tissue kucel ke hidungnya.“Aku tahu kamu pengen banget dateng ke car free day hari ini, tapi ya tidak perlu sepagi ini kan jalannya? Kita ini mau menikmati CFD, atau mau bantuin dorong gerobak tukang angkringan yang mau pulang? Ini masih pagi banget lho. Nembe bakda subuh kiye, lur.”Han hanya tersenyum dingin seperti biasa.“Justru dia hanya ada di waktu-waktu seperti ini.”Garin menggeleng, “Sama sekali tidak kuduga kamu akan mendatangi kami satu persatu begini, lur. Ancene gendeng. Darimana kamu tahu di mana kami berada? Tidak semua lanjut sekolah kan. Kalau yang lanjut sekolah gampang dilacak, lha yang lain? Kayak aku ini? Lulus sekolah langsung kerja di karaokean, kok yo nemu lho kowe. Asem.”“Aku punya banyak jaringan di kota ini, Rong. Kalau hanya mencarimu, itu tugas mudah bagiku.”“Ancene gendeng.”Kembali Garin mendengu
Garin dan Engkus berdiri di belakang Han.Mereka bertiga berada di depan sebuah warung makan, salah satu yang legendaris di kota. Lokasinya agak sedikit nylempit ke dalam, tepatnya ada di jalan sebelah barat SMA swasta paling populer yang siswanya diijinkan gondrong dan berpakaian nyleneh.Dari jalan itu lurus ke utara, lalu ke barat masuk ke gapura, ikuti jalan, belok ke kiri, nah ada gang kecil mengarah ke selatan. Gangnya sempit dan hanya bisa dimasuki sepeda motor, tapi di sana ada warung makan nasi sop dan empal yang gurih, nikmat, dan legendaris. Sang simbah legend sang penjual sudah meninggal, tapi warisannya tetap bertahan.Di depan warung itulah sekarang Han dan kedua kawannya berada.“Garong, Kus, kalian berdua masih ingat kan aturan mainnya?”Kedua kawan lama Han mengangguk. Han pun menepuk pundak kedua kawannya dan duduk di atas pagar beton salah satu rumah di dekat lahan parkir terbuka. Ia menyaksikan Garin dan Engkus berjalan ke depan.Mereka melangkah menuju dua motor C
Garin bersidekap menatap aksi Engkus sementara di kejauhan Han duduk dengan tenang menyaksikan.Mereka berdua merasa yakin kalau Engkus bahkan tidak perlu dibantu saat ini. Baik Han maupun Garin yakin kalau pemuda penjual pukis itu sudah lebih dari cukup untuk menghadapi keempat pemuda sok jago yang ada di hadapan mereka.Han menatap ke arah Amad dan Gino bergantian, memperkirakan kemampuan mereka. Ia teringat percakapannya dengan Jogesh tempo hari.“Kalau mengincar Ruslan Gani, maka harus melemahkan pendukungnya dulu. Ada dua orang yang selalu menyertainya, Gino dan Amad. Keduanya bertubuh besar, powerful, dan punya kemampuan setara. Mereka sering nongkrong di warung nasi sego empal deket Debri…”“Jam berapa saja mereka ada di sana?” tanya Han waktu itu.“Jam makan siang.”Sekali lagi Han menatap ke arah dua orang itu. Gino dan Amad.Mereka berdualah sebenarnya yang sedang ia incar. Kedua target itu merupakan anggota Hound Dogs dan bodyguard setia dari Ruslan Gani, sang Top Dogs dari
Garin menekuk lehernya ke kanan dan ke kiri, menatap sosok raksasa di depannya dengan serius. Amad bukan anak kecil, bukan bocah kemarin sore, bukan pemuda biasa. Dia terlalu dewasa untuk usianya dan terlalu besar untuk dijadikan lawan.Tapi bukan Garin namanya kalau langsung menyerah begitu saja.“Kulihat kamu suka nge-gym,” ujar Garin sambil tersenyum ramah, “otot-otot lenganmu besar. Yang seperti itu pasti tidak didapat dari membawa buku paket ekonomi ke kampus. Bukan begitu?”Amad diam saja tak peduli.Dia menatap Garin dengan sinis. Pandangan mata pemuda bertubuh besar itu tipis saja karena matanya terlihat sipit saat memicingkan mata.“Sepertinya tidak suka bercakap-cakap ya. Tidak apa-apa, mari kita buktikan saja siapa yang berhak ngomong banyak setelah ini,” ujar Garin sambil mengambil stance ala boxer dengan kedua tangan di depan wajah.“Banyak bacot, Su.”Amad tersenyum sinis, ia menyiapkan kepalan dengan menghentak tangan kanan dan kiri bergantian, “Jangan terlalu ramah pad
“Ayolah, mau sampai kapan kita saling goda begini. Kapan tandingnya? Kekekek.”Lasut dan Rofi saling bertatapan. Keduanya sama-sama geram dan benci suara ketawa si Engkus.Mereka berdua sejak tadi dipermainkan oleh si kerempeng tukang akrobat di depan mereka ini. Kemungkinan besar si Tikus tidak mengenal mereka sebagai perwakilan D.O.G karena geng itu hanya dikenal di kampus, tapi bukan berarti mereka bebas dipermalukan seperti ini!Cara flanking sudah dilakukan dan itu gagal, kini mereka tidak bisa berharap pada Gino karena ia disibukkan oleh pertarungan lain, begitu juga dengan Amad. Mereka harus menyelesaikan si kerempeng ini berdua!“Kalau dari kanan kiri tidak lagi bisa, kita serang bersamaan saja, dari depan. Langsung dan frontal,” ujar Rofi kesal.“Setuju. Si rambut ijuk ini mesti diberangus, diiket pake rafia dan dibuang ke Kali Mambu!”Engkus semakin tertawa.“MAJUUUU!”Rofi memberi komando. Ia dan Lasut melesat ke depan. Keduanya berbarengan melaju. Tidak peduli siapa yang s
Ruslan Gani menguap.Hari ini udara terasa terlalu hangat, bahkan di ruangan ber-AC sekalipun ia merasa gerah. Apakah karena hawanya, AC-nya, atau mungkin karena ia berlatih terlampau keras hari ini? Pemuda bertubuh kekar itu melangkah ke depan cermin.Dengan narsis pemuda berkulit sawo matang gelap dan rambut model flat top fade itu tersenyum mengagumi dirinya sendiri. Ia menggerakkan tangan kanan, memamerkan otot-otot biceps dan triceps yang besar.“Sudah jangan dilihat-lihat terus. Rasa-rasanya semakin hari semakin sempurna saja, Lan. Ga tertarik ikut lomba binaraga, po?” seorang pemuda gundul yang mengenakan kacamata hitam, kaos kutung hitam, dan celana pendek hitam lewat di belakang Ruslan.Pemuda berkepala gundul itu melihat-lihat di gym, mencari peralatan yang sedang tidak dipakai, dan memilih rowing machine.“Ded…” Ruslan menghampiri si kepala gundul dan duduk di sebelahnya sambil memainkan barbel, “Ada kabar dari bos besar? Ada sedikit keresahan di kalangan Hound Dogs karena
“Mereka sepertinya mulai mencari siapa kamu, Kak. Mereka memeriksa setiap CCTV yang mengarah ke kantin dan lokasi pertarunganmu dengan Pras dan Haikal.”“Tidak masalah.”Han duduk dengan santai di salah satu bangku beton yang ada di patio taman kampus. Raisyah duduk di sebelahnya. Gadis ayu itu mengenakan pakaian sopan dengan kerudung berwarna krem, disertai cardigan dengan warna senada, kaos putih, dan long skirt jeans. Ia memaksa Han mengenakan kemeja dengan warna krem yang sama dengan membelikannya satu stel.Menurut Raisyah, jikalau mereka harus tampil sebagai pasangan, maka sebaiknya all out dan all in.“Bagaimana kalau mereka benar-benar bisa mengetahui siapa dirimu?”“Justru lebih baik lagi. Aku tidak perlu bergerilya, bisa langsung terang-terangan dan…” Han melirik ke arah Raisyah. Mata bulat indahnya menatap Han dengan penuh tanda tanya. Han melanjutkan, “…aku bisa melindungimu tanpa takut-takut lagi.”Raisyah agak terkejut dengan pernyataan itu, wajahnya memerah. Ia pun mema
Han melangkah maju, kobaran api di sekelilingnya semakin mendominasi lapangan yang kini terasa seperti medan perang. Dengan satu gerakan cepat, ia menyerang Viktor menggunakan ledakan api berbentuk harimau yang melesat dengan kecepatan luar biasa. Viktor mencoba menghindar, tetapi ekor harimau api itu menyambar bahunya, membuatnya terlempar beberapa meter.“Jangan berpikir kau bisa lolos dengan mudah,” Viktor berkata sambil berdiri tertatih, memfokuskan kekuatannya untuk melawan. Listrik mulai terkumpul di tangannya, membentuk bola energi yang lebih besar dan mematikan. Ia melemparkannya ke arah Han dengan kekuatan penuh, menciptakan ledakan besar saat menyentuh tanah.Namun, ketika debu menghilang, Han masih berdiri tegap, meskipun kini dengan pakaian yang sebagian hangus. “Itu cukup menghibur,” katanya, senyumnya masih tetap sinis. Ia mengangkat tangannya lagi, kali ini menciptakan dinding api yang melindunginya dari serangan Viktor selanjutnya.Viktor mulai kehabisan tenaga karena
Lapangan sepakbola yang terkurung ruko-ruko itu terasa hening, seolah segala suara dari dunia luar lenyap. Han, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, berdiri santai di tengah lapangan. Wajahnya dihiasi senyum menyeringai, meskipun matanya tetap tajam memandang Viktor von Dasch di seberang.Viktor, dengan sikap penuh percaya diri, melangkah maju sambil mengayunkan jemarinya yang memercikkan listrik. “Kamu lumayan, Bro. Jadi Aku akan lebih serius,” Viktor berkata sambil tertawa kecil. “Tadinya Aku pikir Aku tak perlu berusaha terlalu keras.”Han hanya mengangkat alis, tak berkata apa-apa. Ia menggeser kakinya sedikit, bersiap. Sebuah langkah kecil yang hampir tidak terlihat, tetapi penuh makna. Viktor, merasa diremehkan, mengayunkan tangannya ke depan, mengirimkan sambaran petir ke arah Han.Sambaran itu menghantam tanah dengan dentuman keras, meninggalkan bekas hangus yang berasap. Namun, Han sudah tidak berada di tempat itu. Dengan langkah ringan, ia bergeser ke samping, membuat Vi
Di sisi lain, Anjani melompat ke tangga besi yang berkarat, mendaki dengan cepat hingga mencapai atap ruko. Shih-Tzu tak mau kalah, Ia meluncur seperti bayangan gelap, menghantam besi tua itu dengan tumitnya hingga tangga bergoyang hebat. Anjani nyaris terlempar, namun berhasil mencengkeram pinggiran atap dan melompat ke permukaan yang licin.Shih-Tzu sambil melompat ke atap, meluncur seperti badai yang tak terhentikan, seakan-akan hendak menyatakan pada Anjani kalau mau lari kemanapun, Ia sanggup mengejarnya.Anjani memutar badan dan mengayunkan nunchaku-nya dengan gesit, menangkis sabetan pedang kayu Shih-Tzu yang mematikan. Shih-Tzu juga menggunakan pelindung besi untuk bertahan dari serangan Anjani berikutnya. Benturan keduanya menimbulkan percikan api kecil di tengah hujan yang mulai turun lebih deras, menciptakan suasana penuh ketegangan.Dengan gerakan akrobatik, Shih-Tzu melompat ke atap ruko sebelah, tubuhnya meliuk anggun di udara seperti burung elang. Anjani mengejar tanpa
Sementara itu, di gang-gang sempit perkampungan yang menyelinap di belakang ruko-ruko tua, mendadak terdengar riuh oleh suara sepatu yang menghantam permukaan jalan berbatu. Ada yang sedang berkejaran di sana. Dua wanita muda dikejar oleh dua wanita muda yang lain.Anjani dan Khansa berlari berdampingan, napas mereka memburu di bawah sinar remang lampu jalan yang berkelap-kelip. Mereka tahu, dua bayangan hitam yang mengejar mereka saat ini bukanlah cewek-cewek biasa, Shih-Tzu dan Vodel adalah dua ninja wanita cukup mumpuni kemampuannya dari kelompok D.O.G. Baik Khansa maupun Anjani tahu kenapa dua ninja wanita itu ditakuti.Tiba-tiba, Shih-Tzu melesat lebih cepat dari bayangan malam, tubuhnya berputar seperti pusaran angin, menghempaskan tendangan melingkar yang memecahkan dinding kayu di sisi gang. Targetnya adalah salah satu dari kedua target. Anjani dengan sigap berguling ke samping, menghindari serangan berbahaya itu. Anjani mengumpat karena harus berjibaku dengan repot.Sementar
“Let’s go, Bro. Sekali lagi. Adu pukulan,” ucap Garin lemah sambil menyeringai terhadap Hektor.Suasana di sekitar mereka terasa semakin tegang, seakan semua orang di kerumunan tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Jika Kasper dan Garin saja takluk, siapa yang bisa menghentikan orang ini?Tapi ini bukan masalah takut atau tidak takut. Bukan masalah menang kalah. Ini masalah menjalankan perintah sang pimpinan. Kerumunan preman jalanan berkerumun di sekitar Hektor, seperti ombak yang siap menghantam karang. Bagi mereka, menjalankan perintah Kasper adalah harga mati.Di saat pasukan preman jalanan mengerumuni Hektor, Garin tahu apa yang harus ia lakukan.Garin, dengan napas terengah-engah dan tubuh yang sudah penuh luka, berlari menuju gerbang lapangan sepak bola. Ia tahu di balik gerbang itu Han dan Viktor tengah bertempur, dan misi utamanya kali ini adalah memastikan Hektor tidak bisa mencapainya. Kalau Hektor yang mengerikan ini masuk, ditambah dengan Viktor, entah apakah H
Di bawah sinar lampu jalan yang temaram di dekat lapangan sepakbola, Hektor von Dasch berdiri dengan tangan bersidekap, tubuh jangkungnya tampak kokoh bagaikan baja. Di depannya, Kasper dan Garin bersiap dengan postur siaga, napas mereka berat setelah pertarungan-pertarungan sebelumnya menghabiskan tenaga mereka.Kasper melangkah maju lebih dulu, dengan amarah yang membara. “Mau lewat? Sayang sekali, kamu harus melewati kami terlebih dahulu!” teriaknya.Hektor hanya mengangkat alis, lalu menurunkan tangannya perlahan dan tersenyum meremehkan. Ia memberikan isyarat tantangan dengan menggerakkan kepalanya.Kasper tak menunggu lebih lama. Ia meluncur ke depan dengan gerakan eksplosif, menyerang dengan spear khasnya yang biasanya membuat lawan terpental. Namun kali ini spear yang ia lakukan bagaikan membentur tembok beton.Bukannya jatuh, Hektor malah tetap berdiri kokoh dengan perkasa. Saat tubuh Kasper menghantam dadanya, Hektor hanya melangkah mundur satu langkah kecil sebelum menjepit
Di tengah jalan kampung yang sempit, dengan debu yang beterbangan dan kerumunan orang yang membentuk lingkaran pelindung agar sang pimpinan bisa bertarung satu lawan satu, Kasper dan Hightower berdiri berhadapan.Keduanya bertubuh besar, seperti kaum titan yang siap menghancurkan apa pun di sekitarnya. Kasper, dengan gaya bertarung brutal dan random, langsung menyerang lebih dulu. Ia berlari cepat dan melayangkan spearing tackle ke arah Hightower, seperti banteng mengamuk dan menyeruduk dengan tanduknya. Tubuh kekar Hightower terdorong mundur, menghantam dinding sebuah ruko hingga terdengar suara retakan di tembok.Hightower tidak tinggal diam. Dengan gaya bertarungnya yang stabil dan penuh tenaga, ia memanfaatkan tubuh besarnya untuk melawan. Ketika Kasper bersiap untuk serangan berikutnya, Hightower melayangkan hook kiri ke rusuk Kasper, diikuti pukulan kanan yang menghantam rahang.Kasper terhuyung beberapa langkah, tapi bukannya mundur, ia justru meraung layaknya binatang buas, sa
Di atas atap ruko-ruko kampung yang reyot, Engkus dan Deden terus saling menyerang sambil melompat dari satu genteng ke genteng lain. Engkus, dengan gerakan cepatnya, melompat ke arah antena parabola di salah satu ruko, menggunakan benda itu sebagai tumpuan untuk melompat lebih tinggi. Dengan kecepatan kilat, ia mengayunkan tendangan ke arah Deden. Namun, Deden, yang tidak kalah cekatan, berhasil merunduk tepat waktu, membuat tendangan Engkus hanya mengenai udara.“Wekekekek. Ternyata jago juga!” seru Engkus sambil mendarat dengan ringan di ujung genteng.Deden mendengus sambil mengibaskan debu dari jaketnya. “Hari ini kamu kebanyakan ketawa. Tidak apa-apa, ketawalah selagi bisa,” balasnya sebelum melompat ke arah Engkus dengan tendangan yang diarahkan ke dada.Engkus menangkis pukulan itu dengan lengannya, tetapi tenaga Deden lebih kuat sehingga membuat si kerempeng itu terpental beberapa langkah ke belakang. Saat itulah genteng yang ia pijak retak dan luruh, hampir membuat Engkus te
Arif Ali terbang ke belakang setelah tendangan dari JC berhasil ia blok dengan menyilangkan tangan. Kemampuan mereka memang tidak selevel. Anggota Top Dogs itu menyerang dengan berangasan dan hasilnya sama sekali tak terlihat, sementara hanya dengan beberapa gerakan saja, Jonny Castor alias JC bisa membuat Arif Ali mundur.JC tersenyum sinis, “Suatu ketika sesosok iblis berbisik kepada seorang prajurit yang tengah berjuang – dia bilang : kamu tidak akan sanggup bertahan dari badai yang segera datang. Tapi prajurit itu menatap balik ke arah sang iblis dan berucap dengan penuh keyakinan; akulah badai itu.”Jonny Castor memainkan tangannya bak pesulap tengah memainkan kartu. Di antara kedua telapak tangannya, belasan helai dedaunan kering berterbangan membentuk satu lingkaran. Pria keturunan asing itu menatap Arif Ali dengan tajam, lalu menjentikkan jarinya, menghempaskan satu persatu daun ke depan.Arif Ali mengelak setiap kali daun yang dihempaskan JC datang. Dedaunan itu seharusnya ri