"Ayo cepat, Dim!" gerutu Rani yang berdiri di ambang pintu kamar. Satu tangan Rani memegangi gagang pintu yang masih terbuka sedikit.
"I-iya, Ran!" Dengan gugup Dimas segera menutup lemari dan berjalan cepat menuju Rani.
"Maaf Ran, sudah membuatmu menunggu!" ucap Dimas pada Rani.
Sepanjang perjalanan menyusuri kampung Ranu Pani wajah Rani terlihat murung. Terlihat sekali jika gadis itu sedang memikul banyak beban. Begitu juga dengan Dimas, ingin sekali lelaki itu secepatnya meninggalkan kampung misterius itu dan kembali ke Jakarta. Akan tetapi tugas kuliah yang harus ia selesaikan membuat Dimas mengurungkan niatnya.
"Dim!"
"Ran!"
Panggil mereka secara bersamaan. Saling menatap satu sama lain.
"Kamu saja duluan Ran, yang ngomong!" ucap Dimas.
"Kamu merasa ada yang aneh nggak di kampung ini?" Rani melirik pada Dimas.&nb
Tanpa sepengetahuan Pak Parlin Rani membuang makanan pemberiannya. Di dalam otaknya masih terpatri, jika sakit yang Hanum alami adalah karena makanan pemberian dari Pak Parlin."Ran, ngapain?" seru Dimas membuat Rani terkejut.Satu tangan Rani dengan cepat membolak-balikkan sampah yang berada di dalam tong besar yang ada di depan rumah Pak Parlin. Tentunya agar Dimas tidak mencurigainya apa yang sedang ia lakukan."Tidak, Dim, aku hanya sedang ingin membakar sampah saja!" kilah Rani segera menyalakan korek api dan membakar sampah yang berada di dalam tong besar itu."Oh!" Dimas membulatkan mulutnya membentuk huruf O.Sesaat sorot mata mereka tertuju pada api yang perlahan berkobar dan menyala-nyala. Dimas yang baru teringat sesuatu beringsut mendekat pada Rani."Ran, aku menemukan ini di bawah ranjang Yuda." Dimas menyodorkan sebuah kertas pada Rani. Sesaat g
Angga dan Dimas sudah kembali. Namun, kedatangan mereka tak lantas membawa kabar bahagia. Kondisi Hanum masih tetap sama. Sekalipun sudah melewati masa kritis, tapi Hanum belum sadar sepenuhnya.Angga menghela nafas panjang, menyapu pandangannya pada wajah teman-teman yang kini sedang berkumpul di depannya."Kita doakan semoga Hanum segera lekas pulih dan kembali seperti sedia kala," ucap Angga dengan nada bergetar seperti menahan tangis.Siska yang melihat Angga berdecak kesal, membuang tatapannya dari Angga. Sementara Zaki, lelaki tempramental itu hanya tertunduk lesu, tidak dapat menyembunyikan rasa kesedihannya."Sis, bagaimana dengan tugas kamu? Semua aman kak?" seloroh Angga menatap pada Siska.Gadis itu tergeragap, segera ia mengalihkan tatapannya kepada Angga. "Sudah, semuanya lancar!" balas Siska.Suara derap langkah berjalan cepat ke halaman depan r
Suara tangisan terdengar dari luar rumah Pak Parlin. Jantung Rani berdegup semakin kencang, benaknya terus menerka kejadian apa yang membuat teman-temannya menangis seperti itu."Assalamualaikum!" salam Rani dengan suara bergetar, menyapu pandangannya teman-temannya yang sedang di landa kesedihan."Ran, kamu dari mana?" tanya Angga, lelaki gagah itupun nampak sedih. Jejak air mata masih ketara begitu jelas pada pipinya.Apalagi dengan Zaki, lelaki itu terduduk di atas lantai, menyembunyikan wajahnya di antara kedua lutut, satu tangannya menutupi wajahnya yang tertunduk. Hari ini lelaki itu nampak sangat menyedihkan sekali."Dim, ada apa ini?" Batin Rani semakin bertanya-tanya, lelaki berkacamata itupun masih nampak terisak, tentang luka apa yang sedang menggores hatinya saat ini dan membuatmu menangis."Hanum, Ran, Hanum!" Dimas menatap Rani berkaca-kaca."Ha
Suara tangisan itu sayup-sayup masuk dalam indra pendengaran Dimas. Perlahan lelaki yang tertidur itu pun tersadar. Sesaat Dimas mengerang dan merubah posisi tidurnya. Seketika Dimas tergeragap, saat menyadari sosok wanita yang sama tengah terduduk di sudut kamarnya. Dari sorot kemuning lampu jaga, Dimas dapat melihat wanita itu dengan jelas.Jantung Dimas bertalu-talu, lelaki itu menarik tubuhnya ke ujung ranjang. Tubuhnya gemetaran, ketakutan."Si-siapa kamu?" lirih Dimas dengan nada terbata. Satu tangannya terulur ke arah sosok wanita yang terduduk di pojok ruangan yang sedari tadi terus menangis.Hu ... Hu ... Hu ...Wanita yang menenggelamkan wajahnya itu semakin tergugu, menangis tersedu-sedu. Bahunya bergerak naik turun membersamai isakan.Beberapa saat Dimas hanya menatap penuh ketakutan pada wanita yang tak menjawab pertanyaannya. Kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling, memastikan bahwa dua prajurit yang kerap kali menerornya itu
Angga duduk termenung di pos ronda yang berada di depan rumah Pak Parlin. Begitu juga dengan Zaki yang nampak termenung."Sepertinya kamu salah memilihkan tempat untuk kita semua!" tutur Zaki dengan tatapan menerawang jauh."Benar apa yang kamu bilang, ini adalah kesalahanku!" Angga tertunduk lesu. Satu tangannya menyentuh pada pelipis lalu memijatnya pelan.Sesaat kemudian suasana berubah menjadi hening. Wajah datar Zaki menggambarkan kesediaan yang amat dalam."Lalu apa yang akan kamu lakukan?" seloroh Zaki melirik pada Angga."Entahlah!" Angga mengangkat wajahnya menapa pada rumah kosong yang berada di depan rumah Pak Parlin. "Kita tidak mungkin mengakhirinya sekarang. Karena sebentar lagi semua tugas kita akan selesai. Hanya tinggal beberapa hari saja," ucap Angga menoleh ke arah Zaki, pemuda gagah itu nampak bimbang.Zaki mendengus berat. "Sebenarnya apa
Subuh buta Zaki sudah kembali dari pasar. Lelaki itu harus berjalan cukup jauh untuk mendapatkan kendaraan umum yang bisa membawanya ke pasar. Semua barang persediaan sudah habis tidak tersisa dan terpaksa Zaki harus melakukan pekerjaan itu karena tidak ada lagi orang yang bisa ia minta pertolongan.Dengan menenteng dua kantong plastik besar yang berisi barang-barang kebutuhan sehari-hari, sebuah pemandangan mengalihkan tatapan Zaki saat lelaki itu hendak masuk ke halaman rumah Pak Parlin."Siapa itu?" desis Zaki melihat seorang wanita tengah mencakar-cakar tangannya pada tahan di halaman rumah kosong yang berada di depan rumah Pak Parlin.Zaki berjalan mengendap-endap mendekat ke arah pagar. Dari sela-sela pagar Zaki bisa melihat wanita dengan daster sedang menggali tanah sedalam siku dengan tangannya di halaman rumah kosong itu."Siapa wanita itu?" batin Zaki penasaran.Zaki me
"Mas Angga!" semburat senyuman tersungging dari kedua sudut bibir Siska saat melihat Angga keluar dari dalam kamarnya. Gadis itu merapikan sedikit almamater yang ia kenakan, kemudian mempercepat langkah kakinya menghampiri Angga."Mas Angga!" seru Siska memasang wajah secantik mungkin di depan Angga.Angga menghentikan langkah kakinya, sesaat menoleh ke arah Siska yang sedang melambaikan tangan kepadanya."Ada apa, Sis?" tanya Angga.Sepersekian detik Siska nampak mengatur nafasnya yang tersengal. Sepatu tinggi yang ia kenakan membuat betis gadis itu sedikit pegal. Karena tak biasanya Siska menggunakan sepatu seperti itu. Kecuali jika ia ingin di lihat cantik oleh orang yang ia sukai."Mas Angga mau kemana?" tanya Siska ramah."Aku masih ingin meneruskan pencarianku!" jawab Angga datar.Siska tidak bergeming, sorot matanya tidak berkedip
Rani meradang, melihat Yuda mengacuhkannya. Bergegas Yuda pergi meninggalkan kamar Pak Parlin seperti orang yang sedang ketakutan."Yud!" panggil Rani lagi, tapi Yuda sama sekali tidak menoleh ke arahnya.Rani mendengus berat, sesaat ia berdecak kesal menatap ada kepergian Yuda. Rani menoleh ke arah lemari besi yang ada di dalam kamar Pak Parlin, sepertinya Pak Parlin sedang menyembunyikan sesuatu di dalam lemari itu. Perlahan Rani menyeret langkah kakinya mendekat ke arah lemari. Namun, suara derap langkah kaki yang berjalan' mendekat menghentikan langkah Rani."Ada Siska!" cetus Rani saat melihat Siska yang hendak naik ke atas tangga menoleh ke kamar Pak Parlin yang terbuka. Bergegas Rani bersembunyi di bawah kolong ranjang saat Siska berjalan cepat ke arah kamar itu. Wajah gadis itu nampak sangat penasaran.Suara derap langkah kaki Siska terhenti di depan pintu kamar Pak Parlin. Rani dapat melihat
Langkah Zaki seketika terhenti, saat lirih suara Indah memanggil namanya. Begitu juga dengan Angga dan Dimas yang nampak terkejut melihat tatapan Indah hampir sama dengan Sekar."Dek, kamu manggil, Mas Zaki?" Prapto yang hendak beranjak kembali terduduk menatap serius pada Indah."Zaki!" lirih Indah lagi.Perlahan Zaki menyeret langkah kakinya berat menghampiri Indah. Tatapannya menerawang pada wanita yang duduk di hadapannya."Hati-hati di jalan! Jaga teman-teman!" lirih Indah dengan suara berat, seperti sedang menahan tangis.Tubuh Zaki gemetaran, ia merasa jika seseorang yang berada dalam diri wanita gila itu bukanlah Indah lagi."Siapa kamu?" lirih Zaki.Indah yang sempat menjatuhkan tatapan pada Zaki, kini kembali terdiam dengan tatapan kosong. Sorot mata itu seketika berubah."Jawab siapa kamu?" Zaki menai
Zaki menerobos tubuh Angga dan Dimas. Mendekat pada wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum, netranya yang jeli begitu juga dengan suaranya."Hanum! Apakah itu kamu?" lirih Zaki menyentuh pada kedua bahu wanita yang berdiri di hadapannya. Lelaki bertubuh atletis itu sama sekali tidak dapat menyembunyikan kerinduan dan kesedihannya pada kekasihnya yang sudah meninggal."Dek, siapa?"Deg!Wajah Zaki seketika berubah pias saat mendengar suara lelaki dari dalam rumah. Sepertinya panggilan itu di tunjukkan pada wanita di hadapan Zaki. Dimas menyambar tangan Zaki dan menarik tubuh lelaki itu sedikit menjauh dari wanita yang berada di dalam pintu. Wanita yang hampir mirip sekali dengan Hanum itu nampak tercengang."Maaf, mbak!" ucap Dimas menyungingkan senyuman."Siapa, dek?" Lelaki berkulit sawo matang itu muncul dari dalam rumah. "Oh, kalian!" Semburat
Zaki tergeragap, menoleh pada pria berseragam petugas kebersihan yang berdiri di belakang punggungnya menenteng ember dan alat pel di tangannya."Itu Mas, ehm ... Tadi saya mendengar ada orang menangis di dalam kamar ini!" ucap Zaki gugup."Menangis?" Lelaki yang mengenakan seragam kebersihan itu mengeryitkan dahi, menjatuhkan tatapan heran pada Zaki."Mas, yakin ngak salah dengar kan?" cetus petugas kebersihan nampak ragu dengan ucapan Zaki."Iya, Mas, benar, saya mendengar orang menangis dari dalam, makanya saya ingin melihatnya," ucap Zaki penuh keyakinan.Wajah petugas kebersihan itu seketika berubah menjadi takut. "Mas, jangan nakut-nakutin saya deh!" protesnya."Tidak, Mas, saya tidak tahu nakutin Mas," seloroh Zaki. "Tadi saya benar-benar mendengar orang sedang menangis dari dalam situ," imbuhnya."Tapi Mas, di dalam kamar itu suda
Dimas dan Zaki mendengarkan cerita Angga dengan seksama. Mereka nampak tenggelam dengan cerita yang Angga sampaikan."Lalu siapa wanita buruk rupa itu?" celetuk Dimas dengan wajah penasaran."Dia adalah ibu Yuda,"jawab Angga melirik pada Zaki."Apa?" Lagi-lagi Dimas dan Zaki terhenyak serentak. Mereka menggeleng bersama."Iya, wanita yang aku lihat saat aku berusia tujuh tahun itu adalah ibu Yuda," tegas Angga dengan sorot mata menerawang jauh."Jadi ibu kamu adalah istri nomor ...?" Dimas kelepasan, satu tangannya segera membungkam mulutnya menghentikan ucapannya. Wajahnya meringis saat Angga menoleh padanya."Ternyata ibuku adalah istri kedua ayahku. Jadi aku dan Yuda miliki ayah yang sama dengan ibu yang berbeda. Semenjak itu aku tinggal bersama Yuda, tapi entah mengapa Ayah lebih perhatian padaku, semua ayah lakukan untuk aku. Seolah Yuda dan ibunya tidak
Wajah Yuda yang meradang tidak tinggal diam. Hati yang sakit dengan dendam yang menguasai membuat pemuda itu menjadi lepas kendali. Yuda melompati meja, menjatuhkan tinjauan tepat pada hidung Angga.Bruk!Tubuh Angga hampir terjatuh, beruntungnya ada Zaki yang menopang tubuh pemuda tampan itu. Meskipun hidungnya tetap saja terasa sakit sekali."Hay ... Apa yang kamu lakukan!" sentak seorang lelaki.Petugas penjaga segera menghampiri Yuda. Ia menarik tubuh lelaki itu menjauh dari Angga.Satu tangan Angga memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah segar. Wajahnya meringis menahan sakit. Sementara Yuda, netranya memicing pada Angga dengan dada bergerak naik turun."Angga, kamu nggak apa-apa, kan?" sergah Zaki panik.Beberapa saat Angga tidak menjawab. Hidungnya terasa sangat pedih sekali. "Aku baik-baik saja!" lirih Angga menatap pada telap
"Zak, ada apa?" seloroh Dimas membuat Zaki tergeragap."Tidak!" balas Zaki mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suara yang tidak asing itu masih terus mendengung dalam indera pendengarannya."Kamu mencari apa, Zaki?" ucap Dimas menatap aneh pada sikap Zaki yang ada di belakang punggungnya.Zaki nampak gelisah. "Tidak, aku tidak sedang mencari apapun. Mungkin aku tadi hanya salah dengar saja!" imbuh Zaki menarik sebelah sudut bibirnya. "Ayo masuk!" ajak Zaki melingkarkan tangannya pada bahu Dimas masuk ke dalam ruangan Angga.____Jangan pernah menanyakan sinar matahari di lereng Semeru. Sekalipun ia menampakkan cahayanya, ia tidak akan pernah membuatmu terasa panas. Justru yang ada ia akan memberi kehangatan dalam dinginnya udara yang membekukan. Semejak semalam, gerimis masih turun seperti biasa, soalnya hujan tidak memiliki jeda di daerah pegunungan itu. Beberapa kali Dimas berjalan monda
Zaki beranjak bangun karena terkejut, sesaat lelaki yang mengenakan topeng itupun juga menatap ke arahnya. Dengan gerakan cepat lelaki yang mengenakan topeng itu berhambur lari menuju ke arah pintu."Angga!" teriak Dimas terkejut melihat Angga tengah sekarat bersimbah dengan darah.Zaki bingung, hendak menyelamatkan Angga atau menangkap lelaki bertopeng itu. Zaki memutuskan untuk mengejar lelaki yang mengenakan topeng itu hingga menuju pintu keluar rumah Pak Samsul.Lengan kekar Zaki menyambar jaket kupluk yang lelaki itu kenakan. Tubuh lelaki terpelanting dan terjatuh."Ough!" Suara lelaki yang mengenakan topeng itu mengaduh kesakitan, karena benturan yang cukup keras.Zaki segera mengambil kesempatan untuk menangkap tubuh lelaki itu. Sayangnya lelaki itu menendang tubuh Zaki hingga terjatuh. Saat Zaki hendak melakukan penyerang padanya. Tubuh Zaki tersungkur dengan wajah mering
"Hey, tunggu!" teriak Angga dari ambang jendela.Menyadari jika Angga dan Zaki melihat kehadirannya. Lelaki yang bersembunyi di balik pohon pisang itu segera berlari masuk ke dalam kebun pisang."Tunggu!" teriak Zaki terus mempercepat langkah kakinya mengejar lelaki yang mengenakan jaket hitam dan berlari sangat cepat sekali.Mantan jawara beladiri itu tidak kesulitan untuk menangkap lelaki yang mengintai rumah Pak Samsul. Satu tangannya menyambar jaket yang lelaki itu kenakan hingga terjatuh. Secepatnya Zaki, mengunci tubuh lelaki itu, dengan kaki yang menindih pada bagian perut dan tangan yang mencengkeram kuat pada kedua pergelangan tangan lelaki tersebut."Ampun Mas, ampun!" lirih lelaki itu dengan wajah ketakutan."Apa?" Seketika Zaki terkesiap. Melihat sosok lelaki yang berada di bawah tubuhnya bukanlah Yuda. Sahabat yang ia kira sedang mengintai rumah Pak Samsul.&n
Lelaki yang mengenakan topeng itu terus menyerang Dimas. Dimas tidak bisa berkutik, karena lelaki itu menindih tubuh Dimas dari belakang punggungnya."Le-lepaskan!" lirih Dimas, satu tangannya hendak meraih penutup topeng yang lelaki itu kenakan.Plak!Lelaki yang menindih tubuh Dimas itu memberikan tamparan tepat pada pipi Dimas. Seketika wajah Dimas pun berpaling hingga kacamata yang ia kenakan pun terlepas. Saat itu juga meramunlah penglihatan Dimas. Ia tidak bisa lagi melihat siapa yang sudah menyerangnya, apalagi gelap malam semakin membuatnya hampir seperti orang buta.Dimas semakin panik, ia tahu lelaki itu bisa leluasa menyakitinya karena kini dirinya hampir tidak dapat melihat sama sekali."Tolong!" teriak Dimas memberontak. Sayangnya tenaga lelaki itu jauh lebih kuat. Beberapa kali lelaki itu menjatuhkan tinjuan pada Dimas."Hentikan!"&n