Maju mundur, maju mundur. Aku terus menimbang. Serba salah. Kalau aku maju, artinya aku siap dengan segala kemungkinan yang akan dilakukan Mas Harris kepadaku. Kalau aku mundur, aku tidak enak sama Mama. Karena Mama yang menyuruhku membantu Mas Harris menutup gerbang. Aku memang selalu tidak sanggup menolak permintaan Mama, karena Mama sangat baik kepadaku.
Jalanan depan rumah sudah mulai senyap. Motor maupun pedagang keliling sepertinya sudah pada istirahat. Dalam hati aku menyesali diri. Tahu mau ada acara kumpul-kumpul di rumah, kenapa tidak sejak pagi atau siang menyiram minyak ke roda pintu gerbang, yang beberapa hari ini seperti macet. Sangat seret saat didorong.
Sekitar jarak tiga meter dari keberadaan Mas Harris, aku berhenti. Kulihat cahaya dari kamar Mama berubah redup, itu artinya Mama sudah mapan di atas pembaringannya, memberi peluang kepada Harris untuk bebuat semaunya tanpa ada gangguan. Tubuhku merinding, Mas Harris menatapku, seraya tersenyum miring seperti mengejek. Aku merasa takut.
Maju mundur, maju mundur. Aku meragu. Mataku mengerjap. Dan dalam hitungan detik, Mas Harris sudah ada di sampingku. Dari samping kanan kiri bibirnya mencuat dua taring yang tajam. Mas Harris menyeringai jahat. Matanya berubah, menyala merah.
"Aaaaaa.." Aku menjerit ketakutan. Tubuhku terhuyung, pandanganku kunang-kunang. Aku berniat menyelamatkan diri, dari si vampir Harris, namun tenagaku seperti hilang, tubuhku limbung.
***
"Kamu kenapa, Na?" Tanya Mama. Raut mukanya tampak cemas. Aku menyapukan pandanganku. Aku ada di kamar Mama. "Kamu pingsan barusan."
"Ada, ada vampire, Ma." Aku tergagap.
"Kamu ini ada-ada saja." Sahut Mama. "Tak adalah vampir itu."
Mas Harris muncul di ambang pintu.
"Kenapa dia?" Tanyanya. Aku tercekat. Mengangkat sedikit kepala, dengan kedua mata melotot menatap wajahnya. Tidak lagi kudapati kedua taring di mulutnya. Tidak juga warna merah menyala di kedua matanya. Aku menjatuhkan kepalaku kembali di kasur Mama. Napasku masih belum stabil. Kepalaku juga terasa sangat pening.
"Dah kamu tidur di sini saja." Kata mama seraya menyelimuti tubuhku.
"Halu dia tu." Samar aku masih mendengar ucapan Mas Harris
"Sudah sana kamu istirahat, besok barengan aja, sekalian cek kesehatan ke dokter, kalian berdua." Mama mendorong tubuh Harris. Aku meringkuk di balik selimut. Kuraih kain kompres di keningku. Tuh kan Mama begitu baik. Aku jatuh sebentar saja sudah di kompres. Kuletakkan kain tersebut di atas nakas, lalu kembali meringkuk.
***
Aku mencium sedapnya aroma pandan. Mataku mengerjap, kulihat di atas nakas ada nampan yang menampung mangkuk yang masih mengepulkan asap, dan segelas air putih. Pasti dari mangkuk itu aroma pandan ini, batinku.
"Sudah bangun, Na?" Mama masuk ke ruangan. Aku baru ingat kalau semalam aku tidur di kamar Mama.
"Jam berapa, Ma?" Tanyaku. Kepalaku masih terasa pening sekali. Kulihat Mama berpakaian sangat rapi.
"Jam delapan." Sahut Mama.
"Hah?" Hatiku merasa tidak enak. Aku belum pernah bangun sesiang ini selama tinggal di rumah ini.
"Kamu tidur saja. Mama mau keluar, ada janji sama pemilik rumah yang di Kampung Makassar." Ucap Mama. Itu adalah rumah yang akan Mama beli ke depannya.
"Helena pindah ke kamar sendiri saja, Ma." Kataku. Berusaha bangkit.
"Jangan dipaksa kalau masih pusing. Kamu tu dari semalam tidur juga ngigau mulu. Kamu beneran ngeliat vampir?" Tanya Mama. Tangannya sibuk memakai perhiasan.
"Entah, Ma." Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi. Sepertinya otakku yang memang sedang tidak waras. Aku terlalu berhalusinasi. Mana mungkin Mas Harris berubah jadi vampir. Bahkan Mama pun pasti akan menjadi saksi, kalau Mas Harris sama sekali tidak mendekatiku semalam. Aku hanya terbawa perasaan ketakutan.
"Nanti kalau kepala sudah tidak berat, kamu pergi ke dokter bareng Harris." Ucap Mama
What? Bareng pria bawel itu? Oh nooooo. "Iya, Ma." Sahutku. Dasar mulut dan hati gak sinkron! Aku merutuki diri sendiri.
Sebelum mama pergi, aku berpindah ke kamarku. Mama membawakan nampan berisi bubur kacang hijau dan air putih tadi. Aku masih keliyengan. Entahlah, sepertinya aku sakit. Padahal semalam aku berencana mau main ke kontrakan temanku di daerah Cililitan. Sekalian mau mengajak dia jalan-jalan di PGC (Pusat Grosir Cililitan). Aku malas di rumah ini tanpa Arsen, dan harus bertemu Mas Harris sepanjang weekend ini karena dia juga tidak ngantor. Aku berharap waktu akan cepat berlalu.
Di dalam kamar, aku langsung meraih ponselku. Kulihat ada beberapa miss call dari Mas Arsen. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa benci sekali membaca nama Arsen di ponselku. Kupikir, aku akan menghapusnya. Namun kemudian aku memilih klik "edit".
"Orang Asing" Begitu aku mengganti nama Arsen di daftar kontakku. Kuletakkan kembali ponselku. Berniat mencicipi bubur buatan Mama, namun tiba-tiba saja perutku terasa mual sekali. Aku langsung keluar kamar, berlari ke kamar mandi. Aku muntah-muntah di wastafel kamar mandi.
Setelah perutku terasa kosong dan lega, aku mendongak, mencuci tangan, seraya memperhatikan pantulan wajahku di cermin. Saat itulah aku melihat ada sosok lain yang melongo menatapku, sedang duduk di toilet!
"Sudah?" Tanyanya seraya melebarkan matanya menatapku. Kedua tangannya memegang koran yang ia letakkan di pangkuannya.
"Gila!" Umpatku seraya keluar dari kamar mandi. Dadaku berdegup kencang. Oh… Harrriiiis. Aku masuk ke kamarku kembali. Meremas rambutku dengan kesal.
"Bodoh!" Umpatku pada diri sendiri. Kenapa tadi tidak memperhatikan ada Mas Harris di kamar mandi. Main nyelonong saja.
"Ugh… Ini bukan salahku. Kenapa pulak dia tidak mengunci pintunya?" Aku berusaha menghibur diri.
Sambil menahan sakit kepala, aku meraih ponselku, memeriksa tas punggungku, membuka dompet. Setelah semua kurasa lengkap, aku segera mematut diri di depan cermin. Aku harus segera keluar rumah. Bulu kudukku kembali meremang menyadari kami hanya berdua di rumah saat ini. Harris bisa saja membunuhku jika aku tidak segera minggat, pikirku.
Dengan cepat aku melangkah. Mumpung Mas Harris belum keluar dari kamar mandi, pikirku. Pelan-pelan kubuka pintu depan.
"Mau ke mana?" Mas Harris keluar dari kamar mandi.
"Ada urusan." Sahutku gugup. Sial sekali!
"Mama bilang aku harus mengantarmu ke rumah sakit."
"Tidak perlu. Aku sibuk." Sahutku tanpa menoleh. Lagian mana percaya aku sama dia? Yakin dia gak akan membawaku ke hutan untuk dieksekusi?
"Mama bilang kamu hamil."
Deg!
eSeketika tubuhku terasa membeku. Tanganku gemetar, kunci rumah di tanganku jatuh ke lantai. Pelan aku memutar tubuhku. Menatap nanar wajah Mas Iparku.
"A.. apa? Mas Harris bilang apa?" Aku tidak percaya. Suaraku gemetar. Sudah tiga tahun lebih pernikahan kami, aku seperti lupa pernah berharap bisa hamil, tetapi kabar ini, benarkah?
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. Kalimat itu mampu menggerakkan kakiku untuk kembali melangkah ke dalam, lalu duduk di kursi. Mataku berkaca-kaca. Entah ini perasaan apa. Antara rasa tidak percaya, harapan, juga keraguan.
"Ayo kuantar ke dokter," lanjut Mas Harris lagi. Entah kenapa, suaranya terdengar lembut dan dewasa kali ini. Padahal biasanya dia tidak akan pernah ada manis-manisnya setiap bicara denganku.
Tanpa menunggu jawabanku, pria itu memutar tubuh, melangkah ke kamarnya. Belum sampai di pintu kamar, dia kembali menoleh. Aku menatapnya waspada.
"Ganti pakaianmu. Aku begini tampan dan kekar, jangan sampai kamu menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" Lalu tubuhnya lenyap di balik pintu kamar.
"Dasar breng…" Upz… aku tidak boleh mengumpat. Jika benar aku hamil, maka mulai sekarang aku harus menjaga ucapanku. Hatiku melunak. "Sabar, sabar, sabar."
"Kamu hamil." Ulang Mas Harris. "Aku antar periksa ke dokter, tapi ganti pakianmu, jangan menjatuhkanku dengan pakaian murahanmu itu!" ------- Harusnya aku sakit hati dengan ucapan Mas Harris barusan. Tetapi aku masih dilenakan oleh berita kehamilanku. Apakah itu benar? Atau ini hanya jebakan agar aku masuk dalam perangkapnya, untuk dia membalas dendam padaku? Bercak merah di tubuhnya sudah hilang, mungkin dia sudah konsumsi obat pereda alergi dari dokter. Seharusnya dia sudah melupakan soal pir semalam, toh dia juga sudah sembuh. Sebelum Mas Harris keluar dari kamarnya, aku segera mengambil langkah seribu. Aku tidak mau kelemahanku saat ini dia jadikan kekuatan untuk membalasku. Ah, aku bingung sendiri, kenapa aku bisa terlibat perang lahir batin dengannya seperti ini? Aku memilih pintu belakang untuk melarikan diri, agar tidak ada suara gemerincing kunci. Pintu belakang hanya pakai slot, dan itu sangat mudah dibuka tanpa suara. Lalu melipir lewat samping kost-kostan yang khusus pe
Hatiku mempertanyakan, "Terbuat dari apa hati Mas Harris? Terkadang baik terkadang sadis.--------Kami sampai di rumah jam dua siang. Begitu mobil masuk ke halaman, aku langsung turun dan berjalan menuju teras depan. Kepalaku kembali sakit, padahal tadi sempat reda setelah meminum obat pemberian dokter. Mama sudah ada di rumah. Dia langsung menyambut kami dengan senyumnya yang lebar, memeluk dan memberiku ucapan selamat."Akhirnya kamu akan menjadi Ibu, Helena." Mama terlihat sangat bahagia. "Masuklah, Arsen sudah datang."Deg."Kapan dia datang, Ma?" Tanyaku hambar. Entah mengapa aku seperti tidak berharap dia datang. Entahlah. Rasanya aku tidak ingin melihat dia."Entah. Mama tanya juga tidak dijawab." Sahut Mama. Dasar anak durhaka, batinku mengumpat. Bisa-bisanya ditanya mamanya tidak dijawab!"Baik-baiklah kepadanya, sepertinya dia sedang marah." Bisik Mama pelan. Aku mendesah, seraya langsung melepas sepatuku, kemudian bergegas ke kamar. Kulihat Mas Arsen sedang berbaring tidak
Rasanya luruh sudah semua tulang di tubuhku. Dokter Intan sudah memastikan bahwa pendarahan yang kualami tadi siang sudah membawa serta calon bayi yang baru sehari kusadari ada dalam rahimku. Aku keguguran, setelah sempat merasakan bahagia atas kehadirannya di perutku, meskipun sangat sebentar. Bahkan ketika ayahnya juga belum menyentuhnya.. Ah, jika saja aku menyadarinya sejak awal, mungkin aku akan lebih bisa menjaganya, pikirku. "Selanjutnya apa yang akan kamu lakukan?" Tanya Amell. Kami sedang di kamar berdua di rumahnya. Aku menggeleng. "Aku belum bisa berpikir sekarang." Sahutku."Ya sudah kamu istirahat saja kalau begitu. Besok kamu pikirkan lagi apa yang akan kamu lakukan." Ucap Amell tulus. Aku mengangguk. "Kamu tidak kembali ke kamarmu?" Tanyaku heran, karena melihat Amell menarik selimut dan bergelung di bawah selimutku."Tidak." Sahutnya."Kenapa?""Kamu sedang tidak waras. Gimana aku bisa tidur di kamarku kalau aku kepikiran kamu di sini." Sahutnya."Tenang saja. Aku t
Di rumah masih ada tiga nyawa lagi, tetapi rasanya begitu lengang. Hampa dirasakan oleh ketiga manusia yang tersisa itu. Padahal yang pergi hanya satu.Abiyah hanya bisa diam terpaku, sambil sesekali menyeka air matanya dengan tisu. Wanita yang dipanggil Mama itu masih berharap Helena akan kembali sekali lagi ke rumah itu. Dulu mereka punya ART, tetapi tidak ada yang bertahan lama. Paling lama satu tahun. Terlalu banyak drama. Kemudian, Helena hadir. Atas kesepakatan berdua, mereka tidak lagi mengambil pembantu. Abiyah mengerjakan semua pekerjaan rumah bersama Helena. Abiyah lebih sering tidak melakukan apa pun karena Helena begitu cekatan menyelesaikan semua pekerjaan rumah, selain memasak. Kalau memasak Helena kurang bisa, sehingga harus dilakukan berdua. Abiyah menghela napas berat."Mama sudah tua, Sen. Mama ingin melihat anak-anak Mama bahagia. Tapi kamu masih begini saja." Ucapnya pelan. Arsen diam. "Rumah besar ini ceria dan ramai sejak ada Helena. Sekarang bakal sepi lagi.""I
Sudah dua bulan sejak kejadian itu. Selama itu pula aku tinggal di rumah Amell. Aku sudah mengganti nomor kontakku. Atas saran Amell aku juga mengaktifkan kembali akun sosial mediaku. Selama ini Arsen sangat membatasi ruang gerakku. Dia tidak mengijinkanku mengenal dunia luar dengan bersosial media. Aku hanya diperbolehkan membuka situs berita online atau youtube asal tidak boros. Selain kedua itu tidak boleh. Terutama i*******m, twitter dan f******k. Takut tergoda pria lain, katanya. "Bersosial media rawan perselingkuhan." Begitu alasan Arsen. Dasar busuk! Toh nyatanya justru dia yang selingkuh! Menurutnya, sosial media juga yang menyebabkan hancurnya rumah tangganya dengan Sekar. Dari sanalah awal mula Sekar berkenalan dengan teman-temannya yang suka hura-hura dan tidak bisa diatur. Sekar ketularan. Namun hal itu dibantah oleh Mama. Sekar memang sudah ada bakat bebas sejak belum menikah dengan Arsen. Saat itu, meskipun keberatan, aku mengalah. Dengan syarat, dia juga menutup semua
PART 11. Helena, Di Mana Kamu?(POV Harris) PencarianHelena di mana kamu?Sudah dua bulan lebih dia menghilang tanpa jejak. Aku khawatir dia kenapa-napa. Nomor kontaknya sudah tidak aktif sehingga sulit sekali untuk melacak keberadaannya. Sekali aku pergi ke rumah orang tuanya di Bekasi, berpura-pura ada urusan di Bekasi sekalian mampir, hanya untuk mengetahui kabar Helena. Namun mereka justru menanyakan mengapa saya tidak ajak serta Helena dan Arsen.Aku merasa hidupku begitu hampa setelah dia hengkang dari rumah Mama dalam kondisi marah. Apalagi aku turut andil membuatnya terluka. Hatiku ikut sakit menyaksikannya terluka ketika itu. Wajah yang selalu tersenyum ceria kemudian berubah menjadi sendu dan berurai air mata itu, selalu menghantui hari dan malamku. Aku ingin bergerak dan merengkuhnya. Namun aku tidak memiliki daya untuk melakukan itu semua.Helena di mana kamu?Seminggu yang lalu, Mama memanggil semua anak-anaknya, untuk menyaksikan penandatanganan serah terima pembayaran
Dimas merasa bingung, kenapa tiba-tiba Harris ingin pergi ke Jakarta Pusat. Padahal agenda dia hari ini adalah pergi ke Bogor untuk urusan bisnis. Biasanya Harris tidak pernah meleset dari jadwal yang sudah dibuat. Dia type orang yang selalu tepat waktu. Dia bisa datang lebih awal ketika ada janji, tetapi, juga akan segera meninggalkan lokasi jika lawannya terlambat beberapa menit saja. Namun hari ini? Ada apa dengan Harris? Dia melakukan sesuatu yang berlawanan dengan prinsipnya.Dimas hanya bisa mengikuti saja apa yang diinginkan boss sekaligus temannya itu. Dimas yang pendiam dan penurut selalu mematuhi apapun yang diperintahkan Harris kepadanya tanpa banyak tanya, meskipun dia penasaran. Mungkin sebab itulah dulunya dia menjadi sasaran empuk anak-anak badung di sekolahan mereka. Untung ada Harris yang sejak kecil sudah diberi pelatihan bela diri oleh ayahnya, sehingga dia bisa langsung bertindak ketika melihat teman sekelasnya dianiaya oleh teman lainnya.Harris menyandarkan kepal
PART 13. Pertemuan Hari ini adalah tahun keduaku bekerja sebagai pramuniaga di H&H Mall, di Jakarta Selatan. Yah, akhirnya aku memang diterima bekerja di H&H Group, tapi sesuai dugaan, tidak mungkin di bagian telemarketing. Aku diterima sebagai pramuniaga, Saudara! Dugaanku tidak akan diterima sebagai telemarketing saat melamar dulu itu benar, karena ada si sepupu HRD. Posisi telemarketing sejak awal memang sudah untuk dia. Membuka lowongan kerja dan mendatangkan pelamar lainnya hanyalah ritual, agar semua terlihat natural. Dan hal semacam itu adalah sesuatu yang lumrah terjadi di mana-mana. bukan kah begitu? Kita yang tidak memiliki koneksi akan selalu tersingkir. Kalau diterima, itu berati suatu keberuntungan. Atau takdir Tuhan untuk kita mulai dari sana, sedang berjalan. Seperti takdirku hari ini. Dua tahun lalu meskipun kecewa karena tidak diterima sebagai telemarketing, aku masih merasa beruntung, karena diterima sebagai pramuniaga di bagian elektronik di Mall bergengsi ini. S
PART 40. Kekalahan Putri meraung, memprotes, kenapa ayahnya begitu tega mengotori cintanya yang tulus terhadap Harris. Dia hampir mendapatkan bossnya itu, setelah sekian panjang perjalanan yang penuh emosi dan kesabaran. Harris hampir saja menikahinya jika tidak karena ayahnya yang meminta syarat macam-macam. Dua ratus juta bagi Harris sangat ringan dan tidak akan menjadi masalah. Putri bisa mendapatkan lebih dari itu jika sudah menjadi istri Harris. Terbayang bagaimana dia dan Harun terus-menerus mengupayakan untuk menaklukkan hati Harris, selama dua tahun lebih, lamanya. Dan ketika semuanya sudah di ambang keberhasilan, justru ayahnya sendiri yang menghancurkan mimpinya dengan permintaan yang rendahan. Harga diri Putri sangat terluka. "Maafkan ayahmu, Putri. Dia tidak tahu." Kata ibunya seraya mengusap-usap rambut putrinya yang sedang bersandar di bahunya sambil menangis perih. Pagi itu, Harris langsung yang menghubungi Putri, memintanya bertemu di salah satu restoran favoritnya
PART 39. Menjadi Nyonya HarrisHelena mengerjap. Melawan silau dari lampu ruangan. Mencoba mengingat, apa yang terjadi."Kamu sudah sadar, Nyonya Harris?" Suara yang terasa begitu lekat dengan ingatannya terdengar tidak jauh darinya. Nyonya Harris, Siapakah?“Di mana aku?” gumamnya lirih.“Kamu ada di rumah sakit, Sayang. Kamu pingsan di hari pernikahan kita.” “Pernikahan kita?” Helena mengernyitkan keningnya, beberapa kali mengerjap dan berusaha keras menerna keadaan.“Saya terima nikahnya Helena Anastasya Binti Rahardi..” Oh… Helena mendesah. Ucapan Harris saat ijab qabul kembali terngiang. Kedua matanya mulai bisa menyesuaikan.“Mmm,” Pria di depannya mengangguk dengan wajah berbinar bahagia, "pernikahan kita, Sayang.""Siapa kamu?" Tanya Helena pelan, dan hampir tak terdengar. Ditatapnya sayu pria yang tengah membelai rambut, dan memeluk tubuhnya itu."Helena? Apa yang terjadi? Ada apa denganmu?" Pria itu gugup, jantungnya berdebar. Lalu dengan cepat dia memijit tombol cemas."Do
PART 38. Pernikahan HarrisTiga puluh menit perjalanan, kami sampai di sebuah gedung yang dipenuhi bunga warna putih di mana-mana. Mas Harris menarik tanganku masuk ke salah satu gedung yang tampak rapi dan bersih. Seorang wanita setengah baya langsung menyambutnya dengan ramah."Rias dia semaksimal mungkin." Mas Harris menyerahkanku kepada wanita tersebut. Wanita itu menatapnya dengan pandangan yang tak kumengerti."Jangan khawatir, secantik apa pun wanita yang hadir di gedung ini, tidak akan pernah ada yang dapat mengalihkan hatiku dari pengantin wanitaku." ucap Mas Harris, seraya melirikku angkuh.Aku kembali memejamkankedua mata. Akan ada berapa banyak lagi rasa sakit yang akan kuterima darinya? Harus kah dia berkata seperti itu di depanku? Yaa Tuhan, ini salahku. Mengapa aku masih mau ikut dia ke sini, hanya untuk dilecehkan seperti ini? Apa lagi yang bisa kuharapkan? Sekali lagi, aku membiarkan air mataku mengalir ke pipi."Lalu bagaimana dengan bajunya, Pak?" Tanya wanita itu.
PART 37. Ajakan TerakhirTiga hari aku di rumah Ibu di Bekasi. Selama itu pula aku lebih banyak di dalam kamar. Jika keluar, aku sudah pastikan, wajahku tertutup kosmetik secara sempurna, untuk menutupi bengap di mata akibat terlalu banyak menangis. Tiga hari begitu cepat, itu artinya empat hari lagi pernikahan Mas Harris akan terjadi. Ah, nyeri sekali membayangkan itu."Kamu ambil libur berapa hari, Na, kok masih di rumah?" Tanya Mama ketika aku baru keluar dari kamar siang ini."Ini mau berangkat, Ma." Sahutku. Walau aku belum tahu mau ke mana, tetapi aku tidak mau keluargaku tahu jika aku sudah keluar dari perusahaan, aku tetap harus berpura-pura berangkat kerja."Sana makan dulu." Kata Ibu."Iya, Ma." Aku berjalan ke meja makan. Ibu mengikutiku, membuka penutup makanan dan mengambilkan piring. Ibu selalu begitu, meskipun aku berusaha mencegah, Ibu tetap melakukannya. Ibu ikut duduk di kursi seberang meja."Kamu nggak ingin cerita apa-apa gitu, Na, sama Mama?" Tanya Mama. Aku menat
Part 36. Upaya MonicaPutri baru keluar dari rumahnya, ketika seorang wanita dewasa dengan penampilan rapi dan elegan muncul di depannya, serta menghalangi langkahnya.“Siapa ya?” sapa Putri.“Mau ke kantor?” balas wanita itu kalem. Putri hanya manatapnya penuh selidik.“Kenalkan, namaku Monica, kita berangkat bersama?” Wanita itu menawarkan, seraya mengulurkan tangannya. “Saya tidak bepergian dengan orang asing.” Balas Putri angkuh, tanpa menerima uluran tangan Monica.“Saya bisa pastikan, sebentar lagi saya bukan lagi orang asing, karena kita berada di perusahaan yang sama,” terang Monica. Sekali lagi, Putri menatapnya penasaran.“Tidak perlu khawatir, kita memang belum pernah bertemu, karena aku baru kemarin datang dari Singapura dan langsung ke kantor Mas Harris.”Mas Harris? Siapa wanita ini, dan mengapa memanggilnya dengan sebutan Mas? Putri semakin penasaran sekaligus curiga.“Saya mengetahui semua data karyawan di Harmoni. Maksudku, H&H Group. Dan kulihat kamu yang paling dek
Part 35. Mantan Yang KembaliSejenak kita tinggalkan Harris, Helena, dan Putri. Kita berpindah ke sebuah gedung mewah di salah satu bilangan elite Kota Jakarta Selatan.Monica menatap hampa halaman gedung yang dipenuhi rumput Jepang berwarna hijau. Sesekali ia mendesah berat. Hatinya sungguh tercabik setiap kali menatap kartu undangan yang tergeletak di samping secangkir cappuccino di atas meja. Ia sungguh tidak percaya, jika Harris yang ia perkirakan bakal mencari, mengejar dan memohon cintanya kembali, ternyata justru menyebar undangan pernikahan, dengan seorang gadis muda bernama Putri Ayuningtyas. Tidak, Monica tidak boleh membiarkan pernikahan mereka terjadi."Maaf membuatmu lama menunggu," seorang pria enam puluhan tahun muncul tidak jauh darinya."Apa kabar, Paman?" Sapa Monica datar."Apa yang membuatmu kembali ke sini, Keponakanku?" Pria yang dipanggil paman balik bertanya. Sekali lagi Monica mendesah. Matanya menatap hampa selembar kartu undangan yang tadi. Pria di depannya
(POV Harris)"Kenapa Anda tiba-tiba ingin bertemu dengan Putri, Pak?" Dimas tampak cemas dengan keputusanku."Aku tidak bisa terus begini, Dimas. Helena sepertinya memang bukan takdirku." Sebenarnya sakit mengatakan itu, tetapi aku harus menunjukkan bahwa aku bukan seorang pria yang bisa dikendalikan oleh cinta. Aku tidak mau peroleh predikat bucin. Walau kenyataannya aku memang sangat mencintai Helena, dan tubuhku juga hanya bisa menerima Helena saat ini. Aku lebih baik mengambil keputusan menikahi wanita yang jelas-jelas mencintai dan mengejarku, dari pada menunggu Helena yang hatinya tetap milik Arsen."Dia bahkan akan membunuhku." Gumamku kesal."Apakah Anda sudah memikirkan dengan reaksi tubuh Anda nantinya?" Tanya Dimas. "Anda harus mengkonsumsi obat yang merusak jantung dan kepala, seumur hidup Anda.""Tak apa. Aku sudah tua juga. Mungkin takdirku memang seperti ini." Terdengar konyol dan pasrah bukan? Ya, aku memang tidak berdaya saat ini."Pak, saya mohon jangan lakukan itu."
PART 33. Fakta Tentang HarrisAku terbangun ketika jam di kamar Mas Harris sudah berada di angka 08:55. Mas Harris sendiri sudah tidak ada di sampingku. Aku terkejut. Apakah Mas Harris benar-benar mengunciku? Mataku nanar menatap pintu. Segera kusingkap selimut, aku berlari ke pintu dan membukanya dengan kasar. Seketika tubuhku terjerembab ke belakang.Gustiii… aku begitu ketakutan. Padahal Mas Harris tidak mengunci pintunya.Mas Harris muncul di ambang pintu dengan masih mengenakan handuk kimononya. Tangan kirinya sedang menggosok rambutnya yang basah dengan handuk kecil berwarna putih. Alisnya terangkat sebelah menyaksikanku duduk di lantai."Kamu kenapa?" Tanyanya, mengulurkan tangan membantuku bangun. Benarkah dia sudah tidak marah? Aku membatin."Terima kasih." Kataku. Mas Harris tidak menanggapi. Aku melangkah keluar kamar.Di kamarku, aku menatap wajah di cermin. "Setelah ini kamu mau ke mana lagi, Helena? Mau berbuat apa?" Pertanyaan itu muncul di benakku. Aku mendesah berat.
PART 32. Memilih DiaAku menangis sepanjang perjalananku menuju rumah Amell. Sedih pada nasibku sendiri, kenapa aku harus mengalami kejadian seperti ini lagi? Faiz meneleponku, tetapi aku mengabaikannya. Pria itu selalu mencariku jika aku tidak kelihatan di tempat kerja. Dia selalu menunjukkan perhatian dan kekhawatirannya jika aku tidak muncul.Dulu aku pekerja yang sangat baik. Aku hampir tidak pernah libur sebelum kedatangan Mas Harris. Pak Harun tidak pernah memerhatikanku. Tidak mengenalku dan tidak pernah peduli. Tetapi semua berubah sejak pertemuanku kembali dengan Mas Harris. Aku jadi sering libur tanpa berkabar karena bersamanya. Bahkan sering meninggalkan lapangan di tengah-tengah kewajiban yang belum tuntas. Salah satunya beberapa waktu lalu, saat Arsen tiba-tiba muncul di depanku.Aku menarik napas panjang. Menyandarkan kepala di jok taksi. Kupejamkan mataku untuk menetralisir luka yang mengoyak. Kuabaikan juga saat ada panggilan masuk dari Mbak Mia. Namun saat panggilan d