Brian tahu, Intan memang sengaja melakukan hal itu. "Maaf Intan. Bisa kamu sedikit menggeser duduknya. Aku tidak bisa bergerak."Intan tidak menggubrisnya, malah dengan sengaja menyandarkan tubuhnya pada lengan kokoh Brian. "Kenapa? Dulu, kamu paling senang, jika aku bersandar padamu.""Itu dulu. Sekarang sudah berbeda," jawab Brian mencoba tetap tenang agar tidak terpancing. "Sekarang di antara kita tidak ada apa-apa.""Iya, aku lupa," ujar Intan, tapi tidak bergeser sedikitpun. "Jadi, sekarang kamu tinggal di mana?" tanya Brian mengalihkan pembicaraan, karena lengannya sudah merasakan daging empuk di depan dada Intan mulai bersandar pada lengannya."Sudah tidak tinggal di tempat dulu lagi. Sewa apartemen semakin naik setiap bulan, aku tidak sanggup untuk membayarnya.""Bukankah, kamu meninggalkan ku karena punya laki-laki yang lebih kaya dariku?!" Brian tersenyum kecut, teringat kejadian dulu Intan pergi demi pria yang lebih banyak uang.Intan menghela napas. "Tidak seperti itu Bri
Dengan sepatu high heels yang menghiasi kaki jenjangnya, Clara menapaki lantai marmer menuju ke arah lift yang berada di sudut. Dilihatnya kiri dan kanan, tidak nampak seorangpun berada di sekitarnya. "Tumben sepi," gumamnya pelan, kemudian masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai di mana apartemennya berada.TING!Pintu lift terbuka, Clara langsung ke luar menuju ke arah pintu apartemennya. Suara sepatu high heelsnya begitu berirama setiap kali menyentuh lantai yang dingin.Clara berdiri sejenak di depan pintu, melihat jam yang melingkar di tangannya. "Lama juga aku pergi." Clara menghela napas, merapikan sedikit rambut dan pakaiannya lalu jari jemari lentiknya menekan beberapa sandi pada layar untuk membuka pintu apartemennya. KLIK!Pintu terbuka. Suhu ruangan yang dingin langsung menyentuh kulitnya begitu kaki jenjangnya masuk ke dalam apartemen kemudian Clara menutup kembali pintunya."Brian!" panggil Clara melangkahkan kakinya mencari kekasihnya. Tidak ada jawaban, s
Suara gemericik air yang ke luar dari shower seakan ikut menjadi irama dalam mengiringi desahan yang tidak terkontrol meluncur dari bibir Intan yang sudah bengkak akibat lumatan dan pagutan yang telah mereka berdua lakukan. Intan memejamkan matanya, ketika Brian dengan sesuka hati memainkan kedua bukit kembarnya. Bagaimana dirinya tidak berhenti mendesah jika bagian atas dan bawahnya digempur terus menerus secara bersamaan. Andai Brian tidak memeluk pinggangnya dan menopang kakinya dengan kuat, sudah dipastikan tubuhnya akan ambruk, lemas tidak berdaya ketika puncak kepuasan telah diraihnya.Brian memeluk erat tubuh Intan agar tidak jatuh lemas ke bawah. Seutas senyum tersungging dibibirnya ketika telah berhasil memuaskan Intan. "Kamu puas?" bisiknya sedikit serak ditelinga Intan ketika menjeda sebentar permainannya untuk memberi ruang bagi Intan dalam menikmati puncak kepuasan nya. Intan merasakan kakinya lemas bagai agar-agar tak bertulang, tangannya memeluk tubuh Brian agar tidak
Brian memutar otak mencari alasan agar Clara tidak masuk ke kamar mandi. "Itu ....""Itu apa?" tanya Clara tidak mengerti. Brian pura-pura membetulkan bathrobe yang dipakainya untuk menghilangkan kegugupan. "Tidak, tidak apa-apa."Clara melihat Brian dengan wajah bingungnya. "Kalau kamu ingin mengatakan sesuatu, nanti saja. Aku ingin pipis! Dari tahun lalu aku sudah menahannya, kamu tadi lama sekali di kamar mandi. Entah apa yang kamu lakukan!" Clara mengomel, langkahnya kakinya berlanjut menuju ke pintu kamar mandi."Aduh, bagaimana ini?! Gawat! Gawat! Bisa mati aku!"" hati kecil Brian begitu cemas, wajahnya tegang melihat Clara dengan santainya membuka pintu kamar mandi.Sementara itu, Intan yang berada di dalam kamar mandi sedang menempelkan telinganya di daun pintu agar bisa mendengar dengan jelas apa yang terjadi di luar. "Gawat, gawat! Clara mau masuk ke sini! Bagaimana ini?!" Pintu kamar mandi terbuka, Clara melihat lantai kamar mandi basah dibeberapa bagian tempat. "Apa sih
Intan mengangkat kedua alisnya, tersenyum kecut, tiba-tiba muncul ide gila dalam otaknya. Perlahan pintu yang terbuka sedikit, Intan buka dengan sangat hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Brian menatap cemas apa yang sedang dilakukan Intan hingga tanpa sadar gerakan ritme yang sedang dilakukannya berhenti."Brian," panggil Clara lirih melihat pria yang berada di atasnya berhenti bergerak.Tatapan Brian beralih pada wajah Clara yang ada di bawah kungkungan tubuhnya yang kekar, apa yang dilakukan Intan mulai sedikit menghilangkan konsentrasinya. "Iya," jawab Brian melanjutkan kembali gerakan ritmenya menghentak tubuh Clara.Ada perasaan tidak suka dari Intan begitu mendengar Clara kembali mendesah manja keenakan di bawah tubuh Brian. "Sialan! Aku akan membuat si Clara tidak bisa mencapai puncaknya!" Melihat Clara sudah terbuai dengan segala kenikmatan surga dunia karena hentakan tubuh bagian bawahnya yang luar biasa, Brian kembali melihat Intan. Seketika matanya langsung melebar,
Intan kembali terkekeh melihat ekspresi wajah Brian. "He-he-he."Terdengar lagi suara teriakan Clara dari dalam kamar. "Brian. Kamu bicara dengan siapa?!""Sst," Brian menempelkan jari telunjuknya ke bibir. "Jangan keras-keras, Clara mendengar!"Dengan wajah kesal, Intan memakai sepatu high heelsnya kemudian mengeluarkan kartu nama dari tas tangannya. "Simpan ini! Kamu boleh menghubungi ku sesuka hatimu." Brian menerima kartu nama yang diberikan Intan. "Aku nanti yang akan datang ke tempatmu.""Baiklah!" Intan merapikan rambut dan pakaiannya kemudian melenggang pergi meninggalkan Brian dengan terlebih dahulu mncium bibirnya sekilas. "Simpan baik-baik kain hitam berendaku. Jika kamu merindukan surga dunia milikku, kamu boleh menciumnya."Brian langsung tersadar begitu mendengar kain hitam berenda. "Astaga, aku lupa! Gawat! Gawat!" Brian segera menutup pintu apartemennya. "Jangan sampai Clara melihatnya."Terlambat, Brian terlambat! Begitu masuk ke dalam kamar, Clara sedang melangkahka
Cleon terperanjat kaget, bukan karena suara petir yang menggelegar dari atas langit atau cahaya kilat yang menyilaukan mata, tapi terperanjat kaget karena jeritan Melodi yang begitu memekakan telinga. "Kamu takut petir?" tanya Cleon dengan tubuh terhimpit di antara kursi dan tubuh Melodi.Terdengar lagi suara petir yang cukup kencang menggema di langit sehingga membuat Melodi semakin menyelusupkan kepalanya dalam dada bidang milik Cleon.Hujan di luar semakin deras, nampak cahaya kilat di langit saling menyambar dengan diakhiri suara menggelegar yang akan membuat siapapun takut untuk mendengarnya."Jangan takut," ucap Cleon menepuk punggung Melodi pelan untuk menenangkan.Detik berikutnya, Melodi tersadar kalau sekarang tubuhnya begitu erat menempel pada tubuh Cleon bahkan detak jantungnya pun terdengar begitu jelas di telinganya. "Maaf," ucap Melodi perlahan merenggangkan tubuhnya dari dada bidang Cleon."Jangan tak ...." belum Cleon menyelesaikan kalimatnya, terlihat kilatan cahaya
Sepatu pantofel hitam yang dipakainya dengan setia melindungi kaki Melodi dari genangan air hujan yang telah bercampur tanah. Celana panjang serta kaos yang dipakainya telah basah kuyup begitu juga dengan rambut panjangnya. Sudah tidak terhitung berapa kali jumlahnya, Melodi menghapus air hujan dari wajah yang menghalangi penglihatannya, tapi kakinya tetap melangkah dengan semangat menyusuri trotoar."Jalan ini biasanya ramai dengan kendaraan, tapi sekarang kenapa sepi sekali? Apa karena sedang hujan sehingga orang jadi enggan untuk ke luar?" Hati Melodi bicara sendiri sambil melihat ke segala arah berharap bisa ketemu orang, tapi jangankan orang, satu hewan juga tidak ada satupun yang terlihat.Beberapa menit berjalan, terdengar suara bising kendaraan beroda dua dari arah belakang semakin datang mendekat. Melodi melihat ke belakang, nampak ada empat sepeda motor yang ditumpangi masing-masing dua orang lengkap dengan helm dan jas hujan.Melodi kembali melihat ke depan, kakinya melanju
Melodi memutar tubuhnya di depan cermin, senyum lebar tak pernah lepas dari bibirnya ketika melihat dress yang sedang dipakainya begitu cocok dengan tubuh kecil mungilnya. "Pasti yang memilih baju ini bukan si manusia es, mana mungkin dia mau bersusah payah membeli baju," ucap Melodi sendiri."Baju yang Nona pakai itu, Tuan Cleon sendiri yang memilihnya," terdengar suara lembut seorang wanita dari belakang tubuh Melodi.Tubuh Melodi langsung berbalik melihat ke belakang. "Sejak kapan Nyonya ada di sini?!" tanyanya."Sejak Nona mulai bicara sendiri," jawabnya. "Jangan panggil saya Nyonya, panggil saja Bibi."Melodi sejenak menatap wajah wanita itu. "Bibi bekerja di sini?!""Iya, bahkan Bibi yang mengasuh Tuan muda dari kecil," jawabnya tenang disertai senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya. "Nona pasti gadis yang sangat spesial buat Tuan muda karena baru kali ini membawa seorang wanita ke rumah ini.""Eh, tidak, tidak!" Melodi menggelengkan kepalanya. "Bibi jangan salah paham. Saya
Melodi yang dipanggil oleh Bos besarnya, tapi Mang Sugeng yang terlihat khawatir. "Non Melodi, cepat masuk ke dalam mobil. Nanti Tuan marah."Melodi malah mendekati Mang Sugeng, kemudian berbisik, "sebenarnya, aku takut ikut dengan Bos.""Takut?!" tanya Mang Sugeng bingung. "Takut kenapa?!""Sst," Melodi menutup bibir mungilnya dengan jari telunjuk. "Jangan kencang-kencang ngomongnya, nanti Bos bisa dengar," bisiknya."Kenapa harus takut?" bisik Mang Sugeng heran. "Tuan Cleon bukan orang jahat.""Masa Mang Sugeng tidak mengerti! Aku dan Tuan besarmu itu berlainan jenis," jawab Melodi. "Mang Sugeng pahamkan?!"Berapa detik Mang Sugeng diam, mencerna ucapan Melodi, tak lama kemudian manggut-manggut. "Maksud Non Melodi, karena kalian berdua ini berlainan jenis jadi Non Melodi takut.""Pinter!" Melodi tanpa sadar memukul tangan Mang Sugeng. "Itu mengerti.""He-he," Mang Sugeng terkekeh sambil mengelus bagian tangan yang dipukul Melodi. "Jangan takut Non, Tuan tidak seperti itu," bisik Man
Intan masuk kembali ke dalam apartemennya. Walaupun Kevin telah pergi, tapi perasaan takut masih membayangi. "Semoga bocah sialan itu tidak datang lagi! Mengganggu kenyamanan ku saja. Brengsek!" Intan menggerutu sendiri.DREET!DREET!Ponsel di atas nakas bergetar. "Siapa yang meneleponku?!" tanya Intan pada diri sendiri langsung melihat layar ponselnya. "Astaga! Bocah tengil itu lagi!" Ponsel langsung dilempar ke atas kasur. Intan berdiri di depan cermin besar, menatap wajahnya yang kusut dan terlihat pucat. Berapa menit kemudian, Intan mengganti bajunya dan berdandan. "Sebaiknya aku ke luar menemui Brian! Sedang apa dia sekarang?!" Intan lalu melihat jam tangannya. "Tapi, apa Brian ada di kantor?!"....Melodi dan Cleon baru saja selesai meeting membahas beberapa tender yang telah berhasil mereka menangkan bersama para direktur utama."Bos," panggil Melodi kerepotan memegang tas kerja dan beberapa berkas yang ada di tangannya, langkahnya begitu tergesa-gesa untuk mengimbangi langka
"Apa kau tuli?!" tanya Kevin sarkas. "Kau pikir aku bodoh, percaya pada wanita murahan sepertimu!"Mendengar apa yang dikatakan Kevin, detik berikutnya Intan mengusir Kevin ke luar dari apartemennya. "Ke luar! Cepat ke luar!" Kevin bukannya pergi seperti yang Intan inginkan, kakinya malah semakin mendekat. "Berani kau mengusirku dari sini!"Tanpa berpikir panjang, Intan segera membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Ke luar!" Ucapnya galak menatap tajam pada Kevin dengan tangan mengarahkan ke luar pintu.Wajah Kevin berubah beringas. "Berani kau mengusirku, wanita murahan!" "Ke luar!" Bentak Intan lebih keras.Kedua tangan Kevin mengepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya. "Layani aku dulu, baru aku akan pergi dari sini!"Dada Intan naik turun menahan marah. "Aku tak sudi melayani nafsu gilamu itu! Pergi kau dari sini!"Kevin melangkah mendekat, berdiri dengan sombongnya di depan Intan. "Wanita murahan! Kau pikir siapa dirimu sampai berani-beraninya mengusirku dari sini! Kau hanya sam
Waktu terus berlalu, Lastri sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Menurut Dokter, tidak ada luka parah dibagian kepalanya, hanya sedikit luka robek dibagian kulit kepala. "Syukurlah, Lastri baik-baik saja," ucap Melodi. "Aku sudah sangat cemas dengan keadaannya," Melodi menatap wajah Lastri yang kepalanya diperban dibagian kening melingkar ke belakang. "Kamu sudah menghubungi keluarganya?!" tanya Cleon masih setia menemani sekretaris pribadinya tersebut."Ya ampun, aku lupa!" Melodi segera mengambil ponsel, tapi detik berikut wajahnya jadi berubah kesal. "Batreinya habis. Bagaimana ini?!""Pakai ini," Cleon memberikan ponselnya. Melodi sedikit ragu. "Tidak, tidak usah Bos! Biar aku charger saja ponselku sebentar.""Butuh berapa menit untuk charger ponsel? Kamu ini, dikasih yang mudah malah cari yang susah," ujar Cleon. "Tapi ...," Melodi garuk-garuk kepala tak gatal, tidak enak rasanya harus memakai ponsel yang sama sekali tidak pernah disentuh orang lain."Mau pakai tidak?!" Cleo
Sejenak Melodi terdiam melihat perubahan wajah Lastri, rasanya ingin bertanya tapi waktu sudah sangat terlambat untuk pergi ke kantor. "Lastri, ini kartu namaku!" Melodi mengambil kertas hitam kecil dengan tulisan warna silver dari dalam tasnya langsung diberikan pada Lastri. "Telepon aku jika kamu perlu bantuanku." "Iya," jawab Lastri singkat dan begitu datar menerima kartu nama dari tangan Melodi."Baiklah, aku harus segera pergi ke kantor. Maaf, aku tidak bisa berlama-lama," ucap Melodi tidak enak hati meninggalkan Lastri, tapi kewajibannya sebagai seorang pegawai harus membuatnya pergi. "Jangan lupa, telepon aku!"Lastri menganggukan kepala, tersenyum menatap Melodi. "Semoga kamu sukses!""Iya, terima kasih! Kamu juga," jawab Melodi memeluk Lastri.Selesai saling berpelukan, Lastri pamit meninggalkan Melodi. "Aku harus menyeberang lagi, arah jalanku ke sana," tunjuk Lastri ke arah berlawanan. "Iya, hati-hati!" ucap Melodi melihat punggung Lastri yang berjalan pergi menjauh. "By
Brian tidak bisa berbuat apa-apa. "Baiklah, ini mungkin hukuman yang harus aku terima," gumam Brian lirih. "Tapi asal kamu tahu, aku sangat mencintai mu." Baju yang berserakan di lantai segera Brian pungut begitu kakinya melangkah masuk ke dalam kamar. Satu per satu dimasukkan ke dalam koper. "Tak kusangka, aku dan Clara akan berakhir seperti ini." Selesai semua, Brian segera menarik kopernya ke luar."Clara," panggil Brian mengetuk pintu kamar berharap wanita yang telah bersamanya bertahun-tahun akan membukakan pintu agar bisa berpamitan. "Clara!" Sepi, tidak ada jawaban. Clara yang berada di dalam kamar tidak menjawab apalagi membuka pintu."Clara," panggil Brian menatap daun pintu yang tertutup. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik. Jika kamu perlu bantuanku, jangan sungkan untuk menghubungi ku. Clara, maafkan aku!"Masih tidak ada jawaban, akhirnya Brian memutuskan untuk pergi ke luar dari apartemen yang baru beberapa bulan ditempati bersama Clara setelah bertahun-tahun pergi berse
Dengan antusias, Clara melihat bagian belakang jam tangan yang sedang dipegangnya. Mata merah sembab yang telah kering dengan air mata seketika tergenang lagi dengan air mata, kedua kakinya seakan tidak bertulang dan bertenaga, sangat lemas, bahkan kedua tangan yang sedang memegang jam tangan pun langsung gemetaran ketika melihat ukiran inisial nama yang khusus dirancangnya sendiri terpampang manis begitu indah."A-apa maksudmu?!" tanya Brian gugup lalu dengan cepat mengambil jam tangan dari tangan Clara. "Inisial apa?! A-aku tidak mengerti."Air mata Clara perlahan jatuh kembali membasahi pipi kemudian melihat Brian dengan tatapan kosong. "Kenapa? Kenapa kamu mengkhianati ku?!" bisiknya lirih. "Apa salahku? Apa kamu sudah tidak mencintai ku lagi?!"Brian melihat sebuah inisial nama. "Ini ... ini ...," Seketika itu juga tubuh Brian langsung lemas, bingung harus memberikan alasan apa atau bersandiwara apalagi, bukti kuat bahwa memang itu jam tangannya sekarang ada di depan mata, di da
Brian melangkahkan kakinya menuju lift yang akan membawa ke lantai di mana apartemennya berada. Wajah khawatir diselimuti ketakutan nampak sangat jelas terlihat "Alasan apa yang harus aku katakan pada Clara?" gumamnya sendiri.TING!Pintu lift terbuka, Brian menghela napas sebelum melangkah ke luar berharap rasa takut yang ada dalam dirinya bisa hilang bersama hembusan napasnya.Pintu apartemen hanya Brian pandangi sebelum menekan beberapa sandi untuk membuka pintu. "Semoga tidak terjadi perang dunia."Langkah kaki Brian begitu berhati-hati ketika memasuki apartemennya. Sepi, tidak ada Clara apalagi orang lain di dalam. "Pasti dia ada di dalam kamar," gumamnya pelan perlahan melangkahkan kakinya menuju ke kamar.BLUGH!Sebuah bantal besar mendarat manis di wajah Brian begitu membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. "Laki-laki brengsek! Masih berani kau datang ke sini!" teriak Clara menatap galak dengan tangan bersiap melemparkan satu buah vas bunga yang berada di dekatnya. "Eh, eh,"