Naima hanya tidur kurang dari tiga jam, ia tetap bangun seperti biasa. Dengkuran halus terdengar di belakangnya. Mencoba melepaskan lilitan kaki dan tangan Albe, butuh kerja ekstra untuk keluar dari kungkungan suami yang mempunyai badan 2 kali lebih besar dari pada Naima.
Mengamati wajah tenang dan damai suaminya, terbesit senyum di wajah bantal Naima. Tak pernah menyangka bisa menyukai lelaki asing. Ia kecup pipi dan rahang suaminya sebelum beranjak. Membersihkan diri dan melakukan ritual paginya. Notifikasi balasan dari Astrid dan Chef Adi masuk pada ponselnya, sesaat sebelum Naima keluar dari kamar.
Berbalutkan sport bra set dengan legging sebatas paha. Naima berencana melakukan yoga. Di rumah Albe ada satu ruangan Gym pribadi, tidak terl
“Ada apa, Yang?” Pertanyaan Naima jelas menunjukkan wanita itu khawatir. Memiringkan badannya, mencoba menyelami arti guratan dan lipatan di kening Albe. Mengulurkan jemari lentiknya, Naima memberi elusan di kening itu. “Ada sedikit masalah, Babe. Dan Viran tidak bisa mengatasi sendiri,” terang Albe, menangkap jemari Naima dan membawanya ke bibir, mengecupi setiap ujungnya. Raut wajahnya masih serius, terbagi antara jalanan dan permasalahannya. Naima membiarkan Albe memainkan jarinya. Hanya bersentuhan dengan Naima membuat hati Albe sedikit tenang. Pria tampan itu pun merasakan, emosi yang biasanya meledak-ledak, dengan kehadiran wanita cantik itu disisinya mampu teralihkan. Senyum Naima selalu menjadi penawar. Walaupun Naima tak mengerti tentang bisnis, menceritakan hal yang dia lewati dan jalani nyatanya bisa membuka pikiran untuk langkah kedepan.&nbs
“Apa yang menjadi pokok permasalahannya?” Suara tegas dengan nada dingin menggema di ruang tamu. Albe mengamati satu-persatu wajah dari mandor proyek. Mencoba menghafal, dan menganalisa. “Begini, Pak Alberico. Salah satu mandor menjanjikan akan menggunakan pekerja dari kampung di sebelah lokasi. Sementara kami selaku kontraktor tidak mengetahui perjanjian tersebut, dan juga kami tidak mengetahui kualitas dari pekerjaan mereka. Itu yang membuat beberapa warga datang dan mengamuk.” Jelas salah satu diantara mereka yang ternyata adalah pihak kontraktor. “Apa saja kerusakan yang sudah ditimbulkan?” Ucap Albe meminta penjelasan. “Ada yang dengan sengaja, mencuri beberapa material dan juga ada yang sebagian menghambat proses supply material.” jawab pihak kontraktor.
"Auh … ah … " "Bentar lagi … sabar …" "Ah … " "Please, jangan keluarkan teriakan menjijikan seperti itu, Vir," decak Albe, mendengar jeritan lebay yang Viran keluarkan. "Lo, sih, gak ngerasain. Udah Dek, ntar ada singa ngamuk … jeritannya kalah merdu sama jeritan gue," cerocos Viran songong, membuat Naima mengoleskan obat merah dengan cepat dan memasangkan perban di kepala Viran. Sebelumnya, Naima harus menggunting helaian rambut Viran karena, lukanya berada di atas telinga. "Aku tidak pernah menjerit," jawab Albe santai, Viran yang mendengar terbahak. "Yakin, Lo? Tadi malam berapa ronde Nai?" Viran menggoda Naima yang sedang membereskan kotak P3K, mereka ada di dalam mobil Albe, menuju ke restoran. Karena waktu yang sedikit, mereka memutuskan mengobati luka Viran sendiri karena tidak terlalu parah juga. "Apaan deh, Bang. Kebiasaan kepo urusan orang, urusin tuh yang udah bikin Abang berdarah-darah," tukas Naima. Mer
“Ya! gue juragan Lo!” “Maafkan saya, juragan ….“ dengan tergopoh Asih berlari, bersimpuh di hadapan Viran. Pemuda yang ternyata kekasih Asih, terlihat ketakutan di ujung lorong. “Gak usah drama deh, Sih. Udah ... bukan salah lo, tapi salah pemuda pengangguran yang ngaku kekasih tapi gak bisa diandelin. Harusnya lo buang tuh! ngapain lo pertahanin. Cari yang kerja, jangan preman pasar yang gak tau apa-apa tapi sok jagoan.” gertak Viran penuh emosi. “Bang, Ada apa?” Naima datang dari arah belakang Viran, menatap heran pada gadis yang bersimpuh di lantai, dan Viran yang terlihat emosi. Juga pada pemuda dengan kaos dan rompi jeans yang menunduk lesu di ujung lorong. “Gue udah tahu pelakunya, Dek. Cecurut di ujung itu.” tunjuk Viran dengan dagunya, Na
Fajar berarak, menyingsingkan pekatnya malam. Namun pekat yang bersarang pada dinding-dinding hatinya tak jua terlepas. Ada jerat tak kasat mata yang membingkai hati. Inginnya tak peduli, namun seperti duri yang telah tertancap, hanya bisa ia merasai tanpa mampu menangisi. Memandang ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna, dengan wajah rupawan yang melenakan, dengan sikap manis yang bisa membuat meringis, senyum laksana madu yang membuat candu dan selalu merindu. Makhluk Adonis yang merajai hati, namun sering membuat nyeri. Ya, dialah Albericonya. Nama yang tak pernah ia sebut dalam semoga, namun hadir menjadi dunianya. Menatap ke dasar cakrawala hijau terang yang menghanyutkan dan menyejukkan ia selalu terpukau. &nbs
Kecupan di pipi Naima tidak membuat gadis itu membuka matanya, ia masih asik berlayar dalam lautan mimpi. Angin dingin yang berdesau, menyibak tirai pembingkai pintu lipat yang menuju ke arah balkon, yang membawa serta rintik-rintik gerimis pun tak dapat membuat gadis itu terusik. “Baby, apakah kita akan menginap di sini lagi?” Seperti magis, bisikan suara berat dan dalam milik kekasihnya lah yang mampu membuat kelopak dengan bulu mata lentik itu mengerjap dengan cantik. Albe menyunggingkan senyum terbaiknya, menyambut bidadari kembali dari kahyangan dunia mimpi. “Mmm … ?” gumaman tanya tanpa kata Naima membuat Albe terkekeh. “Maaf, aku meninggalkanmu terlalu lama, ayo bangun. Kita akan mampir di Cafe untuk makan. Baru setelahnya kita pulang.” Albe memasukkan baju gan
Seperti janji Albe, mereka mampir ke PVJ, Jika Naima hanya berencana untuk melihat-lihat. Tapi hal yang menyebalkan adalah apa yang Naima pegang, akan Albe berikan pada SPG. Awalnya Naima tidak tahu, tapi saat keluar dari Mall, seseorang membawakan banyak paperbag dan memasukkan pada bagasi mobil. Dan Naima tidak tahu siapa orang yang diminta Albe membawakan barang mereka. “Itu tadi apa, Yang?" selidik Naima dengan alis berkerut. Albe hanya tersenyum, menjepit dagu Naima dengan ujung jempol dan telunjuknya, menyatukan keningnya pada kening Naima, “Hadiah untuk istriku,” jawabnya singkat, memberi lumatan pada bibir Naima. Naima melepaskan tautan bibir mereka mengusap ujung bibir Albe, “Dalam rangka apa, Yang?” tanya Naim
Dalam rumah tangga, kata ‘SAH’ seperti menjadi penentu dan menjadi ketok palu untuk takdir dan jalan yang harus dilalui bersama. Bukan hanya untuk senang tapi untuk rasa duka pun seharusnya dilalui berdua. Namun kadang keengganan membagi duka membuat hati lara. Bukan tanpa alasan Albe memperlakukan Naima layaknya ratu di rumah dan di hatinya, karena memang dia adalah penguasa hati lelaki itu. Tapi ada alasan lain yang membuat Albe membatasi gerak Naima untuk saat ini. Masih ada yang harus diselesaikan sebelum semua akan kembali normal. Albe tetap mencoba berjalan dengan sebagaimana mestinya, tidak mudah menjadi orang asing dan mendirikan beberapa usaha tidaklah semudah menghamburkan uang.
Suasana ballroom sebuah hotel berbintang di tengah kota Manhattan terlihat riuh dan penuh canda tawa. Sosok perempuan bergaun biru langit dengan model sederhana berbahan brokat, namun tetap tampak elegan dan membuat wanita dengan perut membuncit itu terlihat semakin menawan. Ia terlihat bahagia, wajahnya memancarkan rona merah muda. Senyumnya yang sampai ke ujung mata tak meninggalkan bibir merahnya. Naima dan Albe menjadi laksana Cinderella dan Prince Charming di dunia nyata. Mereka berdua berjalan bergandengan menuju singgasana sederhana di ujung sana. Di depan mereka Colby Jr. berjalan layaknya pangeran dengan suite kebanggan. Tepuk tangan tamu undangan yang sebagian besar adalah kawan Eleanor dan Albert yang menempati sisi kiri. Juga teman-teman Albe hanya ada puluhan sepertinya, berada di barisan sebelah kanan. “Yang, banyak sekali tamunya,” bisik Naima. Ia tentu gugup walau terlihat bahagia. “Rileks, Baby. Anggap saja mereka bukan apa-apa,” ucap Albe tak kalah pelan, meng
Naima mengekori Albe saat lelaki itu mengunjungi sebuah gedung pusat rehabilitasi, sudah 4 hari berlalu sejak pembicaraan singkat mereka. Alberico sudah menjelaskan pada Naima bagaimana kondisi Chloe. Depresi dan narkoba yang sudah meresahkan. Kesenyapan dan wajah sendu Colby saat sendiri adalah bentuk kesedihannya. Chloe sangat menyayangi anak kecil itu, tapi waktunya tersita saat pengaruh obat menguasai tubuh. Meninggalkan Colby dalam kesunyian, sementara Nanny Smith tak bisa 24 jam bersama. Setiap hari, Naima dan Albe mengajak Colby bertamasya dan melakukan banyak kegiatan yang dapat mengurangi rasa sedih dan kesepian anak berumur 6 tahun itu. Saat menanyakan keberadaan sang ibu, Naima mengatakan Chloe sedang sakit dan harus di rawat. Colby Jr. yanga bosan dengan rumah sakit memilih berdiam diri di rumah. Jadwal bermain dengan dokter masih beberapa hari lagi, ia tak mau datang ke tempat yang tidak menyenangkan itu. Maka, di sinilah mereka berdua. Tanpa Colby Jr. Mereka berada
Mobil Pria bernama Pete itu segera melaju dengan kencang. Colby berlari dan memeluk wanita berkulit hitam yang Naima asumsikan adalah Nanny Smith-nya. “Nanny, ada apa dengan Mom? Kenapa dia selalu seperti itu?” tanya Colby dengan air mata yang membanjiri pipinya. “Oh Boy, Mommy hanya kecapean saja. Ayo aku gendong, kau perlu tidur.” Wanita itu mengangkat Colby kedalam gendongannya. Lalu berpaling pada Naima dan tersenyum. “Hai, Aku Nanny Smith kamu kekasihnya Rico?” Nanny Smith mengulurakn tangannya. Naima menyambut uluran tangan itu dan meralat, “aku istrinya.” “Oh, maaf. Aku tidak tahu. Ayo kita masuk, kita akan ngobrol nanti setelah laki-laki kuat ini tidur siang. Naima mengangguk, ia juga butuh merebahkan diri. Saat masuk ke dalam rumah, Naima menyempatkan melihat Granny di kamarnya, wanita itu sedang tidur dan tak terganggu dengan keributan yang terjadi tadi. Naima memilih ke beranda belakang, ada sofa yang terlihat nyaman di sudut dengan bantal-bantal yang menghiasi juga
“Mommy!” Colby Jr. turun dari sofa dan berlari memeluk ibunya yang baru pulang bekerja. Menurut informasi yang Albe terima dari ibunya, Chloe bekerja sebagai manajer di departemen store di kota Hampton. “Hello Boy, istirahatlah ke kamarmu.” Chloe memperhatikan Albe dengan raut penuh kerinduan, Naima berdiri mendekati Albe yang terlihat emosi. Menggenggam lengan yang sudah terkepal dan mengelus lengan atasnya naik turun. Ia tersenyum manis pada suaminya. “ Hai Rico! Kejutan dan wow, aku tak tahu harus mengucapkan apa? Selamat datang Ok?” sorak Chloe dengan mata berkaca-kaca juga bertepuk tangan sekali lalu menautkan jemarinya pada jemari tangan lainnya. “Hai Chloe, sangat mengejutkan bukan?” kata Albe terdengar dingin. “Aku memang terkejut dengan apa yang aku temukan saat bertemu dengan keponakan pintarku. Maka dari itu kami membuat kesepakatan. Apa kau keberatan?” Albe benar-benar tanpa basa-basi, Naima melihat suaminya seperti itu menjadi sedikit khawatir. Apa trauma Albe muncul se
“Itu Colby, aku rasa.” Albe memberi tahu Naima yang masih berdiri di tengah tangga bersamanya. “Hai Boy! Apa kamu yang bernama Colby?” tanya Albe turun dari tangga, memperhatikan anak kecil yang terlihat mengamati Albe. “Yeah, itu aku. Dan kamu Daddyku bukan? Mom selalu menceritakan dirimu dan menunjukkan fotomu." Albe mendengkus, lalu menyalami anak kecil itu. “Kita belum berkenalan, namaku Alberico Steinson. Dan kau tahu? Ayahmu bermarga berbeda denganku, namanya Colby East Stone. Bukankah namamu Colby Jr Stone? Kemarilah.” Albe menarik anak kecil itu untuk ikut ke atas. Albe melihat raut istrinya yang tak terbaca hanya tersenyum. “Aku akan menyelesaikan ini, tolong percaya
Pagi yang sibuk untuk Naima dan Albe, Eleanor sudah menyiapkan beberapa kotak makanan untuk di bawa ke New Jersey. Wanita cantik itu beralasan, Mamanya selalu merindukan masakan putri satu-satunya. Albe hanya mengendik tanpa berkomentar, sementara Albert yangs edang membaca berita di tabletnya tidak berkomentar banyak. Mereka berangkat dengan Tesla model X. Saat Naima menuju carport, ia di buat takjub dengan jenis mobil yang tak biasa. Mobil keluarga Albe tidak ada yang type sedan, APV dengan kapasitas besar sepertinya adalah yang terfavorit untuk mereka. “Ada apa, Sweetheart?” Albe yang datang membawa koper berisi baju mereka heran dengan Naima yang bengong di hadapan beberapa mobil yang berjajar rapi. “Aku tidak tahu mana yang akan kau pilih untuk perjalanan kita, Sayang. Kau bilang yang sesuai dengan seleramu, dan yang aku lihat semua adalah seleramu.” Naima menolehkan kepalanya pada Albe yang menuju cabinet kecil yang tertempel di dinding. Untuk membuka cabinet itu menggunakan
Naima jatuh di atas tubuh suaminya, beberapa orang yang lewat membantu Naima untuk bangkit, baru setelahnya Albe. Jalanan licin sedikit menyuitkan pria itu untuk berdiri. Pemuda yang kehilangan kendali saat berseluncur dengan skateboardnya berlari dengan panik. “Apa kalian terluka?” tanya pemuda itu dengan menenteng papan kayu di sebelah tangannya. “Kuharap tidak, lain kali berhati-hatilah. Atau kau akan mendapatkan hukuman,” ucap Albe menepuk pundak pemuda tadi. “Kau tidak apa-apa, Baby?” tanya Albe pada Naima yang terlihat syok, ia masih bersandar di dinding toko yang sudah tutup. Naima menutup mukanya dengan tangan, perutnya sedikit tegang tadi dan itu sangat tak nyaman. Naima meraih tangan Albe lalu memasukkan pada mantel tebal yang ia gunakan. Albe paham dan mengelus perut istrinya beberapa kali. Wanita it menyandarkan keningnya di dada Albe, dia dan calon anakknya sudah mengalami beberapa lagi tragedi dan itu membuatnya sedikit trauma. “Apa kau mau aku panggilkan Daddy su
“Tidak bisa, Dad! Uang yang dia pakai sangat banyak, aku tak bisa merelakan begitu saja. Aku harus mendatangkan alat gym termutakhir untuk cabang di Pluit. Gedungnya sudah siap, hanya untuk mendatangkan alatnya saja. Uangnya masih kurang.” Tolakan Albe yang menggebu membuat Albert memicing, Moma mengedip pada Naima. Perempuan hamil itu paham, lalu mengikuti mertuanya untuk masuk ke dalam ruangan kerja yang sedikit ke arah depan. “Mereka akan sangat lama dan membosankan jika membahas soal -BISNIS-, kita di sini saja. Bagaimana kalau kita mencari gaun untuk acara kalian, aku ingin melihatmu memakai gaun pengantin, Sayang.” Moma mengambil tabletnya yang berukuran besar. Membawa ke arah sofa di mana Naima duduk dan menyandarkan punggungnya. “Apa saudara Moma banyak? Atau rekan juga kerabat?” tanya Naima, iris beningnya mengikuti gerakan sang mertua.
"Aku tidak tahu, Hun. Bagaimana kalau kita ikuti kemauan Moma aja? Aku takut mengecewakannya," usul Naima. Albe hanya mengendik, lalu menarik jemari istrinya. “Sebaiknya kita bicarakan bersama, supaya yang menjadi resepsi impianmu juga bisa terwujud, Baby. Ini pesta untuk kita bukan? Aku ingin kau juga mengutarakan keinginanmu. Hilangkanlah rasa sungkanmu itu, Sweetheart. Kadang aku tidak nyaman dengan sifatmu itu,” ucap Albe mengecup jari istrinya. Naima menghela napas, bukan maksudnya untuk membuat Albe tidak nyaman. Tapi, bagaimana keinginan hatinya bahkan Naima tidak mengerti. Ia menerima apa yang